Kamis, 25 Februari 2021

Gang Afrikan ; Sepenggal Sejarah Serdadu Afrika yang Tertinggal di Purworejo

Ketiga rumah yang berdiri di jalan Jenderal Sudirman, Purworejo itu tampak seperti rumah dari masa kolonial di tempat lainnya yang ditunjukkan dengan jendela krepyaknya yang tinggi. Namun jika menilik sejarahnya, deretan rumah tersebut menyimpan kisah yang cukup istimewa. Petunjuknya terletak pada nama gang dekat rumah tersebut, “Gang Afrikan". Membaca nama gang tersebut membuat kita teringat pada sebuah benua yang identik dengan masyarakat kulit hitam. Apa hubungan benua tersebut dengan gang beserta rumah-rumah itu ?

Seorang Belanda Hitam di Batavia.
 (sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl)

Setelah VOC bubar pada tahun 1799, urusan tanah jajahan Hindia-Belanda berada di tangan pemerintah kerajaan Belanda. Kendala timbul saat jajaran ketentaraan untuk koloni mengalami kekurangan personel. Sebelumnya kekurangan tersebut dapat diatasi dengan mengambil tentara bayaran asing. Sialnya adalah sedikit sekali pemuda Belanda yang berkenan untuk mengabdi di koloni karena tingginya angka kematian akibat penyakit tropis di sana. Hanya mereka yang betul-betul berniat atau tentara buangan saja yang dikirimkan ke Hindia-Belanda. Pecahnya Perang Jawa dari 1825 hingga 1830 semakin menguras jumlah tentara yang ada di koloni. Guna mengurai masalah tersebut, maka ada usulan untuk memasukan orang-orang Afrika ke dalam tubuh pasukan Angkatan Perang Hindia Belanda atau KNIL (Kessel, 2005: 41).

Lukisan yang memperlihatkan seorang serdadu Belanda Hitam sedang beraksi
(sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl).

Penggunaan orang Afrika dalam ketentaraan kolonial Eropa memang sedang marak dilakukan pada abad ke-19. Perancis membentuk kesatuan kulit hitam yang dikenal sebagai korps Tirallieurs Senegalais. Kemudian Inggris membentuk kesatuan sejenis, West Indian Regiment. Menurut Ineke van Keesel dalam “Serdadu Afrika di Hindia-Belanda, 1831-1945”, ada alasan mengapa negara-negara Eropa mengambil orang kulit hitam untuk ditempatkan di tanah jajahannya. Saat serdadu koloni direkrut dari orang pribumi, ada potensi mereka bakal melawan balik tuannya. Hal itu akhirnya terbukti dalam peristiwa pemberontakan Sepoy di India pada 1857. Dengan merekrut orang kulit hitam, maka akan didapat pasukan yang lebih setia sekaligus memenuhi jumlah tentara yang diperlukan. Kemudian timbul pertanyaan, darimana Belanda akan memperoleh tentara kulit hitam mengingat mereka tidak memiliki banyak jajahan di Afrika ? Ada beberapa usulan. Seorang perwira Inggris bernama Hamilton Smith menyarankan mengambil orang kulit hitam dari Pantai Guinea dan budak dari Suriname. Sementara Van Saksen-Weimar mengusulkan untuk mengambil orang kulit hitam  dari Amerika Serikat.(Kessel, 2011; 24-29)

Elmina Castle atau Fort St. George menjadi markas Belanda di Gold Coast (kini Ghana) setelah benteng tersebut direbut dari Portugis pada 1637. Belanda bercokol di benteng tersebut hingga tahun 1872. Selama ditempati Belanda, benteng ini menjadi tempat pengiriman budak-budak dan serdadu kulit hitam(sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl). 

Saran Hamilton Smith kemudian yang dipilih namun Belanda akan mengambil orang-orang kulit hitam dari Pantai Guinea, bukan dari Suriname dengan pertimbangan bahwa para budak kulit hitam dari Suriname diragukan kesetiaanya dan tidak ada orang kulit hitam merdeka yang mau ditugaskan ke Hindia-Belanda karena mereka sudah berkeluarga. Di Pantai Guinea yang dulu bernama Gold Coast, Belanda memiliki pos dagang di Elmina yang sudah berdiri sejak abad ke-17. Pada tahun 1831, Raja Willem I memberi perintah untuk merekrut satu kompi dari Elmina dan mengirimkannya ke Jawa sebagai ujicoba. Pada ujicoba tersebut, baru diperoleh 44 serdadu, jauh dari target yang diinginkan yakni 150 serdadu (Kessel, 2004: 44). Meskipun tidak mencapai target, perekrutan tentara baru tetap dilakukan karena militer Belanda puas dengan keberanian dan daya tahan orang Afrika dalam beradaptasi di lingkungan barunya. Berkaca dari kegagalan perekrutan pertama, maka Belanda mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Ashanti pada tahun 1837 supaya kuota rekrutan sanggup terpenuhi. Raja Ashanti akan  menyerahkan seribu orang baik yang memenuhi syarat fisik dan sebagai imbalannya raja akan diberi senjata, emas, atau benda yang dapat dipesan pemerintah Belanda. Perekrutan sempat terhenti karena Inggris yang melarang perdagangan budak sejak tahun 1808 menilai tindakan perekrutan orang kulit hitam yang dilakukan oleh Belanda termasuk dari perdagangan budak. Perekrutan kembali dilakukan pada tahun 1855 karena desakan dari Gubernur Jenderal Rochussen untuk menambah jumlah pasukan karena pergolakan di Eropa saat itu dikhawatirkan akan meluas ke Hindia-Belanda. Untuk menghindari persoalan dengan Inggris, maka perekrutan kali ini dibatasi hanya untuk orang merdeka saja. Semenjak Elmina diserahkan dari Belanda ke Inggris pada tahun 1872, upaya mendatangkan orang Afrika sebagai tentara di Hindia-Belanda boleh dikatakan sudah berakhir. Meskipun demikian, masih ada upaya untuk merekrut orang Afrika dari tempat lain seperti Liberia, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Suriname namun jumlahnya sangat terbatas (idem, 2011; 170-171).

Potrait Jan Kooi, serdadu kulit hitam yang menerima medali Militarie Willemsorde
(sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl).

Penampilan pertama serdadu Afrika di bawah panji-panji Belanda adalah saat mereka diterjunkan untuk meredam perlawanan di Lampung pada tahun 1832. Selanjutnya, mereka dilibatkan dalam upaya pemerintah kolonial menaklukan wilayah yang belum ditundukan seperti Sumatera Barat, Bali, Timor, Sulawesi, Kalimantan, dan Aceh. Palagan-palagan tersebut menjadi pembuktian keunggulan serdadu Afrika. Mereka memiliki keberanian tinggi, badan yang cukup tahan terhadap keganasan iklim tropis, dan sanggup beradaptasi. Beberapa serdadu Afrika itu ada yang mendapat medali Wilitaire Willemsorde seperti Kopral Jan Kooi. Ia dianugerahkan medali itu karena menyelamatkan seorang letnan Belanda dan menahan serangan musuh pada saat Perang Aceh. Sekalipun demikian, ada sejumlah keluhan mengenai serdadu Afrika itu. Sejumlah perwira Belanda mencap orang-orang Afrika itu sebagai bodoh, malas, dan biang onar. Pandangan mereka kian menguat saat serdadu Afrika itu melakukan pemberontakan dan desersi di beberapa garnisun tak terkecuali di Purworejo. Pada bulan Juni 1842, tujuh serdadu Afrika melakukan desersi dan mereka melawan balik saat akan dtiangkap. Hanya seorang desertir saja yang dikembalikan ke garnisun dalam keadaan hidup. Keonaran yang dibuat oleh para serdadu Afrika itu bukannya tanpa sebab. Setelah diusut, para serdadu Afrika tersebut rupanya sakit hati karena merasa militer Belanda sudah mengingkari janjinya soal kesetaraan. Kedudukan serdadu Afrika resminya disetarakan dengan orang Eropa. Tujuannya adalah untuk menjamin kesetiaan dan mencegah berbaurnya mereka dengan orang pribumi. Kenyataanya menujukan bahwa perlakuan yang mereka terima tidak mencerminkan janji pemerintah kolonial tentang kesetaraan seperti keterlambatan upah dan hal sepele seperti pembagian alas tidur. Sikap ingkar janji itulah yang memicu para serdadu Afrika untuk memberontak (Kessel, 2011: 109).

Peta Purworejo tahun 1903. Letak kampung Afrikan ditandai dalam kotak warna merah.

Toponim Gang Afrikan.

Sebuah rumah lama di Gang Afrikan I.

Sebuah rumah lama di Gang Afrikan II.

Sesudah masa dinasnya habis, beberapa serdadu Afrika memilih pulang kampung ke negeri asalnya. Namun ada juga yang memilih untuk menghabiskan hidupnya di Hindia-Belanda. Mereka lalu membina rumah tangga dengan perempuan pribumi dan beranak-pinak di sini. Jejak-jejak kehidupan masyarakat kulit hitam itu terekam dan tertinggal di suatu kampung di Purworejo yang bernama kampung Afrikan. Tidak mengherankan bila di kota kecil itu dapat ditemukan adanya komunitas kulit hitam karena Purworejo dulunya adalah kota garnisun. Kompi-kompi serdadu Afrika itu ditempatkan di di Purworejo yang sejak Perang Jawa berakhir menjadi markas dari sebuah batalion KNIL. Riwayat dari kampung tersebut diuraikan oleh seorang pensiunan letnan Afrika bernama Doris Land dalam naskahnya, Het ontstaan van de Afrikaansche kampong te Poerworedjo. Riwayat terbentuknya kampung itu dimulai saat jumlah serdadu kulit hitam di Purworejo bertambah sehingga mereka hampir tidak muat di dalam tangsi. Supaya mereka tidak tinggal berbaur dengan orang pribumi dan kehidupan orang kulit putih di dalam tangsi tidak terganggu, maka pemerintah melalui Besluit tanggal 30 Agustus 1859 membelikan sebidang lahan seluas 1.150 m di Pangenjurutengah untuk serdadu kulit hitam sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam (Kessel, 2011: 219). Karena tanah tersebut sering tergenang banjir, keluarga serdadu Afrika itu pindah ke bagian timur yang lebih tinggi. Tanah yang ditinggalkan itu nantinya dilepas untuk pembangunan Zendinghospitaal (kini RS Dr. Tjitrowardojo).


Foto lama pernikahan Theo Klink dan Juliana Klink pada tahun 1935. Mereka berfoto di depan rumah keluarga Klink. Rumah tersebut masih ada sampai hari ini. (sumber foto lama : koleksi Cordus dalam Kessel, Zwarte Hollander).

Tempat mereka tinggal di Pangenjurutengah itu kemudian dikenal sebagai kampung Afrikan. Kurang lebih ada 29 keluarga Afrika yang tinggal di kampung itu seperti keluarga Ruiter, Land, Beelt, Klink, Artz dan lainnya. Rumah-rumah di kampung Afrikan semula masih terbuat dari kayu. Setelah kehidupan mereka membaik, mereka mendirikan rumah batu. Perbaikan lingkungan kampung juga turut dilakukan dengan melebarkan jalan dan penggalian selokan. Semua pekerjaan itu dilakukan secara gotong royong oleh warga kamp (Kessel, 2011: 221). Hari ini, beberapa rumah lama di Gang Afrikan masih berdiri dan sekiranya dapat menunjukan seperti apa kehidupan mereka di masa lalu. Gaya bangunan yang tidak beda jauh dengan kelurga kelas menengah Eropa di Hindia-Belanda menunjukan bahwa keluarga Afrika itu tidak begitu kaya namun juga tidak terlalu kekurangan. Gaji tentara dan pensiunan tidak terlalu besar sehingga mereka menggarap kebun kecil untuk keperluan sehari-hari. Orang-orang Afrika merasa kedudukan mereka sudah sejajar dengan orang Eropa sehingga selain urusan tempat tinggal, beberapa gaya hidup orang Eropa juga berusaha mereka tiru. Mereka memakai nama Eropa, menganut agama Katolik dan untuk urusan pendidikan anak-anak mereka disekolahkan di sekolah dasar Eropa. Jenasah mereka  dimakamkan di Kerkhof Purworejo yang notabene adalah permakaman untuk golongan Eropa. Hanya dalam dua-tiga generasi, derajat orang Afrika begitu cepat terangkat dari budak hingga menjadi bagian dari lingkungan elite kolonial yang mapan. Karena orang-orang kulit hitam itu mengikuti gaya hidup orang-orang Belanda, mereka disebut sebagai Belanda Hitam, Zwarte Hollander, atau Londo Ireng (Kusruri, 2001; 29).


Foto keluarga Baas, Land, Blind, dan Cordus di depan rumah keluarga Land sekitar tahun 1930. Bangunan rumah keluarga Land masih berdiri namun saat ini tidak dimanfaatkan (sumber foto lama : koleksi Cordus dalam Kessel, Zwarte Hollander).

Rumah bercat biru itu dulunya adalah rumah dari Doris Land, kepala kampung Afrikan tahun 1930an yang juga penulis dari sejarah kampung Afrikan. Jabatan kepala kampung sejatinya sudah dihapus pada tahun 1923, namun tampaknya warga kampung tersebut membutuhkan sosok pemimpin. Kepala kampung Afrikan pertama adalah Sersan J. Klink yang tiba di Hindia-Belanda tahun 1837. Ia menjabat sebagai kepala kampung sampai tahun 1890. Kepala kampung Afrikan diberi mandat untuk menyelesaikan masalah dan perselisihan yang terjadi di dalam kampung (Kessel, 2011: 220). Kadang perselisihan juga bisa meluas hingga keluar kampung. Suatu hari di tahun 1910, ada seorang pemuda Jawa dari kampung Sindurjan yang dicemooh oleh pemuda Afrika karena bahasa Belandanya yang buruk. Pemuda itu lalu mengajak gerombolannya untuk mengepung kampung Afrika seraya memaki pemuda Afrika. Pemuda Jawa yang dicemooh oleh pemuda Afrika itu bernama Urip Sumoharjo (Kusruri, 2001: 27). Perselisihan memang kerap terjadi antarpenghuni namun bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Meskipun ada perselisihan, namun irama kehidupan di dalamnya penuh dengan kegembiraan dan kearakaban bagi penghuninya terutama bagi anak muda. Mereka bermain, berburu hewan, dan memancing di persawahan dekat kampung. Puncak kehidupan kampung itu adalah saat Natal dan Tahun Baru. Hubungan warga kampung Afrika dengan kampung tetangga yang dihuni orang pribumi juga terpelihara dengan baik.

Makam salah satu keturunan Afrika bernama Lena de Ruiter di kerkhof Purworejo.

Pendudukan Jepang adalah masa-masa sulit bagi warga Kampung Afrikan. Kala derap kaki barisan pasukan Jepang sedang menuju Purworejo, garnisun KNIL di Purworejo sudah dikosongkan sehingga hanya tersisa perempuan, anak-anak, dan laki-laki sipil. Mereka yang tersisa dikumpulkan. Orang-orang Eropa ditawan di Hotel van Laar sementara keluarga Afrika diperbolehkan pulang. Status Eropa yang tanggung justru menyelamatkan mereka dari nasib malang yang akan dialami oleh orang Eropa selama pendudukan Jepang. Kampung Afrikan kini hanya terisi perempuan, anak-anak, dan lansia. Karena sekolah ditutup, anak-anak lalu dipekerjakan Jepang di pabrik. Tidak pendapatan sama sekali untuk keluarga sehingga mereka menjual perabotan, perhiasan, dan kue buatan rumah. Untungnya masih ada kebun yang menyediakan buah dan sayuran. Berkat kebun itu setidaknya dapur mereka masih bisa mengepul di tengah masa sulit. Kehidupan warga Kampung Afrikan di Purworejo lebih baik dibanding warga Afrika di tempat lain yang ditawan di kamp (Kessel, 2011: 246-247). Riwayat komunitas Belanda Hitam di Gang Afrikan akhirnya terputus persis 2 hari sebelum proklamasi kemerdekaan RI. Pada 15 Agustus 1945, warga kampung Afrika diperintahkan untuk mengemas barang-barangnya. Mereka lalu diangkut keluar Purworejo. Mereka rupanya terhitung sebagai warga Eropa sehingga mereka perlu diamankan keluar (Kessel, 2011: 254-255). Hal yang terjadi selanjutnya adalah perpisahan antar penghuni kampung Afrikan karena mereka dibawa ke tempat yang terpisah. Rumah-rumah mereka di Kampung Afrikan dibeli oleh orang Indonesia. Beberapa keluarga Afrika itu ada yang masih menetap di Indonesia namun lebih banyak yang memilih angkat kaki dari Indonesia dan pergi ke Belanda karena golongan mereka sudah terlanjur dianggap sebagai bagian dari penjajah meskipun memiliki warna kulit berbeda.

Makam serdadu asal Afrika bernama G. Artz di kerkhof Purworejo yang sudah hilang prasastinya.

Demikianlah tulisan Jejak Kolonial kali ini mengenai jejak komunitas orang Afrika di Purworejo. Hal ini seakan menunjukan bahwa meskipun Purworejo adalah kota kecil, tapi di masa lalu pernah menjadi kota metropolitan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dari berbagai belahan benua dunia. Di Elmina, kenangan akan kehadiran orang Afrika di Indonesia diwujudkan dalam bentuk museum "Elmina-Java Museum". Sementara di Indonesia tepatnya di Purworejo, jejak yang membuktikan kehadiran itu nyaris terhapus setelah prasasti makam orang Afrika di Kerkhof Purworejo diambil oleh orang tidak bertanggung jawab dan nama gang Afrikan bahkan sempat diganti oleh pemerintah daerah setempat. Beruntung bagi generasi sekarang karena berkat perjuangan ibu Endri Kusruri, nama gang itu bisa dikembalikan lagi sesuai sejarahnya pada tahun 2002. Kini jejak itu hanya ditulis di papan logam kecil yang sudah mulai berkarat.

Referensi

Kessel, Ineke van. 2005. "West African Soldiers in The Dutch Indies ; From Donkos to Black Dutchmen" dalam Jurnal Transactions in Historical Society of Ghana, No. 9 tahun 2005.

idem. 2011. Serdadu Afrika di Hindia-Belanda 1831-1945. Depok : Komunitas Bambu.

Kusruri, Endri. 2001. Dinamika Masyarakat Pendatang dari Afrika di Purworejo ; Suatu Kajian Historis Sosiologis. Salatiga : Widya Sari Press.

Selasa, 12 Januari 2021

Mengais Sisa Ingatan Kerkhof Tanah Abang di Museum Taman Prasasti

Ada suatu masa dimana Jakarta pernah memiliki suatu permakaman yang berjejal dengan aneka makam bergaya Eropa. Nyaris tergusur seluruhnya, permakaman tersebut kini menyisakan lahan yang kini ditata sebagai museum dalam konsep taman terbuka yang berisikan batu-batu nisan yang akan menuturkan kisahnya masing-masing.

Pintu gerbang kerkhof Tanah Abang/Museum Taman Prasasti.

Balairung bergaya Yunani Kuna kuna menyambut saya sebelum memasuki museum. Balairung yang mengingatkan saya pada bangunan Kuil Yunani ini dibangun pada tahun 1844. Di bawah atap balairung ini, jenasah diturunkan dari kereta atau mobil jenasah dan diikuti dengan upacara pelepasan jenasah. Museum Taman Prasasti dahulunya memang merupakan permakaman untuk orang-orang Eropa di Batavia yang dikenal dengan nama Kerkhof Kebon Jahe Kober atau Kerkhof Tanah Abang. Lama sebelum Kerkhof Tanah Abang dibuka, orang-orang Belanda sebagaimana tradisi leluhurnya di Eropa memakamkan jenasah di halaman gereja. Pada mulanya mereka menguburkan jenasah di halaman kapel di dalam Kastil Batavia yang sempit. Setelah itu, halaman gereja Hollandsche Kerk atau Gereja Belanda menjadi satu-satunya tempat permakaman umum Eropa di Batavia sampai halaman Gereja Portugis Dalam Kota (Binnenkerk) juga dijadikan sebagai tempat penguburan pada 1654. Semenjak orang Belanda mendirikan kota Batavia di atas puing kota Jayakarta pada tahun 1619, banyak di antara dari mereka yang menghadapi mautnya di kota ini. Malaria, kolera, dan disentri adalah nama-nama penyakit yang merenggut nyawa orang-orang Belanda di sini tanpa mengenal pangkat dan kekayaan. Para dokter dan tenaga kesehatan tidak mampu menyembuhkan pasien yang terjangkit serangan wabah penyakit tropis itu. Keadaan rumah sakit yang buruk juga turut andil pada tingginya angka kematian di Batavia. Tidak mengherankan jika Batavia berjuluk “Kuburan Orang-orang Belanda” (Lombard, 82: 2018). Akibat tingginya angka kematian di Batavia, maka permakaman di halaman gereja kian menumpuk sehingga sulit mendapatkan tempat mengubur baru di sana. Sejak tahun 1704, permakaman di Hollandsche Kerk dan Binnenkerk tidak menerima jenasah dari orang berkasta rendah. Sebagai gantinya, mereka dikuburkan di permakaman dekat Buitenkerk atau Gereja Portugis Luar Kota (kini Gereja Sion). Bagi keluarga berada, mereka menguburkan jenasah di halaman rumah peristirahatan luar kota milik mereka. Saat permakaman di Hollandsche Kerk dan Binnenkerk tidak menawarkan cukup ruang lagi untuk penguburan baru, maka permakaman di kedua gereja tersebut dilarang pada tahun 1796. Ketika lahan lahan permakaman yang tersedia sudah menyusut, maka dibukalah permakaman baru di Tanah Abang yang saat itu letaknya jauh dari kota. Penguburan jenasah sudah berlangsung di Tanah Abang sejak tahun 1795, namun tempat tersebut baru resmi dibuka untuk permakaman umum pada 6 Februari 1797 (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen,1922: 342-346). Jenasah pertama yang dimakamkan setelah diresmikannya Tanah Abang sebagai permakaman umum adalah jenasah seorang bayi 7 bulan bernama Carel Pieter yang dikubur pada 3 Januari 1799 (Prins, 1934: 51-53). Kerkhof Tanah Abang menjadi tempat penguburan Gubernur VOC terakhir, P.G. van Overstraten.


Letak kerkhof Tanah Abang atau Kebon Jahe (sumber : Batavia en Omstrekken 1904)

Suasana kerkhof Tanah Abang pada akhir abad 19 (sumber : media-kitlv.nl)

Kerkhof Tanah Abang adalah permakaman umum untuk golongan Eropa. Itu artinya setiap orang yang statusnya setara dengan orang Eropa boleh dimakamkan di sana. Itulah sebabnya di Kerkhof selain ada makam orang Belanda juga ada makam orang Inggris, Amerika Setikat, Yahudi, dll. Semula, pengelolaan Kerkhof Tanah Abang digarap oleh komisi pemerintah lokal yang disebut Kommisie voor Het Beheer Der Begraafplaatsen voor Lijken van Europanen en Met Dezen Gelijkgestelden. Bagi masyarakat Batavia, upacara kematian menjadi ajang pamer kemegahan yang penuh gengsi. Saat upacara duka, semua pelayat mengenakan busana warna hitam bahkan bagian dalam rumah pun juga diselubung dengan kain hitam. Peti mati yang sudah dihias lalu dipikul oleh sahabat, kenalan, atau tukang pikul yang disewa. Selanjutnya keluarga jenasah yang mampu akan mendatangkan beberapa orang yang dibayar untuk pura-mura meratapi dan menangisi jenasah. Mereka akan menangisi hingga iringan jenasah menjauh dari rumah duka. Setidaknya ada dua pilihan kendaraan yang akan mengantarkan jenasah ke permakaman Tanah Abang. Pertama menggunakan kereta jenasah yang ditarik kuda hitam dan jumlah kudanya menyesuaikan bayaran. Pilihan kedua menggunakan perahu yang akan menyusuri Sungai Ciliwung. Namun jumlah iringan dibatasi hanya 3 perahu saja. Waktu yang dipilih untuk penguburan adalah pada saat hari sudah gelap sehingga tercipta suasana agung lewat temaram obor yang dibawa para pengantar jenasah (Soekiman, 2014:128-129).

Foto oleh Boy Lawson yang memperlihatkan keadaan kerkhof Tanah Abang pada tahun 1970
(sumber : troppenmuseum.nl)

Iklan "Hansen Jacobs" sebagai badan usaha pengelola kerkhof Tanah Abang.

Sejalan dengan Revolusi Industri yang mendorong kapitalisme, maka lahan permakaman yang asalnya merupakan tempat sakral namun tidak produktif diubah menjadi aset yang memberi keuntungan yan berlimpah. Praktik tersebut bermula dari pembukaan permakaman Kensal Green di London, Inggris pada tahun 1833. Permakaman tersebut membuka babak baru dalam sejarah tradisi permakaman karena untuk pertama kalinya permakaman dijalankan untuk kepentingan bisnis. Selain menyediakan lahan, pengurus permakaman akan memberikan pelayanan lebih untuk upacara permakaman berdasarkan tarif yang dipilih konsumen. Tren tersebut rupanya ditiru di Hindia-Belanda seabad kemudian. Pada tahun 1923, dua pengusaha Belanda yakni Hansen dan Jacobson bermaksud mengajukan izin usaha rumah duka kepada pemerintah kota. Alih-alih mendapat izin usah rumah duka, Hansen justru diberikan pacht atau sewa usaha untuk mengelola Kerkhof Tanah Abang yang saat itu dijalankan oleh perusahaan milik pemerintah kota yang bertahun-tahun terus merugi. Di bawah naungan firma “Hansen & Jacobson”, kerkhof Tanah Abang resmi diurus sebagai usaha komersil dan memperoleh keuntungan yang lumayan besar. Perusahaan yang berkantor di sebelah Kerkhof Tanah Abang tersebut menyediakan segala jasa untuk urusan kematian seperti pemberitahuan kabar duka, pembuatan peti mati, pemasangan pusara beserta hiasannya di atas makam. Selain itu, perusahan juga mengatur jalannya upacara permakaman yang seringkali terganggu oleh penduka tak diundang. Permakaman Mgr. E.S. Luypen menjadi permakaman pertama yang diurus oleh “Hansen & Jacobson”. Setiap bulan, Hansen membayar sewa usaha kepada pemerintah kota sebesar 450 gulden. Perjalanan “Hansen & Jacobson” sebagai pachter permakaman berakhir pada tahun 1933 seiring dengan krisis ekonomi yang menerpa Hindia-Belanda saat itu. Sekalipun nilai sewa dari pemerintah sudah diturunkan menjadi 300 gulden perbulan, hal itu belum cukup untuk menutupi kerugian yang ada. Akhirnya “Hansen & Jacobson” harus melepas izin sewanya kepada pemerintah kota (Bataviaasch Nieuwsblad 27 Oktober 1934).

Sebelum melangkah masuk ke dalam, saya mengamati tiga belas batu lempengan nisan berbentuk persegi panjang besar masih menempel berjejer di dinding samping kanan-kiri balairung. Batu-batu nisan tersebut “menuturkan” bahwa mereka merupakan pindahan dari permakaman tua yang dahulu ada di halaman Hollandsche Kerk dan Binnenkerk. Bangunan Holllandche Kerk dibongkar pada tahun 1809 atas perintah Daendels. Sementara gereja Binnenskerk habis terlalap api setahun sebelumnya. Beberapa batu nisan dipindahkan ke Kerkhof Tanah Abang dan sisanya dijual begitu saja. Sejumlah batu nisan yang berhasil ditemukan dibawa kembali ke Kerkhof Tanah Abang (Prins, 1934: 51-53). Pada awal abad ke-20, kerkhof Tanah Abang sebagaimana pendahulunya juga hampir terisi penuh. Pemerintah kota Batavia membuka lahan permakaman umum baru di Petamburan pada tahun 1919 (Eggink, 1930: 157). Meskipun sudah padat, kerkhof Tanah Abang tetap menjadi pilihan tempat penguburan karena makam baru di Petamburan jaraknya dirasa terlalu jauh (Algemeen Handelsblad, 23 Desember 1928). Sesudah kemerdekaan, Kerkhof Tanah Abang masih digunakan sebagai tempat permakaman. Beberapa tokoh yang dimakamkan pada masa itu antara lain aktivis Soe Hok Gie dan filsuf Drijakara. Kerkhof Tanah Abang rupanya tidak kekal. Memasuki tahun 1970an, Kerkhof sudah dalam keadaan terbengkalai. Pada tahun 1975, Kerkhof Tanah Abang ditutup. Pertumbuhan kota Jakarta yang tak terbendung memaksa orang-orang mati harus merelakan tanah tempat mereka bersemayam digusur untuk kepentingan orang-orang hidup. Maka jadilah lahan Kerkhof yang semula mencapai 5,9 ha, kini tinggal 1,3 ha saja karena lahannya dipangkas untuk kantor Walikota Jakarta Pusat. Beberapa keluarga yang saudaranya dimakamkan di Kerkhof Tanah Abang mengambil jenasahnya dan dikubur ke tempat lain (Leeuwarder Courant, 3 Januari 1976). Beruntungnya, tidak seperti kerkhof di tempat lain yang sudah lekang dari pemandangan kota, sepenggal lahan yang tersisa dari Kerkhof Tanah Abang dipertahankan dan beberapa batu nisan yang menonjol dihimpun. Begitulah kisah dari Kerkhof Tanah Abang yang membuka lembaran barunya sebagai Museum Taman Prasasti.

Contoh panji heraldik.

Angka tahun yang tertera menunjukan kelawasan batu nisan yang ada di balairung. Bahannya terbuat dari batu yang dinamakan batu Coromandel. Nama tersebut merujuk pada asal tempat batu tersebut diperoleh. Masing-masing batu nisan memiliki ukiran yang disebut panji heraldik nan gagah yang tergurat pada setiap batu nisan tersebut. Istilah ‘heraldik’ asalnya dari kata Inggris, ‘herald’ yang dapat diartikan sebagai pengumuman atau penanda. Panji heraldik sarat akan informasi tentang identitas individu dan lingkungan budaya tempat mereka tinggal, serta sebagai perangkat pembantu untuk melacak asal-usul keluarga. Panji heraldik sudah muncul di Eropa sejak Abad Pertengahan, sebuah abad yang erat kaitannya dengan sistem feodalisme. Mulanya, panji heraldik hanya diperuntukan bagi keluarga raja dan bangsawan. Penggunaanya kemudian meluas pada kaum non bangsawan seperti rohaniwan gereja, pengrajin, gilda pekerja, dan tarekat keagamaan. Selain sebagai penanda kelompok tertentu, panji heraldic juga menjadi perlambang status sosial. Orang yang berjasa bagi kerajaan dianugerahi dengan panji heraldic dan mereka berhak untuk memasangnya di barang dan aset yang dimiliki. Sebaliknya jika mereka melanggar hukum, maka hak mereka untuk memasang lambang heraldic akan dicabut. Semenjak bergolaknya Revolusi Perancis yang membabat habis banyak bangsawan, penggunaan panji heraldic mulai surut, terutama setelah Sidang Dewan Konstiturante pada 19 Juni 1790 yang mengeluarkan dekrit penghapusan panji heraldik yang dipandang sebagai simbol feodalisme.



Batu-batu nisan berbahan besi di Museum Taman Prasasti.

Batu nisan berbahasa Ibrani dan Belanda.

Batu nisan berbahasa Inggris dan Armenia.

Makam kelurga Van Delden.

Koleks batu nisan di Museum Taman Prasasti.
Membicarkan museum, orang biasanya akan mendapati sebuah gedung yang berisi dengan barang-barang kuno. Namun saat menjejak ke dalam Museum Taman Prasasti, kita justru akan menjumpai sebuah taman terbuka hijau yang di atasnya terpajang aneka prasasti makam. Prasasti makam atau batu nisan tidak hanya berfungsi untuk menunjukan makam seseorang. Lebih dari itu, dari prasasti makam kita untuk memetik pengetahuan tentang proses perubahan budaya yang terjadi dalam ruang dan kurun waktu tertentu (Nurhadi, 2016: 56). Kata demi kata yang tertoreh pada batu nisan adalah kepingan kecil yang akan melengkapi sejarah yang lebih besar. Sayangya, batu-batu nisan yang ada di Museum Taman Prasasti sudah tercerabut dari tempat asalnya sehingga nuansa dari permakaman kuna yang dahulu pernah eksis di Jakarta sudah tidak terasa lagi. Meskipun demikian, setidaknya kerkhof Tanah Abang tidak sepenuhnya terhanyut oleh derasnya arus pembangunan Jakarta.

Membicarkan museum, orang biasanya akan mendapati sebuah gedung yang berisi dengan barang-barang kuno. Namun saat menjejak ke dalam Museum Taman Prasasti, kita justru akan menjumpai sebuah taman terbuka hijau yang di atasnya terpajang aneka prasasti makam. Prasasti makam atau batu nisan tidak hanya berfungsi untuk menunjukan makam seseorang. Lebih dari itu, dari prasasti makam kita untuk memetik pengetahuan tentang proses perubahan budaya yang terjadi dalam ruang dan kurun waktu tertentu (Nurhadi, 2016: 56). Kata demi kata yang tertoreh pada batu nisan adalah kepingan kecil yang akan melengkapi sejarah yang lebih besar. Sayangya, batu-batu nisan yang ada di Museum Taman Prasasti sudah tercerabut dari tempat asalnya sehingga nuansa dari permakaman kuna yang dahulu pernah eksis di Jakarta sudah tidak terasa lagi. Meskipun demikian, setidaknya kerkhof Tanah Abang tidak sepenuhnya terhanyut oleh derasnya arus pembangunan Jakarta.


Makam Olivia Mariamne Raffles.

Sejumlah batu nisan yang dituliskan dalam bahasa Inggris seakan menuturkan bahwa  di Kerkhof Tanah Abang selain orang Belanda juga dimakamkan beberapa orang Inggris. Di antaranya yang paling terkenal adalah makam Olivia Mariamne, istri dari pendiri negara kota Singapura, Thomas Stamford Raffles. Batu tangga makamnya diambil dari Hollandse Kerk. Sejatinya, makam Olivia memiliki atap namun karena sudah rusak maka dibongkar dan kedelapan kolomnya dipangkas. Sebagai bukit kecintaan terhadap istrinya, Raffles juga mendirikan tugu peringtan di dalam Kebun Raya Bogor dan masih ada orang yang salah sangka jika tugu tersebut merupakan makam dari istri terkasihnya. Olivia adalah putri dari George Devenish. Kendati lahir di India, ia dibesarkan di Irlandia. Sepanjang hidupnya, Olivia sudah dua kali menikah. Pertama dengan Jacob Cassivelaun Fancourt yang dinikahinya pada tahun 1793. Setelah suami pertamanya meninggal, ia menikah untuk kedua kalinya dengan Thomas Stamford Raffles pada tahun 1805. Enam tahun setelah pernikahan keduanya, suami barunya mendapat mandat sebagai Letnan Gubernur Jawa. Sebagai pendamping hidup penguasa tertinggi Jawa, Olivia hampir tidak pernah ketinggalan dalam berbagai acara resmi. Ia juga turut menggelar perjamuan umum terbuka untuk semua orang dari berbagai jenis kelamin dan etnis, suatu hal yang tidak umum di Jawa karena para perempuan Eropa selama ini tidak pernah bergaul dengan masyarakat setempat. Olivia juga berupaya memperkenalkan sejumlah kebiasaan baru seperti melarang kebiasaan mengunyah pinang bagi perempuan Eropa ; sebagai langkah nyata, Olivia menyingkirkan jambangan tempat membuang bekas ludah pinang dari ruang tamu kediamannya. Ia juga menganjurkan supaya perempuan Eropa di Jawa berbusana layaknya perempuan di negara asalnya untuk kegiatan sehari-hari meskipun hal tersebut sulit dilakukan. Kenyataanya, sepeninggal Olivia perempuan-perempuan Eropa di Jawa masih mengenakan kebaya dan sarung untuk pakaian sehari-hari dibandingkan dengan korset karena pertimbangan iklim (Van de Wall, 1928: 246-247).

Batu nisan J.H.R. Kohler.

Johan Herman Rudolf Kohler.

Namanya adalah Johan Herman Rudolf Kohler, begitulah penuturan dari batu nisan yang keempat sudutnya memiliki ornamen obor terbalik sebagai lambang padamnya kehidupan seseorang. Nama Kohler tidak begitu asing terdengar bagi orang-orang yang membaca sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan militer Belanda. Karir Kohler di militer dimulai sejak usia 14 tahun. Di Belanda, ia diterjunkan untuk menumpas gerakan Revolusi Belgia pada 1833. Sesudah menyandang pangkat Sersan, ia ditempatkan di Hindia-Belanda pada 1839. Medali Militaire Willems Order Kelas IV yang merupakan penghargaan tertinggi dari kerajaan Belanda dianugerahkan kepada Kohler atas keberhasilannya dalam ekspedisi Lampung. Karir militernya terus melesat hingga menjadi mayor jenderal pada 1873. Ia kemudian diterjukan di palagan Perang Aceh pada 1873 dan didaulat sebagai pemimpin ekspedisi. Nahas bagi Kohler karena baru enam hari setelah menginjakan tanah di bumi rencong, tepatnya pada 14 April 1873, Kohler tewas terbunuh di Kutaraja oleh penembak jitu. Detik-detik tewasnya Kohler terjadi saat ia dan pasukannya sedang berada di Masjid Raya untuk mengamati keadaan sekitar. Kohler berdiri di bagian depan sambil tangannya memegang teropong. Tanpa diduga, Panglima Belanda tersebut menerima tembakan misterius yang menembus dadanya. “O God, ik ben getroffen!",”Ya Tuhan, saya terkena” adalah ucapan terakhirnya sebelum ia jatuh tersungkur dan tewas. Jenasahnya lalu diangkut ke Singapura dan kemudian dimakamkan dalam upacara militer di Kerkhof Tanah Abang (Kepper, 1902 : 344). Kematiannya diikuti dengan berakhirnya ekspedisi militer Belanda pertama ke Aceh. Ketika permakaman Tanah Abang tergusur, jenasahnya dipindahkan ke Kedutaan Besar Belanda dan sempat terkatung nasibnya di sana selama 2 tahun. Atas permintaan Gubernur Aceh saat itu, jenasahnya dipindahkan ke Kerkhof Peutjoet Banda Aceh pada 19 Mei 1978. Sebagai sesama korban Perang Aceh, Kerkhof Peutjoet adalah tempat yang sangat pantas untuknya karena di sana jenasahnya bersemayam bersama para serdadu Belanda korban dari keganasan Perang Aceh. Sementara jenasah Kohler dipindahkan ke Aceh, batu nisan dari makamnya tetap ditinggal sebagai koleksi dari Museum Taman Prasasti.

Makam A.V. Michiels

Jenderal Andreas. V. Michiels.

Selain Kohler, ada juga jenderal kenamaan Belanda yang pusaranya masih tersimpan di Museum Taman Prasasti. Pada pusaranya yang lebih sederhana, tertulis “Generaal Majoor A.V. Michiels Balie 23 Mei 1849”. Pusara tersebut menuturkan bahwa sebagaimana Kohler, maut menjemput Andreas Victor Michiels di tengah peperangan. Tempat dan tanggal ia gugur terukir di pusaranya. Sebagai orang militer, Michiels sudah makan asam garam peperangan sejak usia 17 tahun. Tidak tanggung-tanggung, palagan pertamanya adalah pertempuran Waterloo yang dikenal sebagai pertempuran menentukan yang mengakhiri hasrat Napoleon Bonaparte untuk menguasai Eropa. Michiels lalu ditugaskan di Hindia-Belanda pada 1817 dengan penempatan pertamanya di Cirebon. Ia lalu turut berpartisipasi dalam Perang Jawa, kemudian memimpin ekspedisi militer Belanda ke Tapus, Barus, dan Singkil, serta penaklukan Naras, Kottiangan, dan Kesultanan Jambi. Ketika Perang Paderi di Sumatera Barat pecah, Michiels di garis depan memimpin anak buahnya menyerbu Benteng Bonjol, markas utama Tuanku Imam Bonjol. Pada 1837, Michiels diangkat sebagai gubernur “Sumatra Westkust” dan dengan bantuan pemimpin lokal ia memuluskan Belanda dalam pendirian pemerintahan di pedalaman Sumatra Barat. Tahun-tahun Michiels di Sumatera Barat dihabiskan untuk menumpas sejumlah perlawanan rakyat Minang. Sempat pula ia berseteru dengan seorang pemuda kontrolir Natal yang mengkritik kebijakan Michiels. Kontrolir muda itu bernama Eduard Douwes Dekker. Pada tahun 1848, Michiles menerima mandat untuk memimpin ekspedisi militer Belanda ketiga di Bali. Pasukannya berhasil menggapai sejumlah kemenangan dan beberapa kerajaan berhasil ditundukan. Namun rakyat Bali tidak berhenti begitu saja melawan pasukan yang dipimpin Michiels. Saat pasukan Michiles bermalam di dekat kampung Kusamba pada 24 Mei 1849, sejumlah laskar Bali tiba-tiba menyerbu kemah Michiels. Akibat serangan itu, Michiel terluka parah di pahanya dan tewas pada malam itu juga setelah kakinya diamputasi (Herfkens, 1902 : 59).

Batu nisan L.A. Brandes.

DR. Lauren Andries Brandes (1857-1905)

Di Museum ini, ada dua pusara dengan corak hiasan yang berusaha memperlihatkan unsur “Nusantara” dan membeberkan kisah hidup dari dua ahli purbakala ternama dalam belantika keilmuan arkeologi Indonesia, yakni Dr. Laurens Andries Brandes (1857-1905) dan W.F. Stuterheim (1892-1842). Sebelum berkecimpung di dunia arkeologi, Brandes telah mendalami telogi, bahasa Sansekerta, dan sastra klasik Nusantara di Univesitas Leiden. Ia adalah salah satu mahasiswa terbaik bimbingan Professor H.Kern, cendekiawan kajian sastra Nusantara. Gelar doctor ia peroleh pada tahun 1884 dan di tahun yang sama ia merantau ke Hindia-Belanda. Di sini, Brandes bekerja sebagai ahli bahasa untuk pemerintah kolonial. Selama di sini, Brandes mencurahkan waktunya untuk mempelajari prasasti-prasasti kuna baik yang sudah dikumpulkan di museum maupun yang masih terserak di tempat lain. Pada tahun 1901, Brandes ditunjuk sebagai ketua untuk Commisie in Ned. Indie voor oudheidkundige onderzoek op Java en Madoera, komisi bentukan pemerintah kolonial untuk menangani urusan kepurbakalaan di Jawa dan Madura. Komisi tersebut adalah cikal bikal dari Dinas Purbakala dan Pusat Penelitian Arkeologi di Indonesia. Selama menjabat, Brandes rajin menghimpun arca-arca masa kerajaan Mataram Kuna yang kini tersimpan di Museum Nasional. Selain itu, Brandes juga melakukan pemugaran terhadap reruntuhan Candi Pawon di Magelang sehingga candi itu dapat terlihat tampilan utuhnya (Bosch, 1934: 66). Brandes meninggal dunia pada 26 Juni 1905 karena penyakit usus. Kabar kematiannya cukup mengejutkan rekan sejawatnya karena beberapa bulan sebelumnya, mereka sempat berjumpa dengan Brandes yang saat itu tidak menunjukan tanda penyakit apapun. Pada pusara Brandes, terdapat corak hiasan yang mengambil ilham dari corak pada candi-candi kuna di Jawa.

Batu nisan W.F. Stuterheim

W.F. Stutterheim (1892-1942)

Corak yang masih selanggam dengan pusara Brandes juga terdapat pada makam ahli purbakala terkemuka lainnya, Willem Frederik Stutterheim. Lahir di Rotterdam pada 27 September 1892, Stutterheim merintis karirnya di Hindia-Belanda sebagai ahli bahasa di Oudkundige Dienst (jawatan kepurbakalaan) sejak tahun 1925. Pada tahun 1936, Stutterheim akhirnya diangkat sebagai kepala Oudheidkundige Dienst untuk menggantikan F.D.K. Bosch yang kembali ke Belanda. Oudheidkundige Dienst pada periode Sttuterheim mengalami kemajuan pesat. Obyek kajian meluas tidak hanya terbatas pada barang-barang purbakala dari era Hindu-Buddha saja, namun juga dari era pra-sejarah, Islam awal, hingga era VOC. Antara kegiatan penelitian arkeologi murni dan pemugaran juga saling bersinergi begitu baik, dimana kegiatan pemugaran dilandaskan atas kajian ilmiah dan kegiatan pemugaran juga tidak hanya semata menghasilkan rekonstruksi fisik semata namun juga karya ilmiah yang bermanfaat. Stutterheim juga menjalin kerja sama dengan pemerintah lokal dan yayasan pelestarian seperti Yayasan Oud Batavia dan Yayasan Fort Rotterdam, serta Museum Bali Denpasar. Stutterheim termasuk sosok yang rajin sekali menulis. Karya-karya Stutterheim antara lain “Oudheden van Bali", “Het oude rijk van Pedjeng” serta satu artikel ilmiah berjudul “Indian influences in Old-Balinese art" untuk The India Society.  Karya lainnya seperti “Cultuurgeschiedenis van Java in beeld”, “Tjandi Baraboedoer. Naam, vorm en beteekenis”. Syahdan, pendudukan Jepang atas Hindia-Belanda pada tahun 1942 menghentikan kegiatan Oudheidkundige Dienst karena banyak para ahli arkeologi berdarah Belanda yang ditawan atau mengungsi. Beberapa hari sebelum ulang tahun ke-50, Stutterheim meninggal dunia pada September 1942. Saat itu ia mendapat tugas dari pemerintah pendudukan Jepang untuk menyusun laporan dan saran terkait upaya pelestarian cagar budaya yang akan diambil alih oleh pemerintah Jepang. Sepeninggal Stutterheim, pekerjaanya yang belum sempat dituntaskan kemudian dilanjutkan oleh bawahannya yang merupakan orang-orang Indonesia (Kempers, 1949 : 15-22).

Batu nisan A.C. Claessens

Dari makam dua ahli purbakala, penuturan berlanjut pada makam dua petinggi Gereja Katolik di Batavia, yakni Mgr. Adamus Claessens dan Walterus Jacobus Staal. Pertama marilah tengok pusara dari Claessens dengan portrait setengah badan sang Uskup yang terukir begitu nyata di pusaranya. Jika saja portrait tersebut dapat berbicara kepada kita layaknya adegan dalam film “Night at The Museum”, mungkin kita akan mendengar kisah hidupnya dan sekelumit sejarah penyebaran agama Katolik semasa ia hidup di Hindia-Belanda. Mgr. Adamus Claessens mengabdi sebagai imam sejak usia 24 tahun. Pada tahun 1848, gereja menugaskkan Claessens ke Batavia yang saat itu sudah berstatus sebagai vikariat apostolik. Pada 16 Juni 1874, Claessens ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik Batavia setelah Vrancken mengundurkan diri sebagai Vikaris Apostolik. Claessens mulai menyandang gelar uskup setelah ditunjuk sebagai Uskup Tituler Traianoupoli (Van der Velden, 1908 : 185). Pada masa Claessens penyebaran agama Katolik di Hindia-Belanda berkembang pesat. Sejumlah daerah misi yang sempat mati suri di masa VOC seperti Minahasa dan Ambon dihidupkan kembali. Kegiatan misi perlahan mulai bangkit dan tumbuh meskipun terhalang oleh kebijakan pemerintah kolonial dan adanya benturan dengan zending Protestan. Menjelang akhir jabatannya, gereja besar di Weltevreden yang menjadi gereja utama umat Katolik di Batavia roboh secara tidak terduga pada tahun 1890. Claessens lalu mengupayakan agar sebuah gereja baru dapat dibangun dan gereja baru itupun akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1901. Namun Claessens tidak sempat menyaksikan gereja baru itu yang sekarang dikenal sebagai Katedral Jakarta. Claessens mengundurkan diri dari jabatan Vikaris Apostolik Batavia pada 23 Mei 1893 karena alasan kesehatan dan tidak berselang lama kemudian Claessens kembali ke pangkuan Tuhan pada 10 Juli 1895 (Van der Velden, 1908 : 230). 

Batu nisan W.J. Staal

Panji milik W.C. Staal

Sepeninggal Claessens, jabatan Vikaris Apostolik Batavia diteruskan oleh Walterus Jacobus Staal. Pusaranya yang berbentuk seperti atap menara gereja terpajang dekat dengan pusara Claessens. Staal yang menyandang gelar uskup titular Mauricastrum ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik Batavia pada 23 Mei 1893 (Van der Velden, 1908 : 232). Staal gemar berpergian untuk menemui umat Katolik yang ada di berbagai penjuru Hindia-Belanda. Setelah kunjungannya ke kepulaan Kei pada 21 Juni 1897, Staal mengalami demam parah. Di penghujung kehidupannya, Staal masih ingin melanjutkan lawatannya menuju Banda. Staal akhirnya meninggal dunia pada 30 Juni 1897 saat kapal “Arend” yang ia tumpangi sedang mengarungi perairan Banda. Jenasahnya lalu dipindahkan ke kapal “Outshoorn” untuk selanjutnya dibawa ke Batavia dan dikebumikan di kerkhof Tanah Abang pada 23 Juli 1897 (Van der Velden, 1908 : 232). Jika memandang secara seksama, kedua pusara uskup tersebut menyertakan lambang heraldik gerejawi dari kedua uskup tersebut. Heraldik gerejawi semula digunakan untuk menandai dokumen-dokumen yang dibuat oleh Gereja. Seiring peralanan waktu, heraldik gerejawi menjadi penanda para rohaniawan di lingkungan Gereja. Berbeda dengan heraldic di lingkungan umum, heraldic gerejawi menampilkan beberapa tanda pengenal khusus untuk menunjukan jabatan di lingkungan gereja selain perisai seperti tongkat gembala, tutup kepala mitra yang pemakaiannya terbatas untuk uskup, serta topi berkupel rendah dan lebar pinggirannya yang lazim disebut galero. Supaya pembuatannya tidak serampangan dan sesuai dengan doktrin dan hukum gereja, maka tatanan dan susunan lambang heraldic diarahkan oleh suatu lembaga di gereja.

Batu nisan Marius Hulswit.

Marius Hulswit (1862-1921)

Mata saya kemudian menatap makam dari arsitek Belanda generasi pertama di Hindia-Belanda yang kondang pada masanya, Marius Hulswit. Sebelum berkiprah di Hindia-Belanda, arsitek kelahiran Amsterdam tahun 1862 itu sempat menjalani magang di arsitek P.J.H. Cuypers dan terlibat dalam perancangan gedung Rijkmuseum Amsterdam. Hulswit menginjakan kaki di Hindia-Belanda untuk pertama kalinya pada tahun 1884 dan di sini Hulswit bertemu dengan J.M.S Merghart yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Setahun kemudian, Hulswit kembali ke Eropa dan bekerja di biro arsitek “Van Rossem en Vuyk” yang mengkhususkan diri dalam rancangan bangunan utilitas berbahan besi. Pada tahun 1890, Hulswit sekali lagi berangkat ke Hindia-Belanda dan kali ini mulai tinggal permanen di sini. Proyek pertamanya di sini adalah gedung Raad van Justitie Surabaya, gedung yang saat ini di atasnya berdiri Tugu Pahlawan. Dalam proyek tersebut, Hulswit diminta untuk meninjau rancangan gedung yang dibuat oleh insinyur dari Waterstaat Dienst. Selanjutnya Hulswit yang saat itu masih berkarir sebagai arsitek independen menerima pesanan untuk merancang gedung baru katedral Batavia pada tahun 1899. Bahtera pernikahan pertama Hulswit rupanya kandas di sela-sela proyek. Hulswit lalu menikah untuk kedua kalinya dengan Fransisca Karthaus. Pada tahun 1908, arsitek Eduard Cuypers yang masih keponakan dari P.J.H. Cuypers menjalin kemitraan dengan Hulswit. Alasannya adalah Cuypers tidak begitu akrab dengan kondisi lingkungan di Hindia-Belanda sementara ia sendiri kerap mendapat garapan dari Hindia-Belanda. Maka dari itu, sosok Hulswit yang sudah cukup lama tinggal di Hindia-Belanda dan lebih memahami kondisi alamnya amat diperlukan bagi Cuypers sebagai “pemandu lokal”. Cuypers beserta Hulswit mendirikan biro “Architectenbureau Ed. Cuypers en Hulswit” pada tahun 1910. Mereka menerima banyak pesanan dari dunia usaha di Hindia-Belanda yang saat itu sedang merjaya untuk membuatkan rancangan gedung kantor. Selain berkutat pada bangunan perkantoran, Hulswit juga memperoleh pesanan untuk gedung sekolah, rumah sakit, dan gereja. Cuypers akan merancang bangunannya dari Amsterdam. Sedangkan untuk pelaksanaan di lapangan, Cuypers mengandalkan Hulswit. Nama biro arsitek tersebut langsung berkibar dengan segudang proyek di seantero penjuru. Begitu produktifnya biro arsitek tersebut sampai Hulswit kewalahan sehingga ia menjalin mitra dengan kontraktor Arthur Fermont untuk membantunya. Biro arsitek tersebut berubah nama menjadi “Architectenbureau Hulswit, Fermont, en Cuypers”. Biro arsitek tersebut menjadi peletak pondasi bagi arsitektur kolonial modern di Indonesia. Selama Perang Dunia I, biro tersebut menjalani masa sulitnya karena jumlah proyek yang merosot. Barulah sesudah perang berakhir biro tersebut bisa bangkit. Sayangnya tidak lama setelah kebangkitannya, biro arsitek tersebut harus merelakan kepergian salah satu tokoh pentingnya, Marius Hulswit yang tutup usia pada 10 Januari 1921. Pusara yang berdiri di atas makam Hulswit merupakan karya Cuypers sebagai persembahan untuk rekan terbaiknya. Mengenai biro “Architectenbureau Hulswit, Fermont, en Cuypers”, biro tersebut bubar pada tahun 1954 (Akihary, 1990 : 35-38).


Petilasan Kapten Jas sekarang dan dulu.

Lewat penelusuran sisa-sisa batu-batu nisan di Museum Taman Prasasti tadi, kita dapat mengungkap kisah hidup orang-orang yang pernah hidup di masa lalu yang menjadi bagian kecil dari perjalanan sejarah. Dengan kata lain, makam adalah salah satu bukti otentik untuk menyibak masa lalu yang seringkali lebih banyak menyisakan pertanyaan daripada jawaban. Sekelumit pertanyaan itu masih tersisa pada makam ‘Kapten Jas’ yang masih dipertanyakan identitasnya. Ada berbagai cerita tentang asal-usulnya. Pertama menurut cerita yang disajikan H.D.H. Bosboom, nama Jas berasal dari kata Jassen-Kerk, gereja yang saat ini menjadi Gereja Sion Jl. Jayakarta. Dahulu sekitar gereja itu bermukiman pedagang kayu berasal dari Ciasem. Kayu itu disebut Jassemsche balken  balok dari Ciasem. Dari situlah gereja itu mendapat nama Jassen Kerk. Halaman gereja tersebut dahulunya berupa permakaman sehingga saat ada orang akan dikuburkan ke permakaman tersebut, mereka akan bilang “naar het land van Kapitein Jas” atau “pergi ke tanah Kapten Jas”. Kalimat tersebut rupanya masih berlaku saat permakaman sudah dipindahkan ke Kerkhof Tanah Abang. Sementara versi Bloys van Treslong Prins menyajikan cerita kedua, dimana nama Jas bersumber dari singkatan nama J(eremi)as van Reimsdijk, kepala juru tulis VOC yang menjual sebidang tanah di belakang gereja Sion untuk dijadikan sebagai permakaman. Selanjutnya dari versi De Haan, Kapten Jas adalah orang yang dikuburkan pertama kali di kerkhof Tanah Abang (Gemeente Batavia, 1937: 104-105). Saat permakaman ditutup, petilasan Kapten Jas sama sekali tidak diusik. Kendati masih simpang siur keberadaanya, masyarakat mengkeramatkan makam Kapten Jas sejak masa kolonial. Orang-orang yang ingin terkabul harapannya akan mendatangi petilasannya untuk menaruh karangan bunga dan lilin di bawah pohon Mimba yang saat ini sudah roboh. Orang-orang Belanda di Batavia dahulu juga mengenal tradisi ziarah kubur seperti yang biasa dilakukan umat Islam menjelang bulan Puasa atau orang Tionghoa pada saat Cengbeng. Tradisi tersebut bisanyanya dilakukan malam sebelum Hari Natal. Pada malam itu, tidak ada angkutan yang tersedia  sehingga peziarah berjalan menyusuri Kerkhoflaan dan melewati gerbang permakaman yang monumental. Setibanya di makam, mereka menghiasi makam dengan bunga segar, membersihkan makam, dan mengganti air di dalam vas (Algemeen Handelsblad, 23 Desember 1928).



Koleksi patung-patung sisa dari kerkhof Tanah Abang.

Benda yang disimpan di museum ini selain sisa pusara adalah sejumlah patung yang dahulu pernah menghiasi Kerkhof Kebon Jahe Kober. Pada zaman dahulu, orang-orang yang mampu menambahkan hiasan seperti patung untuk menambah keindahan dari makam. Bahan yang biasanya dipilih adalah bahan bermutu tinggi seperti marmer Italia yang untuk mendatangkannya perlu merogoh kantung cukup dalam. Sekalipun harganya cukup mahal, batu tersebut masih menjadi pilihan karena dapat meningkatkan gengsi (De Indische Courant Oost Java Editie, 1925). Batu tersebut dihargai begitu tinggi karena mutunya yang bagus Saat sinar matahari menerpa permukannya nan mulus, batu tersebut akan tampak berkilau sehingga orang akan dibuat terkesima olehnya. Sejalan dengan upaya orang untuk memperindah makam, maka munculah para pengrajin yang keahliannya didedikasikan untuk menciptakan makam dalam berbagai bentuk, ukuran, dan gaya berbeda. Hiasan-hiasan pada makam tidak hanya dibuat untuk tujuan keindahan semata namun dibaliknya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh almarhum kepada orang-orang yang melihat makamnya (Worpole, 2003: 128). Misalnya adalah patung berbbentuk malaikat yang banyak dijumpai di museum ini. Bentuk tersebut diyakini adalah cerminan dari sosok yang akan mendampingi jiwa-jiwa di alam baka. Pada abad ke-19, orang lebih menggemari ragam hias yang mengandung makna harapan baik setelah kematian. Maka hilanglah kemuraman dan kengerian dari permakaman, tergantikan oleh makam-makam yang elegan dengan segala pernak-perniknya. Permakaman akhirnya tidak sekedar sebagai tempat jenasah dikebumikan namun juga menjadi galeri seni. Saat hiburan dan ruan terbuka hijau di Batavia masih terbatas, orang-orang Belanda mendatangi Kerkhof Tanah Abang

Sumber :

Akihary, Huib. 1990. Architecture en Stedebouw in Indonesia 1870-1970. Zutphen : De Walburg Press.

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1922. Oud Batavia Gedenkboek. Batavia : G. Kolff & Co.

Bosch, F.D.K. 1934. “Monumentenzorg In Nederlandsch Indie (1924-1934)” dalam Oudheidkundige Jaarbook hlmn. 66-71. Leiden : N.V. Boekhandel en Drukkerij Voorheen E.J. Brill.

Gemeente Batavia,1937. Batavia als handels-, industrie-, en woonstad. Batavia : G. Kolff & Co.

Herfkens, J.W.F. 1902. De Expeditie naar Balie. Breda : Militaire Academie.

Kempers, A.J. Bernet. 1949. “In Memoriam W.F. Stutterheim” dalam Oudheidkundige Verslag 1941-1947. Hlmn. 15-22. Bandung : A.C. Nix & Co.

Heuken, Adolf. 2016. Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta : Yayasan Loka Cipta Caraka.

Kepper, G.L. 1902. Wapenfeiten van het Nederlandsch Indische Leger. ‘s Gravenhage : M.M. Couvee.

Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya I : Batas-Batas Pembaratan. Jakarta : Gramedia.

Prins, P.C Bloys van Treslong. 1934. Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigen ; Betreffende Europanen op Java Deel I. Batavia : Drukkerij Albrecht.

Prins, P.C Bloys van Treslong. 1935. Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigen ; Betreffende Europanen op Java Deel II. Batavia : Drukkerij De Unie.

Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis ; Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu

Van der Velden, Arn. J.H. 1908. De Roomsch Katholieke Missie in Nederlandsch Oost Indie. Nijmegen : L.C.G. Malmberg.

Van de Wall. V. I.1928. Vrouwen uit den Compagnies Tijd. Weltevreden : N.V. Boekhandel Visser & Co.