Kedungjati dan Kaliceret
adalah dua wilayah yang masuk dalam Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sekalipun
jauh dari pusat Kabupaten Grobogan, siapa yang mengira bahwa di wilayah yang dikelilingi belantara hutan jati itu, tersimpan tapak-tapak kolonial
yang penting. Tulisan saya di Jejak Kolonial kali ini akan menguak tapak-tapak
tersebut…
 |
Lokasi Kedungjati yang terletak di Kecamatan Kedungjati dan Kaliceret yang terletak di Kecamatan Tanggungharjo. Kedua wilayah ini terletak di sebelah barat Kabupaten Grobogan. |
Hembusan angin tiba-tiba menerpa hamparan pohon yang bernama Latin Tectona grandis itu. Lengangnya jalanan seketika pecah oleh gemerisik guguran daun kering yang berserakan di sepanjang jalan. Demikianlah suasana yang saya rasakan selama perjalanan ke Kedungjati. Dengan jarangnyanya permukiman, wilayah itu seakan dikelilingi oleh tanah kosong tak bertuan. Setibanya di Kedungjati, segera saya melawat ke satu tapak kolonial paling
menonjol di sana yang tak lain ialah Stasiun Kedungjati. Saya dibuat terpana
ketika melihat kemegahan stasiun itu. Bagi saya, stasiun itu terlampau agung untuk ukuran Kedungjati yang jumlah penduduknya relatif sedikit. Dengan atap baja selebar 14,65 meter, bangunan
itu terlihat kontras di tengah pepohonan jati. Di bawah naungan atap baja itu, berdiri
bangunan-bangunan kecil untuk kantor dan ruang tunggu penumpang yang diapit
oleh jalur kereta. Tatanannya hampir serupa dengan Stasiun Ambarawa dan Stasiun
Purwosari.
|
Bagian dalam Stasiun Kedungjati dulu dan sekarang. Pada foto yang lama, terlihat poster-poster iklan yang menempel di dinding dan lampu-lampu kuno yang menggantung di atap peron.
|
Suasana sunyi langsung menyambut saya ketika menjejak masuk ke dalam stasiun. Tak terlihat
hiruk pikuk penumpang layaknya stasiun pada umumnya, begitu sunyi. Tapi kesunyian itu justru kian memperkental bumbu kekunoan stasiun itu. Setiap sudut stasiun masih terjaga keasliannya sampai sekarang, serasa bangunan itu membeku dalam arus waktu. Pandangan saya tak lepas dari lekuk-lekuk keindahan stasiun itu, mulai dari ekspose bata merah sampai tegel tua berwarna kekuningan yang
diimpor dari negeri kincir angin. Bangunan stasiun yang saya dapati sekarang pun sejatinya merupakan hasil penyempurnaan oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappiji pada permulaan abad ke 20, menggantikan bangunan lama yang sederhana. Bagian barat stasiun yang menjadi akses utama stasiun ini terdapat sebuah ruang tunggu terbuka, tempat para penumpang menunggu kereta. Beringsut ke timur, terdapat bangunan kantor personel stasiun dengan jam kuno yang masih bertengger di kedua sisi bangunan. Terpisah dari ruang kantor, terdapat bangunan yang dulu menjadi bar, dimana para penumpang kereta dahulu melepas lelah seraya menikmati sajian minuman keras. Sementara itu, di ujung stasiun, terdapat sebuah toilet.
|
Ruang kantor Stasiun Kedungjati. |
|
Tampak luar ruang tunggu penumpang kelas satu Stasiun Kedungjati. |
 |
Jam kuno di Stasiun Kedungjati. |
Senyap stasiun itu mulai pecah ketika sayup-sayup terdengar
deru kereta yang akan melintas. Suara itu bertambah keras hingga akhirnya kereta itu melintas sekejap begitu saja. Deru suara kereta tadi akhirnya menghilang, tertelan oleh kesunyian yang kembali menyelimuti stasiun ini. Tiada waktu lagi bagi kereta itu untuk singgah
barang sebentar di stasiun ini. Dalam sehari, setidaknya hanya dua kereta saja yang berhenti di stasiun ini, yakni kereta Kalijaga dan Majapahit. Di peron selatan stasiun yang kini tak dilalui oleh kereta lagi, sayapun duduk sebentar bersandar di salah satu tiang penopang bajanya, menikmati angin sepoi sembari memandang
sebuah jam tua yang bertengger di dinding stasiun. Sayapun membayangkan jarum
jam itu terus berputar ke belakang, membawa saya ke waktu ketika stasiun itu hendak dibangun..
 |
Stasiun Kedungjati sebelum dirombak. Bangunan masih terlihat sederhana (sumber : troppenmuseum.nl). |
 |
Bangunan Stasiun Kedungjati setelah dirombak. Foto ini tampaknya diambil sebelum tahun 1925 karena pada foto ini, peron selatan terihat belum ada (sumber : media-kitlv.nl). |
 |
Stasiun Kedungjati pada tahun 1930an. Tampak sebuah kereta yang siap berangkat ke Ambarawa dengan membawa muatan gelondongan kayu jati (sumber : colonialarchitecture.eu). |
Kedungjati kala itu
merupakan wilayah penghasil kayu jati, sumberdaya yang jelas diperlukan sekali
oleh perusahaan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappiji, untuk membuat bantalan rel dan bahan bakar
mesin uap. Tiga tahun seusai membangun jalur kereta mereka yang pertama dari
Semarang ke Tanggung pada 1867, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappiji
melanjutkan pembangunan jalur kereta hingga ke Kedungjati. Setelah tertunda sekian lama akibat kekurangan biaya, tahun 1873 jalur itu tuntas dibangun dan stasiun Kedungjati resmi dibuka. Dengan dibukanya jalur kereta itu, maka pengangkutan kayu jati menjadi lebih mudah dan juga berdampak baik pada kondisi jalan biasa Purwodadi-Kedungjati lantaran gerobak-gerobak sapi yang membawa gelondongan kayu secara berlebih meremukan banyak jalan yang waktu itu masih berupa tanah.

 |
Detail ekspose bata. |
|
Bagian peron selatan yang atap kanopinya baru dibangun pada tahun 1925. Di sinilah penumpang yang hendak ke Ambarawa menunggu kereta. Tahun 1970a, jalur kereta Kedungjati-Ambarawa ditutup. |
Imbas dari pembukaan jalur kereta ini sungguh luar biasa. Kedungjati yang semula terpencil, kini bangkit dan begeliat menjadi titik keramaian karena stasiun itu merupakan stasiun persimpangan jalur kereta dari Semarang ke Surabaya, Vorstenlanden, dan Ambarawa yang sibuk. Di stasiun ini, penumpang yang hendak ke Ambarawa harus turun berganti kereta. Kehadiran jalur kereta ini juga mendukung arus perdagangan masyarakat sekitar hingga di dekat stasiun muncul sebuah pasar. Pasalnya dengan kereta api, orang lebih mudah berpergian karena cepat dan dapat mengangkut banyak barang dagangan serta tak perlu khawati dihadang penyamun di tengah jalan. Stasiun inipun menjadi bandar penghubung Kedungjati yang dikelilingi oleh lautan hutan jati dengan tempat lain. Sayapun membayangkan, andai stasiun ini tak pernah dibangun, Kedungjati selamanya akan menjadi wilayah yang terpencil. Sayang, kejayaan Stasiun Kedungjati mulai pudar setelah jalur kereta Kedungjati-Ambarawa ditutup pada paruh 1970an.
Di bawah sinar matahari dan udara Kedungjati yang panas dan terik, saya lakukan penyusuran
di sekitar stasiun. Stasiun Kedungjati dilengkapi dengan bangunan pendukung
seperti gudang dan depo kereta yang
hancur dijarah tahun 1997. Lantaran para pegawai stasiun harus berurusan dengan
kereta setiap harinya, maka tempat tinggal mereka didirikan tidak jauh dari
stasiun. Rumah-rumah pegawai kereta itu didirikan dengan gaya arsitektur ala
villa-villa di lembah Alpen, sehingga walaupun ukurannya kecil namun bangunan
itu terlihat cantik. Menariknya, baik stasiun, gudang dan rumah pegawai,
materialnya terbuat dari batu-bata. Padahal Kedungjati sendiri bukanlah wilayah
penghasil batu-bata karena tanahnya berkapur. Sehingga saya mengasumsikan bahwa
batu-bata itu didatangkan dari tempat lain menggunakan kereta.
|
Rumah pegawai stasiun di sebelah utara stasiun. Terlihat lisplang bergerigi di beranda depan. Bangunan ini terdiri dari dua rumah yang berdampingan dalam satu atap. |
|
Bangunan rumah dinas stasiun Kedungjati yang tampaknya sudah tidak ditempati lagi. |
|
Rumah dinas stasiun Kedungjati dengan atap tipe jerkinhead roof. Seperti halnya stasiun Kedungjati, dekorasi ekspose bata terlihat menonjol di setiap sudut dinding. |
Selain tapak sejarah
perkeretaapian, Kedungjati juga menyimpan tapak sejarah kegiatan perambahan kayu jati di
masa lampau. Cerita bermula ketika permintaan kayu jati semakin meningkat
dengan diberlakukannya Tanam Paksa di Hindia-Belanda dari tahun 1830. Pemberlakuan
sistem tersebut berdampak pada meningkatnya kebutuhan kayu jati karena kayu
jati menjadi bahan baku utama untuk konstruksi pabrik gula, gudang kopi, tempat
pengeringan tembakau dan rumah-rumah pegawai kolonial. Masuknya mesin uap kian
meningkatkan permintaan kayu jati, sehingga untuk mengendalikan perambahan
hutan jati, maka pemerintah kolonial membuat undang-undang kehutanan tahun
1865. Agar pengelolaan hutan jati lebih maksimal, maka pemerintah kolonial
mendatangkan dua ahli hutan dari Jerman pada tahun 1849. Pada tahun 1873,
W.Buurman memperkenalkan sistem taungnya, dimana penduduk yang
tinggal di tengah hutan jati diperbolehkan menanam tanaman lain seperti padi,
jagung atau tembakau dengan hasil panen menjadi hak milik mereka. Sistem ini
rupanya memiliki persamaan dengan sistem yang diterapkan oleh Inggris di Burma
dan India. Sejak tahun 1897, seluruh industri kayu jati di Pulau Jawa berada di
bawah pengelolaan Dienst van het Boswezen atau Dinas Kehutanan
(Peluso, 1991; 72).
|
Rumah kayu yang cukup besar yang kini menjadi kantor polisi hutan BKPH Padas. |
|
Rumah kayu yang sekarang menjadi kantor Komando Pengendalian Kebakaran Hutan BKPH Padas. |
Untuk mendukung kegiatan
eksplotiasi kayu jati, dibangunlah jaringan jalan untuk memperlancar pemindahan
gelondongan kayu jati dari tempat dia ditebang ke tempat penggegrajian kayu.
Berbagai rumah kayu juga dibangun untuk tempat tinggal kepala pengelola hutan
jati dan pejabat lainnya seperti beberapa rumah panggung kayu yang saya jumpai
di Kedungjati. Para pejabat kehutanan Belanda pada zaman dahulu memiliki banyak
tugas yang berkaitan dengan kehutanan, misalnya menentukan pohon mana yang
pantas ditebang, menanam kembali dan merawat pohon yang sudah ditebang,
mengontrol para blandhong (tukang penebang pohon) dan juga
memerangi praktik pencurian kayu.
|
Peta Kedungjati pada tahun 1905. Perhatikan terdapat 2 jalur kereta yang terlihat pada peta ini. Jalur di sebelah utara merupakan jalur Semarang - Surakarta. Sementara jalur yang mengarah ke selatan merupakan jalur Kedungjati-Ambarawa (sumber : maps.library.leiden.edu).
|
 |
Kantor Polsek Kedungjati, tapak kolonial lain di Kedungjati ( sumber foto : polresgrobogan.com). |
Dari Kedungjati, saya
bertandang ke Kaliceret yang terletak 4,5 kilometer ke utara dari Kedungjati.
Secara administratif, Kaliceret berada di Desa Mrisi, Kecamatan Tanggungharjo,
Grobogan. Bentang lahan Kaliceret sebagaimana Kedungjati dikelilingi oleh hutan
jati ditambah dengan sawah tegalan.
|
Bangunan GKJTU Kaliceret yang terletak di Jalan Salatiga-Gubug. |
|
GKJTU Kaliceret dilihat lebih dekat. Hampir semua konstruksi bangunan ini terbuat dari kayu. |
Tapak kolonial paling
kentara di Kaliceret ialah sebuah gereja kuno yang kini sintas sebagai GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara) Kaliceret. Terletak di pinggir Jalan Salatiga-Gubung, ia
diperkirakan dibangun antara tahun 1904-1927. Apabila dibandingkan dengan
gereja-gereja di kota besar, gereja itu amatlah bersahaja. Lihatlah seluruh
material bangunan gereja yang terbuat dari kayu membuatnya tampak menyatu
dengan alam sekitar. Gereja itu peninggalan dari sebuah pos zending yang dirintis
tahun 1885 oleh penginjil Jerman bernama Horstman. Ia diutus oleh Salatiga zending untuk menyebarkan agama
Kristen di sana. Sebelum ia membuka pos zending
di Kaliceret, Horstman telah lebih dulu membuka tempat serupa di
Wonorejo. Dalam rentang waktu sepuluh tahun, beberapa penginjil tiba di pos zending tersebut seperti Zimmerbeutel, Camp dan Kuhnen. Ketiga penginjil tersebut berasal dari lembaga penginjil asal Jerman, Neukircherner Mission. Pada per. Pos zending Kaliceret
ini terdiri dari sekolah untuk anak-anak perempuan dan sebuah balai pengobatan
yang menumpang pada rumah sederhana milik salah satu penginjil tadi.
 |
Pendeta Bansemer ( baju hitam ) dan Heintze ( baju putih ) bersama anak-anak sekolah Kaliceret. |
 |
Murid-murid dna guru sekolah Kaliceret. Di belakang tampak beranda depan rumah pendeta yang kini menjadi SD Kristen Kaliceret. |
Waktu terus berjalan.
Pos zending tadi kian besar. Rumah sederhana yang dahulu hanya
difungsikan sebagai balai pengobatan menjelma menjadi rumah sakit, satu-satunya
rumah sakit di Grobogan kala itu. Masyarakat luar Grobogan yang semula datang
ke sini untuk berobat, menjadi penganut agama Kristen dan bermukim di sana.
Dengan jumlah umat yang semakin banyak, maka tahun 1892, Pdt. C.R. Kuhnen
diangkat menjadi pendeta di Kaliceret hingga tahun 1927. Posisi pendeta
selanjutnya diteruskan oleh Pdt. Kabelitz. ( Balai Pelestarian Cagar Budaya,
2013; 155 ). Pada tahun 1935, lembaga zending Kaliceret secara resmi memisahkan
diri dengan Salatiga zending. Perpisahan ini ditandai dengan sebuah
kebaktikan yang dipimpin secara langsung oleh direktur zending ( Bredasche Courant,
11 Desember 1935). Dari sini, dapat dilihat betapa pentingnya Kaliceret sebagai
pusat penyebaran agama Kristen di Grobogan dan sekitarnya.
 |
Peta Kaliceret pada tahun 1905. Lokasi pos zending ditandai dengan keterangan zendingstation pada peta ini. |
Persis di sebelah utara
gereja itu, saya menyaksikan sebuah bangunan tua yang bentuknya seperti
rumah panggung. Ketika saya hendak melihat lebih dekat bangunan yang kini
menjadi SD Kristen Kaliceret itu, di beranda depan saya disambut oleh seorang
pria yang saya kira sebagai kepala sekolah. “Rumah ini dahulu ditempati oleh
pendeta dari Jerman”, jawab pria tadi yang ternyata bekerja sebagai penjaga
sekolah itu. Pendeta dari Jerman yang dimaksud bapak tadi tak lain ialah
Pendeta Kuhnen atau Kabelitz. “Dari dibangun sampai sekarang kayunya gak pernah
diganti mas karena yang dipakai kayu jati kualitas bagus” sambungnya.
|
Bekas rumah pendeta yang saat ini menjadi SD Kristen Kaliceret. |
|
Ruang kelas yang dulu sempat dijadikan tempat tinggal serdadu Jepang. |
|
Detail angin-angin di atas ambang pintu. |
|
Detail jendela krepyak yang krepyaknya dapat dibuka tutup. |
Setelah bercakap-cakap dengan penjaga sekolah tadi, saya berkeliling untuk melihat-lihat bangunan. Murid-murid
baru saja pulang sekolah sehingga suasana sekolah itu menjadi sepi. Beberapa
anak yang penasaran mengikuti saya tatkala saya sedang mendokumentasikan detail
setiap bangunan. Aura kekunoan dari bangunan ini masih terbungkus dengan baik. Bangunan ini sepenuhnya terbuat dari kayu, seolah melawan pandangan umum yang selalu menyebutkan jika rumah indis bangunannya terbuat dari batu. Daun pintu dan jendela krepyak khas rumah peninggalan Belanda masih berada di tempatnya. Saya
pun melongok ke dalam jendela untuk melihat bagian ruang dalam yang kini diubah
menjadi ruang kelas. Tak banyak yang tahu bahwa bangunan ini beserta gereja di
sebelahnya merupakan saksi penderitaan 250 pemuda yang ditawan oleh Jepang. Antara
14 Juni 1945 hingga 23 Agustus 1945, pemuda-pemuda tadi dibawa ke sini dari
kamp internir Bangkong, dekat Ambarawa. Ruang kelas yang sedang saya lihat ini
dulunya merupakan tempat tinggal para serdadu Jepang yang menjaga kamp.
Sementara para pemuda malang tadi tinggal berdesak-desakan di dalam gereja.
Setiap harinya, di bawah teriknya matahari, mereka harus menebang berpuluh-puluh
pohon-pohon jati. Kehidupan mereka di dalam kamp pun tak kalah parah.
Kekurangan gizi dan air sudah menjadi lalapan sehari-hari. Setelah Jepang
menyerah, para tawanan tadi dikembalikan ke Bangkong.
Sekian penelusuran saya pada tapak-tapak kolonial di Kedungjati dan Kaliceret. Setidaknya
saya dapat menyimpulkan, bahwa keberadaan peninggalan kolonial tak hanya
terpusat di pusat-pusat kota saja. Nyatanya di wilayah yang terpencil seperti
Kedungjati dan Kaliceret, dapat dijumpai peninggalan kolonial yang menyimpan
sejarah dan tidak kalah menarik. Semoga keberadaan bangunan ini dapat
dilestarikan dengan baik…
Referensi
Balai Pelestarian Cagar
Budaya Jawa Tengah. 2013. Laporan Inventarisasi Cagar Budaya Tak
Bergerak Kabupaten Grobogan. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa
Tengah.
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis & Militer
Belanda, Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Hajer,F.W. 1908. Overzicht
van het ontstaan en de ontwikkeling der Salatiga-Zending. Utrecht
: Firma J. Bokma HZN.
Peluso, Nancy Lee. 1991.
The History of State Fores Management in Colonial Java dalam jurnal Forest
& Conservation History. Vol 35. No. 2 April 1991. Oxford
University Press.
https://www.indischekamparchieven.nl/en/search
mivast=963&mizig=276&miadt=968&miaet=14&micode=kampen&minr=1397413&milang=en&misort=unittitle%7Casc&mizk_alle=Kaliceret&miview=ika2
<3
BalasHapusTrimakasih. ..Bisa menambah wawasan saya. ..I love kedung jati.. .I love gerobogan
BalasHapusSejarah. ๐๐. Cintai kotamu.
BalasHapusKaliceret๐๐
BalasHapusDari kedungjati ke desa ngombak, di kanan jalan ada susunan batu2 besar memanjang sekitar 50meter n berbentuk spt tembok kuno.. Apakah ada informasi tentang situs peninggalan apakah itu ?
BalasHapusJadi pengen melihat sendiri. Terima kasih banyak liputannya
BalasHapusSaya sebagai generasi muda Grobogan turut berbangga dan mengapresiasi. Baru tahu ini saya. Its amazing. Ternyata daerah saya memiliki juga memiliki mutiara yang tersembunyi. Ini menarik. Terima kasih mas Admin. Sekali2 lah kalo eksplore gitu saya diajak. (Ngarep)
BalasHapus