Minggu, 13 Mei 2018

Sejarah Perang Dunia Kedua yang Terpendam di Benteng Pendem Bagelen

30 menit adalah waktu yang saya butuhkan untuk menempuh perjalanan dari Purworejo kota ke situs Benteng Pendem yang tersebar di Desa Bapangsari, Desa Tlogokates, dan Desa Dadirejo, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo. Dari jalan raya Purworejo-Yogyakarta, saya masih harus melalui jalan kecil yang kira-kira hanya bisa dilalui satu mobil saja.
Pergerakan Jepang di Hindia-Belanda.
Sejarah dari Benteng Pendem Kalimaro tak bisa dilepaskan sejarah Perang Dunia Kedua, dimana saat itu Jepang yang sedang diembargo oleh Amerika Serikat berusaha memenuhi kebutuhan perangnya sendiri dengan merambah koloni-koloni Eropa di Asia Tenggara yang kaya SDA. Salah satu koloni Eropa yang diincar adalah Hindia-Belanda. KNIL ( Koninklijke Nederlands Indische Leger ) yang selama ini menjadi tulang punggung pertahanan koloni Hindia-Belanda dianggap kurang mumpuni karena mereka hanya kuat menghadapi musuh dari dalam tapi tidak dari luar( Roccher dan Santosa, 2016;176 )Karenanya,pertahanan  Hindia-Belanda bergantung kepada kerja sama militer dengan AS, Inggris, dan Australia dalam satu komando dibawah pimpinan Jend. Archibald Wavell, ABDACOM ( Australia, British, Dutch, Command ). 
Kapal penjelajah Jepang, IJN Haguro, kapal inilah yang menenggelamkan HNMLS De Ruyter.
HNMLS De Ruyter, kapal dimana Laksamana Karel Doorman menemui ajalnya.
Setelah Filipina dan Singapura dikuasai, maka terbukalah jalan bagi Jepang untuk menguasai Hindia-Belanda. Genderang perang Hindia-Belanda versus Jepang  segera ditabuh. Dalam rancangan operasinya, Jepang membagi tiga jalur serangan. Jalur pertama dari timur, dengan Maluku dan Timor sebagai sasaran. Jalur kedua dari tengah dengan mengincar Kalimantan dan Sulawesi. Jalur ketiga dari barat dengan Sumatera sebagai incaran. Bila ketiga wilayah tadi berhasil dikuasai, Jepang lantas akan bergerak ke Jawa yang menjadi pusat pemerintahan dan komando ABDACOM.
Laksamana Karel Doorman, pemimpin armada sekutu yang gugur di Lau Jawa.



Laksamana Takeo Takagi, pemimpin armada Jepang yang berhasil mengalahkan armada Sekutu di Laut Jawa. Sempat memimpin armada Jepang dalam pertempuran Laut Coral sebelum hilang dalam pertempuran Saipan.
Pertempuran Laut Jawa menjadi kesempatan terakhir Sekutu untuk mempertahankan Pulau Jawa. Keunggulan kekuatan udara armada Jepang pimpinan Laksamana Takeo Takagi menjadi kunci kemenangan Jepang dalam pertempuran itu. Armada Sekutu pimpinan Karel Doorman berhasil dibinasakan dan terbuklah jalan bagi Jepang untuk menaklukan Jawa( Cribb & Cahin, 2012;206 ). Segera saja pada 1 Maret 1942, secara serentak Jepang mendaratkan pasukannya di Jawa pada tiga tempat berbeda, yakni di Merak, Eretan Wetan dan Kragan untuk menjepit markas ABDACOM di Bandung. Setelah mendarat, Jepang mulai merangsek ke beberapa kota di Jawa melalui tiga titik. Salah satu titik ialah Kragan, dimana di sana mendarat detasemen Sakaguchi yang kemudian memecah beberapa unit untuk menduduki kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu unit ialah unit Yamamoto yang bergerak ke selatan untuk menduduki beberapa kota penting speerti Yogyakarta, Purworejo, Gombong, dan Cilacap. Pada 6 Maret 1942 pagi pukul 04.30, dari Yogyakarta dilancarkan serangan ke Purworejo untuk membuka jalan ke Cilacap. Sebelum sampai Purworejo, unit Yamamoto sempat mendapat perlawanan sengit dari pasukan KNIL dari Batalyon Infanteri Ke 2 yang berjaga di tenggara kota Purworejo. Jepang pun berhasil melumpuhkan Pasukan KNIL. Alhasil, pada pukul 11.00, seluruh Purworejo berhasil dikuasai Jepang dan mereka melanjutkan serangan ke barat ( Angkasa Edisi Koleksi XLIX 2006;90 ).
Peta pergerakan tentara Jepang dalam penaklukan Jawa 1942.

Jenderal Hitoshi Imamura, komandan Angkatan Darat Jepang di Jawa yang sedang mengkoordinir pendudukan Jawa.
Setelah lini pertahanan Belanda di Jawa ditundukan Jepang, Belanda akhirnya harus mengakui kedigdadayaan Jepang di Kalijati. Pada masa awal pendudukan Jepang di Jawa, militer Jepang tidak terlalu peduli dengan pendirian sarana pertahanan karena doktrin militer Jepang yang lebih menekankan pada aksi menyerang. Setelah situasi perang mulai tidak menguntungkan bagi Jepang, maka militer Jepang mulai beralih ke doktrin pertahanan aktif, dimana tentara Sekutu sebisa mungkin dihalau saat mendarat di pantai, sehingga kekuatan musuh melemah dan pihak bertahan dapat melancarkan serangan balik (Rotmann, 2003;5). Berkaitan dengan doktrin tersebut, maka dibuatlah sarana pertahanan berupa bungker berlapis beton yang didirkan di tempat strategis, terutama di dekat garis pantai. Salah satu tempat yang dibangun bunker adalah Kalimaro, Bagelen yang berada di selatan gugus perbukitan Menoreh dan masih dekat dengan pantai selatan itu. Tempat tersebut dipilih karena letaknya yang berada di pucuk bukit memberi kelelusasan pandang bagi pihak bertahan dan sebaliknya musuh akan kesulitan menyerang pihak bertahan yang ada di atasnya (Rotmann, 2003;9). Selain untuk mengantisipasi pendaratan musuh di pantai selatan, Jepang juga menjadikan Benteng Pendem Kalimaro sebagai tempat untuk mengintai jalur perhubungan darat Cilacap-Yogyakarta yang melintasi Bagelen.
Persebaran bunker di Situs Benteng Pendem. Peta dibuat oleh Wiyan Ari Tanjun ( 2008 ).
Pemandangan laut selatan Jawa, tempat dimana Jepang memperkirakan pendaratan Sekutu.
Jarak yang jauh antara Jepang dengan wilayah yang didudukinya serta gangguan rantai logistik yang dilakukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang menimbulkan masalah pada logistik dan tenaga untuk membangun pertahanan. Maka dari itu, bahan material diperoleh dari lingkungan sekitar seperti batu karang, kapur, atau pohon kelapa. Sementara itu, penduduk Kalimaro dan sekitarnya, baik yang muda atau tua, dipekerjakan untuk membangun pillbox.  Selain itu, mereka juga ditugaskan melapisi jalan menuju kubu dengan batang pohon kelapa karena jalan menuju Kalimaro menjadi becek di kala musim hujan tiba. Penduduk yang ikut bekerja membangun benteng mendapatkan upah tergantung usia dan jenis pekerjaan (Angkasa XLIX, 2008;91). Sebelum membangun, penduduk yang tinggal di sekitar diharuskan untuk pindah karena lahannya akan dipakai sebagai sarana pertahanan. Dengan kubu pertahanan yang sudah dibangun di sini, Jepang sudah siap menanti kedatangan musuh. Seandainya pun pertahanan tersebut tidak berhasil, maka Jepang akan menjalankan perang atrisi dibantu oleh milisi lokal seperti prajurit PETA.  Namun apa daya, musuh yang ditunggu ternyata tak kunjung mendarat di pantai selatan. Berbalik dengan pandangan Jepang, Sekutu sadar bahwa walau letaknya lebih dekat dengan Australia, pantai selatan sebenarnya bukanlah tempat yang tepat untuk mendaratkan pasukan karena gelombangnya yang tinggi. Jadi sia-sialah  kubu pertahanan yang dibangun Jepang ini.
Casemate di situs benteng pendem. Tampak kubah pemantau di atas kubu.
Ruangan di dalam casemate. Keterangan 1 : Ruangan amunisi. 2 : Ruangan komunikasi.

Bekas dudukan meriam.
Akhirnya tibalah saya di situs Benteng Pendem Kalimaro. Di situs ini, terdapat dua buah casemate, yakni kubu meriam yang diberi struktur perlindungan. Pada masa awal perang, meriam-meriam Jepang ditempatkan dalam posisi terbuka sehingga menjadi incaran empuk pesawat-pesawat sekutu. Oleh karena itu, meriam-meriam pertahanan ditempatkan di dalam casemateSaya pun mencoba masuk ke dalam salah satu casemate itu. Sayang, di dindingnya tertoreh coret-coretan hasil dari ulah orang tak bertanggungjawab. Sampah dedaunan berserakan di lantai yang sudah tertimbun tanah. Setiap casemate memiliki empat ruang di bagian dalam. Ruangan terbesar dipakai sebagai tempat meriam, lalu ada ruang kecil yang dipakai sebagai ruang radio untuk komunikasi, dan di sebelahnya terdapat ruangan tempat menyimpan proyektil. Casemate itu dilengkapi dengan semacam kubah kecil sebagai ruang pemantau.
Lubang intai pada casemate. Dari sinilah pergerakan musuh dipantau.


Pintu masuk salah satu casemate. Tampak bekas pintu masuk yang dibongkar.

Lalu darimana asal sebutan Benteng Pendem ? Disebut Benteng Pendem karena gua-gua itu seperti terpendam tanah. Benteng-benteng beton itu memang sengaja dibuat terpendam dan disamarkan dengan lingkungan sekitar untuk menyembunyikannya dari mata pilot pesawat sekutu. Timbunan tanah tadi juga mampu menahan ledakan peluru meriam kapal atau bom pesawat musuh. Antar kubu dihubungkan dengan jaringan parit untuk memudahkan tentara mengisi sektor pertahanan yang terancam (Angkasa, 86; 2010). Selain untuk pergerakan, parit-parit tadi juga dapat digunakan sebagai tempat menembak yang aman. Namun karena tergerus erosi dan sudah diubah menjadi lahan pertanian, maka parit-parit Benteng Pendem kini sudah tidak tampak lagi wujudnya. Di Pasifik, bunker-bunker seperti yang dijumpai di situs Benteng Pendem cukup ampuh menahan laju serangan sekutu walau pada akhirnya Jepang kalah perang.
Meriam tipe '3' kaliber 140 mm yang dipakai luas oleh Jepang untuk mempertahankan pantai.
Melihat lubang tembaknya yang lumayan besar, saya memperkirakan jika meriam yang dipakai adalah meriam tipe '3' kaliber 140 mm, meriam yang diperkenalkan tahun 1914 dan merupakan meriam andalan Kaigun atau angkatan laut Jepang. Dari casemate ini, moncong meriam diarahkan ke pantai untuk menyapu musuh yang sedang mendarat. Dengan jarak tembak maksimum hampir 20 km, peluru yang dimuntahkan meriam itu dapat mencapai pantai selatan Purworejo. Meriam-meriam tersebut dirakit di tempat karena ukurannya yang besar sulit di bawa apalagi jika melalui medan perbukitan.
Beberapa pillbox.

Pintu masuk salah satu pillbox yang sudah terpendam tanah.
Senapan mesin tipe 92 atau Juki, senapan mesin yang digunakan untuk mempertahankan pillbox. Sekutu menjulukinya " Burung Pelatuk" karena suaranya. ( Koleksi Museum Sasmita Loka Bintaran ).
Selain casemate, di beberapa pucuk bukit atau lereng juga terdapat beberapa pillbox, yakni kubu pemantauan yang ukurannya lebih kecil. Karena letaknya yang ada di lereng atau di pucuk bukit yang curam, untuk menuju ke sana saya harus bersusah payah mendaki dan menuruni bukit. Kendala lainnya adalah banyak pillbox yang sudah diselimuti tanaman liar sehingga semakin mempersulit usaha pencarian. Untuk pertahanan, pillbox-pillbox itu dilengkapi dengan persenjataan senapan mesin tipe 92 kaliber 7,7 mm. Senapan mesin itu baru memuntahkan peluru jika musuh sudah masuk dalam jarak 1.500 m dari titik tembak. Kadang mereka menggunakan senapan Arisaka manakala peluru senapan mesin sudah habis. Penempatan pillbox-pillbox itu sudah direncanakan dengan matang, dimana mereka ditempatkan di titik-titik yang diperkirakan akan menjadi jalan prajurit Sekutu bergerak menyerbu posisi mereka, sehingga lawan yang hendak menduduki casemate di puncak bukit dapat dihadang (Tanjung, 2008: 67).
Bunker-bunker yang sengaja dipendam tanah untuk perlindungan.
Bagian dalam salah satu bunker.
Tentara Jepang tinggal di dalam bunker-bunker yang berada di lereng bukit tidak jauh dari casemate untuk mempercepat pergerakan jika terjadi serangan darurat. Bunker itu juga sekaligus menjadi ruang komando operasi dan tempat penyimpanan segala keperluan yang diperlukan tentara seperti senjata, amunisi, obat, dan makanan. Logistik didatangkan dari markas di Purworejo yang menempati bekas tangsi KNIL.
( Ilustrasi pendaratan sekutu dari film Letters from Iwo Jima dan Flags of Our Father ) 

Walau hal ini tidak mungkin terjadi, namun saya mencoba membayangkan seandainya Sekutu melakukan pendaratan besar-besaran di pesisir selatan Purworejo. Bayangan saya mungkin sama dengan adegan film Letters from Iwo Jima. Di film itu, digambarkan pasukan Marinir Amerika mulai mendarat di pantai Iwo Jima dengan kendaraan amfibi. Sementara tentara Jepang sudah membuat persiapan terbaik mereka dengan membuat bunker-bunker bawah tanah dan pillbox yang disamarkan. Ketika jumlah pasukan Amerika yang mendarat semakin banyak dan perlahan bergerak maju ke garis depan, tiba-tiba mereka diberi sambutan mengejutkan oleh tentara Jepang berupa rentetan tembakan senapan mesin dan hujan artileri yang ditembakan dari pillbox yang disamarkan. Perlawanan sengit terjadi hingga akhirnya pulau itu jatuh setelah dibombardir dengan pesawat bomber.

Dari 11 bunker yang disebutkan Tanjung dalam penelitiannya, saya hanya menemukan 9 bunker saja. Sementara sisanya gagal saya temukan karena sudah tertutup tanaman liar. Mungkin akan lebih baik lagi bila di situs ini diberi papan petunjuk arah ke setiap bunker agar pengunjung umum tidak tersesat manakala menelusuri bunker-bunker di situs ini. Semoga situs yang menjadi saksi sejarah Perang Dunia Kedua dan pendudukan Jepang di Indonesia ini dapat digarap dengan lebih baik lagi.

Referensi
Angkasa. 2010. Marine at The Pacific, Pertempuran Terdahsyat Marinir Sepanjang Sejarah. Jakarta;Penerbit Gramedia.

Angkasa Edisi Koleksi XLIX. 2008. Perang Asia Timur Raya, Kedigdayaan Dai Nippon. Jakarta; Gramedia Majalah.

Crib, Audrey dan Kahin, Audrey.2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok ; Komunitas Bambu.

Rotmann. Gordon. L. 2003. Japanese Pacific Island Defense. Oxford : Osprey Publishing.

Wiyan Ari Tanjung. 2008. Latar Belakang Penempatan dan Fungsi Benteng Pendem Kalimaro Purworejo. Skripsi. Yogyakarta; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada

4 komentar:

  1. saya secara ga sengaja pnh ktempat ini,yang saya heran serasa jalan tidak seperti naik gunung tapi setelah sampai atas saya bisa melihat sampai bibir pantai,sungguh luar biasa rasanya.Sekarang 2020, saya khawatir bangunan/cagar budaya ini lenyap dan rusak karena tambang batu andesit/proyek tanah urug bandara baru

    BalasHapus
  2. Mas,boleh bahas juga tentang pemerintahan kolonial Belanda yang beroperasi dalam pengungsian di Australia semasa penjajahan Japan? Orang2 pribumi juga banyak yg bekerja disitu sbg pegawai

    BalasHapus
  3. Luar biasa ini sejarah Benteng penjajahJepang yang wajib kita abadikan dan betapa kejam nya penjajah pada waktu itu gerilya / remusha , orang kita di suruh kerja keras / paksa membuat benteng dengan konstrusi yang sangat kokoh, dari bawah membawa besi beton naik turun gunung , bawa semen , pasir, dll dan tempat yang sangat strategis dan sulit di jangkau pada waktu itu, betapa kejam nya penjajah Jepang , seyogya nya pemerintah setempat bisa memberi solusi agar ini di jadikan situs atau wisata religy , biar generasi penerus tahu sejarah perjuangan rakyat pada waktu merebut kemerdekaan, tidak gampang dan taruhan nya adalah nyawa ,

    BalasHapus