Kamis, 17 Oktober 2024

Sekeping Masa Lampau dari Lautan Makam Kerkhof Kembang Kuning

Kembang Kuning hari ini laksana lautan makam yang begitu padat, nyaris tidak tersisa sejengkal tanah terbuka di pemakaman tersebut. Ketiadaan pohon-pohon perindang menjadikan sinar matahari begitu leluasa menyengat sehingga suasana pemakaman tersebut luar biasa teriknya. Tidak hanya sinar matahari, orang-orang tampaknya juga terlihat bebasnya melewati jalanan pemakaman.

Suasana jalan masuk ke pemakaman Kembang Kuning pada tahun 1930-an (Sumber : data.collectienederland.nl)

Suasana pemakaman seorang anggota militer Belanda pada tahun 1946. Terlihat suasana pemakaman Kembang Kuning yang masih rindang oleh pepohonan (Sumber : beeldbank.nimh.nl).

Sebelum Kembang Kuning dibuka, satu-satunya pemakaman resmi untuk orang Eropa di Surabaya adalah kerkhof Peneleh yang sudah digunakan sejak tahun 1850. Seiring berjalannya waktu, Kerkhof Peneleh mulai penuh sesak oleh makam dan hal ini sudah disadari oleh gemeente atau pemerintah kotamadya Surabaya yang mulai dibentuk pada tahun 1906. Hampir tidak ada pilihan untuk tempat penguburan lainnya di Surabaya karena Kerkhof di Krembangan telah lama ditutup setelah dianggap sudah tidak layak untuk kegiatan pemakaman. Sementara pemakaman Eropa di Semarung digunakan juga untuk pemakam orang pribumi sehingga orang-orang Eropa enggan mengubur jenazah keluarganya di sana. Kondisi ini mendorong gemeente Surabaya untuk segera mencari dan membuka lahan pemakaman baru (Faber, 1934: 186).

Suasana Kerkhof Kembang Kuning tempo dulu. Terlihat suasana kerkhof masih rindang dengan deretan pohon-pohon cemara (sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).

Pemandangan udara Kerkhof Kembang Kuning dilihat dari sebelah barat. Terlihat deretan pohon yang ditanam rapi di sepanjang jalanan pemakaman.
(sumber : data.collectienederland.nl).

Kerkhof Kembang Kuning (dalam tulisan EUROP. KERKHOF KEMBANGKOENING) pada peta kota Surabaya tahun 1933. Terlihat posisi kerkhof yang masih berada di pinggiran kota Surabaya.
Tidak sembarang tempat dijadikan sebagai lokasi pemakaman yang ideal. Hal tersebut sesuai dengan pandangan G.J. De Bruijn dalam "Indische Bouwhijgenie Deel I" (1927). Dalam pandangan G.J. De Bruijn, lokasi pemakaman yang berada di luar kota dimaksudkan supaya keberadaan Kerkhof tidak akan menghambat perluasan kota. Hal lain yang harus diperhatikan adalah pemakaman tersebut mudah terjangkau dan jalan di sepanjang pemakaman harus terpelihara dengan baik. Jalan yang melewati pemakaman hanya dibatasi untuk kegiatan pemakaman saja sehingga tidak dilewati orang secara leluasa. Komposisi tanah pemakaman tersebut juga harus mudah digali dan jika digali tidak keluar mata air. Drainase di sekitar lokasi pemakaman juga harus dipastikan lancar agar tanah pemakaman tidak terendam banjir.


Foto keluarga Karel J. Eysma dan Lucia G. Scheffer.
Bangunan yang dahulu digunakan sebagai rumah dan kantor pengurus Kerkhof Kembang Kuning.

Pemerintah gemeente Surabaya kemudian menyiapkan tanah di Gubengjepit seluas 50 bouw sebagai lokasi pemakaman yang baru. Namun tanah yang dibeli pemerintah pada tahun 1909 tersebut ternyata tidak memenuhi standar karena drainasenya buruk dan berpotensi terendam banjir karena tanahnya terlalu rendah. Pencarian lahan kembali dilakukan dan akhirnya lahan untuk cikal pemakaman Eropa diperoleh di Kembang Kuning. Lahan tersebut memiliki luas sekitar 150.000 m2 dan dibeli dengan harga sebesar 0,20 per m2. Sesudah pembelian, segera dilakukan penataan lahan makam sehingga makam siap digunakan pada tahun 1916. Pembukaan Kerkhof Kembang Kuning menghabiskan biaya sebesar 100.000 gulden (Faber, 1934: 187).

Bangunan untuk mensucikan jenazah orang Yahudi.

Konsep pengelolaan makam Kembang Kuning pada masa kolonial mirip seperti mengelola real estate modern. Sebagaimana perumahan real estate yang dibagi menjadi klaster, lahan kerkhof Kembang Kuning dipecah menjadi empat klaster – umum, Protestan, Katolik, dan Yahudi, Masing-masing klaster tersebut kemudian dibagi lagi menjadi empat kelas sesuai dengan posisi kedekatan dengan jalan. Tiga kelas pertama yang dekat dengan jalan dipungut biaya untuk membeli atau menyewa petak makam. Biaya tersebut tidak termasuk biaya untuk menguburkan jenazah dan pemasangan monumen yang akan dikenai biaya tersendiri. Sementara kelas terakhir yang letaknya paling jauh dari jalan tidak dipungut biaya (Faber, 1934: 187). Di dekat pemakaman kluster Yahudi, kita dapat menjumpai sebuah bangunan dengan simbol bintang Daud, simbol orang Yahudi. Bangunan tersebut dahulunya merupakan tempat orang Yahudi melakukan pembersihan jenazah sebelum dimakamkan. Baik dalam agama Yahudi dan Islam, terdapat kebiasaan untuk menyucikan jenazah sebelum dimakamkan, bahkan kebiasaan tersebut memiliki nama yang sama baik dalam bahasa Ibrani maupun Arab, yakni taharah.

Bangunan gerbang dan pendapa Kerkhof Kembang Kuning
(Sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).
Bangunan Gerbang Kerkhof Kembang Kuning saat ini yang menjadi bagian dari Puskesmas Pakis.

Tampak luar bangunan Puskesmas Pakis tidak terlihat seperti bangunan puskesmas pada umumnya. Hal yang membuatnya berbeda dari puskesmas lainnya adalah bahwa bagian depan pemakaman tersebut menggunakan pendapa yang dahulu digunakan sebagai tempat untuk memberikan eulogi ; pidato perpisahan kepada jenazah yang sudah meninggal sebelum dimakamkan. Barangkali tidak setiap pengunjung puskesmas menyangka jika tempat parkir di depan puskesmas tersebut dahulunya adalah tempat menurunkan jenazah dari mobil jenazah. 

Makam Walikota Surabaya, G. J. Dijkerman.

G. J. Dijkerman dalam buku "Nieuwe Soerabaja" (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 97)

Sebuah monumen berdiri termangu di tengah-tengah persimpangan jalan pemakaman. Monumen tersebut dikelilingi oleh sebidang tanah terbuka yang lapang, tidak seperti makam-makam lain di Kembang Kuning yang berhimpitan satu sama lain. Mulus, polos, dan lugas. Begitulah kesan saya saat melihat monumen tersebut untuk pertama kalinya. Monumen tersebut memang tidak banyak hiasan. Satu-satunya hiasan yang ada di monumen tersebut hanyalah sebuah patung malaikat. Itupun bukan patung yang asli karena jika dibandingkan dengan foto lamanya, monumen tersebut aslinya tidak memiliki patung. Pada monumen tersebut, tergurat kalimat berbahasa Belanda “AAN DE NAGEDACHTENIS VAN BURGEMEESTER G.J. DYKERMAN DE SOERABAIASCHE BURGERY”. Kalimat tersebut menjadi penanda bahwa monumen tersebut merupakan makam walikota Surabaya tempo dulu, G.J. Dykerman. Bagaimanakah kiprah Dykerman semasa hidupnya ? Lahir pada 22 Januari 1885, Dykerman merintis karir sebagai insinyur. Pernah ia menjabat sebagai kepala pengairan Afdeeling Brantas pada tahun 1917 dan setahun berikutnya ia diangkat sebagai direktur pelabuhan Surabaya. Puncak karir Dijkerman adalah saat diangkat sebagai walikota Surabaya pada 23 Oktober 1920. Pada tahun 1929, Dijkerman meninggal dunia sebelum menjalani operasi usus buntu. Jenazah Dijkerman dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning  dan makamnya diletakkan di tempat yang begitu strategis, yakni persis di tengah-tengah pemakaman (De Locomotief 28 Januari 1929). 

Tampak makam G.J. Dijkerman tempo dulu. (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 187)

Untuk mengenang sosok Dijkerman, maka sejumlah orang Belanda di Surabaya memberikan persembahan berupa sebuah monumen di atas pusara Dijkerman. Keseluruhan monumen yang dirancang oleh Cosmas Citroen tersebut dibuat dari marmer Cararra yang mengkilap dan ditaruh di tempat yang sangat strategis, yakni di tengah kerkhof Kembang Kuning. Aslinya monumen tersebut pernah dilengkapi lempengan perunggu yang dibuat oleh pematung Poschacher dan dicetak di perusahaan Begeer, Van Kempen en Vos yang menggambarkan wajah Dykerman (De Indische courant, 12-12-1930). Sayangnya lempengan tersebut dan bejana marmer yang ada di depan makam saat ini sudah tidak berada lagi di tempatnya.

Makam  T.B.A. Faubel.
T. B. A. Faubel, walikota Surabaya periode interim 1921-1922 (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 194).

Di Kerkhof Kembang Kuning, kita juga masih dapat melacak jejak dari walikota Surabaya pada masa kolonial. Salah satunya adalah Theodor Bastian August Faubel. Nama Faubel saat ini memang tidak lagi dikenal banyak orang padahal ia termasuk tokoh yang mahsyur semasa hidupnya. Faubel lahir di Den Haag pada 17 Maret 1874 dan tiba di Hindia-Belanda pada 1895. sebagai karyawan De Javasche Bank. Faubel kemudian bekerja di pabrik spirtitus Grudo sebelum ia mendirikan pabrik spiritus miliknya sendiri bernama “Spiritusfabriek Brantas”. Faubel juga merangkap jabatan sebagai konsul Belgia dan Italia di Surabaya. Selanjutnya Faubel bergabung dengan dewan kotapraja Surabaya dan bahkan sempat ditunjuk mengisi kursi walikota Surabaya pada tahun 1921 yang kosong setelah walikota Dijkerman pergi menjalani cuti. Sekembalinya Dijkerman pada tahun 1922, Faubel menjabat sebagai wakil walikota Surabaya. Tiga tahun berselang, Faubel meninggal dunia di rumahnya di Ketabang. Padahal saat itu Faubel telah menghimpun banyak data sejarah kota Surabaya dan ia sedang bersiap menyusun buku sejarah Surabaya. Pekerjaan Faubel akhirnya diteruskan oleh G.H. Von Faber yang juga dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning (De Indische Courant 2 Maret 1925). 

Makam Cosmas Citroen.

C. Citroen (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 99)

Selain Dijkerman, tokoh Surabaya lain yang dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning adalah  Cosmas Citroen. Bagi orang yang mendalami sejarah arsitektur, khususnya arsitektur masa kolonial di Indonesia. Lahir di Amsterdam pada tahun 1881, Citroen mulai menetap di Surabaya pada tahun 1915. Semenjak di Surabaya, Citroen diberi berbagai proyek dari gemeenteraad Surabaya untuk merancang bangunan-bangunan penting. Banyak karyanya di Surabaya yang masih dapat dilihat sampai sekarang seperti gedung Balaikota Surabaya, kompleks Rumah Sakit Darmo, Jembatan Gubeng, dan lain sebagainya. Citroen meninggal di Surabaya pada 15 Mei 1935 dan dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning. Makamnya jauh dari kesan megah layaknya bangunan-bangunan yang ia rancang semasa hidupnya dan bahkan sempat tidak terurus. Beruntung makam Citroen saat ini sudah dapat kembali dipugar dan menjadi monumen pengingat sosok yang membentuk wajah kota Surabaya modern pada masa lampau.

Monume korban kecelakaan pesawat D26 dan patung pilot yang menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning.

Tidak jauh dari jalan yang memotong area pemakaman, tampak sebuah makam dengan sebuah patung berwujud seorang penerbang yang duduk termangu di atas sebuah bangku. Makam tersebut dibuat untuk mengenang korban kecelakaan pesawat yang terjadi pada 14 April 1932. Saat itu, pesawat  Dornier D26 milik Marine Luchtvaart Dienst lepas landas dari pangkalan udara Morokrembangan untuk menjalani tugas latihan penerbangan malam. Saat pesawat hendak mendarat kembali, pesawat  tiba-tiba menukik tajam ke bawah dan menghujam ke perairan. Pesawat seketika meledak dan terbakar. Tidak ada yang selamat dalam peristiwa nahas tersebut kendati kapal-kapal patroli sudah dikerahkan memberi bantuan. Mereka yang gugur adalah Cornelis Wilhelmus Christiani, Valentin Jan Leder, Lambertus Jetten dan Marthin Malo Pangandaheng (De Koerier 16 April 1932). Rekan-rekan mereka yang masih hidup akhirnya mendirikan sebuah monumen kehormatan di Kembang Kuning sebagai ekspresi jiwa korsa dan penghargaan kepada mereka yang telah menunaikan tugas pengabdian hingga akhir hayatnya. 

Gambar sketsa monumen yang dibuat oleh Backer dan dimuat dalam De Indische Courant 10 Mei 1932.
Kondisi monumen pada tahun 1938 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Desain monumen korban kecelakaan Dornier D26 dirancang oleh J.W.T. Backer, pilot Marine Luchtvaart. Sekitar akhir bulan Juni 1932, monumen selesai dibuat dan diresmikan secara sederhana. Monumen terdiri dari granit abu-abu, prasasti dari marmer keabu-abuan, dan patung dari marmer. Patung tersebut dibuat menyerupai sosok penerbang angkatan laut Hindia-Belanda lengkap dengan kostum pilot dan topi penerbang yang menutupi kepala. Sosok patung dibuat dalam ekspresi muram, dimana patung dibuat seperti seorang pilot yang sedang duduk termenung sedih dengan kepala tertunduk dan tangan kiri yang terkulai ke bawah (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932). Belakangan, patung tersebut akhirnya menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning. Sayangnya orang lebih mengenal makam tersebut dengan cerita supranatural yang menyelubungi makam tersebut daripada latar sejarah makam tersebut. Selain itu, hal yang patut disayangkan adalah prasasti yang ada di atas makam tersebut juga sudah tidak ada sehingga menghilangkan konteks sejarah dari makam tersebut.

Makam korban kecelakaan pesawat Fokker T13. (Sumber : beeldbank.nimh.nl)
Selain monumen korban kecelakaan pesawat Dornier D26, di Kerkhof Kembang Kuning dahulu juga terdapat monumen peringatan untuk korban kecelakaan pesawat Fokker T13. Rancangan monumen tersebut mengikuti desain yang dipilih sendiri oleh Panglima Angkatan Laut Hindia-Belanda, A.C. Van Sande Lacoste. Bahan monumen terbuat dari marmer dari perusahaan “Carrara”, termasuk prasasti yang memuat nama dan pangkat terakhir mereka saat meninggal dalam kecelakaan yang terjadi pada 12 Oktober 1937. Mereka yang gugur dalam peristiwa tersebut antara lain H.G. de Bruyne, M.Vethake, H. Uurbanus, P. Spronk, F. H. Plevier,  H. J. Rute dan A. A. Goedhart, G. J. Zuyderhoudt dan E. J. S. de Groot. Monumen tersebut diresmikan pada tahun 1938 dan dihadiri oleh para perwira tinggi angkatan laut Hindia-Belanda (De Indische courant 16 Agustus 1938). Sayangnya, saya sejauh ini belum dapat mengetahui di sebelah manakah keberadaan monumen tersebut. Foto-foto yang diperoleh dari “Nederland Instituut voor Militaire Historie” juga tidak dapat memberi banyak petunjuk soal letak makam tersebut.


Makam-makam lama di Kerkhof Kembang Kuning.

Hingga hari ini, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai tempat penguburan. Seiring dengan kepergian orang-orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1950-an, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai kegiatan pemakaman dan kali ini penggunanya merupakan masyarakat keturunan Tionghoa yang saat itu sudah banyak menganut agama Kristen. Di bagian lain Kerkhof Kembang Kuning, terhampar area pemakaman yang diperuntukkan sebagai makam kehormatan tentara korban Perang Dunia Kedua dan Perang Kemerdekaan dari pihak Belanda. Pemakaman tersebut kini dikenal sebagai Ereveld Kembang Kuning yang tertata dan terawat dengan begitu rapi nan bersih.

Pintu gerbang Ereveld Kembang Kuning saat pertama dibuka pada tahun 1947 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Hari ini, makam-makam orang Belanda berkelindan di antara makam-makam orang Tionghoa yang boleh dikatakan jumlahnya sudah melebihi jumlah makam lama. Bagi orang yang hendak menelusuri makam orang-orang Belanda di Kerkhof Kembang Kuning, menjadi suatu tantangan tersendiri untuk menemukan makam-makam orang Belanda di Kembang Kuning, terlebih bentuk-bentuk makam Eropa di Kerkhof Kembang Kuning sudah relatif modern sehingga sulit untuk membedakan antara makam lama dan makam baru kecuali dengan melihat tulisan prasastinya. Jika mau menelisik lebih mendalam, boleh jadi kita masih dapat menemukan makam-makam kuno di sana yang akan membantu kita dalam menyusun kepingan-kepingan sejarah Surabaya yang terlupakan.

Referensi

De Bruijn, G.K. 1927. Indische Bouwhygenie Deel I. Weltevreden : Landsdrukkerij.

Faber, G. H. 1934. Nieuwe Soerabaja ; De Geschiedenis Van Indie Voornaamste Koopstad in De Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931.  Surabaya : N.V. Boekhandel en Drukkerij H. Van Ingen.

De Locomotief 28 Januari 1929

De Indische Courant 2 Maret 1925

De Koerier 16 April 1932

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932

De Indische courant 16 Agustus 1938