Kejayaan transportasi kereta di masa kolonial tergambarkan dengan baik di
stasiun itu. Namun tak banyak yang tahu, di bawah rangka-rangka bajanya,
tercium aroma diskriminasi di masa kolonial. Inilah kisah sebuah stasiun tua
yang kini menjadi museum, Stasiun Ambarawa….
Bangunan utama stasiun Ambarawa. |
Ketika kaki ini mulai melangkah masuk ke stasiun ini, saya serasa dibawa ke suatu periode,
periode dimana kepulan uap kereta menyeruak ke langit-langit stasiun dan deru
mesin menggetarkan lantai stasiun. Nuansa kekunoannya stasiun yang sejatinya
bernama Stasiun Willem I ini masih terasa kentara. Kombinasi bata bergalzur kuning di bawah, guratan ekpose bata
merah, dan dinding berwarna putih bersih mempercantik bangunan kantor dan ruang
tunggu yang mungil. Tak diketahui siapakah arsitek yang merancangnya, namun
setidaknya, stasiun ini berhasil mereprenstasikan puncak kejayaan transportasi
kereta api di masa lampau.
Lokasi stasiun Ambarawa pada peta tahun 1909. Perhatikan lokasi stasiun yang dekat dengan benteng Willem I. Stasiun ini sengaja dibangun dekat dengan benteng untuk melayani kebutuhan militer. Dahulu terdapat dua akses ke stasiun ini, yakni di sebelah utara (kini jalan Stasiun) yang kebanyakan digunakan untuk kalangan sipil dan di sebelah selatan (kini jalan Margoroto) yang digunakan oleh kalangan militer (sumber : maps.library.leiden.edu).
|
Pendirian stasiun ini berhubungan erat dengan peran Ambarawa sebagai kota
militer setelah pemerintah kolonial mendirikan sebuah benteng besar yang sudah lama ada sebelum stasiun Ambarawa dibangun. Benteng yang dimaksud tidak lain adalah Benteng Willem I. Ambarawa lambat laun berkembang menjadi garnisun militer yang penting. Selain itu, perniagaan antara Eropa dan Hindia-Belanda kian bergeliat dengan dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang memangkas waktu pelayaran antara Hindia-Belanda dengan Eropa. Kemajuan perniagaan tersebut lalu diiringi dengan semakin banyaknya investasi asing yang mengalir untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Hindia-Belanda paska dibukanya keran investasi swasta di Hindia-Belanda oleh pemerintah Kolonial pada tahun 1870. Para pemodal berondong-bondong menanam modalnya dalam bentuk usaha perkebunan partikelir sehingga perkebunan mulai tumbuh dimana-mana termasuk di sekitar Ambarawa yang notabene iklimnya cukup mendukung untuk tanaman kopi. Sayangnya perekenomian yang sedang bergairah tersebut
tidak didukung dengan sarana transportasi yang layak untuk mengangkut orang dan
barang dengan cepat dan murah. Jalan raya antara Semarang dan Ambarawa masih
berupa jalan tanah yang setiap tahunnya harus rutin diperbaiki dan menjadi
beban yang mesti ditanggung pemerintah. Moda angkutan darat yang tersedia saat
itu juga masih primitif sekali yakni berupa pedati atau delman yang tidak bisa berjalan cepat dan daya
angkutnya terbatas. Selain itu, di musim hujan jalan tersebut sulit dilintasi
karena terendam banjir sehingga memperlambat proses pertukaran barang antara
pedesaan dan pesisir. Dengan latar belakang tersebut, pemerintah kolonial merasa butuh sebuah sarana pengangkutan massal yang dapat meningkatkan mobilitas militer dan pengangkutan hasil bumi dari sekitar Ambarawa. Kereta api menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut karena dalam sekali jalan, kereta dapat mengangkut barang dan penumpang dalam jumlah besar. Lajunya pun lebih cepat daripada kendaraan tradisional kala itu seperti pedati sehingga waktu tempuh perjalanan menjadi berkurang dan hasil bumi yang diangkut tidak membusuk di perjalanan.
Pada
saat perencanaan pembangunan jalur kereta api di Jawa pada tahun 1860an,
Menteri Koloni Belanda Franssen van de Putte memohon kepada kongsi kereta api
partikelir Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschapij (N.I.S.M)
supaya Ambarawa dibuatkan jalur kereta terlebih dahulu sebelum ke tempat
lainnya. Hal tersebut didasari oleh adanya keberadaan sarana militer
berupa benteng dan garnisun yang sudah berdiri di Ambarawa sejak tahun 1840an. Ketersediaan transportasi seperti kereta api akan membantu sekali dalam kepentingan militer seperti mobilitas tentara dan dan logistik
militer yang diperlukan seperti ransum, amunisi dan obat-obatan. Oleh karena itu rentetan
pembangunan jalur kereta ke arah Ambarawa mulai dikerjakan dengan mengambil percabangan
dari Kedungjati pada tahun 1867 bersamaan dengan mulai beroperasinya kereta api di Jawa. Pembangunan itu adalah tantangan berat pertama yang dihadapi oleh N.I.S.M lantaran kali ini mereka harus menggali bukit, menyingkirkan bongkahan
batu besar, dan mendirikan jembatan di atas sungai curam. Dengan peralatan yang
masih primitif, pembangunan itu tentu berjalan begitu pelan (Java Bode, 2 Oktober
1867). Pembangunan bahkan sempat terhenti pada tahun 1871 karena ada lintasan yang harus diubah dari rencana semula (Java
Bode, 24 November 1871). Namun tantangan tadi berhasil dilalui dengan baik. Pada Maret
1873, pembangunan jalur memasuki tahap akhir. Bagian gudang stasiun Ambarawa
sudah selesai dibuat dan segala perantinya sudah siap (Bataviasch Handelsblad, 26 Maret 1873). Akhirnya
pada tanggal 21 Mei 1873, jalur kereta lintas Kedungjati - Ambarawa diresmikan
untuk umum (Riestma, 1928 : 24). Segala jerih payah selama pembangunan terbayarkan dengan manfaat yang diperoleh. Sebuah simbiosis
mutualisme tercipta antara pemilik perkebunan dengan N.I.S.M yang menjalankan roda bisnis
perkeretapian. Kehadiran kereta api memperlancar pertukaran barang dan orang antar wilayah menjadi lebih lancar. Hasil pertanian dan industri dapat dikirim ke pelabuhan dengan waktu yang lebih ringkas sehingga resiko hasil panen membusuk di pelabuhan dapat terhindarkan. Di sisi lain barang-barang yang diimpor dari luar dapat didatangkan ke pedalaman sehingga masyarakat yang tinggal jauh dari pelabuhan dapat memperoleh barang dengan mudah. Perpindahan penduduk antar wilayah juga menjadi lancar. Selain itu, kereta api juga mempercepat arus komunikasi dimana saat itu orang masih berkirim pesan melalui surat. Sebelum ada kereta api, surat diangkut dengan kereta khusus yang disebut kereta mail. Kereta tersebut rentan dirampok karena selain membawa surat juga mengangkut uang kiriman. Sejak surat-surat diangkut oleh kereta api, pengiriman surat menjadi lebih cepat dan aman. Pentingnya jalur tersebut untuk militer juga terbukti saat para serdadu yang bermarkas di Ambarawa diterjunkan dalam operasi militer di Lombok dan Aceh pada tahun 1890, 1894, dan 1896. Kereta apilah yang mengangkut mereka dari Ambarawa ke pelabuhan Semarang dan perjalanan tersebut hanya perlu ditempuh dalam waktu kurang dari satu hari saja. Dengan kata lain, kereta api tidak hanya sebagai alat penguras sumber daya alam dari tanah jajahan, namun juga turut menyumbang peran dalam upaya ekspansi kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara.
Stasiun Ambarawa sebelum disempurnakan. Perhatikan bentuk stasiun yang masih sederhana sekali (sumber : media-kitlv.nl). |
Sekitar awal abad-20, N.I.S.M. melakukan pembangunan jalur kereta baru yang akan menyambungkan Ambarawa dengan Magelang melalui Secang. Jalur kereta tersebut resmi dibuka untuk umum pada Februari 1905 (Rietsma, 1928 : 62). Namun berhubung medan yang dilalui berupa perbukitan, maka jalur kereta dibuat meliuk-liuk seperti ular yang mendaki bukit. Supaya kereta lebih mudah mengikuti liukan rel, maka lebar rel yang dipakai lebih kecil. Oleh sebab itulah di stasiun Ambarawa terdapat dua jenis jalur rel yang berbeda, yakni jalur rel 1435 mm di emplasemen selatan dan 1067 mm di emplasemen utara. Dari Kedungjati ke Ambarawa menggunakan rel 1435 mm, sementara dari Ambarawa menuju Yogyakarta melalui Magelang menggunakan rel 1067 mm. Buku panduan terbitan Koninklijke Paketvaart Mij menyarankan para pelancong yang hendak ke Yogyakarta untuk mengambil jalur Kedungjati-Ambarawa-Magelang karena jalur itu menawarkan pemandangan bentang lahan pegunungan yang menarik dan indah ketimbang jalur Kedungjati-Surakarta yang cenderung datar dan monoton. Ketika kereta berhenti sejenak di Ambarawa, para pelancong dianjurkan untuk beranjangsana di Ambarawa, menikmati pemandangan hamparan sawah luas berlatar birunya danau Rawa Pening dan pegunungan di selatan Ambarawa. Di sore hari, dengan membayar sebesar 4 gulden, para pelancong dapat berkendara mengelilingi kota dan mampir melihat-lihat benteng Willem I (Koninklijke Paketvaart Mij, 1911: 69-70).
Suasana stasiun Ambarawa yang terekam pada video Reis Willem I Djocja.Terlihat kereta api yang akan memasuki peron stasiun. |
Ketika pertama kali dibuka, bangunan Stasiun Ambarawa terlihat lebih bersahaja jika dibandingkan dengan bangunan yang ada saat ini karena saat itu keuangan N.I.S.M masih terbatas. Setelah N.I.S.M berhasil menangguk banyak pundi-pundi keuntungan, maka Stasiun Ambarawa disempurnakan bentuknya. Selain sebagai bentuk perayaan terhadap kemakmuran yang berhasil diraih oleh N.I.S.M, penyempurnaan Stasiun Ambarawa juga dimaksudkan untuk persiapan menyambut dibukatnya jalur kereta Ambarawa-Secang. Proyek penyempurnaan bangunan stasiun Ambarawa dimulai setahun sebelum jalur tersebut dibuka. Untuk keperluan tersebut, maka gudang lama stasiun dibongkar untuk memperluas stasiun dan sebagai gantinya dibangun dua gudang baru. Pengerjaanya bangunan Stasiun Ambarawa yang baru akhirnya purna sekitar bulan April tahun 1907 dengan menghabiskan biaya sebesar 160.000 gulden (De Locomotief, 6 April 1907). Penyempurnaan itu tampaknya bertujuan untuk mendongkrak citra N.I.S.M sebagai sebuah perusahaan besar dan juga untuk menambah daya pikatnya sebagai stasiun sehingga lebih banyak penumpang agar menggunakan jasa kereta mereka. Apa yang terjadi pada Stasiun Ambarawa ini kurang lebihnya mirip dengan stasiun-stasiun di Perancis yang pada tahun 1850an bangunan stasiunnya masih terlihat kasar seakan-akan bangunan tersebut lebih mengedepankan aspek fungsionalnya semata sebagai tempat pemberhentian kereta. Seiring berkembangnya jasa perkeretapian di kemudian hari, bangunan-bangunan stasiun dibuat lebih anggun dan megah sehingga membuat bangunan stasiun laksana karya arsitektur yang patut diperhitungkan sebagai karya seni bercitarasa tinggi (Burchell. S. C, 1984 : 60).
Sisi depan stasiun Ambarawa.
|
Overkapping stasiun Ambarawa dilihat dari arah tenggara.
|
Saya kini berjalan di
bawah naungan overkapping atau kanopi stasiun yang dibuat di Jerman. Harian De Locomotief tanggal 6 April 1907 menyebutkan bahwa kanopi stasiun tersebut adalah yang terbesar kedua di Jawa setelah kanopi stasiun Surabaya Kota. Atap stasiun tersebut memang dibuat dalam ukuran besar mengingat peran Stasiun Ambarawa sebagai stasiun transit kereta dari Secang dan sebaliknya yang memiliki lebar rel berbeda sehingga tentu cukup banyak penumpang yang akan turun di sini. Pembuatan dan pemasangannya sendiri menghabiskan biaya sebesar 60.000 gulden. Kanopi tersebut menudungi bangunan untuk tempat penjualan karcis, kantor telegraf, kantor kepala stasiun, biro paket, ruang tunggu penumpang kelas 1 dan 2 yang di dalamnya ada ruang toilet, dan ruang tunggu kelas 3 yang berada di luar. Bangunan yang terlihat rapi tanpa cacat dan masih berdiri kokoh sampai sekarang menunjukan kualitas pengerjaan yang dilakukan secara total dan bahan yang dipilih benar-benar bermutu prima. Selain
kereta, jejak revolusi industri yang tampak pada stasiun ini juga terlihat pada
material-material yang dipakainya. Material-material yang menyokong stasiun itu dibuat oleh pabrik pengecoran logam di
Amsterdam sesuai pesanan. Kemudian barang-barang itu dikirim dengan kapal uap,
melintasi Terusan Suez dan sesudah dibongkar di pelabuhan Semarang, mereka diangkut
menggunakan kereta. Hamparan lantai tegel kekuningan yang saya injak inipun
juga merupakan buah revolusi industri yang lain. Tegel-tegel itu dibuat secara masal di
sebuah pabrik tegel di Maastricht, Belanda, dan ia diangkut ke sini dengan cara
sebagaimana kanopi baja tadi diangkut. Ya, aura revolusi industri terasa kentara di stasiun ini.
Tiang-tiang baja penyangga konstruksi atap.
|
Para pengunjung tampak
antusias berfoto-foto di setiap sudut stasiun dan anak-anak kecil terlihat
berlarian tak karuan. Pemandangan tadi tentu tak terlintas di benak para meneer-meneer yang sedang menanti kedatangan kereta puluhan tahun silam, ketika mereka duduk di bangku peron yang panjang,
menikmati semilir udara Ambarawa nan sejuk yang membuat mereka nyaris tidur terlelap di
bangku itu. Supaya terjaga, beberapa ada yang membaca koran De Locomotief yang didapatkan secara cuma-cuma di ruang tunggu penumpang kelas I. Para kuli pribumi terlihat lalu lalang membawa barang dari gerbong ke
gudang. Kepala stasiun berwajah tegas keluar dari kantornya, memberi aba-aba
kepada penumpang untuk segera bergegas karena kereta sebentar lagi akan tiba...
Detail bangunan stasiun. |
Sinyal kereta yang tanda masuk atau keluar dari stasiun Ambarawa diatur di dalam ruang kotak kecil ini. Sinyal yang dipakai menggunakan sinyal mekanik. |
Saya kemudian memasuki ruang
yang dulu menjadi ruang tunggu untuk penumpang kelas 1. Ruang tersebut menempati sebuah bangunan tersendiri dan terpisah dari ruangan administrasi. Ruangan itu masih asli, sehingga begitu masuk saya serasa terhanyut oleh arus waktu yang membawa saya kembali ke belakang. Lihatlah lantai
tegel antik bermotif bunga-bungaan yang membuat saya tak tega untuk menginjaknya. Di
ruangan inilah para penumpang kulit putih menunggu kereta sembari bersantai menikmati kudapan yan prasmanan dan minuman keras seperti gin, genever, bir, atau wine yang disajikan secara prasmanan Di dalam sana
juga sudah tersedia ruang buang hajat yang sudah dipisahkan sesuai jenis kelamiun. Namun
dibalik keantikannya, ruangan itu sebenarnya adalah contoh bentuk segregasi orang
pribumi dengan orang Eropa di masa kolonial…
Bangunan untuk ruang tunggu penumpang kulit putih.
|
Bagian dalam ruang tunggu dengan meja bartender. |
Toilet di dalam ruang tunggu. Toilet ini sudah dipisah berdasarkan gender. |
Di masa lampau, bahkan
sebelum mereka naik ke tangga kereta, terdapat perbedaan dalam perlakuan
penumpang Eropa dengan penumpang pribumi. Orang pribumi memesan tiket di tempat
yang terpisah dengan orang kulit putih. Sekalipun telah memesan tiket penumpang kelas 1,
mereka tak ada yang berani menunggu di ruang tunggu orang kulit putih. Jikapun
berani, mereka akan diusir oleh pegawai stasiun. Mereka akhirnya harus berpuas
menunggu kereta di ruang tunggu terbuka di ujung barat stasiun ini yang dimaksudkan untuk penumpang kelas 2 dan 3.
Ruang tunggu untuk penumpang non-Eropa. |
Bangunan toilet untuk penumpang non-Eropa. |
Sembari berjalan keluar,
saya melihat-lihat aneka lokomotif uap tua yang dipajang seperti rangkaian
kereta. Lokomotif-lokomotif kuno ini merupakan sebagian kecil dari lokomotif
kuno yang berhasil diselamatkan pada tahun 1970an. Kala itu, banyak lokomotif
peninggalan Belanda yang tak lagi dioperasikan akibat biaya pemeliharaannya yang
tinggi yang berujung digantinya mereka dengan lokomotif diesel. Menjadi
pajangan adalah nasib terbaik yang diterima oleh lokomotif tua tadi. Kebanyakan mereka
dibantai di peleburan besi-besi tua. Demi menyelamatkan artifak-artifak tadi,
atas prakarsa Gubernur Jateng saat itu, Soepardjo Rustam dan Kepala Eksploitasi
Tengah PJKA, Ir. Soeharso, tanggal 8 April 1976 dibahas suatu rencana untuk membuka
sebuah Museum Kereta Api. Awalnya museum ini akan menjadi satu dengan Museum
Transportasi di Jakarta, namun akhirnya rencana itu urung dilakukan. Pilihan terakhir jatuh ke
Stasiun Ambarawa dengan pertimbangan nilai sejarah dan kondisi fisik bangunan
yang masih terjaga. Maka pada 9 Oktober 1976, Stasiun Ambarawa diresmikan sebagai Museum
Kereta Api (Gendro Keling, 2011: 100). Hingga sekarang, Stasiun Ambarawa masih
eksis sebagai Museum Kereta Api terbesar di Indonesia dan bahkan di Asia
Tenggara.
Di dekat stasiun,
masih terjumpai beraneka artefak perkeretapian seperti corong air tempat memasukan air ke dalam ketel lokomotif. Air tersebut dipasok dari sumur bor dan ditampung reserovir di dekatnya. Selain itu ada alat berupa meja
putar atau turntable yang berguna
untuk melangsir lokomotif. Walaupun terlihat sederhana, namun komponen
ini amatlah penting bagi kereta uap. Manakala kereta akan berjalan ke Stasiun Bedono
yang posisinya lebih tinggi, posisi lokomotif harus berada di belakang
rangkaian gerbong. Di ujung area stasiun, terdapat tinggalan depo lokomotif
Stasiun Ambarawa yang dibangun tahun 1904. Depo tersebut memiliki lima pintu masuk di kedua sisinya. Di depo itulah lokomotif diperbaiki dan mendapat
perawatan. Depo itu kira-kira dapat menampung dua jenis lokomotif yang berbeda lebar, yakni empat lokomotif dengan lebar 1453 mm dan enam lokomotif dengan lebar 1057 mm (De Locomotief, 10 Desember 1904)
Depo staisun Ambarawa. Depo ini didesain khusus agar bisa memperbaiki lokomotif dengan gauge 1435 mm dan 1067 mm. |
Turntable atau meja putar. Meja putar ini masih bisa diputar sampai sekarang. |
Stasiun Ambarawa juga
memiliki dua buah gudang yang terdapat di sebelah selatan dan barat stasiun. Di
gudang itulah disimpan berbagai macam barang. Masing – masing gudang memiliki
pintu model geser agarpintu dibuka berbenturan dengan gerbong
barang ketika dibuka. Batur atau pondasi gudang sisi rel sengaja dibuat sejajar dengan tinggi boogie kereta
untuk memudahkan pemindahan barang dari gerbong ke gudang atau sebaliknya. Hal
yang sama juga tampak pada batur gudang sisi jalan yang telah disejajarkan
dengan tinggi truk sehingga pemindahan barang dari truk ke gudang atau
sebaliknya menjadi gampang. Stasiun Ambarawa
juga dilengkapi tiga buah rumah kediaman untuk personel pegawainya yang mengelompok di sisi
barat Lapangan Pangsar. Sudirman. Jaraknya masih cukup dekat dengan stasiun supaya mudah dijangkau pegawai. Sayang,
pesona keantikan rumah-rumah tadi sedikit terhalang oleh beberapa kios yang berdiri di
tepi jalan.
Rumah dinas pegawai Stasiun Ambarawa dengan bentuk atap hipped gable yang kondisinya kurang terawat. |
Rumah dinas pegawai Stasiun Ambarawa yang baru saja direnovasi. Di samping rumah ini (yang masih satu atap) juga ada rumah yang bentuknya serupa, namun sudah tertutup oleh bangunan baru sehingga fasadnya tidak terlihat. |
Referensi
Burchell, S. C. 1984.
Abad Kemajuan. Jakarta: Penerbit Tira Pustaka.
Keling, Gendro. 2011. "Latar Belakang Alih Fungsi Stasiun Kereta Api Willem I Menjadi Museum Kereta Api Ambarawa" dalam Forum Arkeologi TH.XXIV No.2 Agustus 2011.
Koninklijke Paketvaart
Mij. 1911. Guide Through
Netherlands India. Amsterdam : J. H. de-Bussy.
Rietsma, S.A. 1928. Korte Geschiedenis der Nederlandsch-Indisce Spoor-en Tramwegen. Weltevreden ; G.Kolff & Co.
Tim Penyusun. 2014. Forts in Indonesia, Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten :Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten :Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
De Locomotief, 10 Desember 1904
De Locomotief, 6 April 1907.
Java Bode, 24 November 1871
Java Bode, 2 Oktober 1867
Bataviasch Handelsblad, 26 Maret 1873