Selasa, 23 Mei 2017

Selamat Datang di Kerkhof Dezentje, Makam Si Raja Kecil dari Ampel

 “Welcome to the Jungle, we’ve got fun’ n’ games…” bait pertama lagu dari Gun’s n Roses tadi sepertinya menjadi gambaran yang tepat ketika saya mendatangi kerkhof Dezentje untuk pertama kalinya. Bagaimana tidak ? kondisi kerkhof ini nyaris menyerupai hutan belantara. Pohon berdaun lebat yang tumbuh di sela-sela makam menciptakan kesan gelap pada kompleks makam yang sudah lama tak terawat itu. Nyamuk menyebalkan dengan setia menemani saya selama berada di dalam kompleks makam. Tampaknya nyamuk-nyamuk ini berhasil memanen darah dari tubuh saya, meninggalkan jejak bentolan kecil di sekujur tubuh saya.

Keadaan Kerkhof Dezentje setelah dibersihkan.
Satu persatu tanaman liar dibabat hingga ke akar, makam-makam tua yang semula tertutup mulai tersingkap bentuknya. Begitu antik sekali bentuk makam-makam yang terpancang di sini. Dengan pilar-pilar bergaya Roman, makam-makam ini terlihat bagaikan reruntuhan Forum Romanum di Roma. Selain berbentuk pilar, ada pula makam yang berbentuk seperti monumen obelisk buatan bangsa Mesir Kuno. Menariknya lagi, saya mengamati ada sebuah makam yang berbentuk bong, makam orang Tionghoa. Bentuk makam tersebut sebelumnya sudah pernah saya temukan di Kerkhof Ngawi. Satu hal lagi yang sungguh unik dan belum pernah saya dapati di kerkhof manapun adalah sebuah makam yang menyerupai atap rumah tradisional Jawa. Ya, dapat dikatakan juka empat peradaban besar bertemu dan menyatu di kompleks kerkhof ini…
Sudut kerkhof yang belum dibersihkan.
Monumen-monumen berbentuk pilar patah di kompleks makam. Pilar patah merupakan perlambang dari putusnya kehidupan seseorang.
Salah satu makam berbentuk obelisk.
Sebuah makam yang unik karena berbentuk seperti atap rumah Jawa.
Makam berbentuk seperti bongpay atau makam Tionghoa.
Dari semua makam yang ada di kompleks kerkhof ini, terdapat empat buah makam yang berada dalam satu bangunan. Dari luar, bangunan ini sekilas mirip dengan kuil Yunani kuno. Makam itu dilindungi oleh teralis besi yang berbentuk cangkang keong. Bagian dalam makam ini terasa lembab. Jamur dan lumut hijau menghiasi dinding tua makam yang sepertinya baru saja dikunjungi orang karena di sini saya temukan sebuah dupa yang baru saja dibakar. Entah siapa dia yang berkunjung ke makam ini sebelum saya…
Makam berbentuk seperti bangunan kuil.
Makam berbentuk sepeti kubus kecil.
Betapa menyedihkan keadaan makam-makam di sini. Di samping terlantar, bongkah-bongkah batu prasasti yang dulu melekat sudah tak diketahui kemana rimbanya sejak permakaman tersebut dijarah oleh masyarakat sekitar tahun 1950. Andai saja tidak ada tulisan spidol yang terbubuh di atas salah satu makam, niscaya saya tak bakal tahu siapa gerangan yang dibaringkan di sini. Di sudut kerhof ini, terdapat dua makam prasastinya masih melekat di tempat meskipun itu prasasti baru. Dengan demikian ada tanda bahwa masih ada anak keturunan yang menziarahi makam ini. Menariknya ialah, semua nama yang ada di kerkhof ini memiliki nama belakang Dezentje dan salah satu makam terdapat tulisan gelar bangsawan Jawa ,“Raden Ayu “. Entah siapa nama lengkapnya karena separo tulisan tidak dapat terbaca, namun ini menjadi petunjuk bahwa ada orang Jawa yang dimakamkan di tengah-tengah makam Belanda. Siapakah beliau sehingga dapat dimakamkan bersama orang Belanda dan yang paling penting, siapakah sejatinya Dezentje ??
Nisan yang diperbarui, menggantikan yang lama.
Dezentje, nama ini mungkin sudah tenggelam dalam ingatan banyak orang. Namun dalam sejarah agraris dan sosial di Surakarta, nama Dezentje adalah nama yang melegenda. Bagaimana tidak ? Dialah yang menjadi perintis perkebunan Eropa pertama di Surakarta sebelum tanam paksa digulirkan. Nama Dezentje setara dengan Kerkhoven di Priangan, atau Jacob Nienhuys di Medan.
Johannes-Augustinus Dezetnje (1797-1839), legenda perkebunan dari Ampel (sumber : Djocja-Solo, Beeld van de Vorstenlanden).
Johannes Augustinus Dezentje alias Tinus (1797-1839) merupakan putra dari seorang pengawal Eropa di Keraton Surakarta bernama August Jan Caspar (1765-1826). Dari gajinya sebagai seorang perwira di masa pendudukan inggris, pada 1816, Caspar menyewa tanah Kasunanan yang terbentang dari Salatiga, Ampel, hingga Boyolali. Sepeninggal Caspar, tanah itu diwariskan kepada Tinus (Bruggen dan Wassing, 1995; 23). Menginjak usia 18 tahun, Tinus menikah dengan Johanna Dorothe Boode. Berselang tiga tahun kemudian, untuk memperluas tanah perkebunannya, Tinus menikah dengan saudari raja Surakarta bernama Raden Ayu Tjokrokoesoemo. Pernikahan kedua Tinus dihelat di Keraton Surakarta dalam rangakaian acara yang akbar dan mewah. Setelah menikah, Tinus dan istri barunya menetap di Ampel, Boyolali. Dari pernikahan keduanya, Tinus dikaruniai 6 anak yang semuanya diberi nama dengan awalan huruf ‘A’ seperti Arnold, Alexander, Adrian, Alphonse, Augustinius dan Annipellma sebagai bentuk penghormatannya terhadap tanah perkebunan Ampel. Dalam buku Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden, karangan Bruggen dan Wassing, dituturkan bahwa sekalipun darah Erop mengalir di dalam tubuhnya, namun karena persinggungannya dengan keraton, maka gaya hidup Tinus bak seorang bangsawan Jawa.
Rumah keluarga Dezentje di Ampel yang lebih menyerupai ndalem bangsawan Jawa (sumber : media-kitlv.nl).
Pendeta S. Buddingh yang pernah bertamu ke kediaman Tinus, menguraikan keadaan kediaman Tinus “ yang dibangun dalam gaya seperti rumah bangsawan Surakarta atau bupati Jawa, lengkap dengan kebun binatang dan tembok tebal yang mengelilingi rumah seperti benteng yang diperkuat dengan bastion dan gardu pengawas”. Setiap kali Tinus berjalan, rombongan pembantunya akan ikut serta. Rakyat di pinggir jalan mesti bersimpuh sebagaimana adat seorang bangsawan Jawa waktu itu. Kendati bergaya hidup glamour, Tinus sendiri jauh dari kesan tuan tanah yang kejam dan kikir. Setiap petani yang bekerja kepadanya dihibahkan kerbau atau bibit tanam secara cuma-cuma.
Gapura masuk ke kediaman Dezentje. Seperti yang diceritakan oleh Buddingh, rumah Dezentje dikelilingi oleh tembok dan parit layaknya keraton raja (sumber : media-kitlv.nl).
Demi melindungi perkebunannya dari gangguan Perang Jawa, Tinus rela mengeluarkan banyak uang untuk menyewa detasemen serdadu bayaran berkekuatan 1500 personel. Detasemen itu dikenal sebagai Detasemen Dezentje. Tak hanya untuk mengamankan perkebunan, detasemen itu juga dikirim ke palagan sebagai hulptropen. Begitu lengketnya Dezentje dengan lingkaran dalam Kasunanan Surakarta sehingga Susuhunan Surakarta berhasil ia lobi untuk bersikap netral selama Perang Jawa. (Soekiman, 2014; 50). Atas jasanya, Kerajaan Belanda memberi penghargaan Orde de Nederlandse Leeuw (Orde Singa Belanda) kepada Tinus. Sesudah perang, Tinus membuat sebuah proyek ambisius berupa saluran irigasi besar sepanjang 60 kilometer. Untuk mendanai proyek ini, Tinus meminjam uang dari Nederlandsch Handel Maatschappij.
Kunjungan putra mahkota keraton Surakarta ke rumah keluarga Dezentje. Keluarga Dezentje memiliki pengaruh cukup kuat pada Kasunanan Surakarta berkat hubungan pernikahan J.A. Dezentje dengan saudari raja Surakarta (sumber : media-kitlv.nl).
Sayangnya, sebelum proyek ambisius itu kelar, Tinus mendadak meninggal dunia pada 7 November 1839. Waktu itu, Tinus yang masih berusia 42 tahun sudah memiliki lahan perkebunan seluas 1275 ha. Sepeninggal Tinus, perkebunannya sempat mengalami masa sulit akibat gagal panen dan utang yang menumpuk untuk membiayai perkebunan yang luas dan gaya hidup keluarga Tinus. Akhirnya kejayaan perkebunan keluarga Dezentje kembali berlanjut pada tahun 1849 dan perkebunan itu dibagi-bagi kepada keluarga Dezentje atau dijual kepada orang lain.
J.A.C. Dezentje, salah satu keturunan J.A. Dezentje. Perhatikan wajahnya yang lebih menyerupai orang Jawa daripada orang Eropa (sumber : media-kitlv.nl).
Tahun 1860an, Keluarga Dezentje menjadi raja perkebunan di kaki timur gunung Merbabu-Merapi hingga masa akhir kolonial meskipun para pendatang baru dari Eropa mulai menyaingi usaha perkebunan Dezentje. Sebelum pendudukan Jepang, salah satu keturunan Dezentje, Ny. Ch. E. Dezentje membangun sebuah rumah mewah di Jalan Slamet Riyadi. Rumah itu kini dikenal sebagai Loji Gandrung. Menjelang Jepang masuk, keluarga Dezentje diperingatkan oleh keraton supaya bergegas meninggalkan Hindia-Belanda karena apabila Jepang masuk ke Hindia-Belanda, nasib-nasib orang Eropa dan Indo-Eropa akan diperlakukan dengan buruk oleh Jepang. Lantaran peringatan tersebut, keluarga Dezentje segera meninggalkan Hindia-Belanda dan kini, keluarga Dezentje terpencar ke seluruh penjuru dunia. Dalam buku “Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden”, keluarga Dezentje memiliki sebuah lahan makam  keluarga di Ampel yang dalam ukuran keluarga Dezentje masih terhitung sederhana. Melihat kemegahan sisa-sisa makam-makam yang masih tersisa, tampaknya ukuran sederhana keluarga Dezentje lebih tinggi daripada ukuran sederhana orang kebanyakan. Jadi dapat bayangkan betapa tingginya selera keluarga Dezentje.

Sosok yang dibaringkan di bawah nisan-nisan tua kerkhof ini rupanya bukan sembarang orang. Dia adalah perintis perkebunan di wilayah Vorstenlanden dengan gaya hidupnya yang mewah dan unik. Sayangnya, seperti halnya kerkhof ini, nama Dezentje di masa kini sepertinya telah hanyut bersama arus zaman.

Referensi
Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis. Depok : Penerbit Bambu.

Van Bruggen, M.P. dan Wassing, R.S. 2000. Djocja Solo, Beeld van de Vorstenlanden. Pumerend : Asia Maior.

27 komentar:

  1. Mas, lokasi kerkhof ini di lahan warga, lahan pemerintah atau lahan tanpa tuan? Sangat menarik. Di Bogor ada Van Motman, di Citeureup ada Augustijn Michiels, di Cimanggis ada landhuis Van Der Parra, dll. Menarik sekali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya masih belum tahu siapa pemilik lahan kekrhof ini.

      Hapus
  2. Ini kejutan banget! Ternyata keturunan Tinus yang mendirikan bangunan yang kini dikenal Loji Gandrung. Nice share, bro. ^^

    BalasHapus
  3. Selalu menarik untuk di simak ��

    BalasHapus
  4. Saya belum lama tertarik mengunjungi kerkhof yg ada di Indonesia,, baru 2 saja yg saya lihat yaitu kherkof tanah abang yg masih sangat terawat da kerkhof di dalam kebun raya bogor,, biasa nya memang kerkhof identik dengan tugu obelisk, cawan, bintang daud, patung2 bidadari bersayap.. Terima kasih info ya mas...

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. letaknya dari pasar ampel sebelah mana ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. jauh pokoknya. Saya saja sampai lupa jalannya

      Hapus
    2. Dari Pasar Ampel ke Selatan. Ada pertigaan setelah Kecamatan Ampel belok kiri kearah Simo. Setelah hotel dan jembatan ada SD di kiri jalan. Nah di belakang SD ada lapangan. Nah Makam ini ada di bagian timur lapangan

      Hapus
    3. Dari pasar ampel 500m ke timur selatan...saya paham bangrt krn waktu kecil main dinsitu

      Hapus
    4. aku tinggal di ngargosari. tapi baru tau kalo di ampel ada kerkhof.

      Hapus
    5. Qu sekolah di SD ampel 2. Setiap hampir tiap hari saat istrht main dilapangan atau di area makam kirkhoff, kadang naik turun atap makam yg ada tralisnya. Dulu makam ini agak bersih krn paling tidak ada yg mengurus membersihkan. Disitu jg ada makam yg kabarnya bupati boyolali pertama,tepatnya dipojok baratlaut makam.

      Hapus
  7. Kerkhof y nama ini dulu sering menjadi pertanyaan untuk saya,,,apa sebenarnya arti kerkhof sendiri,,,sekarang baru tau,,,dulu setiap jam olahraga sering sekali ke samping kerkhof ini,,,dan memang serem karna g terawat,,,,banyak juga mitos disitu,,,

    BalasHapus
  8. Iya itu ada di sebelah timur lapangan Gondang Deket SDN II Ampel,saya sekolahnya di SD itu dulu

    BalasHapus
  9. Saya orang ampel.. mau tanya, letak rumah keluarga Dezentje itu dimana ya?

    BalasHapus
  10. Terimakasih untuk artikel ini !
    Saya mencari keturunan Henri August Dezentje itu adalah Cucu Tinus Dezentje
    Anaknya Henri ada 6 diantara barend , Louis ( kuburannya di Bantengan semarang ) istilahnya Mbah Henri August itu adalah Kakek buyut

    BalasHapus
  11. Tepatnya saya baru saja dari situ,,karna hanya belakang rumah saya

    BalasHapus
  12. kalo yang di Karanganom itu apakah masih keturunan dari Dezentje???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pemilik pabrik gula Karanganom (Klaten) adalah keluarga Dezentje. Saking cintanya dengan kebudayaan Jawa, Tuan Dezentje sampai menciptakan sekotak wayang kulit purwa dengan ciri khas tersendiri, dikenal dengan gagrak Dezentje. Sebagian wayang itu masih tersimpan di Pandanan Desa Soropaten Karanganom, dimainkan setiap malam Jumat Pon. Salah satu dalang kesayangan Tuan Dezentje adalah Ki Martosono, guru para dhalang top generasi sesudahnya.

      Hapus
  13. Maaf yang foto rumah dan foto gapura masuk itu bukanya Ampel gading di kota malang ya??

    BalasHapus
  14. Download foto nya diijinkan tidak bang ? Terimaksih

    BalasHapus
  15. Tertarik dengan artikel ini. Karena rumahku karanganom, jadi satu dengan bekas perumahan pegawai pabrik gula karanganom tersebut. Dukuh tersebut dulu terkenal dengan sebutan desa DUL LOJI, sekarang dukuh Gataksari. Akan tetap kami rawat tembok peninggalan Belanda tersebut. Juga rumah kami yg model bangunannya model Belanda. Yg dulu rumah tersebut milik dr pabrik gula Karanganom di era jaman itu. Lalu di beli oleh keluarga kami.

    BalasHapus