Selasa, 27 Oktober 2015

HKS Purworejo, Tetenger Pendidikan Guru Masa Kolonial di Purworejo

Di suatu hari Minggu yang cerah, saya menyusuri eks kompleks HKS Purworejo, sebuah tetenger pendidikan guru masa kolonial di tengah kota militer yang kini sintas menjadi SMA N 7 Purworejo. Sekolah itu merupakan buah dari praktik poitik etis yang diterapkan pemerintah kolonial di permulaan abad ke-20. Bagaimanakah kisah lengkap dari kompleks sekolah yang sarat nilai sejarah ini ? 
Gerbang masuk ke kompleks HKS.
Sisi luar dan dalam ruang guru yang dahulu merupakan sebuah balairung tempat menyambut tamu.

Beranda.

Tampak luar bangunan utama.
Kini, saya sedang berdiri di hadapan bangunan utama HKS Purworejo yang terlihat masih elok. Pada bagian tengahnya, terdapat balairung tempat menerima tamu yang kini sudah diubah fungsinya sebagai ruang guru. Pada pucuk atap, bertengger hiasan yang bentuknya seperti pion. Bangunan ini dahulu merupakan bangunan utama yang dipakai sebagai kegiatan belajar-mengajar dan kantor guru. Taman kecil yang terhampar rapi di halaman depan bangunan ini menambah kesan sejuk dan hijau. Tiang lampu listrik buatan pabrik besi "L.J. Enthoven" dari Den Haag, Belanda & bangku taman yang sudah ada semenjak sekolah ini dibangun masih berada di tempatnya. Boleh jadi di taman itulah para siswa HKS Purworejo rehat sejenak, melepas penat setelah seharian belajar. Mata saya kemudian menatap sebuah sengkalan yang tertoreh jelas di muka bangunan itu, “1915”. Ya, itulah tahun gedung ini mulai dibuat. Sayapun lantas menerawang kembali ke masam lampau, tepatnya di kala gedung sekolah itu hendak didirikan.
Gedung H.K.S sisi timur dan tamannya yang masih tertata rapi.

Gedung H.K.S sisi barat. Di bagian ini sekarang sudah tertutup oleh bangunan baru ( sumber : Indie, 21 Februari 1923 )
Sekolah ini, sesungguhnya hanyalah buah dari sebuah pohon besar. Pohon besar itu bernama Politik Etis, yang memiliki lima cabang besar, yakni pendidikan, kesehatan, komunikasi, irigasi, dan transmigrasi. Namun dari kelima cabang tadi, yang paling terasa faedahnya di kemudian hari ialah pendidikan. Lewat pendidikan, lahirlah golongan bumiputera terpelajar yang akan melakukan perlawanan gaya baru terhadap penindasan pemerintah kolonial, yakni dengan tulisan, gagasan, dan perserikatan.
Sang direktur pertama H.K.S, J.D. Winnen dan keluarganya di depan kediamannya. Bangunan ini sekarang masih utuh dan menjadi kantor Dinas Komunikasi, Pariwisata, dan Kepemudaan Purworejo (Sumber : colonialarchitecture.eu).
Rasa tidak tega masyarakat Belanda melihat bangsa yang dijajahnya begitu menderita merupakan pemantik dari politik etis. Sumber daya alam dikuras habis-habisan, sementara kaum bumiputera dibiarkan melarat, bodoh dan penyakitan. Kritikan paling keras datang dari Eduard Douwes Dekker, asisten Residen Lebak, yang tertuang lewat karya kontroversialnya, Max Havelaar. Singkat cerita, Ratu Wilhelmina akhirnya memberi dukungan Politik Etis lewat pidato kenegaraanya di bulan September tahun 1901 (Cribb & Kahin 2012;431)Sejak Politik Etis direstui oleh sang ratu, sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial segera dibuka di berbagai tempat. Salah satunya ialah H.I.S. (Hollandsch Inlandsch School), jenjang sekolah dasar paling bergengsi untuk golongan bumiputra dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Seiring dengan makin banyaknya H.I.S yang dibuka, maka semakin besar pula kebutuhan akan tenaga pendidik. Mendatangkan guru-guru dari Eropa jelas menghabiskan banyak biaya, apalagi standar upah mereka lebih tinggi. Enggan mendatangkan guru dari Eropa, akhirnya pemerintah kolonial menemukan jalan keluar yang mudah dan murah untuk mendapatkan guru ; mendidik kaum bumiputera menjadi guru.
Lokasi HKS pada peta tahun 1905, 10 tahun sebelum Kompleks HKS belum dibangun. Pada waktu itu, lahan HKS masih berupa Exercitie plein atau lapangan latihan militer (Sumber : maps.library.leiden.edu).
Sebuah foto udara yang memperlihatkan kompleks infantri Kedungkebo (sekarang Yonif 412). Foto ini menghadap ke arah utara. Terlihat sebagian sisi timur kompleks HKS (sumber : media-kitlv.nl).
Pada mulanya, sekolah kweekschool dibuka untuk mendidik kaum bumiputera menjadi guru. Namun jenjangnya tidak terlalu tinggi. Ia hanya setara dengan SPG di tahun 1980an. Padahal untuk jenjang H.I.S sendiri setidaknya membutuhkan tenaga pengajar dengan mutu lebih tinggi daripada kweekschool biasa. Berkenan dengan masalah tersebut, pada tahun 1914 pemerintah kolonial membuka sekolah pendidikan guru yang setingkat di atas kweekschool, Hoogere Kweekschool (H.K.S). Pemerintah kolonial hanya membuka HKS di dua kota saja di Jawa, satu di Bandung, menempati gedung kweekschool pertama di Hindia-Belanda, dan satunya lagi dibangun di Purworejo. Mengapa Purworejo yang menjadi pilihan padahal Purworejo sendiri bukanlah sebuah kota besar ? Peter Carey menyebutkan bahwa infrastruktur yang baik dan dukungan bupati trah Cokronegoro pada dunia pendidikan menjadi pertimbangan Belanda memilih Purworejo sebagai lokasi HKS (Carey, 2017; 218). Selain itu, pemerintah kolonial juga menilai bahwa situasi sosial-politik Purworejo saat itu relatif aman dari paham "nasionalisme radikal" yang saat itu mulai bergema dan dikhawatirkan dapat mempengerahui para siswa HKS (De Locomotief, 1 Desember 1920). Lingkungan kota Purworejo yang tenang juga mendukung suasana belajar para murid HKS. Atas segala pertimbangan tersebut, maka pemerintah kolonial memutuskan untuk membangun HKS di Purworejo dan mengucurkan dana sebesar 53.000 gulden untuk mendirikan kompleks sekolah itu. Begitu pentingnya sekolah itu bagi dunia pendidikan Hindia-Belanda, dimana gubernur jenderal A.W.F Idenburg dalam kunjungannya ke Purworejo pada 11 November 1914 menyempatkan diri untuk meninjau lapangan latihan serdadu di sebelah barat garnisun yang di atasnya akan dibangun kompleks H.K.S Purworejo. Seremoni pembukaannya sendiri pada 19 Oktober 1914 dihadiri oleh direktur Onderwijzens en Eredienst, DR. G.A.J. Hazeu. Selama gedung belum dibangun, siswa H.K.S belajar di bangunan semi permanen sementara bekas gedung pegadaian dijadikan asrama sementara mereka. Keseluruhan gedung sekolah akhirnya purna dibangun pada tahun 1916.
G.A.J. Hazeu, menteri urusan pendidikan yang meresmikan H.K.S. Purworejo.
Sekalipun sekolah ini didirikan oleh Belanda, namun semua siswa yang menempuh pendidikan di situ justru berasal dari kalangan bumiputera.  Siswa H.K.S tak hanya berasal dari sekitar Purworejo saja. Dari segala penjuru daerah di Nusantara, mereka datang ke kota kecil itu karena bagi mereka yang lulus dari sekolah di situ, pamor dan derajatnya akan terangkat di mata orang. Maka dari itu persaingannya cukup keta. Setiap tahun, sekolah bergengsi ini hanya menerima maksimal 75 orang siswa saja. Mereka yang diterima akan menimba ilmu di sini selama 3 tahun lamanya. Tentang pelajarannya, siswa-siswa H.K.S diberi materi pelajaran berupa ilmu pedagogi dan pengetahuan umum dalam bahasa Belanda. Sayang, berselang lima belas tahun sesudah dibuka, riwayat H.K.S Purworejo akhirnya tamat. Pada 1 Juli 1930, H.K.S Purworejo ditutup. Gegaranya ialah krisis ekonomi yang membuat pemerintah kolonial tak sanggup lagi mendanai pengelolaan H.K.S. Siswa kelas 2 dipindahkan ke H.K.S Bandung dan siswa kelas 1 dipindahkan ke Magelang. Sementara R.H. van Otteloo sebagai kepala H.K.S Purworejo terakhir dimutasi ke H.K.S. Bandung (Tjaja Soematra, 12 Mei 1930). Kedua H.K.S tersebut akhirnya juga menyusul ditutup. Betapa singkatnya usia H.K.S. Purworejo. Namun di usia yang singkat tersebut, H.K.S. Purworejo berhasil meluluskan ratusan siswanya yang menjadi guru-guru H.I.S yang tersebar di seantero Hindia-Belanda. Tak sedikit pula lulusan H.K.S. Purworejo yang menjadi cendekiawan dan terjun ke pergerakan nasional. Salah satunya yang paling mahsyur ialah Oto Iskandar di Nata, Si Jalak Harupat dari bumi priangan yang lulus dari H.K.S Purworejo tahun 1924.
Para pamong H.K.S Purworejo (sumber : budayapurworejo.blogspot.com).
H.K.S Purworejo memang telah purna ceritanya tapi tidak pada gedungnya. Marwah gedung tersebut sebagai sarana pendidik terus terjaga pada periode setelahnya. Sesudah HKS Purworejo ditutup, gedungnya dipakai menjadi sekolah di bawah naungan M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijzer) hingga zaman Jepang. Berikutnya pada zaman Jepang menjadi Sekolah Menengah Pertama. Paska kemerdekaan, kembali lagi menjadi sekolah guru. SPG (Sekolah Pendidikan Guru) namanya. Oleh sebab itu, generasi tua masyarakat Purworejo lazim menyebut gedung ini sebagai SPG. Setelah berdiri sejak tahun 1968, SPG akhirnya dihapuskan tahun 1991. Setelah silih berganti institusi, eks kompleks HKS Purworejo lestari sebagai SMA N 7 Purworejo (Pranoto, 2015). Saya sungguh mengapresiasi usaha dari pihak sekolah untuk mengupayakan agar kompleks sekolah ini tetap terawat dengan baik di tengah tuntutan sarana dan prasarana pendidikan yang kian banyak.

Rancangan sekolah HKS yang dibuat oleh Burgerlijke Openbare Werken (sumber : Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken 1917).
Kompleks HKS Purworejo dirancang oleh arsitek dari Burgerlijke Openbare Werken, jawatan pemerintah kolonial yang menangangi pembangunan gedung pemerintahan dan infrastruktur publik. Arsitek tersebut bernama Hoytema dan Beraud. Sementara pengawas pembangunannya bernama Creemers dan Antonisse. Adapun urusan pembukuannya dipegang oleh mantri pribumi bernama Mas Kartodisastro. Beraud merancang gedung kompleks tersebut secara ringkas, jelas, dan praktis. Bangunan dirancang dengan baik dan dibuat dalam bentuk yang modern di masanya. Ruang-ruang kelas memiliki sirkulasi udara yang bagus. Penataan bangunan-bangunan yang ada di dalamnya sudah diperhitungkan dengan seksama. Lihatlah, bagaimana mewadahi berbagai bangunan yang berbeda fungsi seperti lobi, kantor guru, ruang kelas, gymnasium, dapur, ruang makan, ruang kesehatan, asrama siswa, dan tempat tinggal pegawai dalam sebuah kompleks besar. Masing-masing bangunan tadi aksesnya disatukan oleh sebuah doorlop, koridor panjang beratap tanpa dinding. Beraud juga membuat setiap bangunan tidak berdiri terlalu berhimpitan, sehingga terciptalah keleluasaan ruang yang memberi rasa nyaman dalam kegiatan belajar mengajar. Ruang-ruang yang kosong diisi dengan taman yang indah dengan berbagai pohon perindang yang menauinginya. Atas keberhasilan Beraud dan timnya dalam merancang kompleks HKS Purworejo, ia diganjar bonus sebesar 2000 gulden (De Preanger Bode, 29 Januari 1919).
Lampu taman yang masih asli.

Bangku taman dari semen.
Lapangan dan pohon trembesi besar.
Kaki inipun mulai berayun menyusuri setiap jengkal kompleks sekolah yang telah berdiri lebih dari seabad lamanya itu. Suasana sekolah hari itu terasa sepi lantaran hari itu sekolah sedang libur. Tak terlihat kegiatan belajar mengajar seperti pada hari biasa. Di ujung lapangan, tampak pohon trembesi tua yang menjulang tinggi dengan dahannya yang lebat, memberi keteduhan kepada siapapun yang ada di bawahnya. Pohon itu sekilas mungkin tak berbeda dengan pohon besar pada umumnya, tapi bagi siapapun yang pernah bersekolah di sini, pohon itu adalah pohon yang sarat akan kenangan dan romansa.
Doorlop panjang yang menghubungkan setiap bangunan di dalam kompleks H.K.S.
Seperti halnya bangunan kolonial di tempat lain, gedung itu memakai jendela krepyak. Tapi yang membedakannya adalah adanya tonjolan di luar daun jendela. Saya awalnya tak paham apa fungsi tonjolan itu. Tapi begitu saya melihat ada semacam pengait di dinding dan posisinya pas dengan tonjolan itu ketika jendela dibuka, saya akhirnya paham. Tonjolan itu namanya doorstop, biasanya dipakai untuk mencegah daun jendela atau pintu tertutup kembali akibat tertiup angin. Baru di gedung inilah saya menjumpai keberadaan doorstop pada bangunan kolonial.
WC untuk karyawan dan guru.
Ruang makan.
Tungku dapur yang sama yang dipakai oleh juru masak dari era HKS hingga SMA N 7 Purworejo.
Kamar mandi dan kamar kecil untuk siswa.
Ruang pelayanan kesehatan H.K.S. Sempat kosong dan menjadi sarang kelelawar selama bertahun-tahun, saat ini masih memiliki fungsi yang sama sebagai UKS.
Doorlop yang sedang saya susuri ini luar biasa panjang. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal, doorlop ini merupakan penghubung antar bangunan yang ada di dalam kompleks. Salah satu bangunan itu ialah ruang makan yang berada tepat di tengah kompleks. Gedung ruang makan ini berhadapan dengan bangunan gymnasium yang kini telah berubah bersalin rupa. Di belakang ruang makan, terdapat dapur yang juru masaknya masih menggunakan kompor yang sama dengan juru masak ketika sekolah ini masih bernama H.K.S. Terlihat asap yang mengepul tipis dari cerobong yang mencuat di atap.
Tampak luar bekas bangunan asrama.
Saya akhirnya tiba di area barat kompleks HKS Purworejo, dimana di sana terdapat sebuah memanjang yang dulunya adalah asrama untuk siswa. Di asrama itulah para siswa-siswa H.K.S harus tinggal dengan pengawasan ketat layaknya sekolah kedinasan pada zaman sekarang. Sekolah ini memang dibangun dan dimiliki oleh pemerintah kolonial, namun siswa-siswanya yang semuanya berasal dari golongan pribumi diperlakukan cukup baik. Kini bangunan asrama fungsinya diubah menjadi ruang belajar mengajar dan di dalamnya sudah disekat-sekat untuk ruang kelas. Selain asrama, mereka diberi beragam fasilitas secara cuma-cuma oleh pemerintah seperti makanan dan layanan kesehatan. Setiap bulan mereka mendapat tunjangan sebesar 20 gulden dan alat belajar (Kats, 1915; 104). Para siswa-siswa H.K.S yang berasal dari berbagai daerah lalu membuat suatu perhimpunan bernama De Broederschap. Kadang perhimpunan ini mengadakan pertandingan olahraga sesama H.K.S. Perhimpunan murid H.K.S De Broederschap dapat dibilang sebagai embrio persatuan nasional. Peter Carey menyebut jika peran H.K.S mirip dengan sekolah Sultan Idris Training College di Malaysia yang saat itu menjadi jajahan Inggris karena sekolah itu membangkitkan kesadaran kebangsaan Melayu sesama calon guru dari seantero Melayu (Carey, 2017; 219). Jika Sultan Idris membangkitkan kesadaran pada bangsa Melayu, maka HKS Purworejo memiliki sumbangsih besar dalam membentuk tali persaudaraan sesama bangsa Indonesia yang menjadi bekal penting dalam merebut kekuasaan dari Belanda.
Rumah dinas yang diperuntukan sebagai rumah guru Eropa.
Rumah dinas yang diperuntukan sebagai rumah tinggal guru pribumi.
Seusai puas melihat-lihat kompleks sekolah yang masih terawat dengan baik, saya pun beringsut ke Jalan Ki Mangun Sarkoro, seruas jalan teduh yang dipayungi oleh pohon-pohon asam. Di sepanjang jalan ini berdiri bangunan rumah tinggal bergaya Indis yang dulunya menjadi kediaman para pengajar H.K.S Purworejo. Rumah dinas adalah salah satu fasilitas yang didapatkan oleh para tenaga pengajar H.K.S selain gaji bulanan sebesar 550 gulden untuk direktur H.K.S dan 450 gulden untuk tenaga pengajar. Tidak semua sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial dilengkapi dengan rumah dinas guru, dimana hanya sekolah yang dianggap penting saja yang memilikinya (Elout, 1936; 212). Kompleks rumah guru ini aslinya masih merupakan satu lingkungan dengan kompleks H.K.S Purworejo. Dua buah tugu yang terpancang di mulut jalan Ki Mangunsarkoro menjadi penandanya. Di tugu itulah saya menjumpai monogram H.K.S Purworejo yang masih tampak jelas. 
Rumah dinas kepala HKS Purworejo. Foto lama dapat anda lihat di atas.
Semua rumah di sepanjang jalan ini bentuknya masih asli dan kompleks ini masih terlihat indah sekalipun sebuah bangunan baru menjulang begitu anehnya di tengah-tengah kompleks. Rumah-rumah ini memiliki tiga model yang berbeda dan kesemuanya ditata dalam pola yang unik, yakni pola a-b-c-c-b-a seperti cermin. Rumah dinas staf H.K.S Purworejo tak hanya di Jalan Mangun Sarkoro saja. Ada tiga buah rumah berdiri di tepi jalan raya yang ramai. Satu di Jalan Mayjend.Sutoyo, dan dua di jalan Urip Sumoharjo. Salah satu rumah tersebut merupakan rumah paling besar di kompleks H.K.S Purworejo dan rumah itu merupakan tempat tinggal direktur H.K.S Purworejo dan kepala sekolah sesudahnya hingga beberapa saat lalu secara tiba-tiba menjadi kantor instansi pemerintah. 
Eks Hollandsch Inlandsch School Purworejo.
Di selatan kompleks SMA N 7 Purworejo, ada kompleks sekolah lain, yakni SMP N 1 Purworejo yang menempati bekas Hollandsch Inlandsch School (HIS) Purworejo. Sekolah tersebut tidak seperti HIS pada umumnya karena selain sebagai sekolah dasar untuk anak-anak pribumi, sekolah tersebut juga dimaksudkan sebagai sekolah praktek siswa HKS. HIS Purworejo mulai dibangun pada tahun 1917 dan selesai setahun berikutnya. Kegiatan HIS Purworejo masih terus berjalan meski HKS Purworejo sudah ditutup hingga zaman pendudukan Jepang. HIS Purworejo lalu diubah menjadi SMP Negeri 1 Purworejo dan sejak saat itu eks bangunan HIS terus digunakan sebagai SMP N 1 Purworejo.
Monogram H.K.S yang berada di mulut jalan Ki Mangun Sarkoro.
Dengan berat hati sayapun meninggalkan kompleks sekolah itu. Namun tersimpan sebuah rasa bangga dan bahagia di hati kecil saya. Bangga karena di kota tempat saya lahir dan tumbuh, terdapat sebuah kompleks sekolah yang menjadi kawah candradimukanya para guru di masa lampau yang menyimpan nilai sejarah perjuangan bangsa. Bahagia karena ia masih lestari dengan baik sampai sekarang, menjadi tetenger yang memberi wajah tersendiri untuk kota Purworejo. Sayang, peran besar H.K.S Purworejo belum sempat ditulis dalam sejarah modern Indonesia. Sayapun hanya bisa berharap, mulai dari warga sekolah hingga semua masyarakat Purworejo, untuk bisa selalu merawat warisan sejarah yang dimilikinya. Sebuah warisan berharga yang hendak kita wariskan untuk generasi selanjutnya….

Referensi
Carey, Peter. 2017. Sisi Lain Diponegoro ; Babad Kedungkebo da Historiografi Perang Jawa. Jakarta; Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Pranoto, Agung.2015 .Dalam  http://budayapurworejo.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-hks-hoogere-kweekschool.html.

Cribb, Robert & Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok : Komunitas Bambu.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18 September 1914.

De Preanger Bode, 29 Januari 1919

Tjaja Soematra, 12 Mei 1930.

Elout, C.K. 1936. Indisch Dagbook. Den Haag ; W.P. Van Stockum & Zoon N.V.

Kats, J. 1915. Overzicht van het Onderwijs in Ned. Indie. Batavia : Landsdrukkerij.

Vidi S, Albertus Agung. 2009. "Dinamika Pola Tata Ruang HKS Sampai SMAN 7 Purworejo". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.

Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken. 1917

Senin, 19 Oktober 2015

Loji Minggir, Jejak Indis yang Tercecer di Pinggiran


Tidak pernah terbesit di benak saya sebelumnya, bahwa nun jauh di pelosok pedesaan di Sleman, Yogyakarta, tersimpan jejak bangunan Indis yang masih lestari sampai sekarang. Lingkungan pedesaan yang terhindar dari pembangunan masif mungkin menjadi sebab nasib mereka sedikit beruntung dibandingkan kawan-kawan mereka di perkotaan yang akhirnya tergusur atas nama pembangunan. Ada apa gerangan bangunan-bangunan Indis ini berdiri di sini ?
Minggir pada peta tahun 1921 (Sumber : maps.library.leiden.edu).
Minggir, nama sebuah kecamatan di ujung barat Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bentang lahannya berupa hamparan sawah yang membentang luas laksana permadani hijau dengan kanal air Van der Wijk buatan dari masa kolonial yang airnya mengalir begitu tenang. Minggir adalah tempat yang tepat bagi saya yang sejenak ingin menjauhi hiruk pikuk keramaian kota Yogyakarta yang kian padat sembari menikmati alam pedesaan yang masih asri.

Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang loji-loji yang ada di Minggir ini, menarik untuk disimak apa itu sebenarnya loji. Dalam buku bertajuk Loji Londo ; Studi Tata Ruang Bangunan Indis karya B.M. Susanti, loji adalah ungkapan orang-orang Jawa untuk menyebut  bangunan tinggalan kolonial yang berbeda dengan bangunan asli Indonesia. " Loji atau rumah gedong ", terang Susanti, " berbeda dengan bangunan asli Indonesia karena bahannya terbuat dari tembok ". Kata loji berasal dari kata Perancis loge yang merupakan sebutan untuk kantor dan kemudian orang Jawa menyebutnya secara terpleset menjadi loji. Loji-loji itu dibangun " sebagai bentuk kontrol atas kekuasaan penguasa tradisional kepada pemerintah kolonial Belanda ".  Susanti menerangkan pula, bahwa loji-loji itu terpusat pada suatu tempat. Namun benarkah demikian ?
Lojisrut, julukan masyarakat sekitar pada loji ini. Jendela krepyak telah diganti.
Lojisrut, begitulah warga sekitar menjuluki bangunan Indis yang ada di Desa Sendangsari, Minggir ini. Ia disebut seperti itu karena di depannya pernah berdiri pohon serut yang sekarang sudah tidak ada. Loji ini secara kasat mata sudah sedikit hilang kesan Indisnya. Ia tak lagi mengenakan jendela krepyak tinggi lazimnya bangunan Indis, diganti dengan jendela kaca yang tampak berdebu. Tapi dari segi bentuk, ia masih belum berubah. Sebuah ukiran dan ragam hias yang disebut makelaar masih bertengger dengan manis di bagian atap beranda depan berbentuk pelana. Sayang, saya tak menjumpai satupun tanda-tanda kehidupan di sini. Apa yang saya lihat di balik jendela beberapa perabot usang.
Kondisi Loji ketika saya pertama kali datang dan kondisinya sekarang. Tak ada yang berubah, hanya pohon-pohon di depannya saja yang sudah disingkirkan.
Loji di selatan lapangan Kebonagung itu serupa dengan Lojisrut, namun ia masih memiliki jendela krepyak yang khas bangunan Indis. Ya, ia adalah loji Indis paling Indis di Minggir. Itulah kesan saya ketika berjumpa pertama kali dengan loji satu ini. Lihatlah empat tiang Tuscan di beranda depan, tempat si empunya rumah dulu menikmati tenteramnya lingkungan pedesaan  sembari menyesap secangkir kopi. Begerak ke belakang loji ini, terdapat sebuah beranda terbuka, tempat dulu keluarga mengadakan makan bersama. Amati pula bangunan tambahan di samping kanan bangunan utama yang dulunya merupakan tempat untuk memasak dan mencuci, serta untuk kamar tidur pembantu.  Handinoto menyebutkan, bangunan tambahan ini kebanyakan dipisahkan dari bangunan utama karena kegiatan seperti memasak, dianggap kotor, lembab, dan berbau dan oleh karena itu perlu dijauhkan dari kehidupan santai sehari-hari yang berlangsung di bangunan utama.
Paviliun yang berada di samping bangunan utama.
Sama halnya dengan Lojisrut, loji ini juga tak menampakkan tanda-tanda kehidupannya. Jendela dan pintu krepyaknya masih terkunci rapat. Awal berjumpa, masih ada pohon-pohon berdaun lebat. Halamannya berserakan dengan sampah dedaunan. Tapi kondisinya sekarang sudah agak membaik dan kini, informasi yang saya dengar menyebutkan jika loji ini menjadi tempat mengaji Al Quran. Ya, setidaknya bangunan tua ini bisa memberi manfaat untuk masyakat di sekitarnya.
Balai Desa Sendangmulyo.
Ia nyaris luput dari perhatian saya. Padahal lokasinya terhitung dekat dengan loji di selatan lapangan tadi. Dari luar, ia tampak berbeda dengan loji-loji lainnya di Minggir. Pintu masuknya sedikit menyerong, sehingga ia terlihat asimetris dari luar. Ibu Puji, penghuni dan pemilik loji ini, menyambut saya di ruang tamu yang dulunya merupakan beranda terbuka. “ Loji ini dulu dibeli oleh eyang saya, eyang Sarmowihardjo dari tangan orang Belanda pada tahun 1930an. Tapi saya sendiri kurang tahu siapakah orang Belanda itu “, tutur Ibu Puji membuka cerita riwayat loji ini. “ Dulu eyang saya merupakan mantri kesehatan di sini. Beliau diberi amanah oleh RS Petronella ( sekarang RS Bethesda ) untuk membuka pelayanan kesehatan di sini “, ujar Ibu Puji seraya menunjukan sebuah bangunan tua yang masih utuh di depan rumah. “ Di situlah, dulu tempat eyang melayani masyarakat sini “ jelasnya. Sayapun kemudian di antar melihat-lihat rumah.
Loji milik Ibu Puji.
Bekas kandang kuda dengan pintu yang cukup besar agar kuda bisa mudah keluar masuk.
Tapi saya sendiri kurang tahu siapakah orang Belanda itu “, tutur Ibu Puji membuka cerita riwayat loji ini. “ Dulu eyang saya merupakan mantri kesehatan di sini. Beliau diberi amanah oleh RS Petronella ( sekarang RS Bethesda ) untuk membuka pelayanan kesehatan di sini “, ujar Ibu Puji sambil menunjukan sebuah bangunan tua di depan. “ Di situlah, dulu tempat eyang melayani masyarakat sini “ jelasnya. Berikutnya, saya didampingi beliau melihat-lihat rumah.
Inilah bangunan yang dahulu dibangun oleh Kakek Sarmowihardjo.
Bagian dalamnya terbilang bersahaja layaknya rumah-rumah di pedesaan. Lalu saya diajak melihat ruangan yang kini menjadi dapur. “ Lihat mas plafonnya ! “, pintanya. Segera saya menengadah ke atas. “ Plafon ini masih asli dari anyaman bambu. Dari dulu tidak saya ganti “. jelasnya. Rumah-rumah Indis zaman dulu kerap memakai anyaman bambu untuk menutupi langit-langitnya karena lebih mudah diperoleh.
Deretan kamar pada bangunan samping.
Dari bangunan utama, saya diajak melihat bangunan tambahan di samping rumah yang dalam istilah arsitektur Indis disebut Bijgebouwen. “ Maaf ya mas kalau tempatnya agak kotor “. Selain kamar mandi dan gudang, tiada lagi ruangan-ruangan ini yang masih dipakai. Puas melihat-lihat, saya pun pamit undur diri pada tuan rumah. Namun sebelum saya beranjak, tuan rumah menunjuk sebuah jendela krepyak di depan rumahnya. Awalnya, saya sempat tidak mengerti apa yang hendak ditunjukan tuan rumah. Namun begitu beliau masuk ke dalam, kisi jendela yang tadinya terutup tiba-tiba terbuka. Akhirnya saya paham apa yang dimaksud tuan tumah.
Jendela krepyak yang bagian krepyak nya dapat dibuka tutup. Terlihat salah satu daun krepyaknya dalam kondisi sterbuk sementara satunya lagi dalam kondisi tertutup.
Lalu bagaimana ceritanya loji-loji Indis ini bisa tercecer di tengah kawasan rural ini, jauh  dari pusat permukiman dan pusat kekuasaan orang Eropa di perkotaan ? Dahulu kala, Minggir merupakan sebuah perkebunan tembakau partikelir yang dibeli oleh Koloniaale Bank pada tahun 1920. Jadi, hamparan sawah yang saya lihat di sepanjang perjalanan ke Minggir dulu tidak ditanami padi, melainkan tembakau, si emas hijau. Kebijakan pemulihan agraria selama tahun 1918 menyebabkan produksi tembakau menjadi merosot (Stroomberg, 2018 ; 195). Akhirnya perkebunan tembakau itupun lantas dikonversi menjadi perkebunan tebu oleh para pemodal dari Koloniaale Bank. Di tengah-tengah hamparan perkebunan tebu, didirikan sebuah pabrik gula kecil bernama PG Sendangpitu yang melakukan giling tebu pertamanya di tahun 1922 ( Wiseman, 2001; 218 ).  Rumah-rumah para contoleur atau mandor perkebunan tembakau pun dimanfaatkan sebagai rumah mandor tebu. Tugas mereka yakni memastikan jumlah penduduk pribumi yang bekerja setiap harinya untuk menyiapkan lahan, menanam bibit dan merawat semua tanaman sampai musim tanam tiba ( Albert S. Bickmore,1868 dalam James R. Rush, 2013; 95). Sayang, nasib pabrik gula Sendangpitu tidak sebaik loji-loji ini. Tahun 1931, pabriknya ditutup akibat dihantam krisis malaise dan asetnya dilebur dengan PG Medari. Dari berbagai jejak loji yang berdiri terpencar di Minggir, maka penyataan BM. Susanti bahwa loji-loji terpusat di satu tempat tidak sepenuhnya benar.
Persebaran  loji-loji di  wilayah Minggir yang tergambar pada peta topotgrafi tahun 1935. Lokasi bangunan loji ditandai dengan kotak kecil berwarna merah. 
Keterangan : 
1. Lojisrut 
2. Loji milik Ibu Puji
3. Loji di selatan lapangan Minggir
4. Loji yang sekarang menjadi balai desa Sendangmulyo
A.Pabrik Gula Sendangpitu. (sumber ; maps.library.leiden.edu).
Ketika kembali ke Yogyakarta, saya merenungi nasib ke depan loji-loji ini, sanggupkah loji-loji ini bertahan melampaui zaman ? Selama pembangunan di desa tidak semasif di kota dan masyarakat masih peduli akan warisan sejarahnya, saya percaya loji-loji ini masih dapat disaksikan oleh generasi selanjutnya…

Referensi
Bickmore, S. Albert. " Travels in the East Indian Archipelago " dalam Rush, James. R. . 2013. Jawa Tempo Doeloe. Depok : Komunitas Bambu.

Handinoto. 2006. " Arsitektur Transisi di Nusantara dari Akhir Abad ke 19 ke Awal Abad ke 20 " dalam Dimensi Jurnal Arsitektur Universitas Petra.

Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis. Depok : Komunitas Bambu.

Susanti, B.M. 2000. Loji Londo ; Studi Tata Ruang Bangunan Indis. Yogyakarta : Yayasan untuk Indonesia.


Stroomberg, Dr. J. 2018. Hindia-Belanda 1930. Yogyakarta : Penerbit IRCiSoD..


Wiseman, Roger. 2001. " Three Crises : Management in The Colonial Java Sugar Industry ". Tesis. Adelaide : Departement of History, University of Adelaide.