Selasa, 03 Mei 2016

Mengingat Karya Van Lith di Kompleks Misi Muntilan

Kelahiran kompleks misi di tepi Kali Lamat, Muntilan itu dibidani oleh seorang romo berhati mulia, Romo Van Lith namanya. Darinya, kompleks misi itu memainkan peran penting dalam sejarah misi Katolik di Jawa, melahirkan sosok-sosok Katolik nasionalis seperti Albertus Soegijapranata, I.J. Kasimo, dan Y.B Mangunwidjaja. Bagaimanakah perjuangan Van Lith membesarkan kompleks misi yang menjadi kawah candradimuka tokoh-tokoh Katolik di Indonesia itu dan seperti apakah karyanya yang tersisa sekarang ?  
Denah kompleks misi Muntilan. Keterangan ; A. Gereja Santo Antonius ; B. Pastoran ; C. SMA Pangudi Luhur Van Lith ; D. SMP Kanisius Muntilan ; E. Susteran ; F. Kerkhof ; G. Bruderan ; H. SD Marsudirini.

Pemandangan udara kompleks Xaverius Muntilan (Sint Claverbond Januari 1931).
Di suatu Sabtu pagi yang cerah, saya mengendari sepeda montor menyusuri Jalan Kartini, Muntilan yang tampak ramai oleh anak-anak yang baru saja pulang sekolah. Dari kejauhan, bayang-bayang gereja itu mulai terlihat jelas dengan salib yang bertengger anggun di puncaknya. Itulah Gereja St.Antonius Muntilan, tengara utama dari kompleks misi ini. Sayapun lantas berbelok masuk ke halaman gereja yang asri dan tenang itu untuk segera memulai napak tilas. Saya mengira bila saya akan mendapati suasana halaman gereja yang lengang, namun perkiraan saya ternyata salah. Dari halamannya, terdengar riuh teriakan anak-anak yang sedang berlatih olah raga di situ. Rupanya halaman gereja itu berbagi dengan sebuah sekolah menengah pertama. SMP Kanisius nama sekolah itu. Meskipun cukup ramai, namun gereja itu tetaplah senyap. Pintu gereja masih terkunci rapat. Tak ada jadwal ibadah di hari itu. 
Gereja Santo Antonius Muntilan. 

Tampak Gereja St. Antonius Padua Muntilan setelah selesai dibangun 
(sumber : Nederlandsch-Indie, Oud en Nieuw 1917 vol 2 halaman 52 )
Gedung gereja tersebut merupakan buah tangan dari biro arsitek handal Hulswit, Fermont, en Cuypers yang telah merancang banyak bangunan gereja di Jawa (Akihary,Huib. 1990;100). Sebelum gereja itu dibangun pada tahun 1914, para umat Katolik di Muntilan beribadah di sebuah bangunan yang sederhana. Dindingnya masih dari anyaman bambu dan atapnya masih ditutup dengan seng. Saat musim hujan tiba, gereja sering terendam banjir sehingga perabotan harus dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi. Belum lagi suara keras dari terpaan air hujan yang mengenai seng sehingga suara homili tidak terdengar. Saat orang melihat gedung gereja tersebut untuk pertama kalinya, mereka akan mengira jika bangunan gereja tersebut adalah bangunan kandang kuda. Meskipun beribadah di tempat seadanya, semangat beribadah jemaat Muntilan tetaplah tinggi. 
Gedung gereja Muntilan dalam tahap pembuatan rangka besi.
Pada tahun 1909, gedung gereja dibongkar untuk perluasan sekolah. Proses ibadah selanjutnya dipindahkan ke salah satu ruang dari sekolah tersebut. Sempitnya ruangan membuat jemaat kesulitan saat keluar dari ruangan setelah mengikuti misa. Untungnya para dermawan dari Belanda dengan baik hati memberi sumbangan untuk pendirian gereja baru, dimana proses pendiriannya dimulai pada tahun 1913. Sedianya, gedung gereja diharapkan sudah dapat dipakai pada bula Oktober 1914, namun pembangunan gereja berjalan lambat. Baru pada 25 Maret 1915 gedung gereja tersebut dapat diresmikan oleh Mgr. Luypen. Secara fisik, tampilan luar gereja terkesan tidak terlalu mencolok. Tampilannya yang sederhana seakan merupakan bentuk penghormatan atau tepa selira Gereja terhadap gaya hidup bersahaja orang-orang Jawa yang tinggal di sekitarnya. Bagian fasad gereja memperlihatkan elemen rose window atau Jendela Mawar yang lazim ditemui pada bangunan gereja sebagai simbolisasi Maria. 
Interior gereja, dimana tidak disediakan bangku karena sebagian besar jemaat adalah orang pribumi yang terbiasa mengikuti misa dengan bersila di lantai.
(sumber : Nederlandsch-Indie, Oud en Nieuw 1917 vol 2 halaman 53).
Kendati tampilannya sederhana, namun konstruksi gereja tersebut sudah diperkuat dengan kerangka besi yang termasuk teknologi langka pada saat itu. Pada zaman dahulu, sebagian besar jemaat yang merupakan orang pribumi mengikuti misa dengan duduk bersila atas tikar karena mereka tidak terbiasa untuk duduk di bangku. Oleh karena itu hanya separo bagian dalam gereja saja yang terisi oleh bangku. Dikelilingi dengan lengkungan beranda, gereja tersebut menyatu dengan selasar yang menghubungkan gereja dengan kompleks sekolah sehingga siswa sekolah dari asrama dapat mengunjungi gereja saat musim hujan tanpa basah kuyup. Gedung gereja yang mengambil nama seorang suci dari Padua, Italia itu itu memang masih berada dalam lingkungan sekolah. Gereja beserta sekolah tersebut adalah saksi bisu sebuah lakon perkembangan agama Katolik di Jawa yang telah dirintis lama sebelum gedung gereja itu sendiri berdiri dan Pastor Fransiscus Van Lith adalah tokoh utama dalam lakon tersebut.
Pastor Fransiscus van Lith S.J. (1863-1926).
Muntilan, suatu hari di tahun 1896. Seorang pria berjubah hitam sedang menyusuri jalanan Muntilan nan ramai oleh geliat para pedagang. Di pinggirannya, berjejer ruko-ruko bergaya Tionghoa. Dengan jubah hitamnya, pria pengikut ordo Serikat Jesuit itu sedang mencari rumah rekannya sesama pastor, pastor Stiphout. Pria berjubah hitam itu tak lain ialah Pastor Fransiscus van Lith, S.J. Beliau menginjakan kakinya di bumi Hindia-Belanda pada 4 Oktober 1896, dimana ia mengemban amanat suci dari Roma sebagai pelayan pastor di Jawa. Sebelum kedatangan Van Lith ke Muntilan, sudah ada 16 orang pribumi dari Muntilan yang dibaptis oleh pastor Hebrans dan pastor van Hout pada 9 Desember 1895 (Vriens, 140;1934). Kegiatan pelayanan rohani mereka diampu oleh pastor Stiphout, dimana ia sudah berada di Muntilan sejak 5 Agustus 1896. Di Muntilan, Van Lith ditugaskan untuk membantu pelayanan pastor Stiphout. Selanjutnya, Muntilan menjadi sebuah stasi pada tahun 1897.
Gedung gereja Katolik Muntilan sebelum dipemegah pada tahun 1914.
Lama sebelum kedatangannya, Jawa bukanlah tempat yang mudah untuk seorang umat Katolik. Selama masa VOC, orang-orang Katolik dipersekusi dan ditindas. Pasalnya VOC sendiri menyimpan sentimen terhadap Spanyol, kerajaan Katolik yang dulu sempat menduduki negeri Belanda. Praktis selama lebih dari dua abad, kegiatan penyebaran ajaran Katolik di Jawa tiarap. Di samping itu, para misionaris rupanya juga tak begitu tertarik dengan Jawa dan lebih tertarik menyebarkan iman Katolik di Vietnam atau Cina. Situasi sulit mendera orang-orang Katolik itu sampai VOC bubar tahun 1799. Kegiatan misi Katolik di Hindia-Belanda baru diizinkan pada masa Daendels. Sekalipun kegiatan pelayanan dan penyebaran ajaran Katolik sudah diizinkan, namun para misionaris masih menghadapi kendala. Kendala utama mereka ialah masih sulitnya mereka berbaur dengan masyarakat dan budaya Jawa. Van Lith, pastor yang memiliki hobi berkebun itu, menyadari hal tersebut dan iapun segera mempelajari kondisi sosial, adat dan bahasa Jawa. Menurut Djoko Soekiman dalam karyanya, Kebudayaan Indis ; Dari zaman Kompeni sampai Revolusi, apa yang dilakukan oleh Van Lith ini ialah sebuah terobosan untuk mendalami kuatnya pengaruh Jawa dalam kebudayaan dan keagamaan.
Halaman dalam Xaverius College.
Awalnya Van Lith masih tinggal bersama dengan pastor Stiphout di rumah sewa yang berada di pinggir jalan raya Muntilan. Van Lith menyadari bahwa ia harus tinggal lebih dekat dan berbaur dengan masyarakat Jawa sehingga ia pindah agak ke pinggir, yakni ke Desa Semampir yang meskipun sedikit agak pinggiran namun letaknya masih berdekatan dengan pusat pemerintahan Muntilan. Rumahnya sendiri berada di antara sisi jalan Muntilan-Dukun dan Sungai Lamat. Di halaman depan rumah yang sederhana itu, ada sebuah bangunan bekas lumbung padi besar yang kemudian dimanfaatkan sebagai gereja. Dalam menjalankan misi sucinya, para pastor seperti Van Lith tidak hanya memberikan layanan ibadah semata. Saat itu, banyak anak-anak pribumi yang tidak memperoleh akses pendidikan karena pendidikan saat itu terbatas untuk kalangan pribumi ningat. Untuk itulah Van Lith membuka sekolah di Muntilan yang dapat diakses oleh anak pribumi dari seluruh lapisanRumah sederhana tempat tinggal Van Lith akhirnya merangkap fungsi sebagai sekolah dan bagian belakangnya dipakai untuk asrama. Untuk mendapatkan murid, Van Lith  tak segan mendatangi satu persatu rumah keluarga petani di Muntilan. Dalam buku Soegija, Si Anak Bethelehem van Java karya Budi Sujanar, SJ. digambarkan jika kala itu bangunan sekolah masih dari terbuat anyaman bambu, banyak perabot yang rusak, dan mereka masih belajar beralaskan tikar. Namun demikian, keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat belajar mengajar Van Lith dan murid-muridnya (Sujarnar, 2003; 32).
Tokoh-tokoh pendiri Xaverius College Muntilan.
Pada 20 Desember 1898, Pastor Van Lith, bersama Pastor Houvenars, Hebrans, dan Engebers mengadakan suatu perundingan yang membahas nasib kegiatan misi Katolik di Jawa ke depannya nanti. Dari perundingan itu, dihasilkan keputusan untuk menjadikan Kedu sebagai titik awal penyebaran misi Katolik di Jawa bagian tengah. Pertimbangannya ialah bahwa posisi Kedu dekat dengan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, tempat dimana para misionaris akan mempelajari kebudayaan Jawa. Kedu juga dekat dengan Semarang, tempat misi Katolik sudah berjalan cukup mapan sehingga diharapkan dari Semarang dapat memberi secercah asa untuk keberlangsungan misi di Kedu ini. Dari situlah Van Lith percaya dengan cerahnya masa depan misi di Muntilan (Wietjens, 1995;8). 
Denah Kolese Xaverius yang ditata rapi mengikuti alur Kali Lamat di selatannya. (sumber : Berichten uit Ned. Indie 1919).
Pendidikan yang sudah dirintisnya menjadi pilihan karena Van Lith berharap bisa memberikan suatu sumbangsih nyata untuk masyakarat Jawa yang menderita dibawah tekanan pemerintah kolonial. Tak sekedar menyebarkan ajaran Katolik saja, Van Lith rupanya juga berupaya untuk membantu masyarakat Jawa keluar dari kubangan lumpur kebodohan yang sengaja dipelihara oleh sistem kolonial, dimana hanya anak orang Belanda atau priyayi pribumi saja yang bisa mengenyam pendidikan. Van Lith sendiri termasuk sosok yang berseberangan dengan pemerintah kolonial meski memiliki kebangsaan yang sama. Hal inilah yang menjadikan Van Lith dekat dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional meski memiliki latas agama yang berbeda seperti tokoh Sarekat Islam, Haji Agus Salim. Untuk memantapkan sekolah yang dirintisnya, maka Van Lith pada 19 November 1899 mengajukan izin kepada residen Magelang karena saat itu sekolah untuk anak-anak pribumi di luar milik pemerintah harus memperoleh izin kegiatan belajar mengajar (Vriens, 1934; 203).
Pastor J. Mertens, rektor pertama Xaverius College.
Lambat laun, murid yang belajar di sekolah itu mulai bertambah. Jumlah guru yang tersedia pun rupanya juga tidak sebanding dengan murid yang ada dan Van Lith sendiri juga mulai kewalahan mengajar karena ia juga bertugas memberikan pelayanan rohani bagi masyarakat. Maka dari itu, Van Lith akhirnya membuka kweekschool atau sekolah untuk calon tenaga pengajar pada tahun 1904. Bangunan sekolah kemudian direnovasi pada tahun 1906 dengan bantuan dari pemerintah. Bantuan datang lagi dari negeri Belanda pada tahun 1909 sehingga kompleks sekolah yang lebih besar dan kondusif untuk belajar dapat dibangun pada tahun 1910. Xaverius College adalah nama yang dipilih ketika kompleks sekolah tersebut selesai dibangun pada tanggal 18 Juli 1911. Nama itu diambil dari nama Fransiscus Xaverius, pendiri Serikat Jesuit, tarekat dimana Van Lith bernaung bersamanya. Pastor Mertens SJ ditunjuk sebagai rektor pertama Xaverius College. Meskipun keberadaanya disambut begitu antusias, namun Xaverius College baru mendapat persamaan sebagai sekolah negeri pada tahun 1912. Persamaan tersebut diperlukan sebagai syarat lulusan Xaverius College dapat melanjutkan belajarnya di sekolah milik pemerintah. Pada tahun yang sama dengan pembukaan Xaverius College, empat murid kweekschool telah menyelesaikan belajarnya. Dua di antaranya melanjutkan pendidikan sebagai pastor sehingga menjadikan mereka sebagai Pastor Jawa pertama. Dalam menerima murid, mereka tak memandang latar belakangnya dan dalam pengajarannya juga tak ada paksaan untuk menjadi Katolik (Diderich, 1919; 182-190).
Suasana bagian dalam kompleks Misi Muntilan yang terlihat asri (sumber : media-kitlv.nl).
Kegiatan makan bersama murid kolese (sumber : media-kitlv.nl).
Kegiatan belajar di kolese. Foto ini berasal dari kartu pos terbitan sekitar tahun 1910. Kadang sumber dana untuk kegiatan misi berasal dari penjualan kartu pos menggambarkan kegiatan misi seperti kegiatan belajar ini (Sumber :media.kitlv.nl).
Xaverius College menerapkan sistem sekolah asrama, dengan tujuan untuk membangun karakter siswa menjadi anggota masyarakat yang berguna serta membangun hubungan antara pendidik dan siswa lebih mendalam. Materi yang diajarkan antara lain bahasa Belanda, ilmu bumi, dan pertanian. Kehidupan di kolese memang tak melulu diisi kegiatan belajar. Di sana disediakan beragam permainan seperti lapangan untuk bermain sepak bola dan seperangkat alat musik barat dan gamelan untuk menyalurkan bakat seni. Kadang murid-murid bercengkerama dengan Romo Van Lith sembari ia bercerita sesuatu kisah sejarah dari Eropa yang mungkin belum banyak diketahui murid-murid Jawa. Mereka juga bertanggung jawab pada kebersihan asrama. Ibadat dilaksanakan bersama sehingga terciptalah suasana kekeluaragaan antar guru dan murid yang begitu akrab. Kadang para pengajar mengajak murid-murid kolese yang seluruhnya laki-laki itu ke sekolah asrama putri di Mendut yang didirikan pada tahun 1908 untuk anak-anak perempuan. Diharapkan pertemuan tersebut dapat menciptakan benih-benih yang akan membangun pasangan keluarga Katolik (Subanar, 2003; 42).
Gedung Pastoran.
Rumah Pastor van Lith sebelum dirombak tahun 1916.
Berada di selatan gedung gereja, terdapat bangunan yang tak kalah megah dengan gedung gereja. Letaknya yang berada di dekat gereja memudahkan pelaksanaan ibadah gereja karena biasanya yang menjadi imam gereja adalah pastor Paroki yang tinggal di dalam pastoran. Saya berdecak kagum ketika melihat gedung Pastoran yang meskipun hiasannya sederhana namun masih tampak megah dan lestari. Pada tahun 1916, rumah sederhana Van Lith yang kemudian menjadi cikal dari Xaverius College direnovasi menjadi gedung pastoran yang terlihat seperti sekarang. Rancangannya dibuat oleh biro aristek yang sama dengan yang merancang gedung gereja Muntilan yakni Hulswit, Fermont, en Cuypers. Sementara pembangunannya diborong oleh seorang Letnan Tionghoa di Muntilan. Sebuah beranda tampak mencuat di bagian lantai tiga. Saya segera membayangkan sosok Van Lith sedang berdiri di beranda itu, seraya memandang kompleks misi dengan latar Gunung Sumbing yang terlihat samar-samar di barat.
Bagian depan Museum Misi Muntilan. Tampak patung Romo Van Lith yang berdiri dengan anggun di tengah kolam.
Beberapa koleksi yang ada di dalam Museum Misi Muntilan.
Kini saya duduk termangu di tepi sebuah kolam teratai. Di tengah kolam itu, patung Van Lith berdiri begitu gagahnya, seolah ia masih ada di sini. Persis di belakang kolam itu, berdiri sebuah museum yang berisi memorabilia dan relikui yang menjabarkan perkembangan umat Katolik di Jawa Tengah. Saya kemudian memasuki museum tersebut dan disambut dengan hangat oleh penjaga museum. Museum itu cukup bersih dan terang. Koleksinya pun juga lumayan terawat dan setiap koleksi diberi penjelasan yang informatif. Salah satu koleksi yang menarik perhatian saya adalah sebuah bangku besar dari bambu. Sekalipun bangku tersebut terlihat sederhana, namun sosok yang pernah duduk di bangku itu bukanlah sekedar sosok biasa. Sosok tersebut ialah pemimpin umat Katolik seluruh dunia, Paus Yohanes Paulus II, Paus pertama yang mengunjungi Indonesia tahun 1989 silam. Ah, andai saja Van Lith waktu itu masih hidup. Pasti gembira sekali hatinya ketika kompleks misinya kedatangan tamu istimewa dari Vatikan tersebut…
Endapan banjir lahar dingin yang menutupi kompleks Xaverius College.
Dari museum, sekejap saya diajak oleh penjaga museum untuk melihat bagian belakang Pastoran. Di situ terlihat deretan kamar-kamar tempat para bruder tinggal. Dari deretan kamar tadi, ada sebuah pintu yang tak terlalu besar. Melalui pintu itu, jalan kemudian menurun dan samar-samar, terdengar gemericik aliran air. “Itu Kali Lamat mas”, jelas bapak itu, menunjuk sebuah sungai yang alirannya tak begitu deras. “Di situlah dulu anak-anak Kolese Xaverius mandi, mencuci, dan bermain air. Seringkali Opa Van Lith bermain air bersama mereka di situ. Beliau tak pernah malu berbaur dengan muridnya“, ujarnya. Tak hanya sebagai tempat mandi dan mencuci, sungai itu kadangkala dipakai sebagai tempat pembatisan. Maka pantaslah jika sungai kecil itu berjuluk “Sungai Jordan-nya Jawa“. Sekalipun demikian, sungai kecil ini pernah memperlihatkan wajah ganasnya saat banjir lahar dingin menerjang kompleks pad 2 Januari 1931.
SD Materdei.
Bagian luar SMP Kanisius.
Bagian dalam SMA Pangudi Luhur van Lith.
Napak tilas saya lanjutkan lagi, melihat bangunan tua lain di sekitar kompleks misi. Jenis bangunan yang paling mudah dijumpai di sini ialah gedung-gedung sekolah tua yang kini menjadi TK-SD Pangudi Luhur, SMA Pangudi Luhur van Lith, SMK Pangudi Luhur, TK Siswa Siwi, TK St. Theresia, SMP Marganingsih, SD Materdei, SD St.Yoseph, dan SMP Kanisius. Sepeninggal Van Lith, nasib Xaverius College mengalami pasang surut. Jumlah sekolah yang dibuka di lingkungan Xaverius College sempat bertambah dengan dibukanya sekolah seperti Hollandsch-Inlandsche School, Normaalschool, Holland Chineesche School, Standaarschool, dan Schalkeschool. Krisis ekonomi yang menerpa di tahun 1930an tidak mengurangi aktivitas belajar di kolese itu. 
Benih-benih kebangsaan perlahan dipupuk di Kolese Xaverius MuntilanMereka yang pernah menimba ilmu di Kolese Xaverius pada kemudian hari menjadi sosok yang terpandang dan memberikan sumbangsih karya yang tak ternilai bagi bangsa ini. Mgr.Albertus Soegijapranta, uskup pertama dari bangsa pribumi, I.J. Kasimo, politikus Katolik tiga zaman, hingga Y.B Mangunwijaya, rohaniawan merangkap budayawan, arsitek dan aktivis. Selain sebagai pusat pendidikan, kompleks misi ini juga menjadi jujugan warga pribumi yang ingin mendalami ajaran Katolik. Tak sedikit warga pribumi yang rela berjalan kaki dari pelosok desa di kaki perbukitan Menoreh ke Muntilan hanya sekedar untuk mengenal ajaran Katolik. Salah satu dari sekian warga tersebut ialah seorang guru agama Kristen bernama Dawud dari Kalibawang, Kulonprogo. Bersama empat kepala dusun, ia bertemu dengan Van Lith dan ingin belajar agama Katolik darinya. Tahun 1904, mereka membantu Van Lith menyebarkan ajaran Katolik di lereng Menoreh. Hasilnya, di akhir tahun yang sama ada 172 orang telah dibaptis di mata air Sendangsono (Wietjens, 1995;10). Tidak mengherankan jika Muntilan akhirnya mendapat julukan sebagai Bethlehem van Java
F.X. Satiman, pastor Jawa pertama lulusan kweekschool Muntilan.
Albertus Soegijapranata, salah satu lulusan Xaverius College yang kelak menjadi uskup Jawa pertama.
Sayangya, riwayat Kolese Xaverius terpaksa berakhir di bulan Oktober 1943, ketika pemerintah pendudukan Jepang secara paksa menutup kompleks misi ini dan mengubahnya sebagai kamp interniran untuk orang-orang barat. Habis jatuh tertimpa tangga, belum pulih dari pendudukan Jepang, kira-kira lima hari menjelang Natal tahun 1948, kompleks misi ini sama sekali tak berdaya ketika ia dibumihanguskan oleh para milisi republik yang khawatir manakala bangunan ini dipakai sebagai markas militer serta adanya sentimen terhadap misi yang dianggap pro-Belanda. Padahal kompleks misi ini sudah mendapat surat resmi perlindungan dari pemerintah. Dua tahun kemudian, tepatnya 20 Juli 1950, kegiatan di Kompleks Misi Muntilan dapat dipulihkan kembali setelah ordo FIC masuk ke Muntilan. Bangunan kolese yang sebagian besar rusak diperbaiki dan sekolah-sekolah yang dahulu sempat ditutup di masa pendidikan Jepang dibuka kembali (Sulistyowati.Tri, 2004;13-31). Kompleks misi inipun akhirnya kembali bergeliat sampai hari ini meskipun kejayaanya tidak sebesar dulu lagi.
Kompleks bruderan.
Kapel Bruderan.
Tampak luar kompleks Bruderan FIC pada tahun 1932.
Br. Eustahchius, perintis misi FIC di Muntilan.
Selain sekolah, di kompleks ini terdapat bruderan yang dahulu dibangun oleh kongregasi FIC (Fratrum Immaculate Conceptionis). Dalam sumber Belanda kongregasi tersebut bernama "Broeders der Onbevlekte Ontvangenis Der H. Maagd Maria" atau Kongregasi para Bruder Santa Perawan Maria Yang Dikandung Tak Bernoda. Kehadiran kongregasi FIC di Muntilan dimulai ketika tiga bruder FIC yakni Br. Bonifacius, Eustasius, dan Wiro mulai tinggal di Muntilan sekitar akhir tahun 1921. Pada mulanya mereka bernaung di bekas rumah tinggal guru H.I.S. Selanjutnya pada tahun 1925, Bruder Eustasius diangkat sebagai pengampu kongregasi FIC di Muntilan dan ia ditugaskan untuk mempersiapkan pembangunan kompleks bruderan FIC (Congregatie, 1940; 82). Setelah melewati beberapa proses panjang, akhirnya bruderan tersebut mulai dapat dibangun sejak bulan Oktober 1930 dan peletakan batu pertama pada 21 November 1930 yang bertepatan dengan ulang tahun kongregasi FIC ke-90 mengawali secara simbolis pembangunan bruderan itu. Sempat terhambat oleh selama 3 minggu akibat bencana erupsi Merapi, kompleks Bruderan yang dirancang oleh arsitek C.W. van Oyen tersebut akhirnya diresmikan pada tanggal 8 September 1931 (De Locomotief, 9 September 1931). 
Bagian luar kapel Susteran OSF.
Biarawati Fransiscan di depan Susteran pada tahun 1928 (sumber : Sint Claverbond 1928).
Bangunan utama rumah sakit misi.
Selain bruderan, ada pula kompleks susteran Fransiscan. Kompleks susteran ini sendiri dibangun pada tahun 1926, bersamaan dengan pembangunan rumah sakit yang ada di sebelahnya. Jika para bruder membantu di kegiatan pendidikan, maka para suster di Muntilan memberi layanan di bidang kesehatan (Aufrida, 1928; 55). Lantaran itulah agar pelayanan menjadi mudah, maka lokasi rumah sakit dibangun di dekat kompleks susteran. Sekarang rumah sakit itu dikelola oleh pemerintah dan menjadi RSUD Muntilan.
Kompleks kerkhof Muntilan. 
Makam F. van Lith, peletak misi di Jawa Tengah.
Van Lith menghadap ke Sang Pencipta di tahun 1926 dan beliau dikebumikan di kompleks makam yang terletak di ujung timur jalan Kartini tak jauh dari kompleks misi yang dirintisnya. Bersama Van Lith, dikebumikan pula beberapa tokoh penting dalam sejarah perkembangan Katolik di Indonesia di kompleks makam itu seperti P.J Hoovenar, pelopor misi di Jawa dan Kardinal Justinus Darmojuwono, kardinal pertama dari Indonesia. Di sini juga dimakamkan para pastor lain yang dahulu pernah berkarya di Muntilan dengan nisan salibnya yang sederhana serta beberapa orang Katolik pribumi. Menariknya beberapa nisan makam milik Pastor Belanda ada yang ditulis dalam bahasa Jawa seperti nisan milik rekan Van Lith dan rektor pertama Xaverius College, Pastor J.Mertens, yang meninggal pada tahun 1922. Bentuk makam Van Lith juga menunjukan pengaruh gaya seni lokal. Hal ini seakan menunjukan bahwa sudah ada sebuah ikatan antara para rohaniwan Katolik ini dengan budaya Jawa.

Di permakaman itu, para peziarah tampak berlalu-lalang di depan saya. Sementara itu, saya duduk di samping pusara Van Lith, sembari berusaha mengingat kembali karya terbesar apakah yang pernah dihasilkan oleh Van Lith ? Akhirnya, saya kembali teringat, bahwa karya terbesar yang dihasilkan oleh seorang Van Lith ialah cita-cita luhur kemerdekaan di benak setiap insan Katolik yang ia bimbing. Ia juga mengajarkan bahwa setiap insan harus tetap memegang teguh budaya asalnya sekalipun insan tersebut sudah menjadi seorang Katolik. Lewat didikanya maka lahirlah insan-insan Katolik berjiwa nasionalis dan humanis, seperti Mgr. Albertus Soegijapranta, I.J Kasimo hingga Romo Mangun. Itulah karya terbesar dari Van Lith, melampaui besarnya kompleks misi ini. Nama dan reputasi Van Lith tidak akan terhapus dari sejarah Kristenisasi Jawa dan mencatatkan Muntilan sebagai pusat penyebaran agama Katolik yang termahsyur. Akhir kata, sayapun kemudian bergegas meninggalkan kompleks misi ini, melambaikan tangan ke arah gereja, mengucapkan beberapa patah kata perpisahan untuk kompleks misi ini, “Sampai jumpa kembali kawan, semoga engkau selalu diberkati oleh Tuhan….”. Dan perlahan saya meninggalkan Muntilan, Betlehem van Java…

Referensi
Akihary, Huib. 1990. Architectuur & Stedebouw in Indoensie 1870-1970. Zutphen : De Walburg Pers.

Congregatie 
Der Broeders Van De Onbevlekte Ontvangenis Der Heilige Maagd Maria. Ons Missiewek Op Java 1920-1940. Yogyakarta : Canisius Drukkerij

DR. Jan Wietjens S.J.dkk. 1995. Gereja dan Masyrakat, Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta. Yogyakarta.


Diderich, J. 1919. "
Bij de Plattegrond van het Xaverius College Muntilan" dalam Berichten uit Nederlandsch Indie. 's Gravenhage ; T.C.B. Te Hagen

Moeder Aufrida Fr. 1928. "Moentilan, St. Fransiscus Ziekenhuis" dalam Sint Claverbond 1928. Nijmegen : N.V. Centrale Drukkerij.


Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis ; Dari Masa Kompeni hingga Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.


Subanar SJ, G. Budi. 2003. Soegija, Si Anak Bethlehem van Java. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Sulistyowati, Tri. 2004. " Tata Ruang Kompleks Misi Katolik Muntilan ". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Van Rijkevorsel. 1917. " De. R.K. Scholen te Moentilan " dalam Nederlandsch Indie Oud en Nieuw tahun 1917 Volume 02.

Vriens, S.J. 1934. "Vertig Jaren Java-Missie" dalam Sint Claverbond 1934. Nijmegen : N.V. Centrale Drukkerij.

12 komentar:

  1. Terima kasih, akan saya share...salam . berkah dalem

    BalasHapus
  2. Terima kadih infonya. Sungguh memperluas wawasan pribadi saya akan misi katolik di Jawa.

    BalasHapus
  3. Terima kasih ulasannya.. sbg warga setempat, membaca artikel ini memberikan kebanggaan tersendiri dalam hati..
    Hanya saja saya sdkit meralat, gambar bagian luar SMA Van Lith itu bukannya gambar bagian luar SMP Kanisius yak..
    Terima kasih. Berkah Dalem..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas koreksniya.Ini sudah saya koreksi.

      Hapus
  4. Terima kasih atas nama artikel trsbt van Lith dan Muntilan
    http://www.imexbo.nl/moentilan.html

    BalasHapus
  5. Thank, jadi tahu banyak ttg Romo Van Lith dan gedung2 di Muntilan

    BalasHapus
  6. panitia hut 125 paroki muntilan9 Oktober 2019 pukul 20.42

    met siang, bisa minta contactnya kak? makasih

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Terimakasih jadi nambah wawasan tentang perjalanan misi di Jawa dan mengenal sosok Rm Van Lith
    Berkah Dalem 🙏

    BalasHapus