Salah satu hasil kebudayaan material manusia yang
tertua sekaligus paling banyak ditemukan di segala tempat adalah makam. Ketika
setiap kebudayaan memiliki corak hidup yang berbeda, begitu pula dalam urusan
kematian, sehingga masing-masing kebudayaan menghasilkan bentuk makam yang
berbeda pula. Melalui proses migrasi atau diaspora, beberapa bentuk makam dapat
ditemukan di tempat yang memiliki kebudayaan berbeda, contohnya adalah
makam-makam peninggalan orang Tionghoa di Indonesia atau lebih dikenal sebagai bong.
Pada saat bersamaan, kehadiran orang Belanda di masa kolonial juga meninggalkan
makam-makam khas Eropa. Kendati tradisi Tionghoa telah memberi aturan dalam
pembuatan makam, namun adanya persentuhan dengan kebudayaan lain seperti
kebudayaan Eropa menciptakan bentuk makam yang sangat menarik. Jejak Kolonial kali ini akan mengulas tentang beberapa
makam Tionghoa yang telah mendapat sedikit sentuhan dari budaya Eropa.
Gerbang masuk ke makam Tan Gee Tjhiang. |
“Familie
Begraafplaats van Tan Gee Tjhiang en Tan Hing Gie Salatiga Anno : 1915 “,
begitulah bunyi sebuah prasasti yang menempel di dinding sebuah bangunan kuno
dekat makam orang yang namanya sudah disebutkan di prasasti tersebut. Makam ini
berada di Ngebong, Salatiga, tempat yang selama ini dikenal sebagai tempat
permakaman orang Tionghoa di Salatiga. Letak makam ini cukup tinggi dibanding
makam sekitar. Semburat puncak Gunung Merbabu terlihat mempesona dari tempat
ini, sebuah tempat yang indah untuk tempat peristirahatan terakhir. Selain
tempatnya yang indah, bentuk makamnya pun juga tidak kalah istimewa.
Makam Tan Gee Tjhiang. |
Unsur Tionghoa pada makam Tan Gee Tjhiang masih
terasa kental. Dilihat dari atas, bentuk makam masih mempertahankan dalam bentuk
tradisional, yakni dalam seperti punggung kura-kura (ku-khak-bong). Bentuk punggung kura-kura ditiru karena hewan tersebut memiliki umur panjang keturunan almarhum akan dijanjikan umur panjang. Sementara menurut penafsiran J.J.M. de Groot, alasan utama mengapa makam Tionghoa memiliki bentuk demikian adalah sebagai pengganti jajaran punggung bukit yang menurut prinsip feng shui diyakini akan melindungi kuburan dari "angin berbahaya" yang berasal dari tiga sisi. Bentuk makam punggung kura-kura dikenal dalam tradisi Vietnam, Kepulauan Ryuku, dan Tiongkok Selatan. Tradisi tersebut kemudian dibawa oleh perantauan dari Tiongkok Selatan ke negeri rantau. Menempel pada makam, adalah meja altar
dengan ukiran gaya Tiongkok yang dibuat begitu halus dan sedap dipandang. Meja
altar itu adalah tempat peziarah meletakan sesaji dan dupa. Tradisi Tionghoa
mengenal makam lebih dari sekedar tempat menguburkan insan yang telah tiada. Ia
adalah salah satu sarana penghubung antara anak cucu yang masih hidup dengan
leluhur. Pada bulan tertentu, sebagai tanda bakti kepada leluhur mereka
menggelar tradisi ziarah makam atau dikenal sebagai cengbeng. Di makam yang mereka ziarahi, mereka membawa berbagai makanan,
buah-buahan, minuman sebagai sesaji. Sesaji itu lalu diletakan di atas meja
altar tadi sebagai hadiah kepada leluhur yang kemudian diikuti sembahyang
penghormatan leluhur.
Hiasan keramik. |
Bongpay atau
batu nisan makam masih tampak melekat di makam berusia lebih dari seabad
tersebut. Pada sebuah bongpay, selain
nama si meninggal, juga terkandung nama-nama sanak saudara yang ditinggalkan sebagai penghargaan atas nilai persaudaran yang senantiasa dipelihara meski sudah
berpisah alam. Bongpay-bongpay itu
juga bisa menjadi data genealogi yang membantu anak cucu untuk menelusuri jejak
leluhurnya. Di belakang bongpay tersebut,
ada gundukan tanah tempat jenazah dikuburkan sehingga makam tersebut seperti tempurung kura-kura. Sementara di samping kanan dan
kiri bongpay, terdapat tembok yang
mengelilingi latar depan makam.
Altar Dewa Bumi. |
Unsur makam Tionghoa lain yang terdapat pada makam
Tan Gee Tjhiang adalah altar dewa bumi. Altar ini dibangun sebagai bentuk
permohonan agar Dewa Bumi bersedia menerima jenazah yang sudah dikuburkan.
Dibanding dengan makam-makam Tionghoa lain, altar dewa bumi pada makam Tan Gee
Tjhiang diberi rumah-rumahan kecil sehingga menjadikan altar itu seperti sebuah
kelenteng mini. Namun tak hanya itu saja pernak-pernik yang ada di makam Tan
Gee Tjhiang. Jika menengok ke bagian
lantai yang terhampar di depan makam, di sana a kan terjumpai hiasan keramik
Eropa. Buah Pala, pedang simbol kota Batavia, singa lambang Kerajaan Belanda,
hingga monogram VOC, semua hiasan ini nyata sekali adalah milik Eropa. Inilah
yang menjadikan makam Tan Gee Tjhiang lain daripada makam Tionghoa lain di
Ngebong, Salatiga.
Monumen di belakang makam Tan Gee Tjhiang. |
Beranjak ke belakang makam, akan terjumpai dua monumen
yang secara kasat mata seperti monumen buatan orang Eropa. Sepasang patung
singa jantan gaya Eropa menjaga setiap monumen ini. Monumen ini sekilas
berbentuk seperti plengkung kemenangan yang dibuat oleh bangsa Romawi dengan
plengkung pada keempat sisinya. Sementara di atas plengkungan terpampang dua
sengkalan, 1915 untuk tahun Masehi dan 2466 untuk tahun Cina. Sengkalan itu
menjadi penanda tahun makam itu dibangun. Sementara itu, sebaris tulisan
Mandarin yang ditulis dari atas ke bawah juga menghiasi kedua monument itu. Nyaris
terlihat identik, namun terdapat perbedaan dalam rincinya. Kedua monument ini
tampaknya bertalian dengan konsep dualisme dalam filosofi Tionghoa, dimana Alam
Semesta seisinya ini diciptakan secara berpasang-pasangan.
Bekas bangunan paseban. |
Hal lain yang membuat makam Tan Gee Tjhiang ini
tampak berbeda dari yang lain adalah keberadaan bangunan kuno yang masih
berdiri di dekat makam ini walau keadaanya sudah tampak lusuh. Menurut
keterangan penjaga makam yang kini tinggal di bangunan itu, bangunan yang ia
tempati sekarang di masa silamnya adalah paseban tempat keluarga beritirahat
jika mereka sedang berziarah ke makam ini. Rasanya cukup masuk akal mengingat
letak makam ini berada di tempat yang tertinggi sehingga cukup menguras tenaga
bagi mereka yang berziarah ke sini. Dilihat sekilas, bangunan ini seperti
paviliun yang sering ada di samping kiri atau kanan rumah orang Eropa.
Makam Tan Gee Tjhiang adalah salah satu contoh awal
hasil silang budaya Tionghoa dengan Eropa. Walau orang Tionghoa secara kukuh
berusaha menjaga tradisinya, namun persentuhan dengan orang-orang Eropa di masa
kolonial membuat beberapa kebudayaan Eropa merasuk ke dalam sendi orang
Tionghoa. Dalam struktur sosial kolonial, orang Tionghoa berada di derajad
kedua, setingkat di bawah orang Eropa dan setingkat di atas orang pribumi. Jika
pemerintah kolonial dalam urusan politik menjadikan bupati sebagai perantara
dengan orang pribumi, maka dalam urusan ekonomi, mereka memilih orang Tionghoa
sebagai perantara mereka. Dari situ terbentuk hubungan antara importir Eropa
dengan konsumen pribumi (Stroomberg, 2018; 61). Dengan sifat giat dan hemat,
orang Tionghoa mampu menggapai kemakmuran dengan jumlah kekayaanya mampu mengungguli
milik orang Eropa. Seperti halnya orang-orang kaya masa kini, beberapa di
antara mereka menjadikan gaya hidup Eropa sebagai patokan gengsi. Selain itu,
dengan meniru gaya hidup mereka, setidaknya meraka akan dianggap setara dengan
orang Eropa yang saat itu berada di lapisan paling atas dalam sistem sosial
kolonial. Salah satu upaya awal dilakukan oleh taipan gula asal Semarang, Oei Tiong
Ham yang mengajukan izin kepada Gubernur Jenderal pada 1889 agar diperkenankan
mengenakan busana ala barat karena saat itu orang Tionghoa masih dilarang
memakai busana ala barat. Baru pada tahun 1905 orang Tionghoa diberikan
kebebasan untuk memakai pakaian gaya barat (Liem, 1931; 184). Sesudah itu,
semakin banyak orang Tionghoa yang mengadopsi gaya hidup kebarat-baratan,
apalagi setelah mereka mengenyam
pendidikan Belanda di HCS (Hollandsch
Chinesee School). Thauw-chang atau
rambut kucir ditanggalkan oleh generasi muda Tionghoa yang sudah mendapat
pendidikan barat. Sementara pengantin Tionghoa mulai mengenakan busana
pengantin Eropa meski mereka masih menjalankan upacara pernikahan sesuai adat
tradisional (Liem, 1931; 239). Selain dalam bentuk busana, pengaruh Eropa
dalam gaya hidup orang Tionghoa juga terlihat pada bentuk rumah dan makam.
Mausoleum Thio Sing Liong. |
Makam berikutnya yang merupakan hasil silang budaya
Tionghoa-Eropa adalah mausoleum yang terletak di Jalan Sriwijaya, Peterongan,
Semarang. Dengan gunungan atap yang tebal dan tinggi, mausoleum yang menyerupai
bangunan klenteng itu menaungi makam dari Thio Sing Liong beserta istrinya yang
kedua. Dahulu, lingkungan sekitar mausoleum itu masih merupakan lahan
permakaman Tionghoa di Semarang. Desakan pembangunan membuat banyak makam lainnya tersingkir dan akhirnya tinggal menyisakan mausoleum Thio Sing Liong yang kini terkepung di antara bangunan komersil dan perkampungan padat. Bagian depan mausoeleum itu dilindungi oleh pintu
besi dengan jerujinya yang dibuat dalam bentuk yang cantik. Walau terlihat
terkunci rapat dari luar, namun masih ada pintu lain untuk masuk ke dalamnya.
Pintu tersebut berada di belakang mausoleum, dimana terdapat makam Tionghoa
lain milik kerabat Thio Sing Liong. Untuk masuk ke dalam bisa memberitahu penjaga makam yang membuka bengkel di dekat mausoleum tersebut.
Bagian dalam makam Thio Sing Liong. |
Arsitektur Tionghoa memang tampak kentara sekali dari luar makam, namun siapa sangka jika bagian dalam makam justru nuansa
Eropa yang lebih terasa. Tidak ada gundukan tanah lazimnya makam Tionghoa dan
sebagai gantinya adalah dua sarkofagus besar dari batu pualam hitam. Di dalam
sarkofagus itulah jenazah Thio Sing Liong dan istrinya yang kedua dibaringkan.
Pada sisi depan setiap sarkofagus, dipahatkan inkripsi yang jamak tertulis pada
sebuah bongpay. Thio Sing Liong semasa hidupnya dikenal sebagai pebisnis terkemuka di Semarang dan pendiri dari N.V. Handel Maatschappij Thio Sing Liong yang bergerak di bidang perdagangan gula (De Indische Courant 16 Desember 1940). Pada tahun 1940, Thio Sing Liong meninggal dan berbagai kelompok masyarakat Tionghoa memberi karangan bunga duka cita yang masih tersimpan di dalam
makamnya. Sementara itu, istri kedua Thio Sing Liong sudah meninggal terlebih dahulu. Dalam
tradisi Tionghoa, makam sepasang suami istri hampir selalu dibuat berdampingan
atau dimakamkan dalam satu lubang yang sama sebagai
penghormatan atas nilai ikatan perkawinan.
Patung pada tutup peti makam. |
Foto Thio Sing Liong. |
Tutup sarkofagus kedua makam terlihat menakjubkan. Pada
tutup yang terbuat dari pualam putih asal Italia tersebut, diimbuhkan patung yang dipahat menyerupai figur Thio Sing Liong dan istrinya yang kedua. Kedua patung tersebut
ditampilkan mendekati aslinya dengan sorot mata yang terlihat nyata. Pandangan
keduanya menghadap ke utara, dimana di sana terdapat kawasan pecinan, tempat tinggal
mereka sewaktu masih hidup di dunia. Figur Thio Sing Liong terlihat necis dengan kemeja dan jas, serta
potongan rambut rapi, persis seperti foto dirinya yang dipajang di samping
makamnya.
Insrkipsi makam. |
Bentuk makam seperti yang terlihat di dalam mausoleum
Thio Sing Liong sejatinya adalah tradisi dari bangsa Etruska, sebuah bangsa
yang pernah mendiami semenanjung Italia sebelum masa Romawi. Pada tutup makam
bangsa Etruska, kadang dipahatkan figur dari jenazah yang dimakamkan di
dalamnya (Kerrigan, 2017; 65). Kedua patung itu sendiri memperlihatkan figur Thio
Sing Liong dan istrinya dalam posisi separo badan, seakan mereka berdua
terbangun dari tidur panjangnya dengan selimut yang belum sempat disingkirkan.
“ Dalam beberapa kebudayaan”, terang Kerrigan, “kematian hanyalah tahapan
peralihan ke kehidupan berikutnya karena kehidupan sendiri dipandang sebagai
siklus”.
Mausoleum O.G. Khouw. |
Dibanding dua makam pada tulisan di atas, mausoleum
yang terletak di TPU Petamburan, Jakarta ini begitu kentara nuansa Eropa dengan bentuk kubah dan pilar tuscan. Ya, inilah mausoleum dari Oen Giok
Khouw, seorang tuan tanah kaya nan dermawan yang pernah hidup di masa kolonial.
Bukanlah suatu hal yang mengherankan bilamana makam O.G. Khow ini tampak
ke-Eropaan karena O.G. Khouw sendiri menyandang status sebagai warga negara
Belanda. Hal tersebut sontak mengejutkan kalangan Eropa dan Tionghoa di
Hindia-Belanda yang masih terjebak dalam pusaran diskriminasi ras. Berkat status
yang disandangnya sejak tahun 1908, ia secara leluasa beranjangsana ke berbagai
negeri di Eropa, dari Belanda, Perancis, hingga di negeri terakhir yang ia
sambangi dalam hidupnya, Swiss. Di kota Ragaz, Swiss, O.G. Khouw mengehembuskan nafas terakhirnya
pada tahun 1927. Lokasi makamnya dipilih di Begraafplaats Petamburan yang saat itu adalah permakaman paling modern di Batavia.
Makam O.G. Khouw dilihat dari dekat (sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/) |
Makam O.G. Khouw dilihat dari luar pagar. (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/) |
Pada tahun 1929, istri O.G. Khouw, Lim Sha Nio
membangunkan sebuah mausoleum megah untuk suaminya. Dengan harta yang bergelimang, tentu tak menjadi masalah untuk mengeluarkan biaya
sebesar 500.000 gulden atau sekitar 3 milyar rupiah untuk pembangunan makam tersebut (De Sumatra Post, 9 September 1932). Uang sebesar itu digunakan untuk mendatangkan bongkahan batu granit dan pualam dari Italia serta membayar seniman dan arsitek yang merancang makam tersebut. Mengikuti gaya hidup suaminya, makam itupun dibuat dalam langgam Eropa. Makam tersebut memiliki atap berbentuk kubah dari perunggu yang ditopang oleh pilar-pilar klasik berbahan granit yang digosok sampai mengkilap. Kubah tersebut menaungi pusara O.G Khouw dan istrinya. Di atas pusara tersebut, menjulan sesosok patung malaikat perempuan bergaya Eropa yang dengan setia mendampingi pusara O.G. Khouw dan istrinya. Di belakang makam tersebut, terdapat tangga melingkar yang mengarah ke sebuah relung bawah tanah tempat abu O.G.
Khouw dan istrinya di simpan. Pada relung tersebut, akan didapati
ukiran wajah dari O.G. Khouw dan Lim Sha Nio. Dahulu, relung tersebut diterangi dengan lampu listrik. Makam O.G. Khow yang selesai dibuat pada tahun 1931 ini memang sungguh mewah bahkan menurut berbagai surat kabar saat itu, makam taipan kelas kakap
asal Amerika Serikat, John D. Rockefeller, tak mampu menyamainya. Kemewahan makam ini sampai tersiar ke negeri Belanda, dimana media massa Belanda menyebut makam ini sebagai Mausoleum van Een Half Milioen "Makam Setengah Juta Gulden". Makam ini sendiri tidak semata sebagai tempat peristirahatan terakhir, namun juga sebagai suatu karya seni yang patut untuk dikagumi. Saat diresmikan, banyak orang yang mendatangi makam tersebut mulai dari para anggota Volksraad hingga konsulat Italia. Algemeen Handelslbad voor Ned. Indie 29 September 1932 mencatat ada 19.167 pengunjung yang mendatangi makam tersebut setahun sejak makam tersebut dibuat.
Prasasti yang menunjukan pembuat makam O.G. Khow. |
Meskipun makam O.G. Khouw menggunakan bahan dari luar, namun pengrajin yang membantu Racina dipilih dari orang-orang lokal. Racina sengaja mempekerjakan orang lokal karena selain upah mereka lebih murah, Racina ingin mewariskan pengetahuan seni pahat Eropa kepada orang lokal. Para pekerja lokal saat itu belum memiliki keterampilan dalam membuat patung gaya Eropa. Maka dari itu, Racina yang memahami dengan baik karakter orang Jawa memberi pelatihan kepada mereka selama lebih dari 20 tahun. Lambat laun orang-orang Jawa yang telah dilatih Racina dapat meniru karya-karya pematung Eropa. Racina berpandangan bahwa akan lebih baik bila Hindia-Belanda dapat membuat sendiri patung pualam bergaya Eropa yang dibuat sendiri oleh tangan-tangan pemahat lokal sehingga Racina tidak pernah memesan patung dalam bentuk jadi dari Eropa. Racina juga tidak ingin karyanya dibawa keluar negeri sehingga bila ada pemesan dari luar, Racina memilih untuk mengirim pekerjanya ke tempat pemesan. Sebagai orang Italia, Racina bangga dapat membagikan pengetahuan bangsanya kepada orang-orang pribumi dan secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Perusahaan AI Marmi Italiani segera dikenal luas atas hasil kepiawaianya yang bermutu tinggi dan menjadi gengsi tersendiri bila mampu membeli karyanya meskipun harganya amat mahal (De Indische Courant ; Oost Java Editie,
1925).
Bentuk makam tradisional Tionghoa berupa gundukan
tanah sudah sepenuhnya ditinggalkan pada makam O.G. Khouw, tergantikan dengan
bentuk peti mati ala Eropa. Batu nisan yang dipakai bukan lagi berupa batu andesit, tergantikan
oleh kilau batu granit hitam. Tertera di atas batu nisan, nama O.G. Khouw,
tempat tanggal lahir dan tempat tanggal meninggalnya dalam bahasa Belanda,
tidak lagi memakai huruf Mandarin. Nama sanak keluarga yang masih hidup atau
yang sudah meninggal tak lagi disertakan dalam batu nisan O.G. Khouw. Selain itu, nama marga Khouw tidak lagi ditaruh di depan seperti nama orang Tionghoa pada umumnya, namun ditaruh di belakang mengikuti kebiasaan penamaan orang Eropa.
Demikianlah ulasan Jejak Kolonial mengenai sebagian
contoh kecil makam Tionghoa bergaya Eropa. Tidak menutup kemungkinan jika di luar sana tentu masih banyak lagi beberapa
makam Tionghoa bergaya Eropa. Menariknya, sejauh ini makam-makam tersebut baru
ditemukan di Indonesia. Keberadaan makam-makam yang kelewat mewah untuk sebuah
makam Tionghoa ini menjadi penanda adanya persentuhan budaya Tionghoa dengan
budaya Eropa di Indonesia.
Referensi
Kerrigan, Michael. 2017. Sejarah Kematian ; Tradisi Penguburan dan Ritus-ritus Pemakaman dari Zaman Kuno sampai Zaman Modern. Jakarta : Elex Media Computindo.
Jiang, Rinto. 2011. Tata cara Penulisan Nisan Tradisional Tionghoa dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/404-tata-cara-penulisan-nisan-bongpay-tradisional-tionghoa
King Hian. 2012. Penjelasan tentan Bongpay dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1908-penjelasan-tentang-bongpai-1
Liem Thian Joe. 1931. Riwayat Semarang. Batavia : Boekhandel Drukkerij
Liu Weilin. 2013. Pandangan Orang Tionghoa Terhadap Kematian dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3675-pandangan-orang-tionghoa-terhadap-kematian
Stroomberg, J. 2018. Hindia-Belanda 1930. Yogyakarta :
IRCiSoD.
De Indische Courant ; Oost Java Editie, 1925.
De Indische Courant ; Oost Java Editie, 1925.
Algemeen Handelslbad voor Ned. Indie 29 September 1932
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTulisan yang menarik.
BalasHapusSenang saya melihat jejak kehidupan masa lalu bangsa kita apapun suku dan agamanya. Merupakan sejarah peninggalan yg legendaris yang pelu dilestarikan.
BalasHapus