Selasa, 29 Juni 2021

Menyeberang Masa Lalu Dua Jembatan Tua di Sungai Progo ; Jembatan Bantar dan Jembatan Beling

Kalender hari itu menunjukan hari Senin, tanggal 17 Juni 1929. Susana tenang pagi itu terpecah oleh deru iring-iringan kendaraan yang membawa rombongan pembesar Kasultanan Yogyakarta beserta ambtenar kolonial Belanda yang berangkat meninggalkan Yogyakarta dan menyusuri jalan ke arah Gamping, sebuah desa yang dulu dikenal memiliki bukit kapur. Kemeriahan tampak di sepanjang jalan menuju ke Gamping. Namun kemeriahan tersebut hanya dilewati begitu saja karena segala kemeriahan itu bukanlah tujuan utama rombongan tadi. Kesemarakan sesungguhnya ada di desa Klangon, dimana di sana terentang sebuah jembatan logam yang baru saja selesai dibuat dan sedang menunggu untuk diresmikan. Inilah kisah tentang jembatan yang tidak hanya sebagai penghubung dua wilayah semata, namun juga bukti pencapaian ilmu dan terobosan teknologi rekayasa bangunan di masa silam dalam mengatasi rintangan alam.

Foto lama Jembatan Gubernur Jasper atau kini dikenal sebagai jembatan Bantar
(sumber ; KITLV)


Kondisi saat ini Jembatan Bantar atau dulu bernama Gouverneur Jasperbrug.

Sungai Progo adalah sungai yang berhulu dari lereng Gunung Sundoro-Sumbing dan bermuara di pesisir selatan Jawa. Sungai sepanjang 140 km itu juga menjadi batas alami antara Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul dan Sleman. Sebelum jembatan itu dibuka, belum ada sarana jembatan permanen di atas Sungai Progo selain jembatan kereta milik Staatspoorwegen di Sentolo dan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij di Brosot. Gagasan untuk membangun jembatan baru di atas Sungai Progo mulai terlintas sejak tahun 1912. Residen Yogyakarta saat itu, Liefrink berencana untuk membangun jembatan baru di dekat Sentolo karena ia merasa jika keberadaan Sungai Progo mengucilkan Kulon Progo dengan wilayah lain di timurnya. Untuk melintasi sungai, penduduk mengandalkan jasa rakit penyeberangan yang disediakan oleh masyarakat setempat (Athoillah, 59; 2021). Saat Sungai Progo meluap di musim hujan, kegiatan penyeberangan lumpuh seketika. Hal ini akhirnya turut berpengaruh terhadap ketahanan pangan lokal karena pasokan beras untuk masyarakat Kulon Progo sebagian besar masih didatangkan dari wilayah timur. Faktor lain yang memicu gagasan pembangunan jembatan baru di Sungai Progo ialah mulai banyaknya pengguna kendaraan mobil pribadi pada awal abad ke-20. 

Penampakan jembatan pada tahun 1930an. (Sumber : beeldbank.nimh.nl)
Pemerintah kolonial memang sudah membenahi sejumlah jalan dan jembatan di Jawa untuk memperlancar arus lalu lintas kendaraan pribadi sehingga terbentuk simpul perhubungan yang solid. Meskipun demikian, masih ada sejumlah simpul yang masih terputus. Salah satunya adalah Purworejo dengan Yogyakarta. Bila orang melakukan perjalanan kendaraan dari Jawa Barat ke Yogyakarta atau sebaliknya, mereka biasanya akan menempuh lewat Magelang yang memutar lebih jauh. Alternatif lainnya bagi pengguna mobil adalah dengan menggunakan jembatan N.I.S di Srandakan, dimana mobil akan dipindahkan ke gerbong dan dibawa dari satu sisi sungai ke sisi lainnya (De Locomotief, 19 Agustus 1931). Hal ini tentu merepotkan karena selain tidak praktis, pengguna juga harus mengeluarkan uang untuk membayar jasa penyeberangan. Berpangkal dari berbagai masalah itu, Residen Leifrink akhirnya menggagas sebuah ide untuk mendirikan jembatan baru yang dapat membantu masyarakat melintasi Sungai Progo setiap saat tanpa mengeluarkan biaya sehingga memperlancar hubungan antar kota di Jawa.

Sebelum adanya jembatan, kegiatan penyeberangan sungai mengandalkan perahu tambatan.

Jembatan kereta N.I.S di Brosot yang menjadi salah satu andalan penyebrangan Sungai Progo (sumber : KITLV).

Sesudah Residen Liefrink mencetuskan ide untuk membangun jembatan baru, dibuatlah desain awal dan anggaran pembangunan yang diperkirakan mencapai 156.000 gulden. Anggaran itu rencananya akan didapatkan dari pemerintah kolonial dan Kesultanan Yogyakarta. Tanggung jawab perencanaan teknis pembangunan jembatan dipikul oleh Ir. Verhoog, kepala Departemen Pengelolaan Air di Burgerlijek Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum). Ir. Verhoog secara hati-hati menentukan bentuk konstruksi seperti apa yang akan digunakan untuk jembatan di atas Sungai Progo itu menginat sejumlah jembatan menjadi korban derasnya arus Sungai Progo. Contoh pertama adalah jembatan kereta api milik Staatspoorwegen yang sempat runtuh akibat tergerus aliran banjir padahal jembatan tersebut baru saja selesai dibangun. Kejadian serupa juga menimpa jembatan yang menghubungkan jalan Muntilan - Borobudur yang rusak diterjang banjir pada tahun 1905. Pada tahun 1915, dilakukan paparan rancangan awal jembatan di hadapan kepala Burgerlijke Openbare Werken. Sesudah melalui berbagai revisi, rancangan final jembatan akhirnya selesai pada tahun 1916 dengan biaya pembangunan sebesar 250.000 gulden. Biaya pembangunan setengahnya akan ditanggung oleh pemerintah kolonial dan sisanya oleh Kesultanan Yogyakarta. Sayangnya pembangunan jembatan tidak dapat dilaksanakan saat itu juga karena tingginya harga besi di pasaran sebagai dampak dari masih berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa (Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929).

Tiang baja tempat untuk menambatkan kabel utama.

Kabel gantung.

Rencana pembangunan jembatan baru itu akhirnya kembali bergulir sesudah Perang Dunia I berakhir namun harga besi di pasaran sudah terlanjur meroket. Hal ini akhirnya mendorong untuk dilakukan perubahan total desain jembatan. Perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah lalu lintas kendaraan di Jawa. Perubahan rancangan menyebabkan biaya konstruksi membengkak menjadi 415.900 gulden, hampir dua kali lipat dari biaya semula. Hal ini rupanya memberatkan pihak Kesultanan karena terbatasnya anggaran Kesultanan untuk menanggung setengah dari biaya baru tersebut. Setelah disepakati bahwa biaya yang ditanggung Kesultanan masih tetap seperti rencana semula, barulah kesultanan setuju untuk memberi bantuan uang. Meskipun demikian, pembangunan jembatan masih tertunda karena keadaan keuangan pemerintah kolonial juga masih sama sulitnya. Baru pada akhir tahun 1925 proyek pembangunan jembatan tersebut bisa diteruskan lagi. Beberapa pegawai BOW lalu berkantor di Wates supaya lebih mengawasi jalannya proyek (Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929).

Bagian bawah jembatan.
Pondasi jembatan.

Pembangunan jembatan diawali dengan pembuatan kepala jembatan dan pilar penopangnya. Bagian tersebut dikerjakan oleh Nederlandsche Aannemingsmaatschappij (Nedam) dan berlangsung dari Agustus 1926 hingga Oktober 1927. Pilar itu nantinya akan menjadi tempat bertumpunya rangka besi yang akan menyangga kabrel jembatan. Baja-baja yang akan digunakan sebagai konstruksi bentang jembatan itu dibuat oleh pabrik “Werkspoor” di Utrecht. Pembuatan baja itu sempat tersendat sehubungan adanya aksi pemogokan buruh di sana. Material yang dipesan baru tiba pada April 1928. Material besi tersebut diturunkan di Cilacap dan selanjutnya diangkut dengan kereta Staatspoorwegen menuju Stasiun Sentolo dan Sedayu. Dari stasiun, material besi tersebut dibawa menuju lokasi proyek dengan lori-lori milik PG Sedayu. Proses pemasangan bentang jembatan dimulai pada Agustus 1928. Proses tersebut dikerjakan oleh tenaga yang didatangkan dari Tegal dan dipandu oleh kepala pengawas Van der Geugten serta aristek Veer dari B.O.W. Rangka baja lalu dipasang di atas pilar jembatan disusul dengan penambatan 12 kabel pada kerangka. Setelah kerangka besi terpasang, struktur kabel utama yang akan menyangga bantalan jembatan direntangkan dan ditambatkan di atas tiang-tiang besi itu. Proses tersebut tidak menggunakan perancah melainkan dengan kereta gantung supaya tidak terganggu oleh banjir Sungai Progo ketika musim penghujan. Sesudah itu, satu persatu bantalan jembatan digelantungkan pada struktur kabel hingga akhirnya membentuk suatu bentang jembatan yang utuh (Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929). Pada mulanya ada 12 kabel utama yang ditambatkan pada jembatan dan beberapa tahun berikutnya ditambahkan 6 kabel.


Suasana peresmian jembatan Bantar yang saat itu diresmikan dengan nama Gouverneur Jasperbrug (sumber : KITLV).

Gubernur Jasper, namanya digunakan untuk nama jembatan baru di Kulon Progo.

Seluruh tahapan pembangunan jembatan dilalui dengan lancar dan jembatan tersebut siap untuk digunakan. Tanggal 17 Juni 1929 dipilih sebagai tanggal peresmian. Upacara peresmian dipersiapkan dengan matang. Supaya lebih meriah, diadakan hiburan pasar malam dan komedi putar. Tenda-tenda untuk tempat pesta didirikan. Sementara sore hari sebelum hari H, diadakan upacara penanaman kepala kerbau. Kemeriahan itu kemudian menular di desa-desa sepanjang jalan antara Klangon dan Yogyakarta. Gerbang-gerbang hias dan gelaran pasar rakyat meramaikan hajatan itu. Tidak ketinggalan pula hiburan pentas wayang kulit dan tari tayub yang digelar pada malam hari. Hari yang ditunggu kemudian tiba. Setelah melalui perjalanan menyusuri jalan Yogyakarta-Klangon yang kondisinya masih sempit dan belum rata, akhirnya sampailah rombongan tersebut di Desa Klangon. Mereka disambut dengan segala kemeriahan yang diadakan di sana. Sekitar empat ratus orang diundang dalam hajatan besar itu. Selain dari Kesultanan dan Pakualaman, bupati Purworejo dan Kutoarjo serta bupati-bupati daerah sekitarnya juga turut diundang dalam kesempatan itu. Dalam kesempatan yang sama, jembatan itu kemudian diberi nama Gouverneur Jasperbrug. Nama tersebut diambil dari nama Gubernur Belanda untuk wilayah Yogyakarta saat itu, Jasper. Adapun biaya pembangunan jembatan menelan uang sebanyak 455.000 gulden, jumlah yang terbilang besar pada saat itu.

Jembatan Bantar dilihat dari utara.

Ditinjau dari konstruksinya, Gouverneur Jasperbrug adalah jenis jembatan gantung yang masih langka di Hindia-Belanda. Rancangannya dibuat oleh insinyur Jorgensen West. Jenis jembatan gantung dipilih karena jika menggunakan kontruksi jembatan yang biasa, maka akan banyak kolom yang harus dibuat dengan kondisi sungai yang lebar. Sementara itu Sungai Progo dikenal dengan arusnya yang cukup deras terutama saat musim hujan. Jembatan kereta lama yang ada di utaranya adalah salah satu korban dari keganasan Sungai Progo. Dengan penggunaan konstruksi jembatan gantung, jumlah kolom yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit. Jembatan Goueverneur Jasperbrug memiliki rentang panjang 180 m dan berdiri di atas kolom beton bertulang yang menjulang setinggi 13 m dari atas permukaan air. Di atas kolom beton itu, terdapat tiang-tiang besi setinggi 10 m dan di sana ditambatkan sejumlah kabel-kabel gantung. Untuk mengakomodir efek pemuaian di siang hari, maka di dasar tiang tersebut terdapat roller. Kabel yang merentangi jembatan kemudian ditambatkan di bagian kepala jembatan. Konstruksi ini boleh dikatakan sama sekali baru di Hindia-Belanda karena kabel jembatan gantung pada umumnya ditambatkan pada anchorage atau struktur penahan yang dibuat terpisah dari jembatan  (De Locomotief 17 Juni 1929).

Bentuk asli jembatan Bantar sebelum penambahan kabel.

Kondisi jembatan Bantar saat ini yang sudah tidak bisa dilintasi oleh kendaraan.

Kehadiran Gouverneur Jasperbrug akhirnya tidak hanya melepaskan keterkucilan Kulon Progo dengan wilayah di timurnya, namun juga memudahkan hubungan wilayah di Jawa Tengah bagian selatan. Mengingat perannya yang begitu strategis sebagai penghubung antar wilayah, maka tidak mengherankan saat terjadi Agresi Militer Belanda jembatan tersebut dijadikan pos militer oleh Belanda. Oleh karena itu, para pasukan Republik Indonesia beberapa kali menyerang jembatan ini. Seiring waktu, nama Gouverneur Jasperbrug akhirnya lekang dari ingatan masyarakat dan jembatan itu lebih dikenal sebagai Jembatan Bantar karena letaknya dekat dengan Dusun Bantar. Pada zaman dahulu, jembatan masih bisa dilintasi oleh dua kendaraan. Namun seiring kian banyaknya kendaraan yang melintas dan bobot kendaraan yang semakin besar, maka dibuatlah jembatan penyeberangan baru yang ada di selatan jembatan Gouverneur Jasperbrug. Jembatan ini kemudian dijadikan sebagai monument sejarah yang diresmikan pada 1 Maret 1995 oleh Ketua Umum Paguyuban Wehkreise (Daerah Perlawanan) III Yogyakarta, Jendral TNI (purn). Soesilo Soedarman.

Jembatan beling karya Prof. Bijlaard.

Dari Jembatan Bantar, jika pandangan dialihkan ke utara kita dapat melihat konstruksi dua jembatan kereta, satu jembatan memakai batang pilar penyangga yang ada di tengah sungai dan satunya lagi tidak memakai konstruksi sejenis. Jembatan tanpa batang pilar penyangga yang masih tampak perkasa itu adalah hasil rancangan dari Prof. Ir. P.P. Bijlaard. Jembatan kereta yang dikenal sebagai jembatan Beling itu dibuat sebagai pengganti jembatan kereta lama yang selesai dibangun pada 6 Juli 1887 oleh Staatspoorwegen (Bataviaasch Nieuwsblad 11 Juni 1887) Jembatan itu menjadi bagian dari jalur kereta jurusan Yogyakarta-Purwokerto yang dikelola oleh maskapai kereta itu. Dari waktu ke waktu, derasnya arus Sungai Progo menyebabkan bagian pilar penyangga tergerus sehingga konstruksi jembatan dinilai tidak mampu menahan beban kereta yang melintas. Oleh karena itu, Staaspoorwegen memutuskan untuk membuat jembatan kereta yang baru. Biaya pembangunan jembatan baru tersebut mulanya ditaksir menghabiskan dana sebesar 360.000 gulden (Het Nieuws van den dag 18 Januari 1930).

Jembatan kereta lama yang dibuat tahun 1887 (sumber : KITLV).
Tampak jembatan dilihat dari bantaran timur.


Gambar rancangan jembatan kereta baru buatan Prof. P.P. Bijlaard (sumber : Vrije Uitbouw)

 

Detail sambungan rangka dengan kepala jembatan (sumber : Vrije Uitbouw).

Pada proyek tersebut, Staatspoorwegen melibatkan insinyur P.P. Bijlaard dari Technische Hoogeschool Bandung sebagai perancang. Dengan perhitungan yang seksama, Bijlaard membuat rancangan jembatan yang baru dikenal dalam keilmuan rekayasa jembatan saat itu dan boleh dikatakan adalah yang pertama di dunia saat itu. Bijlaard mengklaim rancangannya dapat menekan biaya pembangunan jembatan menjadi sepertiga dari perkiraan semula. Meskipun tidak lazim, Staaspoorwegen tetap menerima rancangan yang dibuat oleh Bijlaard. Pada bulan Mei tahun 1930, proses gambar rancangan jembatan mulai dibuat Bijlaard dengan dibantu oleh dua belas juru gambar pribumi. Gambar rancangan pondasi dan rangka selesai dibuat bulan Oktober tahun 1930.

Bagian kepala jembatan sisi barat yang sudah selesai (sumber : KITLV).

Proses pembuatan rangka di pabrik baja Koninklijke Nederlandsche Machinefabriek v/h EH Begemann (sumber : Vrije Uitbouw)
Proses pemasangan rangka.
Proses pemasangan rangka dengan bantuan perancah sementara(sumber : Vrije Uitbouw).
Pembangunan jembatan yang sudah hampir mencapai tahap akhir (sumber : Vrije Uitbouw).
Nama pabrik pembuat rangka jembatan.

Berselang dua tahun sesudah pembukaan jembatan Gouverneur Jasperburg, Staatspoorwegen memulai proses pembangunan jembatan kereta baru dari bagian abutmen atau kepala jembatan. Pada abutmen sisi barat, bagian itu terbuat dari beton yang diperkuat dengan tulangan dari rel tua. Proses pembangunan abutment berlangsung di bawah pengawasan Ir. A.J.H.L. Rosenquist dari Dienst van Constructie en Bruggenbouw (Dinas Konstruksi dan Bangunan Jembatan). Bagian tersebut selesai dibangun pada tahun 1931. Sementara itu, rangka-rangka baja untuk jembatan dibuat oleh Koninklijke Nederlandsche Machinefabriek v/h EH Begemann yang menerima kontrak pada awal tahun 1931. Kira-kira setahun berikutnya, pesanan baja jembatan telah sampai di Hindia-Belanda. Dari sisi abutment barat, rangka jembatan dirakit satu persatu sampai sisi timur. Saat rangka jembatan sudah mencapai tengah sungai, sebuah perancah tambahan dibuat untuk menopang bagian tengah jembatan untuk sementara waktu sampai proses perakitan menyentuh bagian abutment timur. Tahap perakitan tersebut diawasi oleh Ir. W. P. C. Hennequin (Bijlaard, 1933; 31-46). 

Gambar tahap perakitan rangka jembatan Beling (sumber : Vrije Uitbouw).

Jembatan melewati proses uji coba terlebih dahulu pada 16 Februari 1933 sebelum dinyatakan aman untuk dilewati kereta api. Uji coba dilakukan dengan menggunakan 2 lokomotif terberat kereta ekspres dan gerbong barang yang dimuati pemberat. Uji coba pertama dilakukan dengan menempatkan kedua lokomotif dalam posisi diam di atas jembatan. Rangkaian uji coba berikutnya adalah dengan menggerakan lokomotif melewati jembatan dengan kecepatan laju berturut-turut 10, 20, dan 30 km/jam. Terakhir adalah dengan melakukan pengereman kereta di jembatan. Uji coba yang berlangsung dari pukul 7 pagi hingga pukul 2 siang disaksikan oleh Prof. Bijlaard (perancang jembatan), Ir. J.J. H. Rissink (Dinas Konstruksi dan Bangunan Jembatan SS) B. Zuidema (pengawas pembangunan), dan Ir. J. van Wely (Burgerlijke Openbare Werken) (Algemeene Handelsblad 20 Februari 1933).

Tahap uji coba jembatan (sumber : Vrije Uitbouw)
Suasana pembukaan kembali Jembatan Beling pada tahun 1951.
Jembatan Beling saat ini.

Selain menekan biaya pembangunan, rancangan yang dibuat oleh Bijlaard itu mampu berdiri kokoh dan menumpu beban besar tanpa menggunakan kolom penopang di tengah meskipun konstruksi jembatan cukup panjang. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan jembatan kereta baru yang bersanding di sebelahnya yang masih memakai kolom penopang. Bijlaard sengaja menghilangkan kolom penopang di tengah jembatan selain untuk mengurangi biaya, juga untuk menghindari resiko kolom tersebut rusak akibat terjangan banjir Sungai Progo. Atas terobosan yang ia buat, Bijlaard lantas diganjir bonus sebesar 10.000 gulden oleh pemerintah kolonial (Algemeene Handelsblad 14 November 1931). Jembatan kereta tersebut sempat mengalami kerusakan pada masa Agresi Militer Belanda Kedua. Pemerintah Republik Indonesia kemudian memperbaiki jembatan tersebut. Butuh  waktu sepuluh bulan lamanya untuk memperbaiki jembatan tersebut dan uang sebesar 500.000 rupiah digelontorkan untuk memperbaikinya. Pada 17 Juni 1951, jembatan tersebut dapat beroperasi penuh kembali (Algemeene Indishce Dagblad 18 Juni 1951).


Sumber :

Athoillah, Ahmad. 2021. Desa Mawa Cerita ; Sejarah Desa dan Kota di Kulon Progo. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Bijlaard, P.P. 1933. De Vrije Uitbouw. Bandung : Druk N.V. Boekhandel en Drukkerij Visser & Co.

Algemeene Handelsblad 14 November 1931

Algemeene Handelsblad 20 Februari 1933

Algemeene Indishce Dagblad 18 Juni 1951

Bataviaasch Nieuwsblad 11 Juni 1887

De Locomotief 17 Juni 1929

De Locomotief 19 Agustus 1931

Het Nieuws van den dag 18 Januari 1930

Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929