Jumat, 27 November 2015

Benteng Vredeburg, Jejak Kompeni di Bumi Mataram

Suatu siang di tahun 2015, sesudah menghadapi jemunya urusan perkuliahan, saya memutuskan untuk melepas penat dengan bertandang ke Benteng Vredeburg. Benteng itu mudah sekali dijangkau dari kampus saya. Letaknya berada di dekat perempatan Titik Nol yang ramai akan hilir mudik kendaraan bermotor, becak, andong, dan pejalan kaki. Setelah bermacet ria, sampailah saya di benteng yang disebut Loji Besar oleh orang-orang dulu. “VREDEBURG”, itulah tulisan yang terpampang pada bagian pintu masuknya yang sekilas mirip kuil Yunani. Tulisan itu tak lain ialah nama dari benteng yang hendak saya lawat ini. Adapun nama benteng yang kini terpampang di hadapan saya ini didapatkannya setelah benteng itu dihajar oleh sebuah gempa besar di tahun 1867. Bila diartikan, nama benteng itu berarti “Benteng Perdamaian“, nama yang terasa ironi untuk sebuah benteng. Saya tak ambil pusing dengan ironi tadi dan segera saja saya membeli tiket masuk seharga dua ribu rupiah.
Foto udara benteng Vredeburg (sumber : collectie.troppenmuseum.nl).
Sejarah benteng ini terentang sejak tahun 1755, tatkala kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, Kasunanan dan Kasultanan Yogyakarta, sebagai hasil dari perjanjian Giyanti. Saat itu, VOC (Vereenigde Oost Compagnie) berupaya untuk menanamkan pengaruh dan mengamankan kuasanya di pulau Jawa. Sebagai sebuah perusahaan dagang, apa yang dipentingkan VOC hanyalah mencari keuntungan sebanyak mungkin serta bagaimana bisnisnya bisa berjalan lancar. Setelah jalur pelayaran di wilayah pesisir berhasil “diamankan”, VOC mulai melirik teritori pedalaman Jawa. Mereka beranggapan bahwa seandainya wilayah pedalaman berhasil mereka cengkeram, bahan makanan akan lebih mudah diperoleh dan perdagangan kerajaan lokal dapat dimonopoli mereka. Jalan VOC kian dipermudah dengan adanya pertentangan antara sesama bangsawan Jawa sehingga manuver dan intrik VOC dapat dilancarkan dengan menawarkan diri sebagai penengah (Lombard, 2018;72). Demikianlah yang mereka lakukan ketika mereka berusaha menengahi pertentangan antara Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi dengan membagi kerajaan Mataram menjadi dua melalui perjanian Giyanti pada tahun 1755. Pakubuwono II tetap berkedudukan sebagai Sunan di Surakarta sementara Pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan baru di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I (Lombard, 2018;74). Untuk menegaskan pengaruhnya, VOC melobi penguasa Surakarta dan Yogyakarta supaya diperbolehkan membangun loji berdinding yang berdekatan dengan keraton. Sultan Hamengkubuwono I telah berjanji kepada VOC untuk menyediakan bahan bangunan yang diperlukan. 
Kondisi sekitar Benteng Rustenburg pada tahun 1780. (Sumber : nationaalarchief.nl)
Gambar rencana benteng Vredeburg (sumber : Nationaalarchief.nl)
Lingkungan benteng Vredeburg (A) pada tahun 1843 yang direproduksi ulang pada tahun 1890. Perhatikan bahwa kantor Residen atau sekarang menjadi Gedung Agung (B) ada di sebelah barat benteng. Sementara itu di sebelah utara terdapat pasar Beringharjo (H) dan sebuah pemakaman (F). Di sisi timur benteng, terdapat pemukiman Eropa yang disebut Loji Kecil (D).
Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1760. Pada saat yang bersamaan, Sultan Hamengku Buwono I rupanya juga sedang mendirikan keraton yang akan menjadi kediaman dan tempat ia menjalankan roda pemerintahan. Namun pembangunan benteng tersebut tidak semulus pembangunan keraton. Pembangunan benteng terhambat karena material yang dijanjikan Sultan tidak kunjung siap. “Gubernur Pantai Timur” VOC yang bermarkas di Semarang, Nicholas Hartingh, mengeluhkan sikap Sultan yang terkesan mengulur pembangunan. Menurut Hartingh, molornya pembangunan benteng tersebut dikarenakan "Sultan gemar mendirikan berbagai bangunan dan jika dia tidak suka dengan bangunan itu maka bangunan itu dibongkar sehingga membuang waktu, tenaga, dan bahan yang dibutuhkan”. Saat masa jabatan Hartingh berakhir pada 1761, belum tampak tanda-tanda benteng tersebut akan selesai dibangun. Karena bahan yang dibutuhkan masih belum tersedia, maka benteng tersebut dibangun dengan bahan seadanya. Penampakan awal benteng akhirnya tidak menunjukan layaknya sebuah benteng kokoh atau fort, tapi sebuah bangunan kecil atau lodge. Dari situlah masyarakat Jawa menyebut tempat tersebut sebagai loji. Bangunan di dalam benteng terbuat dari batang-batang pohon kelapa dan aren. Sementara dinding pertahanannya terbuat dari gundukan tanah. Barulah pada tahun 1765, benteng rapuh tersebut mulai diperkokoh dengan batu-bata dan diperkuat dengan empat puluh buah meriam kaliber 3-4 pon yang didatangkan oleh VOC. Rancangan benteng dibuat oleh insinyur Frans Haak. VOC harus menunggu selama 26 tahun untuk memiliki benteng permanen di Yogyakarta. Benteng itu baru pungkas dibangun tahun 1781 dan awalnya diberi nama "Fort Rustenburg", Benteng Peristirahatan. (Kuiper, 1934: 134-137).

Benteng Vredeburg pada tahun 1920an dan 1864. Perhatikan jembatan jungkit yang ada di depan gerbang benteng (sumber : colonialarchitecutre.eu).
Kehadiran benteng asing di dekat keraton lokal seolah menunjukan bahwa VOC yang notabene hanyalah sebuah kompeni dagang yang bermarkas nun jauh di seberang negeri, dapat memiliki kuasa dan mempengaruhi jalannya politik kerajaan-kerajaan lokal.  Dimana VOC memantapkan dirinya, maka sebuah pos dagang akan didirikan yang seringkali dilindungi dengan dinding pertahanan. Pos dagang tersebut sekaligus menjadi rumah tinggal utusan yang ditempatkan VOC untuk daerah itu. VOC menempatkan Cornelis Donkel sebagai agen VOC di Yogyakarta. Ia tiba di Yogyakarta pada tahun 1755 untuk mendampingi Hartingh yang saat itu datang untuk menemui Sultan. Donkel tinggal di dalam benteng Vredeburg yang saat itu masih sederhana. Dindingnya masih terbuat dari gundukan tanah dan tonggak-tonggak batang pohon kelapa yang dipancang. Sementara atap rumah tinggal masih beratap bambu. Donkel tentu tidak tinggal sendiri di sana karena ada komandan, sekretaris, penerjemah, perwira, beberapa serdadu. Menurut artikel “De interessante geschiedenis van stad en soos van Djokja” yang dimuat dalam Soerbaiasch Handelsblad tanggal 26 April 1937, Donkel boleh dikatakan sebagai Residen Yogyakarta pertama meskipun secara resmi jabatan residen belum ada saat itu karena selain sebagai wakil kompeni di keraton, ia juga bertindak sebagai kepala penduduk Eropa yang tinggal di sana. Dapat disebutkan bila benteng Vredeburg adalah cikal permukiman Eropa di kota Yogyakarta. (Soerbaiasch Handelsblad, 26 April 1937). 

Tampak luar benteng Vredeburg pada tahun 1885.
Benteng Vredeburg pada tahun 1935. Jembatan ungkit sudah diganti dengan jembatan biasa (sumber : colonialarchitecture.eu).
Saat Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, Fort Rustenburg diganti namanya menjadi "Fort Vredeburg". Pergantian nama yang berarti 'peristirahatan' menjadi 'kedamaian' dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap pejabat sipil yang tinggal di depan benteng (Tim Historia, 2018: 21). Ketika Jawa takluk di bawah kaki Inggris, bendera Union Jack milik Inggris berkibar di benteng itu. Jika saja benteng ini adalah sebuah kamera, barangkali ia akan merekam usaha Inggris menaklukan Kraton Yogyakarta pada tahun 1812. Kala itu kondisi benteng Vredeburg “ hanya layak untuk dipergunakan sebagai gudang tempat menyimpan perbekalan militer “ tulis komandan Inggris, William Thorn, dalam catatannya bertajuk Conquest of Java. “Jumlah artileri sedikit dan bubuk mesiunya, yang merupakan buatan lama pabrik Belanda, mutunya sangat jelek“, sambungnya. Selama berlangsungnya pengepungan Inggris atas keraton Yogyakarta, benteng itu menjadi markas tentara Inggris. Tembakan artileri dilepaskan dari benteng ini, “yang mana segera dibalas dari kubu keraton, memperlihatkan tontonan yang unik dari dua benteng yang saling bersebelahan, diduduki dari dua bangsa berbeda yang negerinya berjauhan di ujung bumi“. Berikutnya pada saat Yogyakarta sedang dirundung Perang Jawa (1825-1830), Benteng Vredeburg menjadi sasaran para pengikut Pangeran Diponegoro. Pada penyerbuan kota Yogyakarta oleh pengikut Diponegoro pada 7 Agustus 1825, Sultan Hamengkubuwono IV yang masih muda diamankan Belanda ke dalam benteng untuk melindungi dari serbuan. Berulangkali benteng ini dikepung namun ia tak kunjung jatuh meski logistik di dalam benteng sangat sedikit. Setelah bala bantuan dari Jenderal Van Geen dan De Kock tiba pada 25 September 1826, barulah benteng tersebut dapat dibebaskan dari bayang-bayang pengepungan. Selama Perang Jawa, benteng tersebut menjadi markas komado Belanda di Yogyakarta (Van Eck, 1899: 63). Sesudah Perang Jawa berakhir, Yogyakarta mengalami masa perdamaian yang cukup panjang tanpa gangguan keamanan yang serius. Hal ini mendorong orang-orang Belanda untuk membuat permukiman di luar tembok benteng. Permukiman tersebut ada di timur benteng dan dikenal sebagai Loji Kecil (Kuiper, 1934: 134-137). Saat Yogyakarta diguncang gempa pada tahun 1867, sejumlah bangunan di dalam benteng hancur.
Sketsa yang dibuat oleh salah satu tawanan bernama A.J.L. De Geer Boers yang menggambarkan kehidupan internir di Benteng Vredeburg.
Memasuki zaman pendudukan Jepang, tepatnya pada bulan Juni 1942, benteng Vredeburg dijadikan sebagai tempat tawanan untuk orang-orang Belanda. Setidaknya ada 897 tawanan yang ditahan di sana. Semuanya adalah laki-laki. Sebelum ditawan, mereka dahulunya adalah pejabat sipil, polisi, bankir, dan pegawai keraton. Gengsi Benteng Vredeburg sebagai lambang keperkasaan Belanda seketika jatuh ketika benteng itu menjadi tempat orang-orang Belanda ditawan dan hal tersebut begitu tercela di hati mereka. Sekitar pertengahan Februari 1944, sejumlah tawanan dipindahkan ke Cimahi (https://www.indischekamparchieven.nl/). Selepas kemerdekaan, Tentara Keamanan Rakyat menjadikan benteng sebagai asrama dan markas. Namun benteng itu kembali jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi Militer Belanda Kedua dan kemudian menjadi markas IVG dinas rahasia tentara Belanda. Benteng itupun menjadi bulan-bulanan para pejuang pada Serangan Umum Satu Maret 1949. Setelah difungsikan berpuluh-puluh tahun untuk sarana militer, pada tanggal 23 November 1992, Benteng Vredeburg akhirnya diresmikan sebagai museum (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003; 8-10). Benteng Vredeburg kini bahagia menikmati peran barunya sebagai sebuah museum yang memberikan manfaat bagi banyak orang, berbanding terbalik dengan saudaranya di Surakarta, Benteng Vastenburg yang kini merana di tengah kota.
Bastion barat daya benteng Vredeburg.
Celah bekas tempat meriam pada bastion.
Salah satu lubang tembak untuk jenis senapan musket.
Pada keempat sudut benteng Vredeburg terdapat kubu pertahanan berbentuk belah ketupat yang disebut bastion. Bastion adalah jenis kubu pertahanan yang dikembangkan oleh bangsa Eropa sebagai jawaban atas penggunaan meriam yang meluas pada abad ke-14. Ketika bastion belum dikenal, menara-menara yang tinggi menjadi tempat perlindungan pihak pertahanan dan dari sana senjata proyektil seperti panah dilepaskan ke arah musuh. Semakin tinggi menara, maka akan semakin sulit diserang dan jangkauan tembakan panah yang dilesatkan semakin jauh. Sejalan dengan ditemukannya senjata pengepungan terbaru berupa meriam, maka menara menjadi sasaran yang empuk karena ukurannya yang besar membuatnya mudah dibidik. Kemajuan teknologi pengepungan itu menuntut para insinyur militer untuk mengembangkan metode pertahanan baru. Mereka lalu merancang suatu kubu pertahanan kokoh yang rendah namun tebal dindingnya sehingga sukar dibidik. Kubu tersebut selain memberikan perlindungan tempur juga menjadi tempat pihak bertahan melepaskan tembakan meriam. Oleh karena itu sejumlah meriam dipasang di atas bastion yang kedudukannya dihitung secara seksama untuk menciptakan ruang tembak yang optimal. Saat masa damai, meriam-meriam benteng Vredeburg yang tampak seperti pajangan digunakan untuk memberi tembakan kehormatan pada upacara tertentu seperti grebeg atau saat ada raja yang meninggal. Kubu tersebut kemudian dikenal sebagai ‘bastion’ yang bersumber dari kata Perancis ‘bastille’ (Lepage, 2010: 78-80). Teknologi itu berkembang cepat dan menyebar luas di berbagai tempat. Kolonisasi lalu mempercepat penyebaran teknologi tersebut ke berbagai penjuru termasuk di Nusantara. 
Tampak depan dan belakang gerbang utama Benteng Vredeburg yang ada di sebelah barat.
Bangunan rumah jaga.
Pintu kecil di sisi selatan.
Gerbang adalah bagian benteng yang diincar musuh saat terjadi pengepungan. Karena itu jumlah gerbang dibatasi (Killy, 2007:62) Benteng Vredeburg memiliki dua gerbang di sebelah barat dan timur serta satu pintu kecil di sisi selatan. Gerbang utama benteng Vredeburg ada di sebelah barat. Porte atau pos jaga kecil ditempatkan di samping gerbang tersebut. Gerbang tersebut dilengkapi dengan hiasan fasad yang dibuat layaknya bagian depan sebuah kuil Yunani dengan kolom, pilaster, dan pediment yang proporsional. Gerbang pada zaman dahulu adalah penanda utama saat seseorang masuk ke dalam sebuah wilayah sehingga bagian gerbang seringkali dipercantik untuk menghasilkan efek kemegahan yang monumental. Gerbang diletakan di tengah supaya kedua sisinya dapat terlindungi. Lebar gerbang hanya cukup dilewati satu gerobak untuk alasan keamanan. Setiap malamnya, kedua gerbang benteng ditutup. Tiada orang yang dapat keluar masuk benteng kecuali mereka ada urusan penting dan mereka hanya diperkenankan lewat pintu kecil di sisi selatan. Sesudah melewati gerbang, di belakangnya terdapat dua bangunan yang dimaksudkan sebagai rumah jaga. Dahulu tidak sembarang orang bisa leluasa masuk maupun keluar dari benteng. Mereka biasanya akan diperiksa terlebih dahulu oleh provoost atau penjaga dan hanya orang-orang berkepentingan saja yang diizinkan masuk keluar benteng.
Parit benteng Vredeburg sisi timur pada tahun 1930an. Di sebelah kiri tampak bastion sisi tenggara dengan meriam kuno di atasnya. 
(sumber : Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden halaman 122.)
Dari pintu masuk utama, saya berbelok ke samping, menaiki anak tangga yang menjurus ke lantai dua pintu masuk benteng. Bagian ini dulunya merupakan kantor administrasi. Dari berandanya, pandangan saya arahkan ke arah Istana Kepresidenan Gedung Agung, yang menempati bekas kediaman residen Yogyakarta. Dahulu residen Yogyakarta akan mengungsi ke benteng ini jika keamanan mulai memburuk. Pandangan kemudian saya alihkan ke parit pertahanan yang membentang di depan benteng. Benteng ini pernah dikelilingi oleh parit sebagai sarana perlindungan tambahan. Meskipun terlihat kokoh, bukan berarti dinding benteng ini tiada cela. Ukurannya yang rendah menjadikan musuh lebih mudah memanjatnya. Sebagai penghalang tambahan maka digalilah parit yang mengitari benteng. Untuk mencegah tergerus erosi, maka dinding parit dibuat miring dan dilapisi batu. Ada dua jenis parit, yakni parit basah dan parit kering. Benteng Vredeburg menggunakan jenis parit basah, yakni parit yang digenangi dengan air secara permanen. Parit berair tersebut dapat digunakan sebagai kolam ikan sehingga menambah pasokan pangan bagi garnisun di dalamnya. Di sisi yang lain, parit tersebut juga dapat mendatangkan penyakit saat serangga nyamuk berkembang biak di parit itu (Lepage, 2010: 90-92). Karena di depannya ada parit, maka di pintu masuk utamanya dipasang jembatan jungkit sebagai penghubung. Jembatan tersebut akan ditutup jika sedang terjadi pengepungan. Sejak tahun 1930an, jembatan tersebut dihilangkan karena konstruksinya dirasa sudah tua dan tidak mampu menopang beban kendaraan militer yang kian berat.
Pemandangan dari bastion barat daya. Terlihat gedung kantor pos besar dan Bank Indonesia.
Ketika saya berada di bastion barat daya, saya sejenak memandang ramainya Kawasan Titik Nol yang berlatar gedung-gedung tua seperti gedung BI, Kantor Pos Besar, dan Bank BNI. Walau terhitung tua, namun gedung-gedung itu tentu masih kalah tua-nya dengan benteng yang sedang saya pijaki ini. Kala gedung-gedung itu belum ada, Keraton Yogyakarta tempat Sultan tinggal terlihat kentara dari benteng saya berpijak ini. Begitu dekatnya jarak benteng ini dengan keraton sehingga saya rasa satu tembakan meriam dapat mengenai salah satu bangunan keraton. Keberadaan benteng Vredeburg jelas berarti bagi kompeni. Letaknya yang berada di gerbang keraton menurut Magetsari (2016) juga dimaksudkan untuk memutuskan hubungan raja dengan masyarakatnya sehingga di mata masyarakat wibawa sang raja sudah jatuh. Alih-alih sebagai tempat perlindungan untuk Sultan seperti yang dijanjikan pada pembangunannya, benteng itu justru seolah menjadi ancaman bagi kedaulatan Sultan. Sayapun lantas teringat dengan ulah VOC yang pernah memprovokasi Pangeran Jayawikarta dengan menembakan meriam yang pelurunya melesat di atas kediamannya. 
Bekas barak sisi utara.
Bekas barak barat.
Bekas barak selatan.
Perumahan perwira sisi selatan.
Bekas tempat tinggal komandan benteng.
Bekas kantin militer.
Bekas dapur.
Bekas ruang penjara.
Setiap keberadaan sarana pertahanan permanen seperti benteng Vredeburg biasanya akan diikuti dengan pendirian sarana akomodasi dan penunjangnya yang dapat digunakan untuk jangka lama. Meskipun serdadu VOC tidak berstatus sebagai tentara regular, mereka diberi fasilitas sebagaimana tentara regular pada umumnya. Beberapa bangunan yang terdiri atas deretan rumah perwira, barak, kantor, dapur umum, istal, penjara, gudang senjata dan makanan, dan tempat hiburan berdiri di balik tembok benteng. Dengan lengkapnya berbagai sarana di dalam tembok benteng, maka benteng itupun laksana seperti sebuah kota kecil yang berdinding atau intramuros. Untuk menjamin kebutuhan tempat tinggal perwira dan serdadu, di dalam benteng dibangun barak dan rumah perwira. Konsep barak di dalam benteng merupakan hasil pengembangan para insinyur militer pada abad ke-18. Sebelumnya para serdadu tinggal di dalam perkemahan atau jika kurang mencukupi maka akan digunakan sistem billet yakni warga di tempat serdadu itu ditugaskan akan menyediakan akomodasi dan makanan yang biayanya akan diganti oleh pemerintah. Cara ini tidak populer bagi penduduk sipil karena seringkali terjadi percekcokan antara tuan rumah dengan serdadu yang ditampungnya. Selain itu, akan sulit mengumpulkan serdadu yang tinggal terpencar satu sama lain dalam waktu bersamaan. Oleh karena itulah insinyur militer seperti Vauban menganjurkan supaya barak permanen dibangun di dalam benteng. Adanya barak yang terrkumpul dalam satu tempat juga memudahkan untuk menghimpun personel di waktu yang diperlukan serta untuk menjamin kedisplinan mereka (Lepage, 2010: 124-127). Barak-barak di benteng Vredeburg ditempatkan dekat dengan dinding sehingga pasukan dapat bergegas melindungi benteng dari atas dinding. Di dekat barak, terdapat dapur umum yang menyediakan makanan untuk prajurit. Selain barak, ada juga rumah tinggal untuk perwira. Pada awal abad ke-20, para perwira mulai tinggal di rumah-rumah yang disediakan pemerintah di luar benteng. Sayangnya rumah-rumah tersebut sekarang sudah digusur. Hiburan di masa lalu amat terbatas sehingga kehidupan di dalam benteng terbilang membosankan bagi para penghuninya. Seringkali mereka menganggap benteng tempat mereka bertugas tidak ubahnya dengan penjara. Untuk itu, maka di dalam benteng terdapat kantin militer yang menjual minuman keras.
Bekas gudang amunisi.
Bekas gudang senjata.
Di bastion tenggara, terdapat bangunan yang paling vital dari benteng yakni gudang bubuk mesiu. Gudang tersebut menyimpan bahan berbahaya yang mudah meledak. Terbakar sedikit saja maka akan timbul petaka berupa ledakan dahsyat yang dapat mengancurkan seisi benteng seperti yang menimpa Fort Beschmeringh di Cirebon yang hancur akibat ledakan gudang mesiu. Untuk alasan keamanan, maka letaknya dibuat agak menjauh dari area tempat tinggal tentara. Sementara untuk alasan taktis, maka letaknya dibangun berdekatan dengan dinding bastion supaya bubuk mesiu yang diperlukan untuk senjata api dapat dibagi ke pasukan (Lepage, 2010: 127-128). Jendelanya tampak sedikit dan sempit. Hal itu bertujuan supaya sirkulasi udara tetap bisa masuk ke dalam namun percikan api dari luar tidak mudah masuk ke dalam. Bagian dalamnya harus dipastikan kering supaya mesiu tidak lembab karena mesiu yang lembab tidak dapat dipakai. Sebuah gardu di depan pintu masuk gudang mesiu seakan memberitahukan kepada saya bahwa akses ke gudang tersebut dulunya dibatasi secara ketat untuk menghindari resiko pencurian bubuk mesiu atau sabotase. Adapun gudang senjata dibangun terpisah dari gudang mesiu namun letaknya masih berdekatan. Keberadaan gudang senjata selain dimaksudkan sebagai tempat penyimpanan dan perawatan senjata juga untuk mengontrol penggunaan senjata sehingga senjata hanya betul-betul dipakai di saat yang diperlukan saja seperti saat latihan dan tugas militer.

Bangunan di dalam benteng Vredeburg kini dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai ruang diorama. Sebagai sebuah tempat wisata, apalagi letaknya di tengah kota, Benteng Vredeburg ramai pengunjung. Mereka tampak begitu asyik berswafoto di setiap sudut benteng. Kehadiran mereka di sini tampaknya untuk mencari suasana yang berbeda atau untuk menambah koleksi foto, bukan karena kisah sejarah yang terdapat di dalamnya. Dari masa kemerdekaan hingga sekarang, tinggalan sejarah berupa benteng masih disikapi sebagai tinggalan penjajah. Padahal ditinjau dari kajian Post-Kolonial, benteng merupakan lambang dari eksistensi kekuatan asing, yang mana oleh bangsa Indonesia dengan kemampuan terbatas mampu menyingkirkan kekuatan asing yang memiliki sarana pertahanan begitu kuat seperti benteng (Sudamika, 2006; 92). Suka atau tidak suka, benteng Vredeburg; dan benteng lainnya di Indonesia, telah menjadi bagian perjalanan sejarah negeri ini.

Referensi
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. 2003. Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Yogyakarta.
Killy, Lawrence H.  Fontana, Marissa. Quick, Russel. 2007. Baffles and Bastions : The Universal Feature of Fortications dalam Journal of Archaeiogical Research vol. 15, no.1 Maret 2007 (halaman 55-95).
Kuiper, K.G. 1934. ”Het Verleden en Heden van Djokjakarta” dalam Tropische Nederland (hlmn. 99-151).
Lepage, Jeand Dennis. 2020. Vauban and the French military under Louis XIV : an illustrated history of fortifications and strategies. Jefferson : MacFarland & Company, Inc., Publishers.
Lombard, Dennys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya : Batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Magetsari, Noerhadi. 2016. Prespektif Arkeologi Masa Kini dalam Konteks Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Soerbaiasch Handelsblad, 26 April 1937
Sudamika, G.M. "Penelitian Benteng Kolonial di Ternate, Maluku Utara" dalam Berita Penelitian Arkeologi Maluku dan Maluku Utara, vol 2. No. 2 Juli/2008, Balai Arkeologi Maluku.
Thorn, William. 2011. Penaklukan Pulau Jawa- Pula Jawa di abad Sembilan belas dari Amatan Seorang Serdadu Kerajaan Inggris. Jakarta ; Elex Media Komputindo.
Tim Historia. 2018. Daendels ; Napoleon Kecil di Tanah Jawa. Jakarta : Penerbit Kompas.
van Eck, R. 1899. "Luctor et Emergo" of De Geschiedenis der Nederlanden in den Oost Indie Archipel. Zwolle : W.E.J. Tjeenk Willink.

Selasa, 27 Oktober 2015

HKS Purworejo, Tetenger Pendidikan Guru Masa Kolonial di Purworejo

Di suatu hari Minggu yang cerah, saya menyusuri eks kompleks HKS Purworejo, sebuah tetenger pendidikan guru masa kolonial di tengah kota militer yang kini sintas menjadi SMA N 7 Purworejo. Sekolah itu merupakan buah dari praktik poitik etis yang diterapkan pemerintah kolonial di permulaan abad ke-20. Bagaimanakah kisah lengkap dari kompleks sekolah yang sarat nilai sejarah ini ? 
Gerbang masuk ke kompleks HKS.
Sisi luar dan dalam ruang guru yang dahulu merupakan sebuah balairung tempat menyambut tamu.

Beranda.

Tampak luar bangunan utama.
Kini, saya sedang berdiri di hadapan bangunan utama HKS Purworejo yang terlihat masih elok. Pada bagian tengahnya, terdapat balairung tempat menerima tamu yang kini sudah diubah fungsinya sebagai ruang guru. Pada pucuk atap, bertengger hiasan yang bentuknya seperti pion. Bangunan ini dahulu merupakan bangunan utama yang dipakai sebagai kegiatan belajar-mengajar dan kantor guru. Taman kecil yang terhampar rapi di halaman depan bangunan ini menambah kesan sejuk dan hijau. Tiang lampu listrik buatan pabrik besi "L.J. Enthoven" dari Den Haag, Belanda & bangku taman yang sudah ada semenjak sekolah ini dibangun masih berada di tempatnya. Boleh jadi di taman itulah para siswa HKS Purworejo rehat sejenak, melepas penat setelah seharian belajar. Mata saya kemudian menatap sebuah sengkalan yang tertoreh jelas di muka bangunan itu, “1915”. Ya, itulah tahun gedung ini mulai dibuat. Sayapun lantas menerawang kembali ke masam lampau, tepatnya di kala gedung sekolah itu hendak didirikan.
Gedung H.K.S sisi timur dan tamannya yang masih tertata rapi.

Gedung H.K.S sisi barat. Di bagian ini sekarang sudah tertutup oleh bangunan baru ( sumber : Indie, 21 Februari 1923 )
Sekolah ini, sesungguhnya hanyalah buah dari sebuah pohon besar. Pohon besar itu bernama Politik Etis, yang memiliki lima cabang besar, yakni pendidikan, kesehatan, komunikasi, irigasi, dan transmigrasi. Namun dari kelima cabang tadi, yang paling terasa faedahnya di kemudian hari ialah pendidikan. Lewat pendidikan, lahirlah golongan bumiputera terpelajar yang akan melakukan perlawanan gaya baru terhadap penindasan pemerintah kolonial, yakni dengan tulisan, gagasan, dan perserikatan.
Sang direktur pertama H.K.S, J.D. Winnen dan keluarganya di depan kediamannya. Bangunan ini sekarang masih utuh dan menjadi kantor Dinas Komunikasi, Pariwisata, dan Kepemudaan Purworejo (Sumber : colonialarchitecture.eu).
Rasa tidak tega masyarakat Belanda melihat bangsa yang dijajahnya begitu menderita merupakan pemantik dari politik etis. Sumber daya alam dikuras habis-habisan, sementara kaum bumiputera dibiarkan melarat, bodoh dan penyakitan. Kritikan paling keras datang dari Eduard Douwes Dekker, asisten Residen Lebak, yang tertuang lewat karya kontroversialnya, Max Havelaar. Singkat cerita, Ratu Wilhelmina akhirnya memberi dukungan Politik Etis lewat pidato kenegaraanya di bulan September tahun 1901 (Cribb & Kahin 2012;431)Sejak Politik Etis direstui oleh sang ratu, sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial segera dibuka di berbagai tempat. Salah satunya ialah H.I.S. (Hollandsch Inlandsch School), jenjang sekolah dasar paling bergengsi untuk golongan bumiputra dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Seiring dengan makin banyaknya H.I.S yang dibuka, maka semakin besar pula kebutuhan akan tenaga pendidik. Mendatangkan guru-guru dari Eropa jelas menghabiskan banyak biaya, apalagi standar upah mereka lebih tinggi. Enggan mendatangkan guru dari Eropa, akhirnya pemerintah kolonial menemukan jalan keluar yang mudah dan murah untuk mendapatkan guru ; mendidik kaum bumiputera menjadi guru.
Lokasi HKS pada peta tahun 1905, 10 tahun sebelum Kompleks HKS belum dibangun. Pada waktu itu, lahan HKS masih berupa Exercitie plein atau lapangan latihan militer (Sumber : maps.library.leiden.edu).
Sebuah foto udara yang memperlihatkan kompleks infantri Kedungkebo (sekarang Yonif 412). Foto ini menghadap ke arah utara. Terlihat sebagian sisi timur kompleks HKS (sumber : media-kitlv.nl).
Pada mulanya, sekolah kweekschool dibuka untuk mendidik kaum bumiputera menjadi guru. Namun jenjangnya tidak terlalu tinggi. Ia hanya setara dengan SPG di tahun 1980an. Padahal untuk jenjang H.I.S sendiri setidaknya membutuhkan tenaga pengajar dengan mutu lebih tinggi daripada kweekschool biasa. Berkenan dengan masalah tersebut, pada tahun 1914 pemerintah kolonial membuka sekolah pendidikan guru yang setingkat di atas kweekschool, Hoogere Kweekschool (H.K.S). Pemerintah kolonial hanya membuka HKS di dua kota saja di Jawa, satu di Bandung, menempati gedung kweekschool pertama di Hindia-Belanda, dan satunya lagi dibangun di Purworejo. Mengapa Purworejo yang menjadi pilihan padahal Purworejo sendiri bukanlah sebuah kota besar ? Peter Carey menyebutkan bahwa infrastruktur yang baik dan dukungan bupati trah Cokronegoro pada dunia pendidikan menjadi pertimbangan Belanda memilih Purworejo sebagai lokasi HKS (Carey, 2017; 218). Selain itu, pemerintah kolonial juga menilai bahwa situasi sosial-politik Purworejo saat itu relatif aman dari paham "nasionalisme radikal" yang saat itu mulai bergema dan dikhawatirkan dapat mempengerahui para siswa HKS (De Locomotief, 1 Desember 1920). Lingkungan kota Purworejo yang tenang juga mendukung suasana belajar para murid HKS. Atas segala pertimbangan tersebut, maka pemerintah kolonial memutuskan untuk membangun HKS di Purworejo dan mengucurkan dana sebesar 53.000 gulden untuk mendirikan kompleks sekolah itu. Begitu pentingnya sekolah itu bagi dunia pendidikan Hindia-Belanda, dimana gubernur jenderal A.W.F Idenburg dalam kunjungannya ke Purworejo pada 11 November 1914 menyempatkan diri untuk meninjau lapangan latihan serdadu di sebelah barat garnisun yang di atasnya akan dibangun kompleks H.K.S Purworejo. Seremoni pembukaannya sendiri pada 19 Oktober 1914 dihadiri oleh direktur Onderwijzens en Eredienst, DR. G.A.J. Hazeu. Selama gedung belum dibangun, siswa H.K.S belajar di bangunan semi permanen sementara bekas gedung pegadaian dijadikan asrama sementara mereka. Keseluruhan gedung sekolah akhirnya purna dibangun pada tahun 1916.
G.A.J. Hazeu, menteri urusan pendidikan yang meresmikan H.K.S. Purworejo.
Sekalipun sekolah ini didirikan oleh Belanda, namun semua siswa yang menempuh pendidikan di situ justru berasal dari kalangan bumiputera.  Siswa H.K.S tak hanya berasal dari sekitar Purworejo saja. Dari segala penjuru daerah di Nusantara, mereka datang ke kota kecil itu karena bagi mereka yang lulus dari sekolah di situ, pamor dan derajatnya akan terangkat di mata orang. Maka dari itu persaingannya cukup keta. Setiap tahun, sekolah bergengsi ini hanya menerima maksimal 75 orang siswa saja. Mereka yang diterima akan menimba ilmu di sini selama 3 tahun lamanya. Tentang pelajarannya, siswa-siswa H.K.S diberi materi pelajaran berupa ilmu pedagogi dan pengetahuan umum dalam bahasa Belanda. Sayang, berselang lima belas tahun sesudah dibuka, riwayat H.K.S Purworejo akhirnya tamat. Pada 1 Juli 1930, H.K.S Purworejo ditutup. Gegaranya ialah krisis ekonomi yang membuat pemerintah kolonial tak sanggup lagi mendanai pengelolaan H.K.S. Siswa kelas 2 dipindahkan ke H.K.S Bandung dan siswa kelas 1 dipindahkan ke Magelang. Sementara R.H. van Otteloo sebagai kepala H.K.S Purworejo terakhir dimutasi ke H.K.S. Bandung (Tjaja Soematra, 12 Mei 1930). Kedua H.K.S tersebut akhirnya juga menyusul ditutup. Betapa singkatnya usia H.K.S. Purworejo. Namun di usia yang singkat tersebut, H.K.S. Purworejo berhasil meluluskan ratusan siswanya yang menjadi guru-guru H.I.S yang tersebar di seantero Hindia-Belanda. Tak sedikit pula lulusan H.K.S. Purworejo yang menjadi cendekiawan dan terjun ke pergerakan nasional. Salah satunya yang paling mahsyur ialah Oto Iskandar di Nata, Si Jalak Harupat dari bumi priangan yang lulus dari H.K.S Purworejo tahun 1924.
Para pamong H.K.S Purworejo (sumber : budayapurworejo.blogspot.com).
H.K.S Purworejo memang telah purna ceritanya tapi tidak pada gedungnya. Marwah gedung tersebut sebagai sarana pendidik terus terjaga pada periode setelahnya. Sesudah HKS Purworejo ditutup, gedungnya dipakai menjadi sekolah di bawah naungan M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijzer) hingga zaman Jepang. Berikutnya pada zaman Jepang menjadi Sekolah Menengah Pertama. Paska kemerdekaan, kembali lagi menjadi sekolah guru. SPG (Sekolah Pendidikan Guru) namanya. Oleh sebab itu, generasi tua masyarakat Purworejo lazim menyebut gedung ini sebagai SPG. Setelah berdiri sejak tahun 1968, SPG akhirnya dihapuskan tahun 1991. Setelah silih berganti institusi, eks kompleks HKS Purworejo lestari sebagai SMA N 7 Purworejo (Pranoto, 2015). Saya sungguh mengapresiasi usaha dari pihak sekolah untuk mengupayakan agar kompleks sekolah ini tetap terawat dengan baik di tengah tuntutan sarana dan prasarana pendidikan yang kian banyak.

Rancangan sekolah HKS yang dibuat oleh Burgerlijke Openbare Werken (sumber : Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken 1917).
Kompleks HKS Purworejo dirancang oleh arsitek dari Burgerlijke Openbare Werken, jawatan pemerintah kolonial yang menangangi pembangunan gedung pemerintahan dan infrastruktur publik. Arsitek tersebut bernama Hoytema dan Beraud. Sementara pengawas pembangunannya bernama Creemers dan Antonisse. Adapun urusan pembukuannya dipegang oleh mantri pribumi bernama Mas Kartodisastro. Beraud merancang gedung kompleks tersebut secara ringkas, jelas, dan praktis. Bangunan dirancang dengan baik dan dibuat dalam bentuk yang modern di masanya. Ruang-ruang kelas memiliki sirkulasi udara yang bagus. Penataan bangunan-bangunan yang ada di dalamnya sudah diperhitungkan dengan seksama. Lihatlah, bagaimana mewadahi berbagai bangunan yang berbeda fungsi seperti lobi, kantor guru, ruang kelas, gymnasium, dapur, ruang makan, ruang kesehatan, asrama siswa, dan tempat tinggal pegawai dalam sebuah kompleks besar. Masing-masing bangunan tadi aksesnya disatukan oleh sebuah doorlop, koridor panjang beratap tanpa dinding. Beraud juga membuat setiap bangunan tidak berdiri terlalu berhimpitan, sehingga terciptalah keleluasaan ruang yang memberi rasa nyaman dalam kegiatan belajar mengajar. Ruang-ruang yang kosong diisi dengan taman yang indah dengan berbagai pohon perindang yang menauinginya. Atas keberhasilan Beraud dan timnya dalam merancang kompleks HKS Purworejo, ia diganjar bonus sebesar 2000 gulden (De Preanger Bode, 29 Januari 1919).
Lampu taman yang masih asli.

Bangku taman dari semen.
Lapangan dan pohon trembesi besar.
Kaki inipun mulai berayun menyusuri setiap jengkal kompleks sekolah yang telah berdiri lebih dari seabad lamanya itu. Suasana sekolah hari itu terasa sepi lantaran hari itu sekolah sedang libur. Tak terlihat kegiatan belajar mengajar seperti pada hari biasa. Di ujung lapangan, tampak pohon trembesi tua yang menjulang tinggi dengan dahannya yang lebat, memberi keteduhan kepada siapapun yang ada di bawahnya. Pohon itu sekilas mungkin tak berbeda dengan pohon besar pada umumnya, tapi bagi siapapun yang pernah bersekolah di sini, pohon itu adalah pohon yang sarat akan kenangan dan romansa.
Doorlop panjang yang menghubungkan setiap bangunan di dalam kompleks H.K.S.
Seperti halnya bangunan kolonial di tempat lain, gedung itu memakai jendela krepyak. Tapi yang membedakannya adalah adanya tonjolan di luar daun jendela. Saya awalnya tak paham apa fungsi tonjolan itu. Tapi begitu saya melihat ada semacam pengait di dinding dan posisinya pas dengan tonjolan itu ketika jendela dibuka, saya akhirnya paham. Tonjolan itu namanya doorstop, biasanya dipakai untuk mencegah daun jendela atau pintu tertutup kembali akibat tertiup angin. Baru di gedung inilah saya menjumpai keberadaan doorstop pada bangunan kolonial.
WC untuk karyawan dan guru.
Ruang makan.
Tungku dapur yang sama yang dipakai oleh juru masak dari era HKS hingga SMA N 7 Purworejo.
Kamar mandi dan kamar kecil untuk siswa.
Ruang pelayanan kesehatan H.K.S. Sempat kosong dan menjadi sarang kelelawar selama bertahun-tahun, saat ini masih memiliki fungsi yang sama sebagai UKS.
Doorlop yang sedang saya susuri ini luar biasa panjang. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal, doorlop ini merupakan penghubung antar bangunan yang ada di dalam kompleks. Salah satu bangunan itu ialah ruang makan yang berada tepat di tengah kompleks. Gedung ruang makan ini berhadapan dengan bangunan gymnasium yang kini telah berubah bersalin rupa. Di belakang ruang makan, terdapat dapur yang juru masaknya masih menggunakan kompor yang sama dengan juru masak ketika sekolah ini masih bernama H.K.S. Terlihat asap yang mengepul tipis dari cerobong yang mencuat di atap.
Tampak luar bekas bangunan asrama.
Saya akhirnya tiba di area barat kompleks HKS Purworejo, dimana di sana terdapat sebuah memanjang yang dulunya adalah asrama untuk siswa. Di asrama itulah para siswa-siswa H.K.S harus tinggal dengan pengawasan ketat layaknya sekolah kedinasan pada zaman sekarang. Sekolah ini memang dibangun dan dimiliki oleh pemerintah kolonial, namun siswa-siswanya yang semuanya berasal dari golongan pribumi diperlakukan cukup baik. Kini bangunan asrama fungsinya diubah menjadi ruang belajar mengajar dan di dalamnya sudah disekat-sekat untuk ruang kelas. Selain asrama, mereka diberi beragam fasilitas secara cuma-cuma oleh pemerintah seperti makanan dan layanan kesehatan. Setiap bulan mereka mendapat tunjangan sebesar 20 gulden dan alat belajar (Kats, 1915; 104). Para siswa-siswa H.K.S yang berasal dari berbagai daerah lalu membuat suatu perhimpunan bernama De Broederschap. Kadang perhimpunan ini mengadakan pertandingan olahraga sesama H.K.S. Perhimpunan murid H.K.S De Broederschap dapat dibilang sebagai embrio persatuan nasional. Peter Carey menyebut jika peran H.K.S mirip dengan sekolah Sultan Idris Training College di Malaysia yang saat itu menjadi jajahan Inggris karena sekolah itu membangkitkan kesadaran kebangsaan Melayu sesama calon guru dari seantero Melayu (Carey, 2017; 219). Jika Sultan Idris membangkitkan kesadaran pada bangsa Melayu, maka HKS Purworejo memiliki sumbangsih besar dalam membentuk tali persaudaraan sesama bangsa Indonesia yang menjadi bekal penting dalam merebut kekuasaan dari Belanda.
Rumah dinas yang diperuntukan sebagai rumah guru Eropa.
Rumah dinas yang diperuntukan sebagai rumah tinggal guru pribumi.
Seusai puas melihat-lihat kompleks sekolah yang masih terawat dengan baik, saya pun beringsut ke Jalan Ki Mangun Sarkoro, seruas jalan teduh yang dipayungi oleh pohon-pohon asam. Di sepanjang jalan ini berdiri bangunan rumah tinggal bergaya Indis yang dulunya menjadi kediaman para pengajar H.K.S Purworejo. Rumah dinas adalah salah satu fasilitas yang didapatkan oleh para tenaga pengajar H.K.S selain gaji bulanan sebesar 550 gulden untuk direktur H.K.S dan 450 gulden untuk tenaga pengajar. Tidak semua sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial dilengkapi dengan rumah dinas guru, dimana hanya sekolah yang dianggap penting saja yang memilikinya (Elout, 1936; 212). Kompleks rumah guru ini aslinya masih merupakan satu lingkungan dengan kompleks H.K.S Purworejo. Dua buah tugu yang terpancang di mulut jalan Ki Mangunsarkoro menjadi penandanya. Di tugu itulah saya menjumpai monogram H.K.S Purworejo yang masih tampak jelas. 
Rumah dinas kepala HKS Purworejo. Foto lama dapat anda lihat di atas.
Semua rumah di sepanjang jalan ini bentuknya masih asli dan kompleks ini masih terlihat indah sekalipun sebuah bangunan baru menjulang begitu anehnya di tengah-tengah kompleks. Rumah-rumah ini memiliki tiga model yang berbeda dan kesemuanya ditata dalam pola yang unik, yakni pola a-b-c-c-b-a seperti cermin. Rumah dinas staf H.K.S Purworejo tak hanya di Jalan Mangun Sarkoro saja. Ada tiga buah rumah berdiri di tepi jalan raya yang ramai. Satu di Jalan Mayjend.Sutoyo, dan dua di jalan Urip Sumoharjo. Salah satu rumah tersebut merupakan rumah paling besar di kompleks H.K.S Purworejo dan rumah itu merupakan tempat tinggal direktur H.K.S Purworejo dan kepala sekolah sesudahnya hingga beberapa saat lalu secara tiba-tiba menjadi kantor instansi pemerintah. 
Eks Hollandsch Inlandsch School Purworejo.
Di selatan kompleks SMA N 7 Purworejo, ada kompleks sekolah lain, yakni SMP N 1 Purworejo yang menempati bekas Hollandsch Inlandsch School (HIS) Purworejo. Sekolah tersebut tidak seperti HIS pada umumnya karena selain sebagai sekolah dasar untuk anak-anak pribumi, sekolah tersebut juga dimaksudkan sebagai sekolah praktek siswa HKS. HIS Purworejo mulai dibangun pada tahun 1917 dan selesai setahun berikutnya. Kegiatan HIS Purworejo masih terus berjalan meski HKS Purworejo sudah ditutup hingga zaman pendudukan Jepang. HIS Purworejo lalu diubah menjadi SMP Negeri 1 Purworejo dan sejak saat itu eks bangunan HIS terus digunakan sebagai SMP N 1 Purworejo.
Monogram H.K.S yang berada di mulut jalan Ki Mangun Sarkoro.
Dengan berat hati sayapun meninggalkan kompleks sekolah itu. Namun tersimpan sebuah rasa bangga dan bahagia di hati kecil saya. Bangga karena di kota tempat saya lahir dan tumbuh, terdapat sebuah kompleks sekolah yang menjadi kawah candradimukanya para guru di masa lampau yang menyimpan nilai sejarah perjuangan bangsa. Bahagia karena ia masih lestari dengan baik sampai sekarang, menjadi tetenger yang memberi wajah tersendiri untuk kota Purworejo. Sayang, peran besar H.K.S Purworejo belum sempat ditulis dalam sejarah modern Indonesia. Sayapun hanya bisa berharap, mulai dari warga sekolah hingga semua masyarakat Purworejo, untuk bisa selalu merawat warisan sejarah yang dimilikinya. Sebuah warisan berharga yang hendak kita wariskan untuk generasi selanjutnya….

Referensi
Carey, Peter. 2017. Sisi Lain Diponegoro ; Babad Kedungkebo da Historiografi Perang Jawa. Jakarta; Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Pranoto, Agung.2015 .Dalam  http://budayapurworejo.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-hks-hoogere-kweekschool.html.

Cribb, Robert & Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok : Komunitas Bambu.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18 September 1914.

De Preanger Bode, 29 Januari 1919

Tjaja Soematra, 12 Mei 1930.

Elout, C.K. 1936. Indisch Dagbook. Den Haag ; W.P. Van Stockum & Zoon N.V.

Kats, J. 1915. Overzicht van het Onderwijs in Ned. Indie. Batavia : Landsdrukkerij.

Vidi S, Albertus Agung. 2009. "Dinamika Pola Tata Ruang HKS Sampai SMAN 7 Purworejo". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.

Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken. 1917