Selasa, 01 Juli 2025

NHM ; Kemegahan Markas Kompeni Kecil

Jalanan di depan Stasiun Jakarta Kota siang begitu ramai dengan hilir mudik aneka kendaraan. Persis di seberangnya, menjulang sebuah gedung yang tampak begitu modern. Tulisan Museum Bank Mandiri di atas gedung tersebut menunjukan fungsi gedung tersebut pada masa sekarang. Sementara tulisan "NEDERLANDSCHE HANDEL MAATSCHAPPIJ" yang terpampang di bawahnya menunjukkan empunya bangunan tersebut di masa sebelumnya. Marilah kita melangkah masuk ke dalam museum sekaligus memutar waktu mundur ke belakang, ketika para pegawai NHM sedang berkantor di gedung tersebut.

Hiasan kaca patri di atas pintu masuk, memperlihatkan lambang NHM (tengah), Kota Batavia (kiri), dan Amsterdam (kanan).

Logo perusahaan NHM (Sumber : Gedenkboek NHM).

Dibandingkan VOC, nama NHM mungkin kurang dikenal dalam sejarah Indonesia. Padahal NHM pada masa awal berdirinya memegang kendali yang cukup besar dalam jaringan niaga Belanda dengan koloninya. Latar belakang berdirinya NHM dapat ditarik pada abad ke-18. Saat itu, kondisi perekonomi Belanda secara umum mulai meredup setelah mencapai puncak keemasannya pada abad ke-16. Situasi memburuk ketika penguasa dari Perancis, Napoleon, mulai melebarkan kekuasaa dan pengaruhnya ke penjuru Benua Eropa. Negeri Belanda juga tidak luput dari pengaruh Napoleon dimana ia menempatkan saudaranya, Louis sebagai raja di sana. Sebagai langkah perlawanan, Inggris melakukan blokade pesisir Perancis dan Napoleon membalasnya dengan embargo perdagangan dengan Britania. Embargo tersebut menyebabkan jaringan perdagangan Belanda yang sudah dirintis sejak masa VOC terancam hancur. Selepas rezim Napoleon di Belanda berakhir, perekonomian Belanda mengalami titik terendah padahal di masa sebelumnya Belanda menyandang status sebagai raksasa ekonomi Eropa. Bersamaan dengan surutnya ekonomi Belanda, Inggris mulai merangkak naik sebagai raksasa baru yang akan mendominasi perekonomian dunia selama abad ke-19 (Nederlandsche Handel Maatschappij, 1924: 4).

Lukisan potret Raja Willem I, tokoh utama di balik pendirian NHM. 
(Sumber : Gedenkboek NHM)

Eksistensi Belanda dalam jaringan perdagangan dunia nyaris terkikis. Oleh sebab itu, diperlukan suatu tindakan agar perekonomian Belanda bisa kembali terangkat walau tidak akan sejaya seperti pada masa keemasaanya. Salah satu tindakan tersebut adalah mendirikan kembali sebuah perusahaan seperti VOC. Raja Belanda, Willem I, mendukung tindakan tersebut dan ia lantas mengeluarkan dikrit pada 29 Maret 1824 sebagai dasar pendirian Nederlandsch Handel Maatschappij. Meskipun NHM didirikan atas perintah raja Belanda, NHM berstatus sebagai perusahaan swasta dimana setiap individu dapat menanam sahamnya di situ. Raja Belanda ternyata juga ikut memegang saham NHM dan dengan demikian NHM memiliki hubungan dekat dengan kerajaan Belanda. Dewan Direksi NHM berkedudukan di Den Hag, sementara kantor-kantor perwakilan dibuka di Amsterdam, Rotterdam, Antwerp, dan Batavia. Tugas utama NHM adala membiayai perdagangan Belanda dan pengiriman barang-barang antara negeri Belanda dengan koloninya. Keberadaanya diharapkan dapat memperkuat kembali bekas-bekas jaringan dagang lama yang sempat terputus sekaligus merintis simpul-simpul perdagangan baru di seluruh dunia (Nederlandsche Handel Maatschappij, 1924: 7-8). 

Sebuah trem melintas di depan bangunan NHM pada tahun 1938. 
(Sumber : data.collectienederland.nl)

Perwakilan NHM di Batavia memiliki keistimewaan dibanding kantor perwakilan lainnya karena mereka lebih independen dan mereka memiliki nama Factorij der Nederlandche Handel-Maatschappij. Oleh karena itulah NHM Batavia dahulu lebih kondang dengan nama Factorij. Factorij Batavia membuka perwakilan di Semarang, Surabaya, Padang. Tugas utama Factorij adalah mengurus kegiatan pengiriman dan penjualan barang di Jawa (Nederlandsche Handel Maatschappij, 1924 : 9). Kendati Jawa sudah menjadi basis VOC di Nusantara sejak lama, namun nilai ekspor barang dari Jawa masih terhitung sangat rendah. Komoditas ekspor yang paling banyak dihasilkan sebatas kopi yang harganya tidak menentu di pasaran dunia. Sementara itu, total nilai impor barang cenderung naik sehingga neraca perdagangan Hindia-Belanda menunjukan angka defisit. 

Gedung Kantor lama NHM di Kali Besar. (Sumber : Gedenkboek NHM)

Keuangan pemerintah kolonial semakin tertekan untuk membiayai militer mereka dalam Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Untuk menambah kas pemerintah kolonial, Gubernur Jenderal Belanda mewajibkan penduduk pribumi untuk menanam jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial. Tanaman komoditas baru diperkenalkan dan ditanam dalam skala luas seperti nila dan tebu yang kemudian diikuti dengan tanaman lainnya seperti tembakau, teh, kina, dan karet. Nilai ekspor dari Jawa akhirnya meningkat drastis. Hasil bumi dari berbagai penjuru disetor kepada pemerintah dan NHM selanjutnya bertindak selaku agen tunggal yang akan memasarkan hasil bumi dari Nusantara ke Belanda. Dari penjualannya, NHM menerima komisi sebesar 11 %  walau akhirnya turun hingga 1,5 %. Julukan “Klein Compagnie” atau kompeni kecil akhirnya disematkan kepada NHM karena perannya yang memang mirip dengan VOC, yakni memonopoli penjualan produk-produk dari Hindia-Belanda meski dalam skala yang lebih kecil (Stuart, 1934: 94).

Suasana jalanan di depan kantor NHM pada tahun 1870-an. Tampak kantor NHM yang berada di seberang pohon (Sumber : data.collectienederland.nl).

Kebijakan tanam paksa menerima kritik tajam dari kalangan liberal di Belanda sehingga pemerintah kolonial secara bertahap mengurangi jenis tanaman yang wajib ditanam penduduk. Sebagai gantinya, berbagai komoditas tanaman akan diusahakan oleh perusahaan swasta sehingga investor-investor mulai mendirikan perusahaan perkebunan dan mereka memasarkan sendiri hasil perkebunannya tanpa perantara NHM. Kendati NHM sudah tidak menjadi perantara utama, peran NHM masih memegang peran penting dalam perkembangan ekonomi di Hindia-Belanda, terutama di sektor agribisnis. Dengan kapital yang dimilikinya, Factorij memberi pinjaman kredit kepada pengusaha perkebunan yang membutuhkan modal uang untuk membuka perkebunan pada tahun 1882. Sayap bisnis Factorij kemudian dilebarkan dengan membuka layanan deposito dan giro untuk pihak ketiga pada 1 September 1883. Factorij yang semula adalah agen perdagangan yang melayani pemerintah, akhirnya berubah bank modern yang melayani ratusan nasabah swasta (Gedenkboek NHM 84-85). Pergeseran arah bisnis ke perbankan membuat Factorij harus bekerja lebih keras lagi karena persaingan dunia keuangan di Hindia-Belanda cukup ketat dengan keberadaan perusahaan keuangan lain seperti Nederlandsch Indische Handels Bank dan Escompto.

Gedung kantor dan pabrik Carl Shlipper. Di atas bangunan ini kemudian didirikan gedung kantor baru NHM. (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kantor Factorij di Batavia awalnya menempati sebuah gedung di tepi Kali Besar. Gedung tersebut dibeli pada tahun 1842 dari firma Smit & Co yang saat itu sudah bangkrut dengan harga 50.000 gulden. Kantor Factorij sempat diperbesar pada tahun 1854-1855 dan walaupun sudah diperbesar, gedung Factorij bukanlah gedung yang termasuk menonjol arsitekturnya pada masa itu. Pada awal tahun 1910-an, Factorij berencana untuk memindahkan kantornya ke lokasi lain seiring dengan bertambah banyaknya kegiatan Factorij yang mengharuskan mereka untuk memiliki gedung kantor yang lebih besar. Mereka sudah mengincar area di sekitar lapangan Gambir sebagai lokasi kantor namun akhirnya dibatalkan. Pada tahun 1913, gedung perusahaan otomotif Carl Schlieper di selatan De Javasche Bank terbakar. Bekasnya kemudian dibeli oleh Factorij dan mereka memutuskan untuk mendirikan kantor baru di sana. Namun Factorij tidak segera membangun karena saat itu harga material bangunan sedang  melonjak akibat di Eropa terjadi Perang Dunia Pertama. Sesudah Perang berakhir, Factorij juga belum bisa langsung mendirikan gedung kantor baru karena keuangan Factorij mengalami pasang-surut (De Sumatra Post, 10 September 1929).

Rancangan denah gedung kantor baru Factorij (Sumber : data.collectienederland.nl).

Pada tanggal 3 Oktober 1929, Factorij melaksanakan upacara pemancangan tiang beton pertama yang digelar dengan meriah dan mengundang banyak tamu. Tiang beton tersebut dipasang oleh istri dari presiden Factorij, Martine Lagaay. Pembangunan gedung Factorij sebenarnya sudah dimulai dua bulan sebelumnya namun para pekerja terlebih dahulu harus menyingkirkan sisa pondasi gedung Carl Schlieper dan mereka juga sempat menemukan sisa tembok kota Batavia dari era VOC. Kendati tembok tersebut cukup tebal dan sulit dibongkar oleh pekerja, namun pekerjaan tersebut harus dilakukan karena tanah dimana gedung akan dibangun akan ditanam tiang-tiang pancang beton sebagai perkuatan pondasi. Selama pekerjaan berlangsung, karyawan Factorij bekerja di kantor Nederlandsch Indische Handelsbank. Dalam pembangunan tersebut, rute trem kota juga ikut digeser (De Sumatra post 10 September 1929).

A. P Smits, salah satu arsitek gedung Factorij.
(Sumber : Bataviaasch Nieuwsblad 9 Januari 1933)

C. van Linde, salah satu arsitek gedung Factorij
(Sumber : Bataviaasch Nieuwsblad 9 Januari 1933).

Suasana pembukaan gedung baru Factorij (Sumber :  De Locomotief 20 Januari 1933).

Sebagai perusahaan besar, NHM tentu tak ingin memiliki gedung semenjana, apalagi letak gedung tersebut dipilih dekat jantung kota lama Batavia. Gedung tersebut dirancang oleh arsitek dari biro arsitek B.N.A, A.P. Smits, dan C. Van der Linde berdasarkan arahan dari J.J.J. de Bruyn, penasihat teknis NHM. Untuk mengawasi agar karyanya dibangun dengan benar, C. Van Der Linde mengawasi langsung proyek tersebut setiap hari. Proses Pembangunan dilakukan oleh pemborong N.V. De Hollandsche Beton Maatschappij dan NEDAM. Setelah melewati proses pembangunan yang cukup panjang, gedung kantor baru Factorij diresmikan pada 14 Januari 1933. Upacara peresmiannya dilakukan cukup meriah dan Factorij menerima banyak karangan bunga sebagai bentuk ucapan selamat atas diresmikannya Gedung baru Factorij. Esok harinya, Factorij memberi kesempatan pada Masyarakat umum untuk melihat-lihat bagian dalam Gedung dengan membayar sebesar 50 sen. Hasil pendapatan tersebut akan disumbangkan untuk para pengangguran yang saat itu adalah korban dari dampak krisis malaise (Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indiƫ, 17 Januari 1933).

Tampak depan gedung NHM dilihat dari utara. Lokasi tempat pengambilan foto ini kemudian menjadi gedung kantor Nederlandsch Indsiche Handelsbank
(Sumber : data.collectienederland.nl).

Gedung Factorij dilihat dari udara (Sumber : data.collectienederland.nl).

Smits dan Van der Linde sebagaimana banyak arsitek yang berorientasi Barat, membangun gedung Factorij dengan pendekatan yang disebut ‘klasik modern’. Suatu gaya arsitektur yang diilhami gaya arsitektur Amsterdamse School  namun dalam versi yang disederhanakan dan menampilkan kekokohan karya arsitek Amerika F. L. Wright. Peniruan tersebut selanjutnya diikuti dengan penyesuaian pada iklim tropis. Beberapa ciri khas arsitektur dari gaya ini yang terlihat pada gedung kantor Factorij seperti atap besar yang melebar, arsitektur yang menghadirkan wajah gedung dengan garis-garis datar dan tegak lurus, tampilan sengaja dibuat simetris, tiang bendera, dinding yang dipasangi ubin, dan adanya jendela kaca patri. Arsitek yang sama kemudian menduplikasi bentuk gedung Factorij dalam ukuran yang lebih kecil pada gedung NHM Medan.

Tampak depan gedung saat ini.

Gedung Factorij berdiri di atas lahan seluas 100 m x 100 m. Fasad depan bangunan memiliki panjang 97 m dan lebar ke belakang sebesar 94 m. Di bagian tengah gedung, terdapat sbeuah halaman terbuka berukuran 35 m x 54 m. Untuk menstabilkan tanah, maka pondasi gedung dipasangi 1750 tiang pancang beton bertulang berbentuk segi delapan dengan panjang 17-18 m dan diameter kepala 35 cm. Konstruksi gedung menggunakan teknologi beton bertulang buatan Hollandsch Beton Maatschappij yang membuat gedung ini masih kokoh hingga hari ini. Untuk menambah kekokohan bangunan, dinding tidak memakai bata buatan lokal, melainkan batu-bata dari Belanda yang lebih kuat (Anonim, 1934 : 1-2). Material impor lainnya adalah ubin kaca Venesia yang berkilau dan kaya warna untuk memperindah ruang pelayanan utama, ruang rapat, dan kantor manajer. Meskipun Gedung ini cukup banyak menggunakan material impor, namun sejumlah material local juga digunakan pada Gedung ini. Misalnya adalah batu andesit dari Padalarang yang digunakan untuk melapisi dinding bagian bawah.

Kondisi bagian belakang gedung pada tahun 1935. (Sumber : Kantoorgebouw Nederlandsche Handel Maatschappij, N.V. Factorij Batavia).

Tampak belakang gedung saat ini.

Beranda gedung.

Sebagai adaptasi terhadap lingkungan sekitar yang merupakan iklim tropis, maka arsitektur gedung dibuat sedemikian cermat agar bagian dalam gedung, terutama ruang kerja yang ditempatkan di dua sayap samping, tetap sejuk dan tidak terlu panas pada siang hari. Salah satu upaya tersebut adalah dengan memberi beranda keliling selebar 3 m yang melindungi bagian dalam ruangan dari terpaan panas matahari dan hujan. Pintu dan jendela dibuat dalam jumlah banyak dan sengaja dibiarkan tetap terbuka di siang hari untuk sirkulasi udara. Selain dari bukaan, sumber ventilasi lain untuk menyegarkan udara ruangan berasal dari empat ventilasi yang dipasang di menara atap. 

Tampak bagian ruang pelayanan publik pada tahun 1934. (Sumber Kantoorgebouw Nederlandsche Handel Maatschappij, N.V. Factorij Batavia).


Area ruang pelayanan publik pada massa sekarang.


Area ruang kerja karyawan.

Pengunjung gedung Factorij memasuki gedung lewat pintu tengah. Pada bagian atas pintu masuk, kita akan menjumpai tiga jendela kaca patri; kiri melambangkan kota Batavia, tengah adalah lambang NHM, dan kanan adalah lambang kota Amsterdam. Dari pintu masuk selanjutnya kita menaiki tangga utama yang terbuat dari batu granit Webemer. Dinding kanan kirinya juga dilapisi dengan material yang sama. Di dekat, terdapat dua tangga lain dari material batu granit Fezlberger yang khusus digunakan untuk pegawai. Tangga utama mengarahkan kita ke ruang pelayanan nasabah Factorij. Ruang tersebut berupa aula besar yang diberi sekat berupa meja yang alasnya terbuat dari marmer Bois-Jourdan dan jeruji perunggu. Dari ruangan ini kita bisa membayangkan suasana transaksi dan kesibukan pegawai Factorij di masa lalu. Jika sudah suntuk dengan pekerjaan, pegawai dapat bersantai di ruang kopi. Mereka tidak memesan kopi dari luar, melainkan dipersiapkan dari dapur di belakang. Di dekat dapur, terdapat kamar untuk tempat tinggal penjaga gedung yang bertugas untuk menjaga gedung setelah seluruh pegawai pulang dan membersihkan gedung pagi hari sebelum aktivitas kantor dimulai.

Akses masuk ke ruang khazanah.


Pintu masuk ke dalam ruang khazanah. (Sumber : Kantoorgebouw Nederlandsche Handel Maatschappij, N.V. Factorij Batavia)

Dari ruang nasabah, selanjutnya kita akan menuruni tangga menuju ruang kluis atau ruang khazanah yang ada di bawah tanah. Ruang kluis yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai bank vault berfungsi sebagai tempat penyimpanan uang tunai dan barang-barang berharga yang dijaminkan oleh para kreditor. Mengingat keberadaan barang-barang berharga yang ada di dalamnya, maka keamanannya harus dibuat ekstra agar tidak mudah dibobol dari luar. Sebelum memasuki ruang kluis, kita akan disambut dengan sebuah pintu besar nan tebal yang dilengkapi dengan metode penguncian ganda. Pertama dengan kombinasi angka rahasia dan kedua dengan sistem timelock atau kunci waktu. Dalam sistem timelock, pintu brankas hanya dapat terbuka pada waktu yang sudah ditentukan. Dengan demikian sekalipun penjahat berhasil mengetahui sandinya, mereka tetap tidak akan bisa membuka pintu sluis. Pintu seberat 5-6 ton tersebut tentu juga akan menyulitkan para penjahat yang mendobrak paksa pintu tersebut. Supaya keamanan ruang kluis semakin terjamin, dinding ruang kluis dibuat setebal satu meter. Tembok tebal tersebut selain untuk melindungi barang-barang berharga di dalamnya juga berfungsi sebagai penopang lantai di atasnya. Dinding ruang kluis diberi lorong sehingga penjahat tidak bisa menjebol dinding ruang kluis dari luar.

Ruang privat untuk nasabah prioritas.


Tampak bagian dalam ruang Safe Deposit Box.

Memasuki area bagian dalam sluis, kita akan diperlihatkan dengan aneka brankas kuno berbagai pabrikan yang dapat memberikan gambaran kepada kita tentang perkembangan teknologi pengamanan barang berharga pada saat gedung dibangun. Area penyimpanan ruang kluis terbagi menjadi tiga bagian, yakni penyimpanan uang, surat berharga dan safe deposit box atau SDB untuk menyimpan barang-barang berharga dengan kapasitas 2000 loker. NHM menyediakan layanan SDB yang dapat disewakan oleh nasabah. Layanan SDB biasanya digunakan oleh nasabah yang merasa tidak aman menyimpan barang berharganya di rumah. Kunci SDB dipegang oleh dua pihak, yakni Bank dan nasabah penyewa SDB. Untuk nasabah prioritas, NHM menyediakan ruang privat sebanyak 12 kamar sehingga privasi nasabah saat membuka kota SDB lebih terjamin. Barang berharga yang biasanya disimpan dalam SDB meliputi emas, berlian, perak dan surat-surat berharga. Bank-bank pada masa sekarang masih banyak yang menyediakan fasilitas SDB. Hanya saja seiring transaksi sudah serba elektronik, maka nasabah bank pada masa sekarang sudah tidak perlu ke ruang kluis untuk menyimpan atau mengambil lembaran saham untuk dijual. 

Lift barang yang ada di sudut gedung. Lift ini digunakan untuk memindahkan buku-buku catatan ke ruang arsip di lantai paling atas.

Selain bentuk arsitekturnya, teknologi yang digunakan dalam Gedung Factorij juga sudah sangat modern pada masanya. Gedung ini menggunakan dua jenis lift, lift orang untuk kapasitas 4 dan 12 orang dan lift kecil barang untuk memindahkan barang menuju ruang arsip di lantai paling atas gedung. Lift tersebut digerakan oleh listrik, dimana ruang trafo dan pusat pengendali listrik gedung ditempatkan di bawah tanah. Selain untuk menggerakan lift, karingan listrik di gedung digunakan untuk menyalakan lampu dan kipas angin. Pada ruangan penting seperti ruang brankas, digunakan lampu darurat yang akan otomatis menyala jika terjadi pemadaman listrik tiba-tiba. Aspek keamanan juga sudah diperhitungkan dengan matang, dimana sebuah hidran ditempatkan tidak jauh dari gedung.


Kaca patri di gedung Factorij. (Sumber : Kantoorgebouw Nederlandsche Handel Maatschappij, N.V. Factorij Batavia)

C.J.K van Aalst, Presiden NHM yang menyumbangkan kaca patri pada gedung NHM Batavia. (Sumber : Gedenkboek NHM)

Cahaya matahari menembus jendela kaca patri kaya warna dan sarat hiasan simbolis. Keindahannya menyambut setiap orang saat mendaki tangga menuju ke ruang direksi. Jendela kaca patri tersebut adalah persembahan dari Presiden NHM pusat, C.J.K van Aalst, yang pernah berkarir di Facotrij Batavia pada tahun 1889. Kaca patri tersebut didesain oleh F. H. Abbing Jr, putra salah satu direksi NHM pusat di Batavia (Anonim, 1934 : 7). Setelah dirancang, panel-panel kaca yang terpisah-pisah disambung dengan cara dibakar. Proses penyambungannya dilakukan oleh W. Boogtman. Kaca patri tersebut menjadi lima bilah. Empat bilah menggambarkan suasana kehidupan empat musim di Eropa dengan satu bilah di tengah melambangkan keindahan alam tropis Nusantara. Bagian atas kaca patri tersebut juga terdapat kaca patri dalam ukuran yang lebih kecil dan terbagi menjadi lima bilah. Bilah paling kiri memperlihatkan sosok pelaut Belanda dari abad ke-16 dan bilah paling kanan menunjukan sosok orang Jawa. Selanjutnya di tengah-tengah terdapat potrait dari Cornelis de Houtman, pelaut Belanda pertama yang tiba di Nusantara.

Bekas ruangan rapat direksi Factorij.

Pada bagian lantai dua, terdapat ruang yang dahulu digunakan untuk ruang pertemuan direksi Factorij. Di sini, terpajang foto-foto direktur Bank Mandiri dari masa ke masa. Bank Mandiri yang dikenal orang saat ini adalah keturunan tidak langsung dari NHM dan perjalanan NHM menjadi Bank Mandiri cukup panjang. Sesudah kemerdekaan, NHM masih menjalankan operasinya di Indonesia meskipun pemerintah RI saat itu memiliki keinginan kuat untuk dapat menasionalisasi perwakilan NHM di Indonesia. Meerenggangnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda akibat masalah Irian Barat menjadi momentum nasionalisasi NHM. Seluruh perwakilan NHM di Indonesia dinasionalisasi pada tahun 1960 dan dilebur ke dalam Bank Koperasi Tani dan Nelayan yang dilebur lagi ke dalam Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi BNI Unit II. Divisi ekspor impor dipisah dari BNI Unit II pada tahun 1968 untuk membentuk Bank Ekspor-Impor Indonesia atau dikenal sebagai Bank Exim. 

Bekas bangunan kantor pusat NHM di Amsterdam. Gedung ini sekarang menjadi kantor arsip kota Amsterdam. (Sumber : wikimedia.org).

Seluruh aset-aset NHM menjadi milik Bank Exim termasuk gedung Factorij di Batavia yang masih digunakan kantor Bank Exim hingga Bank Exim beserta bank-bank lainnya diintegrasikan ke Bank Mandiri pada tahun 1999 sebagai upaya restruktuirsasi paska Krisis Moneter 1998. Setelah peleburan Bank Exim ke Bank Mandiri, bekas gedung Bank Exim yang tidak terpakai akhirnya dimanfaatkan menjadi Museum Bank Mandiri. Lalu bagaimana nasib NHM induk di Belanda ? NHM di Belanda juga mengalami nasib yang sama, dimana NHM dilebur dengan Twentsche Bank menjadi Algemene Bank Nederland pada tahun 1964. Bekas gedung kantornya juga sama-sama masih dilestarikan dengan baik, dimana saat ini digunakan sebagai kantor arsip kota Amsterdam.

Sumber : 

Nederlandsche Handel Maatschappij. 1924. Gedenkboek  Der Nederlandsche Handel-Maatschappij  1824-1924. 'S Gravenhage : Drukkerij Mouton.

Nederlandsche Handel Maatschappij. 1924. A Brief History of Netherlands Trading Society. 'S Gravenhage : Drukkerij Mouton.

Anonim. 1934. Kantoorgebouw Nederlandsche Handel Maatschappij, N.V. Factorij Batavia. Batavia : G.Kolff & Co.

Stuart, Dr. G. M. Verrijn. 1934. Het Bankwezen in De Nederlandsche Kolonien. Wassenaar ; N.V. Uitgevers-Mij. v/h H.G Delwel.

De Sumatra Post, 10 September 1929.

Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indiƫ, 17 Januari 1933

Kamis, 02 Januari 2025

Merambah Sejarah Fort Japara

Hari ini, kita mengenal Jepara sebagai kota yang menghasilkan produk ukir-ukirannya yang khas. Kita juga mengenal Jepara sebagai tempat kelahiran tokoh emansipasi perempuan masa kolonial, R.A. Kartini. Di Jepara juga pernah hidup seorang tokoh penguasa perempuan bernama Ratu Kalinyamat dan berkat jasanya, Jepara mampu tumbuh menjadi kota bandar paling penting di Jawa tengah. Akan tetapi, nasib Jepara sebagai kota niaga penting tidak bertahan lama setelah kedatangan Belanda dan reruntuhan Fort Japara yang berada di puncak bukit Jepara menjadi saksi kemunduran tersebut. Bagaimanakah kisahnya ?

Pemandangan Kota Jepara sekitar tahun 1614. Gambar ini tidak sepenuhnya akurat karena Jepara tidak dilengkapi dengan tembok keliling dan gunung di belakangnya harusnya hanya ada satu saja, ykni Gunung Muria. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Membicarakan sejarah Fort Japara tentu tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan Jepara menjadi kota bandar mengingat Fort Japara sendiri dibangun karena nilai penting Jepara sebagai kota bandar. Sosok yang berjasa dalam mengembangkan Pelabuhan Jepara adalah Ratu Kalinyamat. Selain menjadikannya sebagai Pelabuhan komersil, Ratu Kalinyamat juga membangun pangkalan Angkatan laut di Jepara dan dari sinilah armada-armada Ratu Kalinyamat dikirimkan pada tahun 1551 untuk membantu Kesultanan Johor mengusir Portugis dari Malaka. Armada Ratu Kalinyamat juga ikut turun saat Kesultanan Aceh juga berusaha mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1573. Antara tahun 1586-1602, Jepara tampaknya jatuh di bawah kekuasaan Mataram. Kerajaan tersebut tampaknya tidak menaruh minat yang besar terhadap Jepara karena saat itu Jepara tidak memiliki koneksi jalan yang baik ke ibukota Kerajaan Mataram di pedalaman dan sebagai gantinya Kerajaan Mataram lebih memilih Semarang sebagai pelabuhan utamanya. Kendati demikian, pelabuhan Jepara masih dipandang penting (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Denah loji pertama yang dibangun VOC di Jepara. Lokasinya saat ini kemungkinan berada di kantor Bapppeda Jepara.

Pada tahun 1612, para pegawai VOC di Gresik merasa tidak aman untuk menetap di Sana. Pada saat yang sama, Raja Kerajaan Mataram, Susuhunan Anyakrawati atau lebih dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak mengajukan tawaran kepada para pedagang VOC untuk menetap di Jepara. Tawaran tersebut diterima VOC dan mereka mulai bermarkas di Jepara pada 1615 dan sebuah loji selesai dibangun di sana pada tahun 1618. Lokasi loji tersebut bukanlah di Fort Japara yang sekarang, melainkan di sebelah barat Alun-alun Jepara. Jepara kemudian dijadikan sebagai ibukota VOC untuk wilayah Pantai Timur Jawa yang terentang dari timur Batavia hingga Banyuwangi (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Pemandangan jalanan kota di Jepara. Bangunan di sebelah kanan kemungkinan besar adalah rumah residen dengan adanya dua penjaga di depan rumah. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Hubungan antara Kerajaan Mataram dengan VOC rupanya mengalami pasang surut. Tiga tahun sebelum VOC menetap di Jepara, kekuasaan Kerajaan Mataram sudah beralih ke tangan Sultan Agung yang berambisi menyatukan Jawa dan itu artinya VOC harus hengkang dari Jepara. Oleh karena itu pada tahun 1619 atau setahun setelah loji mereka selesai dibangun, VOC harus angkat kaki dari Jepara. Namun VOC akan kembali lagi ke Jepara karena pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, memilih untuk kembali menjalin hubungan dengan VOC. Demikianlah VOC dapat kembali mendirikan lojinya di Jepara pada 1651 walau lagi-lagi mereka harus angkat kaki untuk ke sekian kalinya pada tahun 1660. Entah bagaimana ceritanya, pikiran Amangkurat I berubah dengan mengizinkan VOC untuk menetap di Jepara pada tahun 1663. Selama di Jepara, VOC menempatkan seorang Comptoir atau kepala pedagang yang diangkat dari salah satu pejabat tertinggi VOC (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Cornelis Speelman.(sumber : wikimedia)

Pada tahun 1675, situasi di Jawa memanas dengan meletusnya Pemberontakan Trunajaya yang terjadi akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan Amangkurat I. Hanya dalam waktu singkat, para pemberontak dengan cepat merebut kota-kota perdagangan di utara Jawa, mulai dari Surabaya hingga ke barat di Cirebon. Kota-kota tersebut jatuh dengan mudahnya. Saat itu, satu-satunya kota pesisir yang tidak jatuh adalah Jepara. Merasa tidak mampu untuk menghadapi pergolakan tersebut sendirian, maka Amangkurat I memutuskan untuk bersekutu dengan VOC. Cornelis Speelman tiba di Jepara pada 15 Januari 1677 dan dalam waktu setengah bulan, penakluk Kerajaan Gowa tersebut berhasil mengembalikan sejumlah kota-kota pesisir utara Jawa yang sempat jatuh ke tangan pemberontak. Amangkurat I menunjuk seorang gubernur militer di Jepara mengingat kegagalan kekuatan loyalis melawan pemberontak. Untuk memperkuat kota tersebut, maka Amangkurat I yang diwakili oleh Wongsodipo menjalin suatu kontrak dengan Speelman pada 28 Februari 1677. Dalam kontrak tersebut, VOC bersedia mengamankan Jepara dari gangguan pengikut Trunajaya dengan mendirikan sebuah kubu pertahanan di bukit sebelah utara kota, di lokasi sekarang Fort Japara berdiri. Selain itu, Speelman juga memperkuat loji VOC yang sudah ada dengan pertahanan yang lebih layak. Kontrak tersebut juga berisi bahwa raja bersedia membayar biaya perang jika pemberontakan berhasil diredam (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Peta Jepara saat Speelman memerintahkan untuk mendirikan kubu di bukit Jepara pada tahun 1670an. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Detail kubu pertahanan Speelman di puncak bukit.

Situasi perang nampaknya terus memburuk bagi Amangkurat I. Puncaknya terjadi saat istananya di Plered berhasil diduduki pemberontak pada Juni 1677. Amangkurat I beserta putra sulungnya pindah ke Jepara pada September 1677. Speelman juga  ikut menarik pasukannya ke Jepara mendengar kabar jatuhnya istana Plered. Putra sulung Amangkurat I kemudian dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Amangkurat II di Jepara. Pada bulan Oktober 1677, Jepara menjadi saksi sebuah penandatanganan sebuah kontrak yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan sejarah Jawa. Dalam kontrak tersebut, jika VOC berhasil membantu memulihkan Mataram, maka VOC berhak menerima pendapatan dari kota-kota pelabuhan di Pantai utara. Dataran tinggi Priangan dan Semarang juga akan diserahkan kepada VOC serta raja setuju untuk mengakui yurisdiksi kekuasaan VOC atas semua orang non-Jawa yang tinggal di wilayahnya. Setelah Speelman digantikan oleh Anton Hurdt, konflik terus berlanjut, namun situasi mulai menguntungkan bagi VOC dan loyalis raja. Pemberontakan Trunojoyo akhirnya berhasil diredam dengan menyerahnya Trunojoyo pada 1679 (Ovink, 1892 : 807).

Peta Jepara sekitar tahun 1680-an. Terlihat benteng lama di sebelah kanan sungai dan benteng baru di sebelah kiri sungai (sumber : nationaalarchief.nl).
Detail lokasi benteng lama, terlihat kubu-kubu pertahanan yang dibuat pada era Speelman sudah diongkar dan diganti dengan kubu pertahanan baru berbentuk persegi. Pada masa ini, Fort Japara masih belum tampak.

Setelah perlawanan Trunojoyo berakhir, kubu pertahanan yang dibangun oleh Speelman di bukit utara kota Jepara tidak dipakai lagi. Pada perkembangan selanjutnya, nasib Jepara juga ikut berakhir dengan berakhirnya pemberontakan Trunojo karena VOC lebih memilih Semarang sebagai markas mereka karena Semarang memiliki suatu hal yang tidak dimiliki oleh Jepara, yakni jalan langsung menuju ibukota Kerajaan Mataram di pedalaman. Sekitar tahun 1697, Letnan Jenderal VOC untuk Pantai Timur Jawa mulai berkantor di Semarang. Masih ada sejumlah pegawai dan pasukan VOC di Jepara namun jumlahnya mulai dikurangi. Pada tahun 1708, VOC akhirnya secara resmi memindahkan ibukota Pantai Timur Jawa ke Semarang dan mereka hanya meninggalkan 25 orang pasukan untuk menjaga Jepara. (Graaff dan Stibber, 1918 : 180). Meskipun demikian, VOC masih berupaya untuk mempertahankan Jepara dari serangan musuh. Hal tersebut terlihat dari gambar peta dari tahun sekitar 1709 yang memperlihatkan rencana VOC yang mengganti loji lama dengan benteng baru berbentuk persegi dan mendirikan benteng kedua di mulut sungai. Namun peta tahun 1719 memperlihatkan bagian loji yang lama saja yang dirubah. Sementara benteng kedua tidak jadi dibangun dan sebagai gantinya didirikan sebuah kubu kecil di puncak bukit, di bekas lokasi garnisun milik Speelman.

Ilustrasi Kota Jepara yang digambar oleh A. De Nelly sekitar tahun 1760-an. Terlihat Fort Japara yang ada di puncak bukit.

Peta Kota Jepara tahun 1824 (Sumber : nationaalarchief.nl).

Sesudah Perang Geger Pecinan yang terjadi pada tahun 1740-1743, VOC mendirikan benteng baru di puncak bukit dengan denah berbentuk segitiga. Inilah benteng yang dikenal sebagai Fort Japara. Dari puncak bukit ini, para penjaga yang berajaga di atas dindingnya akan disodorkan dengan pemandangan laut dan kota Jepara yang terhampar di bawah. John Joseph Stockdale dalam “The Island of Java” yang diterbitkan pada tahun 1811, melukiskan benteng ini sebagi berikut : “Ketika memasuki anak sungai di sisi utara, ada bukit kecil, sekitar 50 kaki tingginya, lalu di bagian barat berdiri sebuah benteng kecil yang berbentuk segitiga, dengan satu kubu pertahanan menghadap ke laut dan dua lainnya ke daratan, di tengah tembok yang menghubungkan dua kubu terakhir terdapat pintu gerbang”. Stockdale kemudian melanjutkan, “Benteng ini juga dilengkapi dengan beberapa meriam kaliber yang berbeda. Benteng ini dibangun dari batu dan dalam kondisi yang baik, garnisun terdiri dari satu sersan, dua kopral dan 16 serdadu. Sisa wilayah lainnya digunakan untuk pemakaman, dimana sebuah tiang bendera berdiri”. (Stockdale, 2021 : 180) Dari uraian Stockdale tersebut, dapat diketahui bahwa benteng tersebut setidaknya masih digunakan saat ia mengunjungi Jepara antara tahun 1760-an hingga 1800-an. Stockadle tidak menguraikan bangunan-bangunan yang ada di dalam benteng. Namun dari peta denah benteng, bagian dalam Fort Japara kemungkinan dulunya terdiri dari rumah komandan, barak, istal, dan gudang.

Gambar Fort Japara (Sumber : nationaalarchief.nl)
Denah Fort Japara.

Bagi orang yang pertama kali mengunjungi benteng ini, mereka akan dibuat bingung. “Di manakah bangunannya ?”. Jika anda berkunjung ke benteng ini, memang jangan berharap untuk bisa menjumpai sebuah bangunan benteng yang besar dan utuh seperti Benteng Willem Ambarawa atau Benteng Van den Bosch Ngawi. Bagian dalam benteng sudah lama kosong melompong dan menyatu dengan lingkungan sekitarnya, menyisakan dinding-dinding karang yang mungkin sepintas tiada artinya. Kondisi demikian rupanya juga telah dialami oleh para pelancong-pelancong Belanda saat menyambangi benteng tersebut. Misalnya dokter P. Bleeker yang mengunjungi Jepara pada tahun 1840-an membuat uraian sebagai berikut. “Seseorang akan mencapai benteng Japara setelah menempuh beberapa ratus langkah. Benteng ini terletak di dekat muara sungai. Bentuknya segitiga dan kini hanya terdiri dari tembok batu dengan tiga bastion yang saat ini tanpa artileri. Setiap bastion memiliki celah sebanyak 36 buah. Tembok benteng itu sendiri sudah bobrok.” (Bleeker, 1850 : 39).


Sisa bastion Fort Japara pada tahun 1910-an. (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Kondisi pintu gerbang benteng sekitar tahun 1910-an.
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Bagian dalam benteng sekitar tahun 1890-an dengan gubug yang kemungkinan digunakan untuk menjaga kebun di dalam benteng.(sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Sisa bastion Utara Fort Japara.

Memasuki abad ke-19, Jepara tidak lagi menjadi kota yang terlalu penting bagi Belanda. Terlebih kota tersebut tidak memiliki koneksi jalur kereta. Akibatnya, menjadi wajar jika Fort Japara ditinggalkan begitu saja dan kondisinya nyaris terlantar. Kondisi Fort Japara pada akhir abad ke-19 diulas oleh kontrolir Th. Van Ovink pada tulisannya “Het Oude Fort en Graf van Kapiten Tak” dalam majalah Eigen Haard tahun 1892. Berdasarkan tulisannya, bagian dalam benteng sudah tidak ada bangunan yang tersisa dan oleh penduduk setempat dijadikan sebagai kebun singkong dan timun. Pemilik kebun kemudian mendirikan sebuah gubug bambu di dalam benteng untuk menjaga kebunnya. Beberapa batu karang penyusun tembok benteng lalu digunakan sebagai pagar pengaman dari hama babi hutan.

Kondisi bastion Fort Japara dengan echaugete di pojokan.(sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Sisa bastion selatan Fort Japara dengan bentuk echaugguete yang sudah berubah.

Selama beberapa waktu, keberadaan Fort Japara luput dari perhatian Oudheidkundige Commisie yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan benda-benda purbakala di Hindia-Belanda. Oudheidkundige Commisie saat itu memang belum terlalu peduli terhadap tinggalan bangsa-bangsa Belanda sendiri di Hindia-Belanda. Fort Japara baru disinggung oleh Perquin dalam Oudheidkundig Verslag tahun 1914. Dalam catatan Perquin, Fort Japara memiliki denah berbentuk segitiga sama sisi dan di ujung bastion, terdapat sebuah Menara yang dalam istilah perbentengan disebut echauguette. Echauguette adalah menara kecil atau pos jaga yang berfungsi sebagai pos pengamatan. Echauguette dilengkapi dengan celah sempit untuk pengamatan dan penembakan. Menurut Perquin, karakter Fort Japara mirip dengan Fort Speelwijk yang ada di Banten dan gerbang Fort Japara menurutnya kemungkinan dibangun belakangan (Oudheidkundige Verslag, 1914 : 55). Sayangnya gerbang benteng Fort Japara saat ini sudah tidak dijumpai lagi.

Kerkhof di depan Fort Jepara pada tahun 1892.

Sisa makam di Kerkhof Jepara.

Melangkah keluar dari Fort Japara, kita juga dapat melihat sebuah struktur yang dahulunya adalah makam. Kondisi makam seperti yang terlihat pada tahun 1892 masih terlihat utuh walau jika dilihat sudah banyak makam yang sudah rusak dan tidak diketahui namanya. Dalam tulisan Ovink, para penduduk meyakini jika salah satu makam tersebut berisi jenazah dari Kapten Francois Tak, perwira Belanda yang tewas saat menumpas perlawanan Untung Surapati. Jangan ditanya bagaimana kondisi makam-makam tersebut pada masa sekarang karena saat ini hanya tinggal satu makam yang tersisa dan itupun kondisinya jauh lebih bobrok dibanding kondisi tahun 1892. 

Sisa dinding utara Fort Japara.

Tampak dalam bastion Fort Japara.

Dalam bentangan sejarah masa kolonial, usia Fort Japara memang terbilang singkat dan reruntuhan Fort Japara hari ini termangu bisu di bawah rindangnya pepohonan sembari memandang Kota Jepara di bawahnya. Meskipun hanya tinggal seonggok tumpukan batu yang mungkin tidak akan membuat takjub orang-orang yang melihatnya, namun batu-batu tersebut setidaknya masih dapat sedikit bercerita tentang kemegahan pelabuhan Jepara di masa lampau.

Referensi

Bleeker, P. 1850. "Fragmenten Over Reis Java" dalam Tijdschrift voor Neerland's IndiĆ« jrg 12 (1e deel).

Graaff, S. De. dan Stibbe, D. G. 1918. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie. S-Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Ovink, Th. H. 1892. "Het Oude Fort en Het Graf Kapitan Tak". dalam Eigen Haard No. 51. halaman 804-807. Haarlem : H. D. Tjeenk Willink.

Stockdale, John Joseph. 2021. The Island Of Java : Sejarah Tanah Jawa. Yogyakarta : Indoliterasi.

Oudheidkundig verslag 1914. Weltevreden : Albrecht & Co.


De Lokomotief 23 Desember 1936