Purworejo memang kota yang kaya akan peninggalan sejarah kebudayaan, mulai dari kebudayaan masa kerajaan Hindu-Budha, Islam, hingga Indis. Selain itu, kota ini juga menyimpan kekayan warisan budaya Tionghoa yang menarik untuk disusuri. Apa sajakah itu ?
Ruko-ruko bergaya Tionghoa di Kawasan Pecinan Purworejo. |
Jajaran ruko-ruko bergaya Tiongkok selatan itu berjejer di sepanjang Jalan Ahmad Yani, sepenggal jalan yang menjurus ke Pasar Baledono,
jantung perekonomian kota Purworejo yang kini sedang dipulihkan kembali paska
terbakar tahun 2013 silam. Pecinan Purworejo memang tak terlalu luas, terbentang hanya sepanjang 964 meter mulai dari perempatan Jalan Magelang di ujung utara
hingga perempatan Monumen W.R. Supratman di sebelah selatan. Ukurannya yang tak
begitu luas disebabkan karena Purworejo sendiri bukanlah kota perdagangan utama
di masa lampau. Sepanjang perjalanan, semerbak aroma cengkeh yang dijemur
tercium oleh hidung saya. Selain cengkeh,
di sepanjang jalan itu dijemur pula berbagai rempah dan tanaman herbal yang digunakan
sebagai obat herbal. Orang-orang Tionghoa sejak dahulu hingga sekarang memang
terkenal sebagai penjual obat herbal yang cukup berkhasiat. Sembari berjalan, saya mencoba untuk
mengingat-ingat asal-usul kawasan pecinan ini…
Salah satu jalan di Pecinan Purworejo yang kini menjadi Jalan Kolonel Sugiono. Di ujung terlihat pertigaan Buh Penceng (sumber : mediaa-kitlv.nl). |
Pertigaan Buh Menceng. Foto ini menghadap ke arah selatan ( sumber : mediaa-kitlv.nl ). |
Orang-orang Tionghoa sudah menyinggahi sejumlah tempat di Nusantara sejak beberapa abad silam, bahkan hal tersebut sudah terjadi ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai kejayaannya pada
abad ke - 8 M. Selanjutnya pada abad ke-14, orang-orang Tionghoa mulai menetap di beberapa kota pelabuhan pesisir utara Jawa seperti Tuban, Gresik, Lasem, Cirebon, Demak, Banten, dll. Awal mula munculnya permukiman di tempat-tempat tersebut berkaitan dengan kegiatan perdagangan antara India dengan Tiongkok melalui jalur laut. Saat itu, pelayaran kapal-kapal dagang tergantung dengan kondisi angin musim dan periode badai. Saat kondisi angin tidak mendukung pelayaran, para pedagang menetap lebih lama di kota pelabuhan yang disinggahinya (Handinoto, 2012: 349). Namun Arus kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara benar-benar
kian terasa saat terjadi perubahan politik di tanah Tiongkok pada abad 17. Wangsa Ming yang semula memerintah Tiongkok digulingkan oleh orang-orang etnis Manchu yang kemudian mendirikan wangsa Qing. Orang-orang Manchu yang terus merangsek ke Tiongkok selatan yang masih setia kepada wangsa Ming. Gejolak politik tersebut memaksa sejumlah orang-orang Tiongkok selatan - terutama dari Hokkien, Hakka,
Fujian, dan Teochiu - untuk meninggalkan kampung leluhur mereka dan merantau ke tanah seberang lautan yang belum dikenal sebelumnya.
Bong Jana, satu-satunya jejak fisik komunitas Tionghoa di Jana yang masih tersisa. |
“Jonno adalah produsen kain linen terbesar dan terkenal di Bagelen
yang ditawarkan di sini untuk dijual pada hari-hari tertentu dalam seminggu.
Seluruh tempat ini terkenal dengan ladang kapasnya yang subur. Kekurangan atas
pasokan kapas dapat tecukupi dengan pasokan kapas dari wilaya tetangga,
Banjyumas. Dalam rute saya yang lebih jauh, saya sering bertemu dengan angkutan
kapas menuju pasar Jonno. Perdagangan barang ini, baik mentah maupun jadi,
sebagian besar dijalankan oleh orang Cina; dan sejumlah dari mereka memiliki
tempat tinggal permanen di sini. Beberapa tempat tinggal mereka di Jonno
dibangun dari batu bata, dan mirip dengan penduduk yang lebih kaya di ibu kota.
Sebuah cabang sungai Bogowonto ke sungai Jali, melewati pasar ini, dan selama
musim hujan seluruh wilayah di sekitarnya tergenang air seluruhnya sehingga
hubungan dengan desa-desa tetangga hanya bisa dilakukan dengan perahu”.
Namun damainya hidup di Jana mulai terusik sejak tahun 1825
bersamaan dengan meletusnya Perang Jawa. Setahun berikutnya pemerintah kolonial
mengeluarkan UU Wijkenstesel yang mengharuskan orang-orang untuk tinggal di daerah atau wilayah yang telah ditentukan di dalam kota. Dengan kata lain, orang-orang Tionghoa yang tinggal di pelosok desa harus pindah ke kota pusat kekuasaan pemerintah kolonial (Handinoto, 2012: 358). Pemerintah kolonial mengeluarkan aturan tersebut
dengan dalih untuk mengamankan orang-orang Tionghoa dari gangguan laskar
Diponegoro. Namun tujuan utama dari aturan tersebut adalah untuk mencegah
bergabungnya orang-orang Tionghoa dengan kubu Diponegoro melawan Belanda. Aturan
Wijkenstelsel cukup memberatkan bagi orang-orang Tionghoa yang sudah
terlanjur hidup nyaman sebagai petani dan pengrajin di desa. Pemerintah
kolonial akhirnya berusaha "memaksa" mereka pindah dengan membiarkan
para bandit merampok hasil panen mereka. Akibat ulah dari pemerintah kolonial tersebut,
rusaklah kehidupan harmonis orang pribumi dengan orang Tionghoa di Jana
yang sudah berlangsung sekian tahun. Gesekan antara orang Tionghoa dan pribumi
yang diciptakan oleh pemerintah kolonial akhirnya mencapai
puncaknya dengan meletusnya peristiwa Geger Pecinan dalam skala kecil di
Jana pada tahun 1827. Kendati persitiwa Geger Pecinan versi Purworejo ini
tidak separah di Batavia, namun korban yang berjatuhan dari masyarakat Tionghoa
amatlah banyak. Semua hunian milik orang Tionghoa dihancurkan hingga rata
dengan tanah. Akibat persitiwa itu, orang-orang Tionghoa di Jana yang akhirnya
melakukan bedhol desa, pindah ke tempat-tempat yang lebih aman seperti Parakan dan Purworejo
(Becking, 1923; 751). Kini hampir tiada jejak masyarakat Tionghoa di Jana
selain sebuah kubur Tionghoa tua yang sudah lapuk termakan usia.
Lokasi kawasan pecinan Purworejo (kotak merah) dan kompleks bong (kotak biru) (sumber : maps.library.leiden.edu) |
Deretan bangunan lama berupa ruko di jln.Ahmad Yani. Di ujung atap terdapat hiasan seperti cerobong semu. |
Meskipun sedikit jauh dari alun-alun, tempat tersebut cukup menguntungkan karena dilalui oleh Groote Weg atau jalan raya Purworejo-Magelang yang dibuat oleh bupat Tjokronegoro I. Bagaikan gula yang dikerubungi semut, tempat tersebut didatangi pedagang lain dari berbagai tempat. Para petani dari desa membawa hasil ladangnya ke sana. Pedagang dari luar kota juga datang ke sana untuk memasarkan dagangannya. Pelan tapi pasti, Baledono tumbuh menjadi simpul perekonomian Purworejo dan secara alamiah muncul sebuah pasar sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar itulah yang saat ini dikenal sebagai Pasar Baledono. Kawasan pasar Baledono-pun kian ramai dengan kedatangan gelombang orang Tionghoa dari Solo dan Semarang. Pasar Baledono sempat dilalap si jago merah pada tahun 2013 silam. Sebelum terbakar, saya sendiri memiliki cukup banyak kenagan akan pasar ini. Paman saya tinggal tidak jauh dari pasar ini dan saya kerap mengunjunginya, sehingga saya sudah familiat dengan suasana pasar Baledono. Masih teringat dalam ingatan saya suara teriakan pedagang yang menawarkan dagangannya, deretan angkot yang menunggu penumpang di bawah tangga pasar, barisan para kuli panggul yang sedang membongkar barang, tumpukan sampah yang menggunung di sudut pasar, hingga bau amis daging dari kios pedagang daging. Empat tahun setelah peristiwa kebakaran itu, Pasar Baledono dibangun kembali dengan gedung yang lebih megah.
Ruko-ruko tradisional Tionghoa yang masih utuh di tengah himpitan bangunan baru. |
Setidaknya, ada dua jenis ruko tradisonal Tionghoa di Pecinan Purworejo, yakni ruko berlantai satu dan berlantai dua. |
Seperti itulah asal
muasal kawasan pecinan Purworejo. Tetengernya yang paling kentara tentu saja
jejeran ruko-ruko tua bergaya Tiongkok selatan itu. Karena orang-orang Tionghoa
dahulu mayoritas bekerja sebagai pedagang, maka rumah kediaman mereka merangkap
pula sebagai toko. Apabila ruko itu berlantai dua, maka toko ada di bawah dan
hunian keluarga ada di lantai dua. Sementara jika ruko itu hanya berlantai tunggal,
maka toko ada di depan sementara hunian ada di belakang. Agar udara dapat masuk
ke bagian ruag tengah, maka dibuatlah halaman kecil di tengah-tengah. Bentuk atapnya
menyerupai kipas, disebut atap tipe shan,
bentuk atap yang banyak dipakai pada ruko di daerah Tiongkok selatan.
Setiap bangunan memiliki tembok samping yang melebihi atap bangunan atau dalam bahasa mandarin
disebut feng huo qiang, tujuannya
agar kebakaran tidak merambat luas. Sayang, jumlah ruko-ruko yang asli mulai
berkurang. Mereka telah tergantikan dengan ruko-ruko yang bergaya lebih modern
dan lebih besar ukurannya demi kebutuhan ruang dan selera empunya.
Klenteng Thong Hwee Kiong. |
Di belakang pasar itu,
terdapat Klenteng Thong Hwee Kiong yang didirikan oleh para pedangang Tionghoa di
Purworejo pada tanggal 22 Februari 1888 sebagai ucapan terima kasih kepada Dewa Bumi atas kemakmuran dan keselamtan yang telah dilimpahkan. Pembangunan kelenteng ditanggung oleh masyarakat Tionghoa secara gotong royong. Bentuknya relatif sederhana apabila
dibandingkan dengan klenteng di pesisir yang ukurannya besar dan pernak perniknya lebih meriah. Terdiri
dari sebuah pendopo kecil di depan, bangunan tempat altar dewa utama dan
bangunan samping untuk dewa-dewa tambahan. Dalam sistem religi masyarakat Tionghoa, kelenteng merupakan tempat sembahyang untuk Langit, Bumi, dan Leluhur. Pada perkembangannya, kelenteng menjadi tempat ibadah agama RuDaoShi atau agama Konghuchu (Ru), Tao (Dao), dan Buddhisme (Shi). Apabila melihat nama kelenteng, kiong,
unsur agama Tao yang menonjol di sini.
Klenteng Thong Hwee Kiong pada tahun 1930an. |
Bagian dinding depan klenteng yang kaya akan ornamen bercorak Tionghoa. Dari sini terlihat ruang altar dewa Hok Tek Cing Sin yang menjadi dewa utama klenteng ini. |
Rumah kuno di Jalan Kemuning. |
Sebuah ruko di dekat Buh Penceng. |
Rumah tua bergaya Indis di Jalan Ahmad Yani. Dari ukuran bangunan yang terbilang besar dan dekorasinya yang banyak dan mewah, rumah ini tampaknya pernah menjadi tempat tinggal seorang Kapiten Tionghoa. |
Tiada bangunan yang
lebih akbar dan mewah di kawasan Pecinan Purworejo selain bangunan berlanggam
Indis Empire Style yang terletak seratus meter ke utara dari perempatan patung
W.R. Supratman. Di sini, saya menjumpai beranda depan yang tinggi dengan deretan
tiang dari besi cor yang antik di depannya. Tegel-tegel dengan motif yang
menarik juga dapat dilihat di sana. Dari langgamnya, ia jelas mendapat sedikit
pengaruh kebudayaan Indis yang berkembang pada abad ke-19. Kebudayaan Indis
rupanya tak hanya monopoli orang Belanda totok atau Indo saja. Orang-orang
Tionghoa, terutama yang dekat dengan lingkaran penguasa kolonial, juga ikut terpengaruh dengan arus kebudayaan tersebut sebagai upaya menyejajarkan dirinya dengan orang Belanda. Bangunan ini tampaknya semula merupakan kediaman seorang kapiten Tionghoa. Seorang kapiten Tionghoa atau Kap-twa bertugas untuk mengatur perkara-perkara yang terjadi di dalam komunitas Tionghoa dan pengontrolan atas wilayah pecinan. Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1837 kemudian membentuk Kongkoan, semacam dewan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa yang diberi gelar mayor, kapten dan letnan. Sekalipun berbau militer, gelar tersebut hanya bersifat tituler saja dan tak ada kaitanya dengan urusan militer. Kapiten Tionghoa pertama di Purworejo bernama Be Ing Tjioe (Becking, 1923; 751). Dalam buku Riwayat Semarang karya Liem Thian Joe, diceritakan Be Ing Tjioe lahir di Tiongkok pada tahun 1803. Sewaktu ia masih anak-anak, ia dibawa ke Jawa oleh Tan Nio, saudagar tembakau dari Semarang yang juga menjadi majikannya. Karena ia bekerja dengan giat, ia diangkat oleh majikannya sebagai menantu. Sesudah menikah, ia diutus mertuanya untuk membantu Tan Tiang Tjhing yang membutuhkan tenaga untuk mengurus pacht madat di Bagelen. Pada tahun 1824, pergilah Be Ing Tjioe ke Bagelen. Setelah berdiam di sini selama beberapa tahun, Be Ing Tjioe diangkat sebagai kapiten dengan nama kebesaran Be Tjing Khwee pada 7 Januari 1839. Beberapa purnama kemudian, ia kembali ke Semarang. Di sana ia mendirikan rumah megah lengkap dengan taman indah yang dikenal sebagai Kebon Dalem. Karena pernah menjadi kapiten di Purworejo (saat itu masih bernama Brengkelan), maka masyarakat Semarang menjuluk Be Ing Tjioe sebagai Kapiten Brengkelan. Be Ing Tjioe meninggal di Batavia pada tahun 1857. Jasadnya dibawa ke Semarang dengan sebuah kapal yang disewa khusus dan upacara kematiannya diselenggarakan secara besar-besaran (Liem Thian Joe, 1931; 153).
Dari kawasan Pecinan,
saya bergerak sedikit menjauh ke utara, tepatnya di Desa Tawangrejo. Di desa
yang sebenarnya masih terhitung dekat dengan kota Purworejo itu, terhampar
kompleks permakaman Tionghoa yang lazim disebut bong. Lokasinya yang berada di
lereng bukit sangatlah ideal untuk tempat permakaman karena lokasi seperti itu
dianggap memiliki fengshui yang baik,
sehingga dipercaya arwah leluhur dapat mewariskan keberuntungan kepada sanak
keluarga yang masih hidup. Tanah yang lokasi fengshui nya baik biasanya ditawarkan kepada anggota masyarakat yang berada.
Medan kompleks bong yang
naik turun membuat saya terengah-engah ketika menjelajahi setiap bong yang ada
di sana. Bong tradisional Tionghoa memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan
dengan makam-makam lain. Ciri utamanya ialah berbentuk seperti gundukan kecil
dan apabila dilihat dari atas berbentuk seperti rahim perempuan. Hal tersebut
terkait dengan konsep kelahiran kembali sesudah kematian atau reinkarnasi yang
dipercaya oleh orang Tionghoa. Selain itu, di depan bong pai atau prasasti makam, terdapat altar untuk sembahyang dan
meletakan sesaji serta di sampingnya terdapat altar dewa bumi. Kuburan itu
kadang bisa diisi dua jenazah suami istri (Pratiwo. 2010; 75). Sebuah bong
kadangkala diberi pernak-pernik antara
lain patung hewan-hewan seperti naga, Chi Lin (anjing
berkepala singa) dan burung phonix, motif tumbuhan seperti labu dan teratai. Hiasan-hiasan
ini memiliki makna dan simbol tertentu yang dianggap bisa mendatangkan berkah
untuk keluarga yang masih hidup. Misalnya hiasan Chi Lin dianggap
bisa mendatangkan berkah, keselamatan, kesehatan dan keamanan. Ketika semakin
banyak orang Tionghoa yang menganut agama Kristen, maka bentuk kuburan-kuburan pun
ikut berubah. Kali ini bentuknya menyerupai atap sebuah gereja dengan salib di
bagian atasnya. Adanya makam-makam baru di antara makam-makam lama dengan latar
belakang keagamaan yang berbeda setidaknya menunjukan bahwa anak cucu masih
ingin dekat dengan leluhur sekalipun mereka sudah meninggalkan keyakinan
leluhurnya.
Bong pai merupakan sebutan untuk prasasti yang terpancang di depan makam. Ia biasanya
terbuat dari batu andesit. Sayang, karena saya tak dapat membaca aksara mandarin,
maka saya tak dapat mengetahui siapakah yang dimakamkan di situ. Dari literatur yang saya tahu, isi tulisan pada sebuah bong pai lumayan
kompleks dan ada aturan tersendiri dalam penulisannya. Selain tertulis nama
orang dan tanggal kematian, di situ juga tertulis nama sanak keluarga dari si
meninggal. Dalam tradisi Tionghoa, ikatan keluraga adalah hal yang sangat
penting, sehingga jikapun telah ditinggal mati, maka diharapkan
ikatan keluarga masih bisa terjaga. Sengakalan kematian yang ditulis
di bong pai disesuaikan dengan tahun kaisar yang memerintah di
Tiongkok sana. Sebagai contoh ada seseorang yang meninggal pada tahun 1880.
Sementara itu, ketika orang itu meninggal yang menjadi kaisar adalah kaisar
Guangxu yang naik tahta pada pada tahun 1875, maka tahun meninggal yang ditulis
di makam adalah “Tahun ke-5 Kaisar Guangxu”.
Demikianlah hasil
penyusuran saya pada berbagai warisan budaya Tionghoa di kota Purworejo. Saya
percaya bahwa apa yang saya temukan hanyalah yang ada di permukaan saja, belum
dengan warisan budaya lainnya yang belum tersingkap. Semoga berbagai kekayaan
warisan budaya ini dapat dilestarikan dengan baik sebagai bukti persatuan
bangsa kita…
Referensi
Angelino, P. De. Kat. 1930. Batikrapport Deel II ; Midden Java. Batavia : Landsdrukkerij.
Becking. 1923. "Eene Beschrijving van Poerworedjo en Omstreken" dalam Indie 21
Februari 1923.
Cangianto, Ardian. 2013. Menghayati Kelenteng sebagai Ekspresi Budaya Masyarakat Tionghoa dalam web.budaya-tionghoa.net.
Cangianto, Ardian. 2013. Menghayati Kelenteng sebagai Ekspresi Budaya Masyarakat Tionghoa dalam web.budaya-tionghoa.net.
Handinoto. 2012. "Lingkungan Pecinan dalam Tata Ruang Kota di Jawa pada Masa
Kolonial " dalam Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Horsfield, Thos.
1826. "Essays on the Geography, Mineralogy and Botany of the western portion of the Territory of
the Native Princes of Java" dalam Verhandelingen
v/h Bataviaasch Genootschap. halaman 179-180.
King Hian. 2012. "Penjelasan tentang Bongpay" dalam web.budaya-tionghoa.net
Liem Thian Joe. 1931. Riwayat Semarang. Batavia : Boekhandel Drukkerij.
Shanti, Desril Riva. 2011. "Bong di Bogor ;Kajian Mengenai Ragam Hias dan Arti Simbol" dalam Selisik Masa Lalu. Sumedang : Alqaprint.
Karo promosi kijing nggar.....
BalasHapusKaro promosi kijing nggar.....
BalasHapusmas Anggar
BalasHapusnuwun sewu
boleh saya tau instagram nya apa mas?
mau tanya dikit ttg purworejo...
matur nuwunn
ig saya @unistuff_id
IG saya : lengkongsanggar
HapusSilahkan kalau mau di follow
matur suwun
dulu jaman aku masih sekolah, jam 5 sore jalan a yani sudah sepi, toko2 sudah tutup, malam gak ada penerangan jalan, gak gak kehidupan malam seperti penjual makanan, paling yg ada penjual ronde keliling. kalo pagi hari trotoar sisi timur dari ujung utara pasar baledono sampai bug menceng penuh dengan penjual sayuran padahal pasarnya sendiri usdah gede, itu sampai sekitar jam 3-4 sore.
BalasHapusSampai sekarangpun Jalan A Yani masih merupakan jalan yang sepi dan malam sudah gak ada kehidupan malam. Padahal kawasan ini bisa dikembangkan sebagai kawasan pedestrian seperti Malioboro tanpa harus merusak bangunan lamanya.
HapusPurworejo tanah kelahiranku
BalasHapusPurworejo tetap kota asri...
BalasHapus10 tahun jadi warga Purworejo.. jadi kepon n baca2 sejarah Purworejo
BalasHapusjadi pengen kesana deh
BalasHapusdigital marketing id