Sabtu, 25 Agustus 2018

Makam Tionghoa yang Tersentuh Budaya Eropa

Salah satu hasil kebudayaan material manusia yang tertua sekaligus paling banyak ditemukan di segala tempat adalah makam. Ketika setiap kebudayaan memiliki corak hidup yang berbeda, begitu pula dalam urusan kematian, sehingga masing-masing kebudayaan menghasilkan bentuk makam yang berbeda pula. Melalui proses migrasi atau diaspora, beberapa bentuk makam dapat ditemukan di tempat yang memiliki kebudayaan berbeda, contohnya adalah makam-makam peninggalan orang Tionghoa di Indonesia atau lebih dikenal sebagai bong. Pada saat bersamaan, kehadiran orang Belanda di masa kolonial juga meninggalkan makam-makam khas Eropa. Kendati tradisi Tionghoa telah memberi aturan dalam pembuatan makam, namun adanya persentuhan dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan Eropa menciptakan bentuk makam yang sangat menarik.  Jejak Kolonial kali ini akan mengulas tentang beberapa makam Tionghoa yang telah mendapat sedikit sentuhan dari budaya Eropa.
Gerbang masuk ke makam Tan Gee Tjhiang.
Familie Begraafplaats van Tan Gee Tjhiang en Tan Hing Gie Salatiga Anno : 1915 “, begitulah bunyi sebuah prasasti yang menempel di dinding sebuah bangunan kuno dekat makam orang yang namanya sudah disebutkan di prasasti tersebut. Makam ini berada di Ngebong, Salatiga, tempat yang selama ini dikenal sebagai tempat permakaman orang Tionghoa di Salatiga. Letak makam ini cukup tinggi dibanding makam sekitar. Semburat puncak Gunung Merbabu terlihat mempesona dari tempat ini, sebuah tempat yang indah untuk tempat peristirahatan terakhir. Selain tempatnya yang indah, bentuk makamnya pun juga tidak kalah istimewa.
Makam Tan Gee Tjhiang.
Unsur Tionghoa pada makam Tan Gee Tjhiang masih terasa kental. Dilihat dari atas, bentuk makam masih mempertahankan dalam bentuk tradisional, yakni dalam seperti punggung kura-kura (ku-khak-bong). Bentuk punggung kura-kura ditiru karena hewan tersebut memiliki umur panjang keturunan almarhum akan dijanjikan umur panjang. Sementara menurut penafsiran J.J.M. de Groot, alasan utama mengapa makam Tionghoa memiliki bentuk demikian adalah sebagai pengganti jajaran punggung bukit yang menurut prinsip feng shui diyakini akan melindungi kuburan dari "angin berbahaya" yang berasal dari tiga sisi. Bentuk makam punggung kura-kura dikenal dalam tradisi Vietnam, Kepulauan Ryuku, dan Tiongkok Selatan. Tradisi tersebut kemudian dibawa oleh perantauan dari Tiongkok Selatan ke negeri rantau. Menempel pada makam, adalah meja altar dengan ukiran gaya Tiongkok yang dibuat begitu halus dan sedap dipandang. Meja altar itu adalah tempat peziarah meletakan sesaji dan dupa. Tradisi Tionghoa mengenal makam lebih dari sekedar tempat menguburkan insan yang telah tiada. Ia adalah salah satu sarana penghubung antara anak cucu yang masih hidup dengan leluhur. Pada bulan tertentu, sebagai tanda bakti kepada leluhur mereka menggelar tradisi ziarah makam atau dikenal sebagai cengbeng. Di makam yang mereka ziarahi, mereka membawa berbagai makanan, buah-buahan, minuman sebagai sesaji. Sesaji itu lalu diletakan di atas meja altar tadi sebagai hadiah kepada leluhur yang kemudian diikuti sembahyang penghormatan leluhur. 
Hiasan keramik.
Bongpay atau batu nisan makam masih tampak melekat di makam berusia lebih dari seabad tersebut. Pada sebuah bongpay, selain nama si meninggal, juga terkandung nama-nama sanak saudara yang ditinggalkan sebagai penghargaan atas nilai persaudaran yang senantiasa dipelihara meski sudah berpisah alam. Bongpay-bongpay itu juga bisa menjadi data genealogi yang membantu anak cucu untuk menelusuri jejak leluhurnya. Di belakang bongpay tersebut, ada gundukan tanah tempat jenazah dikuburkan sehingga makam tersebut seperti tempurung kura-kura. Sementara di samping kanan dan kiri bongpay, terdapat tembok yang mengelilingi latar depan makam.
Altar Dewa Bumi.
Unsur makam Tionghoa lain yang terdapat pada makam Tan Gee Tjhiang adalah altar dewa bumi. Altar ini dibangun sebagai bentuk permohonan agar Dewa Bumi bersedia menerima jenazah yang sudah dikuburkan. Dibanding dengan makam-makam Tionghoa lain, altar dewa bumi pada makam Tan Gee Tjhiang diberi rumah-rumahan kecil sehingga menjadikan altar itu seperti sebuah kelenteng mini. Namun tak hanya itu saja pernak-pernik yang ada di makam Tan Gee Tjhiang.  Jika menengok ke bagian lantai yang terhampar di depan makam, di sana a kan terjumpai hiasan keramik Eropa. Buah Pala, pedang simbol kota Batavia, singa lambang Kerajaan Belanda, hingga monogram VOC, semua hiasan ini nyata sekali adalah milik Eropa. Inilah yang menjadikan makam Tan Gee Tjhiang lain daripada makam Tionghoa lain di Ngebong, Salatiga.
Monumen di belakang makam Tan Gee Tjhiang.
Beranjak ke belakang makam, akan terjumpai dua monumen yang secara kasat mata seperti monumen buatan orang Eropa. Sepasang patung singa jantan gaya Eropa menjaga setiap monumen ini. Monumen ini sekilas berbentuk seperti plengkung kemenangan yang dibuat oleh bangsa Romawi dengan plengkung pada keempat sisinya. Sementara di atas plengkungan terpampang dua sengkalan, 1915 untuk tahun Masehi dan 2466 untuk tahun Cina. Sengkalan itu menjadi penanda tahun makam itu dibangun. Sementara itu, sebaris tulisan Mandarin yang ditulis dari atas ke bawah juga menghiasi kedua monument itu. Nyaris terlihat identik, namun terdapat perbedaan dalam rincinya. Kedua monument ini tampaknya bertalian dengan konsep dualisme dalam filosofi Tionghoa, dimana Alam Semesta seisinya ini diciptakan secara berpasang-pasangan.
Bekas bangunan paseban.
Hal lain yang membuat makam Tan Gee Tjhiang ini tampak berbeda dari yang lain adalah keberadaan bangunan kuno yang masih berdiri di dekat makam ini walau keadaanya sudah tampak lusuh. Menurut keterangan penjaga makam yang kini tinggal di bangunan itu, bangunan yang ia tempati sekarang di masa silamnya adalah paseban tempat keluarga beritirahat jika mereka sedang berziarah ke makam ini. Rasanya cukup masuk akal mengingat letak makam ini berada di tempat yang tertinggi sehingga cukup menguras tenaga bagi mereka yang berziarah ke sini. Dilihat sekilas, bangunan ini seperti paviliun yang sering ada di samping kiri atau kanan rumah orang Eropa.

Makam Tan Gee Tjhiang adalah salah satu contoh awal hasil silang budaya Tionghoa dengan Eropa. Walau orang Tionghoa secara kukuh berusaha menjaga tradisinya, namun persentuhan dengan orang-orang Eropa di masa kolonial membuat beberapa kebudayaan Eropa merasuk ke dalam sendi orang Tionghoa. Dalam struktur sosial kolonial, orang Tionghoa berada di derajad kedua, setingkat di bawah orang Eropa dan setingkat di atas orang pribumi. Jika pemerintah kolonial dalam urusan politik menjadikan bupati sebagai perantara dengan orang pribumi, maka dalam urusan ekonomi, mereka memilih orang Tionghoa sebagai perantara mereka. Dari situ terbentuk hubungan antara importir Eropa dengan konsumen pribumi (Stroomberg, 2018; 61). Dengan sifat giat dan hemat, orang Tionghoa mampu menggapai kemakmuran dengan jumlah kekayaanya mampu mengungguli milik orang Eropa. Seperti halnya orang-orang kaya masa kini, beberapa di antara mereka menjadikan gaya hidup Eropa sebagai patokan gengsi. Selain itu, dengan meniru gaya hidup mereka, setidaknya meraka akan dianggap setara dengan orang Eropa yang saat itu berada di lapisan paling atas dalam sistem sosial kolonial. Salah satu upaya awal dilakukan oleh taipan gula asal Semarang, Oei Tiong Ham yang mengajukan izin kepada Gubernur Jenderal pada 1889 agar diperkenankan mengenakan busana ala barat karena saat itu orang Tionghoa masih dilarang memakai busana ala barat. Baru pada tahun 1905 orang Tionghoa diberikan kebebasan untuk memakai pakaian gaya barat (Liem, 1931; 184). Sesudah itu, semakin banyak orang Tionghoa yang mengadopsi gaya hidup kebarat-baratan, apalagi setelah mereka mengenyam pendidikan Belanda di HCS (Hollandsch Chinesee School). Thauw-chang atau rambut kucir ditanggalkan oleh generasi muda Tionghoa yang sudah mendapat pendidikan barat. Sementara pengantin Tionghoa mulai mengenakan busana pengantin Eropa meski mereka masih menjalankan upacara pernikahan sesuai adat tradisional (Liem, 1931; 239). Selain dalam bentuk busana, pengaruh Eropa dalam gaya hidup orang Tionghoa juga terlihat pada bentuk rumah dan makam.
Mausoleum Thio Sing Liong.
Makam berikutnya yang merupakan hasil silang budaya Tionghoa-Eropa adalah mausoleum yang terletak di Jalan Sriwijaya, Peterongan, Semarang. Dengan gunungan atap yang tebal dan tinggi, mausoleum yang menyerupai bangunan klenteng itu menaungi makam dari Thio Sing Liong beserta istrinya yang kedua. Dahulu, lingkungan sekitar mausoleum itu masih merupakan lahan permakaman Tionghoa di Semarang. Desakan pembangunan membuat banyak makam lainnya tersingkir dan akhirnya tinggal menyisakan mausoleum Thio Sing Liong yang kini terkepung di antara bangunan komersil dan perkampungan padat. Bagian depan mausoeleum itu dilindungi oleh pintu besi dengan jerujinya yang dibuat dalam bentuk yang cantik. Walau terlihat terkunci rapat dari luar, namun masih ada pintu lain untuk masuk ke dalamnya. Pintu tersebut berada di belakang mausoleum, dimana terdapat makam Tionghoa lain milik kerabat Thio Sing Liong. Untuk masuk ke dalam bisa memberitahu penjaga makam yang membuka bengkel di dekat mausoleum tersebut.
Bagian dalam makam Thio Sing Liong.
Arsitektur Tionghoa memang tampak kentara sekali dari luar makam, namun siapa sangka jika bagian dalam makam justru nuansa Eropa yang lebih terasa. Tidak ada gundukan tanah lazimnya makam Tionghoa dan sebagai gantinya adalah dua sarkofagus besar dari batu pualam hitam. Di dalam sarkofagus itulah jenazah Thio Sing Liong dan istrinya yang kedua dibaringkan. Pada sisi depan setiap sarkofagus, dipahatkan inkripsi yang jamak tertulis pada sebuah bongpay. Thio Sing Liong semasa hidupnya dikenal sebagai pebisnis terkemuka di Semarang dan pendiri dari N.V. Handel Maatschappij Thio Sing Liong yang bergerak di bidang perdagangan gula (De Indische Courant 16 Desember 1940). Pada tahun 1940, Thio Sing Liong meninggal dan berbagai kelompok masyarakat Tionghoa memberi karangan bunga duka cita yang masih tersimpan di dalam makamnya. Sementara itu, istri kedua Thio Sing Liong sudah meninggal terlebih dahulu. Dalam tradisi Tionghoa, makam sepasang suami istri hampir selalu dibuat berdampingan atau dimakamkan dalam satu lubang yang sama sebagai penghormatan atas nilai ikatan perkawinan. 
Patung pada tutup peti makam.
Foto Thio Sing Liong.

Tutup sarkofagus kedua makam terlihat menakjubkan. Pada tutup yang terbuat dari pualam putih asal Italia tersebut, diimbuhkan patung yang dipahat menyerupai figur Thio Sing Liong dan istrinya yang kedua. Kedua patung tersebut ditampilkan mendekati aslinya dengan sorot mata yang terlihat nyata. Pandangan keduanya menghadap ke utara, dimana di sana terdapat kawasan pecinan, tempat tinggal mereka sewaktu masih hidup di dunia. Figur Thio Sing Liong terlihat necis dengan kemeja dan jas, serta potongan rambut rapi, persis seperti foto dirinya yang dipajang di samping makamnya. 
Insrkipsi makam.
Bentuk makam seperti yang terlihat di dalam mausoleum Thio Sing Liong sejatinya adalah tradisi dari bangsa Etruska, sebuah bangsa yang pernah mendiami semenanjung Italia sebelum masa Romawi. Pada tutup makam bangsa Etruska, kadang dipahatkan figur dari jenazah yang dimakamkan di dalamnya (Kerrigan, 2017; 65). Kedua patung itu sendiri memperlihatkan figur Thio Sing Liong dan istrinya dalam posisi separo badan, seakan mereka berdua terbangun dari tidur panjangnya dengan selimut yang belum sempat disingkirkan. “ Dalam beberapa kebudayaan”, terang Kerrigan, “kematian hanyalah tahapan peralihan ke kehidupan berikutnya karena kehidupan sendiri dipandang sebagai siklus”.
Mausoleum O.G. Khouw.
Dibanding dua makam pada tulisan di atas, mausoleum yang terletak di TPU Petamburan, Jakarta ini begitu kentara nuansa Eropa dengan bentuk kubah dan pilar tuscan. Ya, inilah mausoleum dari Oen Giok Khouw, seorang tuan tanah kaya nan dermawan yang pernah hidup di masa kolonial. Bukanlah suatu hal yang mengherankan bilamana makam O.G. Khow ini tampak ke-Eropaan karena O.G. Khouw sendiri menyandang status sebagai warga negara Belanda. Hal tersebut sontak mengejutkan kalangan Eropa dan Tionghoa di Hindia-Belanda yang masih terjebak dalam pusaran diskriminasi ras. Berkat status yang disandangnya sejak tahun 1908, ia secara leluasa beranjangsana ke berbagai negeri di Eropa, dari Belanda, Perancis, hingga di negeri terakhir yang ia sambangi dalam hidupnya, Swiss. Di kota Ragaz, Swiss, O.G. Khouw mengehembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1927. Lokasi makamnya dipilih di Begraafplaats Petamburan yang saat itu adalah permakaman paling modern di Batavia.
Makam O.G. Khouw dilihat dari dekat
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Makam O.G. Khouw dilihat dari luar pagar.
(Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Pada tahun 1929, istri O.G. Khouw, Lim Sha Nio membangunkan sebuah mausoleum megah untuk suaminya. Dengan harta yang bergelimang, tentu tak menjadi masalah untuk mengeluarkan biaya sebesar 500.000 gulden atau sekitar 3 milyar rupiah untuk pembangunan makam tersebut (De Sumatra Post, 9 September 1932). Uang sebesar itu digunakan untuk mendatangkan bongkahan batu granit dan pualam dari Italia serta membayar seniman dan arsitek yang merancang makam tersebut. Mengikuti gaya hidup suaminya, makam itupun dibuat dalam langgam Eropa. Makam tersebut memiliki atap berbentuk kubah dari perunggu yang ditopang oleh pilar-pilar klasik berbahan granit yang digosok sampai mengkilap. Kubah tersebut menaungi pusara O.G Khouw dan istrinya. Di atas pusara tersebut, menjulan sesosok patung malaikat perempuan bergaya Eropa yang dengan setia mendampingi pusara O.G. Khouw dan istrinya. Di belakang makam tersebut, terdapat tangga melingkar yang mengarah ke sebuah relung bawah tanah tempat abu O.G. Khouw dan istrinya di simpan. Pada relung tersebut, akan didapati ukiran wajah dari O.G. Khouw dan Lim Sha Nio. Dahulu, relung tersebut diterangi dengan lampu listrik. Makam O.G. Khow yang selesai dibuat pada tahun 1931 ini memang sungguh mewah bahkan menurut berbagai surat kabar saat itu, makam taipan kelas kakap asal Amerika Serikat, John D. Rockefeller, tak mampu menyamainya. Kemewahan makam ini sampai tersiar ke negeri Belanda, dimana media massa Belanda menyebut makam ini sebagai Mausoleum van Een Half Milioen "Makam Setengah Juta Gulden". Makam ini sendiri tidak semata sebagai tempat peristirahatan terakhir, namun juga sebagai suatu karya seni yang patut untuk dikagumi. Saat diresmikan, banyak orang yang mendatangi makam tersebut mulai dari para anggota Volksraad hingga konsulat Italia. Algemeen Handelslbad voor Ned. Indie 29 September 1932 mencatat ada 19.167 pengunjung yang mendatangi makam tersebut setahun sejak makam tersebut dibuat.
Prasasti yang menunjukan pembuat makam O.G. Khow.
Di halaman makam yang sempat menjadi latar salah satu adegan film komedi “Manusia 6 Juta Dollar” ini, empat patung  pemuda dan anak kecil dalam gaya Eropa menyambut pengunjung yang hendak melihat makam ini. Keempat patung tersebut terbuat dari batu marmer Italia. Lalu persis di pinggir pintu masuk, terdapat prasasti yang menyatakan bahwa makam ini dirancang oleh G. Racina, seniman dan pemilik perusahaan AI Marmi Italiani dari Surabaya yang termahsyur sebagai pembuat batu nisan terbaik di seantero Hindia-Belanda. Kisah dari AI Marmi Italiani, perusahaan yang bergelut di bidang kerajinan batu marmer ini sendiri cukup menarik untuk diikuti. Pada tahun 1897, datang dua warga negara Italia bernama G.G. Aleazzi dan A.G. Racina di Surabaya. Kedua orang tersebut memiliki pengetahuan yang baik mengenai seni pahat batu gaya Eropa. Melihat saat itu masih sedikit usaha yang bergelut di penjualan batu alam untuk batu nisan dan dekorasi rumah di Hindia-Belanda, maka mereka mendirikan perusahaan AI Marmi Italiani pada tahun 1910 dengan modal 50.000 gulden. Perusahaan tersebut mendatangkan batu pualam Italia yang dikenal bermutu tinggi dan kemudian diolah untuk dijadikan dekorasi makam maupun rumah. Usaha mereka terus tumbuh sehingga pada tahun 1925, mereka membuka galeri di Pasar Besar No. 34 Surabaya dan menjadi galeri marmer Italia pertama di Hindia-Belanda. Etalase galeri dibuat semenarik mungkin dan diisi dengan kerajinan berbahan marmer sehingga orang tertarik untuk membeli karya mereka. Proses pembuatan kerajinan dibuat di studio yang ada di Lemah Putro. Di studio AI Marmi Italiani, terdapat 14 orang pekerja yang seluruhnya adalah orang Jawa dan masing-masing dari mereka memiliki tugas khusus seperti membuat batu nisan, dekorasi, dan memotong balok. 
Patung di halaman mausoleum O.G. Khouw buata A.I. Marmi Italiani.
Meskipun makam O.G. Khouw menggunakan bahan dari luar, namun pengrajin yang membantu Racina dipilih dari orang-orang lokal. Racina sengaja mempekerjakan orang lokal karena selain upah mereka lebih murah, Racina ingin mewariskan pengetahuan seni pahat Eropa kepada orang lokal. Para pekerja lokal saat itu belum memiliki keterampilan dalam membuat patung gaya Eropa. Maka dari itu, Racina yang memahami dengan baik karakter orang Jawa memberi pelatihan kepada mereka selama lebih dari 20 tahun. Lambat laun orang-orang Jawa yang telah dilatih Racina dapat meniru karya-karya pematung Eropa. Racina berpandangan bahwa akan lebih baik bila Hindia-Belanda dapat membuat sendiri patung pualam bergaya Eropa yang dibuat sendiri oleh tangan-tangan pemahat lokal sehingga Racina tidak pernah memesan patung dalam bentuk jadi dari Eropa. Racina juga tidak ingin karyanya dibawa keluar negeri sehingga bila ada pemesan dari luar, Racina memilih untuk mengirim pekerjanya ke tempat pemesan. Sebagai orang Italia, Racina bangga dapat membagikan pengetahuan bangsanya kepada orang-orang pribumi dan secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Perusahaan AI Marmi Italiani segera dikenal luas atas hasil kepiawaianya yang bermutu tinggi dan menjadi gengsi tersendiri bila mampu membeli karyanya meskipun harganya amat mahal (De Indische Courant ; Oost Java Editie, 1925)
Batu nisan O.G. Khouw.
Bentuk makam tradisional Tionghoa berupa gundukan tanah sudah sepenuhnya ditinggalkan pada makam O.G. Khouw, tergantikan dengan bentuk peti mati ala Eropa. Batu nisan yang dipakai  bukan lagi berupa batu andesit, tergantikan oleh kilau batu granit hitam. Tertera di atas batu nisan, nama O.G. Khouw, tempat tanggal lahir dan tempat tanggal meninggalnya dalam bahasa Belanda, tidak lagi memakai huruf Mandarin. Nama sanak keluarga yang masih hidup atau yang sudah meninggal tak lagi disertakan dalam batu nisan O.G. Khouw. Selain itu, nama marga Khouw tidak lagi ditaruh di depan seperti nama orang Tionghoa pada umumnya, namun ditaruh di belakang mengikuti kebiasaan penamaan orang Eropa.
Patung malaikat. Dalam konsep seni makam Barat, malaikat merupakan perlambang dari duka.
Demikianlah ulasan Jejak Kolonial mengenai sebagian contoh kecil makam Tionghoa bergaya Eropa. Tidak menutup kemungkinan jika  di luar sana tentu masih banyak lagi beberapa makam Tionghoa bergaya Eropa. Menariknya, sejauh ini makam-makam tersebut baru ditemukan di Indonesia. Keberadaan makam-makam yang kelewat mewah untuk sebuah makam Tionghoa ini menjadi penanda adanya persentuhan budaya Tionghoa dengan budaya Eropa di Indonesia. 

Referensi

Kerrigan, Michael. 2017. Sejarah Kematian ; Tradisi Penguburan dan Ritus-ritus Pemakaman dari Zaman Kuno sampai Zaman Modern. Jakarta : Elex Media Computindo.

Jiang, Rinto. 2011. Tata cara Penulisan Nisan Tradisional Tionghoa dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/404-tata-cara-penulisan-nisan-bongpay-tradisional-tionghoa

King Hian. 2012. Penjelasan tentan Bongpay dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1908-penjelasan-tentang-bongpai-1

Liem Thian Joe. 1931. Riwayat Semarang. Batavia : Boekhandel Drukkerij

Liu Weilin. 2013. Pandangan Orang Tionghoa Terhadap Kematian dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3675-pandangan-orang-tionghoa-terhadap-kematian

Stroomberg, J. 2018. Hindia-Belanda 1930. Yogyakarta : IRCiSoD.

De Indische Courant ; Oost Java Editie, 1925.

Algemeen Handelslbad voor Ned. Indie 29 September 1932

De Sumatra Post, 9 September 1932

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Senang saya melihat jejak kehidupan masa lalu bangsa kita apapun suku dan agamanya. Merupakan sejarah peninggalan yg legendaris yang pelu dilestarikan.

    BalasHapus