Terbentang di utara pesisir selatan Yogyakarta,
gemulai lekuk perbukitan Pundong terlihat jelas tenar itu. Di
perbukitan yang gersang itu, gua-gua beton tinggalan Jepang itu terdiam bisu
memandang birunya laut selatan. Gua-gua itu hanyalah satu dari sekian banyaknya
artifak dari suatu bagian perjanan sejarah umat manusia yang bernama Perang
Dunia Kedua. Puluhan tahun silam, gua-gua itu dirancang sebagai pos pertahanan
milik Jepang yang sebentar saja menguasai Nusantara pada Perang Dunia Kedua.
Kini, saya mencoba meraba sejarah daripada artifak-artifak itu.
Setelah menempuh perjalanan dari kota Yogyakarta ke Parangtritis,
sesampainya di Jembatan Kretek yang membentang di atas Sungai Opak, saya
berbelok ke kiri menyusuri jalan aspal yang sejajar dengan sungai. Tak lama
kemudian, saya melihat plang bertuliskan “Situs Gua Jepang“ yang mengarah ke
sebuah tanjakan. Jalan yang saya tempuh memiliki tanjakan yang cukup miring.
Untunglah kendaraan saya dalam kondisi prima. Kendaraan saya kemudikan dengan
hati-hati karena dalamnya jurang sudah siap menyambut saya jika gegabah. Setelah
melalui jalan yang berliku dan menanjak, sampailah saya di situs yang
terpampang pada plang tadi.
Panorama pesisir selatan dilihat dari Situs Gua Jepang. Di sinilah Jepang memperkirakan sekutu akan mendarat. |
Situs Gua Jepang terletak di perbatasan desa Seloharjo kecamatan
Pundong, Bantul dengan kecamatan Panggang, Gunungkidul. Terdapat sekitar 18 gua
yang harus saya lihat di situs itu, membuat saya bingung harus memulai dari gua
nomor berapa. Saat berdiri di atas gua nomor 10, di hadapan saya sekarang,
tersuguh pemandangan laut selatan dengan garis pantai yang tampak begitu lurus
nyaris tiada putusnya. Garis pantai selatan ini mengingatkan saya dengan garis
pantai Normandia, Perancis, tempat dimana tentara Sekutu melakukan pendaratan
akbar untuk menggulingkan kuasa Nazi Jerman di Eropa pada 6 Juni 1944. Ingatan
saya akhirnya melayang pada perisitiwa Perang Dunia Kedua, perang
paling kelam yang masih tertanam di ingatan umat manusia sampai hari ini.
Peta ekspansi Jepang ke Hindia-Belanda (sumbber : common.wikipedia.org). |
Kalender menunjukan tahun 1941, Perang Dunia Kedua mulai
berkecamuk di atas gelombang Samudera Pasifik. Jepang sebagai kekuatan baru di
Asia mulai menampilkan supremasinya di belahan Asia Timur. Rampung
memporak-porandakan Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Jepang menguasai Asia
Tenggara dalam waktu yang singkat saja. Asia Tenggara yang kaya SDA menjadi
sasaran mereka setelah Amerika mengembargo perdagangan Jepang yang di negerinya
sendiri tidak kaya SDA. Hanya berselang tak lebih dari dua bulan, Jepang
mendaratkan pasukannya di Hindia-Belanda untuk pertama kalinya di Tarakan pada
11 Januari 1942. Armada gabungan Belanda, Australia, Inggris, dan Amerika
dibuat tak berdaya oleh Jepang di Laut Jawa. Pemerintah kolonial Belanda
akhirnya bertekuk lutut di hadapan Jepang di sebuah rumah sederhana di Kalijati
pada 8 Maret 1942. Belanda yang sudah bercokol di Hindia-Belanda selama lebih
dari dua abad, akhirnya harus hengkang dari tanah jajahan mereka. Kuasa
Hindia-Belanda pun jatuh ke pangkuan Jepang dalam waktu tak lebih dari setahun (Rottman, 2005: 82).
Letak Gua Jepang Pundong. |
Sejak kemenangan militer Jepang atas Rusia pada
perang tahun 1905, doktrin militer Jepang lebih condong pada strategi menyerang
ketimbang bertahan. Oleh karena itu pendirian sarana pertahanan permanen diabaikan oleh Jepang di masa awal
pendudukan karena bagi mereka perang akan berlangsung di wilayah musuh. Alih-alih
mendirikan sarana pertahanan, sarana yang mereka buat terlebih dahulu adalah
pangkalan udara sebagai basis untuk melancarkan serangan berikutnya. Di masa
awal peperangan, serangan ofensif yang dilancarkan Jepang memang selalu
berhasil karena armada Kaigun atau Angkatan Laut sebagai mesin ofensif
Kekaisaran Jepang masih digdaya di lautan. Namun gerak ofensif Jepang terhenti
dalam pertempuran laut yang menentukan di Midway tahun 1942. Keunggulan Jepang
atas lautan Pasifik lenyap seketika. Armada sekutu mulai merangsek. Kemudian
saat sekutu berhasil melancarkan invasi amfibi pertamanya di Pasifik dalam pertempuran
Guadalcanal tahun 1943, barulah milter Jepang menyadari akan pentingnya sarana
pertahanan di daratan. Memasuki tahun 1944, pentingnya keberadaan sarana
pertahanan untuk Jepang kian menguat setelah Sekutu berhasil melaksanakan
invasi amfibi skala besar di pantai Normandia yang menghantam kekuasaan Jerman di Eropa. Setelah kedudukan Jepang kian terdesak, militer Jepang
berikhtiar untuk menyusun strategi defensif serupa dengan rekan Poros mereka di Eropa yang sudah membuat sarana pertahanan di sepanjang pesisir Atlantik (Zaloga, 2010: 14).
Peta persebaran gua-gua di situs Gua Jepang.
|
Militer Jepang membuat zonan pertahanan yang disebut Zona Pertahanan Nasional. Di luar Jepang, beberapa kepulauan
kecil di Pasifik Selatan, Filipina, dan Indonesia termasuk yang ada di dalam zona tersebut. Pulau Jawa sebagai pusat
administrasi, ekonomi, dan militer memiliki kedudukan strategis bagi Jepang
sehingga pulau tersebut juga perlu diperkuat dengan sarana pertahanan. Dalam Kitab Penoentoen
Pembelaan Tanah Air untu Oemoem, Boelan 12, tahoen 19 shoowa osamu 1602 Butai,
dijelaskan bahwa terdapat tiga jenis pertahanan, salah satunya yakni pertahanan
pantai (Kaigan kanshi) (Priadi Anggoro, 2008;30). Masalah mendasarnya adalah
panjangnya garis pantai Pulau Jawa rupanya tidak diimbangi dengan ketersediaan pasukan
dan material yang menipis menjelang akhir perang. Kendala lainnya adalah
jauhnya jalur pasokan antara Jepang dengan Jawa dan belum lagi kekuatan
Angkatan Laut Jepang yang sudah melemah sehingga tidak ada lagi jaminan
keamanan di sepanjang jalur laut tersebut. Lantaran hal itu, Jepang
memusatkan sarana pertahanannya di sepanjang pantai selatan Jawa yang menjadi perhatian
karena secara geografis berhadapan dengan Australia, salah satu musuh Jepang.
Tempat tersebut oleh Jepang dianggap memiliki potensi sebagai titik pendaratan
musuh. Jenis pertahanan yang diikuti oleh militer Jepang adalah pertahanan
aktif seperti yang diatur dalam Sakusen Yomurei atau Peraturan Tempur tahun
1938. Pertahanan aktif dilakukan jika pergerakan musuh
terdeteksi. Sebelum musuh mendarat di pantai, pihak bertahan harus menahan
mereka sejauh mungkin dari garis pantai. Selagi dilakukan penghadangan, markas korps Rikugun atau Angkatan Darat Kekaisaran Jepang terdekat akan dikontak untuk
bergegas mengerahkan tentara cadangan ke tempat pendaratan musuh. Bala
bantuan inilah yang akan melakukan serangan balik serta memusnahkan kekuatan
pasukan pendarat Sekutu. Korps Angkatan Darat yang bertanggung jawab dalam pertahanan di Pulau Jawa adalah korps Angkatan Darat ke-16 (Dai-jyūroku gun). Serangan melalui laut dan udara juga akan
dikoordinasikan kepada Kaigun atau Angkatan Laut Jepang. Dengan pertahanan yang
sudah dipersiapkan sepanjang pesisir, militer Jepang berharap musuh dapat
dihalau sebelum bergerak lebih jauh ke pedalaman (War Departement,
1945; 1). Untuk keperluan ini, maka Jepang mendirikan beberapa pos pengintaian
yang dilengkapi dengan sarana perlindungan.
Para komandan secara seksama mempelajari kondisi
medan Pulau Jawa untuk menentukan lokasi mana saja yang akan ditempatkan pos
pengintaian. Salah
satu titik yang dipilih menjadi tempat pengintaian adalah perbukitan di pesisir
selatan Yogyakarta yang tandus nan curam berketinggian sekitar 384 mdpl. Tempat
tersebut cukup ideal sebagai tempat pengintaian karena selain pergerakan musuh
di pesisir mudah diintai dengan jelas dari ketinggian, kedudukan gua yang
berada di puncak perbukitan sangat menguntungkan Jepang karena musuh sulit
untuk mendekat ketika baku tembak (Rottman, 2003: 15). Pada perbukitan
tersebut, pos-pos pengintaian dan sarana pendukungnya ditempatkan dengan cermat
sehingga tercipta posisi-posisi pertahanan yang saling mendukung dan
melindungi. Beberapa pertimbangan utama dalam menentukan kedudukan kubu antara lain jangkauan
tembakan senjata dan arah kedatangan musuh. Sayangnya, perkiraan bahwa Sekutu akan mendarat di
pantai selatan rupanya salah. Perairan
Samudera Hindia yang bergelombang tinggi bukanlah tempat yang tepat untuk
kapal-kapal besar berlabuh sehingga mustahil mendaratkan pasukan dari sini.
Pembuatan rangkaian pertahanan di pesisir selatan Jawa oleh Jepang akhirnya
menjadi sia-sia karena Sekutu justru melancarkan serangan dari arah kepulauan Pasifik.
Berbagai jenis pillbox yang ada di situs gua Jepang.Perhatikan bahwa semuanya memiliki sebuah lubang intai/tembak di bagian samping dengan cerobong kecil di bagian atasnya. |
Saya memasuki bagian dalam gua No. 10 yang sempit. Sekalipun namanya Gua Jepang,
namun di sini tidak ditemukan adanya gua alami yang pernah dipakai Jepang.
Gua-gua alami memang dimanfaatkan Jepang untuk ruang penyimpanan amunisi,
persediaan logistik, akomodasi tentara, rumah sakit, dan pos komando (Rottman, 2003: 40). Gua Jepang di Pundong kebanyakan adalah gua buatan
yang tersebar di beberapa tempat dengan kondisi medan yang beragam. Ada
yang berada di puncak bukit, lereng terjal, atau di tanah datar. Butuh fisik
prima untuk menjejalahi semua gua satu persatu karena letaknya berjauhan.
Beberapa harus dicapai dengan berjalan kaki. Secara garis besar, gua di sini
dibagi menjadi dua jenis, yakni pillbox dan shelter yang memiliki
fungsi tertentu. Pillbox adalah kubu pertahanan terutup yang memiliki satu pintu
masuk dan satu celah untuk pengamatan dan lubang tembak serta ventilasi supaya
bagian dalamnya tidak pengap dan sesak oleh asap amunisi. Celah
sebuah pilbox memiliki ukuran yang disesuaikan dengan jenis senjata yang
dipakai. Melalui lubang itulah tentara yang berada di dalam pillbox membidik
dan menembak sasaran. Masing-masing pilbox biasanya diisi oleh dua
tentara. Senjata yang dipakai untuk perlindungan biasanya adalah senjata ringan
seperti senapan mesin type 92 kaliber 7,7 mm. Senjata itu baru ditembakan jika
musuh sudah berada 1.500 meter dari titik tembak. Letak gua-gua pillbox di sini
berada di lereng dan puncak bukit. Pada pilbox di puncak bukit seperti gua bernomor
2, 7 dan 11, menyembul semacam kubah yang memiliki empat lubang pengintai di
keempat sisi. Menyerang sebuah pillbox bukanlah perkara gampang. Dengan tebalnya tembok beton, setidaknya butuh bantuan senjata berat seperti bom atau senjata khusus seperti penyembur api. Letaknya yang berada di lereng terjal menaikan tingkat kesulitan bagi musuh yang hendak menjangkaunya. Walau sudah dilindungi dengan tembok beton yang kuat, serdadu yang berada di dalam pilbox belum tentu aman dari serangan. Pilbox ini akan menjadi peti mati beton untuk mereka yang di dalam pilbox andai musuh membawa senjata penyembur api. Hampir dipastikan mereka yang berada di dalam tak dapat keluar hidup-hidup jika senjata maut tadi memuntahkan api ke dalam pilbox.
Berbagai gua pengintai yang ada di gua Jepang. Perhatikan kubah segi delapan di bagian atas yang berfungsi sebagai tempat pengintaian. |
Kubu-kubu pertahanan tersebut dibangun oleh pasukan
Jepang. Tenaga lokal juga dilibatkan namun tugas mereka sekedar memotong kayu
dan membawa material saja (Rottman, 2003: 14). Kendati kubu pertahanan sudah dibuatkan pakemnya di
atas kertas, namun pekerja di lapangan tidak serta merta mengikuti pekaem yang ada. Hal tersebut
disebabkan para pekerja di lapangan berhadapan dengan kondisi
medan, iklim, ketersediaan material, dan situasi taktis lapangan yang berbeda
sehingga diperlukan suatu improvisasi. Dengan demikian, ukuran, bentuk, dan
profil kubu pertahanan akan beragam di lain tempat dan tidak selalu persis
dengan petunjuk. Gua-gua Jepang di Pundong dibuat dengan menggali bukit dan sejajar
dengan permukaan tanah sehingga dapat tersamar dengan baik. Untuk mencegah
dinding runtuh saat terkena artileri, maka dinding bagian dalam gua-gua
tersebut dilapisi dengan beton. Semen untuk pembuatan beton dikirim dalam wadah
tong seberat 50 kg. Selain semen, batu kapur yang
mudah ditemukan di sekitar situs Gua Jepang juga digunakan sebagai material
penguat karena
Jepang kekurangan material pada masa akhir perang dan banyak kapal-kapal angkut
Jepang yang ditenggelamkan Sekutu dalam perjalanan. Untuk mengecoh musuh serta memberi unsur kejutan, maka gua-gua
tadi disamarkan dengan cara menimbunnya dengan tanah dan ditutupi dengan
dedaunan.
Bunker-bunker yang dibangun untuk keperluan tertentu. |
Selanjutnya terdapat gua-gua
buatan yang perannya ditekankan pada penyimpanan logisitik, amunisi, ruang
medis, pusat komando, ruang komunikasi, dapur umum, dan tempat tinggal serdadu.
Letak-letak gua buatan itu sudah diatur untuk memudahkan gerak pasukan. Misalnya
gudang penyimpanan logistik berada di dekat dapur umum. Sementara gudang amunisi dan barak serdadu diletakkan di dekat pillbox. Gua buatan
tersebut juga diperkuat dengan beton sebagaimana pillbox sehingga dapat
menjadi tempat berlindung bagi tentara selama pemboman dari udara. Antar kubu
gua dihubungkan dengan jaringan parit kecil yang dapat digunakan sebagai jalur
komunikasi dan jalan bagi pasukan agar dapat bergegas mengisi sektor pertahanan
yang terancam, membawa amunisi tambahan dan evakuasi korban. Parit-parit ini
menurut warga sekitar dulu ditutup dengan ijuk agar sebagai kamuflase.
Bagian dalam Gua 16 yang berfungsi sebagai dapur umum. Perhatikan bahwa terdapat empat tungku masak di dalam sini. Pastinya tidak nyaman memasak di dalam sini karena asap terkadang masih bisa memenuhi ruangan. Bagian luar cerobong dibuat serendah mungkin supaya tidak ketahuan musuh. |
Bagian luar Gua 16 yang berfungsi sebagai dapur umum. Gua ini dibangun di dekat sebuah mata air yang disebut Sumur Nagabumi untuk lebih mudah mendapatkan air. |
Jalan parit yang menghubungkan Gua 17 dengan Gua 18. Dahulu setiap gua yang ada di situs Gua Jepang Pundong dihubungkan dengan sebuah parit. |
Saat ini, lingkungan sekitar gua sudah menjadi tegalan dengan
kondisi tanah tidak subur karena lokasinya berada di atas perbukitan dan sifat
tanahnya yang tidak bisa menyimpan air. Situs Gua Jepang Pundong
terpelihara cukup baik. Di sini terdapat juru pelihara situs yang diangkat oleh
BPCB Yogyakarta. Walau usaha yang mereka lakukan terbilang kecil, namun
setidaknya hasil jerih payah mereka bisa mereka rasakan sendiri, ketimbang
mengundang investor yang mungkin hasilnya lebih besar namun warga hanya menjadi
penonton saja. Gua-gua ini mungkin gagal menjalankan perannya, namun secara
tidak langsung mereka berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar…
Referensi
Abrianto, Oktaviadi . 2011. " Perkembangan Teknologi Bangunan Pertahanan Sebelum dan Sesudah Abad ke-20 M di Indonesia " dalam Dinamika Pemukiman Dalam Budaya Indonesia. Sumedang : Penerbit Alqaprint.
Abrianto, Oktaviadi . 2011. " Perkembangan Teknologi Bangunan Pertahanan Sebelum dan Sesudah Abad ke-20 M di Indonesia " dalam Dinamika Pemukiman Dalam Budaya Indonesia. Sumedang : Penerbit Alqaprint.
Anggoro, Priadi. 2008. " Strategi Pengelolaan Gua Jepang di Seloharjo Pundong,Bantul sebagai Objek
Wisata ". Tesis. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitass Gajah Mada.
Rottman, Gordon L. 2003. Japanese Pacific Defenses 1941-1945. Oxford : Osprey Publishing.
Rottman, Gordon L. 2005. Japanese Army in World War II Conquest of the Pacific 1941-42. Oxford : Osprey Publishing.
War Department. 1944. Japanese Defense Against Amphibious Operation.
Zalloga, Steven J. 2003.Defenses of Japan 1945. Oxford : Osprey Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar