Senin, 23 Januari 2023

Sudut Sejarah Kebumen yang Belum Terhapus Zaman

Kendati Kebumen terhitung kota yang tidak memiliki kawasan kota tua yang memukau atau bangunan lama yang arsitekturnya menonjol, namun bukan berarti Kebumen adalah kota tanpa sejarah sama sekali karena di beberapa sudutnya masih dapat dijumpai tinggalan sejarah yang menyimpan cerita sejarah yang cukup menarik untuk diikuti. Pada tulisan Jejak Kolonial kalini, penulis akan mengangkat beberapa tinggalan sejarah di kota yang dibelah oleh Sungai Luk Ulo ini.

Eks rumah tinggal asisten-residen Kebumen, pejabat tertinggi Belanda di Kebumen.
Rumah asisten residen Kebumen pada tahun 1910an
(Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Pada masa kolonial tepatnya setelah Perang Jawa, Kebumen yang sebelumnya dikenal dengan nama Panjer dijadikan oleh pemerintah kolonial sebagai pusat kedudukan asisten residen yang membawahi dua Kabupaten, yakni Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Karanganyar. Asisten Residen Kebumen bertanggung jawab kepada Residen Bagelen yang berkedudukan di Purworejo. Kabupaten Kebumen sendiri membawahi district Kebumen, Alihan, Kutowinangun, dan Prembun. Sementara Kabupaten Karanganyar membawahi district Karanganyar, Gombong, Rowokele, Pejagoan, dan Puring. Menurut keterangan Veth, Kebumen ditata dengan jalan yang bagus dan dihiasi pepohonan yang rindang. Pusat kota Kebumen memiliki alun-alun yang dikelilingi dengan bangunan penting seperti tempat tinggal asisten residen, kediaman bupati, masjid, gudang, dan penjara. Keseluruhan bangunan tersebut tidak ada yang layak untuk diperhatikan, perkecualian kediaman bupati yang di depannya berdiri pendapa indah yang dibalut dengan ukiran warna merah keemasan. Biarpun tidak ada bangunan yang istimewa, suasana lingkungan Kebumen relatif menyenangkan (Veth, 1882: 436). 

Peta Kebumen pada tahun 1905.
 (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Penataan pusat kota Kebumen juga tidak jauh berbeda dengan kota-kota di Jawa pada umumnya, yakni alun-alun sebagai pusat, masjid di sebelah barat alun-alun, dan rumah bupati di sebelah utara alun-alun. Sementara rumah tinggal asisten residen berada di sebelah timur. Bagian selatan alun-alun Kebumen juga terdapat beberapa bangunan penting lain seperti kantor pos dan penjara. Menjelang Agresi Militer Belanda Kedua, bangunan-bangunan di pusat kota Kebumen dibumihanguskan oleh pasukan gerilya seperti pendopo, jembatan, gedung pemerintahan, rumah gadai, sekolah, dan pertokoan (Harnoko & Poliman, 1987: 43). Kini di sekitar alun-alun Kebumen tidak banyak bangunan lama yang masih utuh kecuali eks rumah tinggal asisten residen yang saat ini menjadi bagian kompleks Sekretariat Daerah. Bangunan tersebut belum dapat diketahui tarikh pembangunannya namun diperkirakan sudah ada sebelum tahun 1845 karena dalam Javasche Courant 8 Februari 1845 disebutkan pemerintah akan melakukan renovasi dan perbaikan pada rumah asisten residen di Kebumen. Asisten residen Kebumen terakhir sebelum pendudukan Jepang adalah J. A. Ochtman.

Sisa-sisa kejayaan pabrik bata Aboengamar.

Hampir setiap hari kepulan asap keputihan menyelimuti langit Kebumen. Kepulan asap tersebut berasal dari tungku-tungku pembakaran genteng dan bata yang tersebar di sekitar Kebumen terutama dari daerah Sokka. Dengan menyebut nama Sokka, orang pasti akan teringat dengan genteng karena industri genteng mudah dijumpai di sana. Sejarah perkembangan industri genteng di Sokka tidak dapat dilewatkan begitu saja karena industri tersebut telah melambungkan nama Kebumen sebagai sentra pembuatan genteng dan bata sejak masa Hindia-Belanda. Menurut koran De Preanger Bode 28 Juni 1919, pembuatan bata dan genteng di Sokka dimulai saat perusahaan kereta api Staatspoorwegen meninjau calon jalur kereta api Yogyakarta-Bandung. Ketika melakukan uji sampel tanah di Sokka, Kebumen, insinyur Staaspoorwegen menemukan bahwa tanah tersebut layak untuk dibuat bata dan genteng. Para penduduk sekitar lantas membuat tungku pembakaran. Pembuatannya masih sederhana namun mutu bata dan genteng yang dihasilkan sudah sangat bagus. Jembatan Tembana, jembatan terkenal di Kebumen yang menghubungkan Kebumen dengan Pejagoan, tersusun dari bata-bata buah tangan pengrajin Sokka. 

Struktur cerobong di pabrik bata Aboengamar yang masih berdiri tegap meski mulai rapuh dimakan usia.

Sokka tumbuh berkembang menjadi pusat pembuatan batu-bata sejalan dengan tingginya permintaan bata dari Staatspoorwegen untuk material bangunan. Setelah jalur kereta selesai dibuat pada tahun 1880an, permintaan bata sempat merosot karena saat itu orang-orang Eropa cenderung membuat bata di dekat lokasi pembangunan daripada memesan dari tempat yang jauh karena biaya pengangkutan saat itu cukup tinggi (De Preanger Bode 28 Juni 1919). Merebaknya wabah pes pada tahun 1910an justru menjadi tanda kebangkitan industri genteng Sokka. Permintaan genteng meningkat pesat karena tikus-tikus pembawa penyakit pes diketahui bersarang di atap rumah yang terbuat dari rumbia sehingga salah satu kebijakan yang diambil pemerintah kolonial dalam rangka pemberantasan wabah pes adalah mewajibkan penduduk untuk mengganti material atap rumah dari rumbia ke genteng. (De Locomotief 8 Februari 1917). Tercatat ada sekitar 200 tungku pembakaran di Sokka pada tahun 1916. Penduduk pribumi yang sebagian besar adalah petani menjadi pengrajin genteng dan bata untuk menambah pemasukan. Industri genteng dan bata Sokka begitu bagusnya sehingga sering dijadikan percontohan industri sejenis di tempat lain.

Iklan pabrik bata Aboengamar pada koran De Locomotief 13 Juni 1918

Dari sekian banyak pelaku industri genteng dan bata Sokka, salah satu yang menjadi legenda adalah Abungamar. Haji Abungamar meneruskan usaha dari ayahnya yang merintis usaha pembuatan genteng dan bata pada tahun 1890an. Pada awal tahun 1900an, Abungamar mewarisi usaha ayahnya dan ia melakukan perluasan besar-besaran. Berbeda dengan usaha ayahnya yang baru dipasarkan pada lingkungan lokal, usaha Abungamar mampu merambah dan menguasai pasar nasional dan internasional di masa kolonial. Pembeli utama bata dan genteng Abungamar berasal dari pabrik gula dan perusahaan kereta seperti Staatspoorwegen dan Nederlandsch Indisch Spoorweg Mij. Pabrik bata milik Abungamar mempekerjakan 1600 tenaga kerja dan setiap tahun mampu menghasilkan 12.000.000 genteng dan 6.000.000 bata yang dipasarkan hingga China dan Jepang. Boleh dikatakan jika Abungamar adalah pengusaha pribumi pertama di Kebumen yang mampu menembus pasar ekspor. Untuk mendukung pemasaran, dibuat jalur kereta yang mengarah pabrik bata Abungamar yang ada di selatan stasiun Sokka (De Locomotief 11 Februari 1920). Industri genteng Abungamar mengalami masa sulit saat Perang Revolusi Kemerdekaan karena permintaan menurun dan sebagian bangunan pabrik rusak. Pertengahan masa Orde Baru, industri genteng Sokka mengalami masa keemasan karena pemerintah saat itu sedang menggalakan banyak proyek pembangunan sehingga permintaan meningkat tajam. Industri genteng kembali menjamur di Sokka dan terus bertahan sampai saat ini.

Tampak depan GKJ Kebumen.

GKJ Kebumen pada tahun 1925 (sumber :Schetsen en Herinneringen).

Jalan Pemuda Kebumen adalah salah satu ruas jalan di Kebumen yang ramai dengan arus kendaraan yang nyaris tanpa henti. Di salah satu bagian jalan tersebut, terdapat sebuah bangunan gereja tua yang sekarang menjadi GKJ Kebumen. Pada fasad depan gereja yang berbentuk Dutch Gable, tergurat begitu jelas tulisan berbahasa Jawa “Mratobata lan pratjaja marang Indjil” yang berarti “Bertobatlah dan Percaya Kepada Injil”. Tulisan tersebut seakan menjadi pesan tersendiri untuk penganut Kristen. Arsitektur gereja tersebut terbilang sederhana dan tidak ada hiasan yang begitu istimewa dari bangunan gereja tersebut. Meskipun demikian, gereja tersebut memiliki nilai penting tersendiri khususnya dalam sejarah penyebaran agama Kristen di kalangan orang-orang Jawa.


Gedung Prabasanti yang ada di sebelah GKJ Kebumen.

Gedung Prabasanti ketika masih digunakan sebagai rumah tinggal pendeta K. van Dijk
(sumber  : Verslag van den zendingsarbeid op 't zendingsterrein van Friesland).

Untuk menghindari persaingan sesama zending dalam mendapatkan jemaat pribumi, maka pemerintah kolonial mengatur pembagian wilayah penyebaran agama Kristen untuk setiap lembaga zending. Jawa Tengah bagian selatan yang melingkupi Karesidenan Surakarta, Yogyakarta, Kedu, dan Banyumas menjadi ladang pekabaran Injil untuk Gereformeerde Kerk in Nederland. Beberapa wilayah tersebut masih mengalami kekosongan kegiatan zending sehingga salah satu gereja yang berada di bawah naungan Gerefomeerde Kerk, Frisian Kerk atau Gereja Frisian mengutus pendeta Bakker pada tahun 1900 untuk membantu pekabaran Injil Gereformeerde Kerk. Dengan medan yang terentang luas, pdt. Bakker awalnya menemui kesulitan untuk memilih lokasi yang akan dirintisnya sebagai pos zending. Pilihan Bakker jatuh kepada Kebumen yang dinilai cocok untuknya. Pdt. Bakker beserta keluarganya tiba di Kebumen pada 11 September 1900 dan tanggal tersebut diperingati sebagai hari dimulainya zending Kebumen. Keluarga pdt. Bakker menetap di sebuah rumah kontrakan yang saat ini menjadi Griya Prabasanti. Karena pdt. Bakker belum memahami bahasa dan istiadat lokal, maka ia dibantu oleh dua helper atau penolong pribumi yakni Iskak dan Yakub (Bakker, 1925: 33).

Keluarga Pdt. Bakker di rumah kontrakan mereka (Sumber : Schetsen en Herinneringen).

Pendeta Bakker dan jemaat Kristen Kebumen (Sumber : Schetsen en Herinneringen)

Sebelum kedatangan pdt. Bakker, di Kebumen sudah ada jemaat Kristen yang merupakan pengikut Kyai Sadrach. Meskipun sama-sama Kristen, para pengikut Kyai Sadrach menjaga jarak dengan para pengutus Belanda seperti pendeta Bakker. Akhirnya hanya tercatat tiga orang Jawa yang menjadi anggota Gereformeerde Kerk yang tidak lain adalah hulper atau penolong pdt. Bakker, yakni Iskak, Yakub, dan istri Yakub. Secara perlahan, pendeta Bakker berhasil menarik pengikut meski jumlahnya masih sedikit. Salah satu pengikut baru merupakan keluarga lurah yang kemudian membantu pendeta Bakker mendirikan sekolah. Selain sekolah, pendeta Bakker juga mendirikan klinik di dekat pemandian air hangat Krakal yang dipercayai mengandung khasiat penyembuhan. Pendeta Bakker selanjutnya meninggalkan Kebumen pada 4 Juni 1906 karena dia mendapat tugas baru sebagai guru sekolah pendeta di Yogyakarta (Pol, 1939 : 330-332). 

Sinode pertama jemaat Kristen Jawa yang diadakan di Gereja Zending Kebumen pada 17-18 Februari 1931 (Sumber : Onze Zending Velden Midden Java ten Zuiden).

Meskipun berkarya hanya enam tahun, namun usaha pendeta Bakker telah mengukuhkan pondasi zending Kristen di Kebumen. Karya pendeta Bakker di Kebumen selanjutnya diteruskan oleh pendeta K. Van Dijk yang tiba di Kebumen pada 15 Februari 1906. Oleh Van Dijk, rumah yang dulu disewa oleh pendeta Bakker kemudian dibeli pada tahun 1908 dan sejak saat itu digunakan sebagai rumah tinggal pendeta. Bangunan tersebut kemudian dialih fungsikan sebagai gedung pertemuan Griya Prabasanti GKJ Kebumen pada tahun 2001. Jemaat-jemaat baru tidak hanya tumbuh di pusat kota Kebumen saja, melainkan juga di tempat lain seperti Karanganyar, Prembun, Pamriyan, Glonggong, Banjur, dan Krakal. Pada 17-18 Februari 1931, utusan kelompok jemaat dari klasis Kebumen, Purbalingga, Purworejo, Yogyakarta, dan Surakarta untuk pertama kalinya mengadakan sidang sinode dengan tujuan untuk merumuskan tatanan dan dasar dari Gereja Jawa yang lebih berdaya dan mandiri. Bangunan GKJ Kebumen yang saat itu masih bernama zendingskerk menjadi tempat dilangsungkannya sinode tersebut sehingga boleh dikatakan jika bangunan GKJ Kebumen menjadi saksi sejarah jemaat Kristen Jawa yang mulai memasuki tahap pendewasaan (Pol, 1939 : 237-238).

Tampak depan rumah sakit zending Pandjoeroeng (sumber :Het Zendingsblad van de Gereformeerde Kerken in Nederland).

Asrama untuk perawat rumah sakit (sumber :Het Zendingsblad van de Gereformeerde Kerken in Nederland).

Rumah tinggal direktur rumah sakit (sumber  :Schetsen en Herinneringen).

Sebagai pusat kegiatan zending Gereja Frisian yang berada di bawah naungan Gereformeerde Kerk, maka sudah sepantasnya Kebumen memiliki sebuah rumah sakit zending sendiri. Wacana pendirian rumah sakit tersebut mulai mengemuka sejak tahun 1911. Fasilitas kesehatan di Kebumen saat itu baru berupa sebuah klinik milik pemerintah yang dijalankan oleh seorang dokter Jawa saja dengan fasilitas dan pengetahuan yang masih terbatas. Tentu saja zending tidak sanggup membiayai sendiri pembangunan rumah sakit sehingga keinginan tersebut baru dapat terwujud setelah pemerintah kolonial menjamin akan menanggung sebagian besar biaya pembangunan rumah sakit tersebut (Vonk, 1925 : 79)Pendeta Van Dijk kemudian mendapatkan sebidang tanah yang terletak di sebelah barat stasiun Kebumen untuk lokasi rumah sakit. Tanah tersebut merupakan bekas dari pabrik pembantu milik PG Prembun. Pada bulan Mei 1915, Dokter Oosterhuis tiba di Kebumen sebagai direktur pertama yang akan mengurus rumah sakit zending yang sedang dipersiapkanArsitek bernama Polman dilimpahkan pekerjaan untuk merancang rumah sakit tersebut (Dijk, 1918 : 54).

Denah rumah sakit zending Pandjoeroeng Kebumen (sumber : Het Zendingsblad van de Gereformeerde Kerken in Nederland).

Rumah sakit zending Kebumen dibuat mengikuti standar rumah sakit pada masa itu yang terdiri dari poliklinik rawat jalan, bangsal rawat inap yang terpisah untuk pasien pria dan wanita, apotek, ruang operasi, rumah direktur rumah sakit, dan rumah tinggal perawat. Pasokan air bersih diperoleh dari sumur bor yang kemudian ditampung di bak tandon. Sementara penerangan rumah sakit menggunakan lampu gas yang dihasilkan dari mesin pengolah yang ditempatkan di bagian rumah sakit. Dalam Het Zendingsiblad Gereformeerde Kerken April 1918, bangunan rumah sakit zending Kebumen diuraikan “seperti semua bangunan rumah sakit (di Hindia-Belanda), seluruhnya dibangun dari batu, rangka dari kayu jati, (beratap) genteng, dan lantainya dari semen Portland. Kusen pintu dan jendela dicat warna abu-abu; dinding dilabur kapur dan dicat warna abu-abu". Semua bangunan di dalam tembok keliling dihubungkan oleh galeri tertutup dengan lantai plesteran, sehingga untuk berpindah dari satu gedung ke gedung lainnya tidak harus terkena hujan tropis (Dijk, 1918 : 54-57).


Eks rumah dinas dokter rumah sakit zending Pandjoeroeng.

Zendingziekenhuis Kebumen memulai kiprahnya pada 1 Januari 1916 dan diberi nama “Pandjoeroeng” yang dalam bahasa Jawa berarti dorongan. Nama tersebut diberikan sendiri oleh Pdt. Van Dijk karena pembangunan rumah sakit tersebut didorong oleh keinginan agar Kebumen dapat memiliki rumah sakit yang dapat melayani pasien dari berbagai latar belakang sekalipun rumah sakit tersebut dikelola oleh zending Kristen (Vonk, 1939 : 80). Setelah kemerdekaan, Rumah Sakit Zending Pandjoeroeng dan rumah sakit zending lainnya di Jawa Tengah mengalami kesulitan keuangan. Pemerintah RI melalui Kementerian Kesehatan RI memberi tawaran kepada rumah-rumah sakit zending milik Gereformeerde Kerk untuk dinasionalisasi. Tawaran tersebut sangat penting karena biaya pengelolaan rumah sakit akan ditanggung oleh pemerintah. Di sisi lain keberadaan rumah sakit zending tersebut menjadi aset yang berarti bagi pemerintah RI yang pada masa awal belum memiliki banyak anggaran untuk membangun rumah sakit di tingkat daerah sedangkan layanan kesehatan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Singkat cerita, rumah sakit zending di Jawa Tengah termasuk Kebumen bersedia untuk dinasionalisasi dan Rumah Sakit Pandjoeroeng sejak tahun 1953 resmi menjadi RSUD milik pemerintah Kabupaten Kebumen. Kompleks rumah sakit yang ada dirasa tidak memadai lagi untuk kegiatan rumah sakit yang terus berkembang sehingga RSUD Kebumen pindah ke Jalan Lingkar Selatan pada tahun 2015. Saat ini bekas Zendingziekenhuis Pandjoeroeng atau RSUD Kebumen saat ini dalam keadaan terlantar dan sejauh ini belum diketahui nasib selanjutnya dari rumah sakit bersejarah tersebut.

Pabrik "Oliefabriek Insulinde" dilihat dari sisi selatan (sumber : https://data.collectienederland.nl/)
Area pengeringan kopra (sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Mesin pemeras minyak kopra (sumber : https://data.collectienederland.nl/).

Sudut sejarah Kebumen lainnya yang tidak bisa dilewatkan begitu saja adalah eks pabrik minyak Mexolie atau lebih dikenal dengan pabrik minyak Sari Nabati. Minyak yang dimaksud bukanlah minyak bumi, melainkan minyak dari pohon kelapa yang mudah dijumpai di Kebumen. Jika dibandingkan dengan teh, kopi, gula, dan tembakau, kelapa tidak menjadi komoditas unggulan kendati tumbuh subur di Kebumen karena harga jualnya terlalu rendah. Pamor kelapa mulai terangkat pada tahun 1850 seiring dengan meningkatnya penggunaan minyak kelapa untuk penerangan rumah-rumah penduduk. Memasuki tahun 1870an, penjualan kelapa kembali surut karena penduduk beralih dari minyak kelapa ke minyak tanah untuk bahan bakar penerangan. Kendati demikian kelapa masih diperlukan untuk bahan kopra. Kopra dihasilkan dengan cara mencungkil daging buah kelapa dan dikeringkan dengan cara dijemur atau diasap. Untuk mendapatkan minyak kopra, kopra diperas dengan tenaga manual atau mekanis. Di Hindia-Belanda, pemerasan minyak kopra secara mekanis dirintis oleh A.L.C. van Heel yang mendirikan pabrik kopra di Blitar dan Kediri pada tahun 1904. Kendali kedua pabrik tersebut beralih ke "Maatschappij tot Continuation der Zaken" pada tahun 1907. Kedua pabrik tersebut kemudian berpindah tangan ke perusahaan baru bernama "N.V. Oliefabriken Insulinde" pada 1 Januari 1913 (Muller, 1932 : 6). Untuk menekan ongkos produksi, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membangun pabrik sedekat mungkin dengan pemasok bahan bakunya. Oleh karena itu, Insulinde memutuskan untuk mendirikan pabrik baru di Kebumen pada tahun 1915. Proses pendiriannya dibimbing oleh W. Swets, kepala pabrik Kediri. Pabrik Insulinde di Kebumen dibuka pada 1 Januari 1916 (De Nieuwe Courant 7 Januari 1916).


Kompleks rumah dinas pegawai Oliefabriek Insulinde yang pernah ditempati oleh Kodim Kebumen
(sumber : https://data.collectienederland.nl/).


Rumah dinas pegawai Oliefabriek Insulinde dulu dan kini(sumber : https://data.collectienederland.nl/). 


Kompleks rumah dinas pegawai Oliefabriek Insulinde yang saat ini digunakan untuk Hotel Mexolie (sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Eks rumah dinas pegawai Oliefabriek Insulinde yang sekarang digunakan untuk Hotel Mexolie.

Meletusnya Perang Dunia I di Eropa membuat pasokan lemak hewani tersendat sehingga produsen margarin dan sabun beralih ke minyak kopra sebagai bahan pengganti lemak hewani. Pabrik minyak Insulinde kebanjiran pesanan dan menerima keuntungan yang sangat besar. Sayangnya keberuntungan tersebut tidak bertahan lama karena setelah perang berakhir produsen margarin dan sabun kembali memakai lemak hewani. Harga kopra yang sempat naik selama perang akhirnya merosot tajam. Awal tahun 1920an menjadi masa suram pabrik minyak Insulinde di berbagai tempat termasuk Kebumen karena pendapatan yang diterima menurun sehingga tidak mampu menutup ongkos produksi. Pada tahun 1921, Olie Fabriek Insulinde tidak mampu lagi mempertahankan usahanya sehingga aset pabrik di Kebumen disewakan kepada pihak luar. Pada tahun 1923, salah satu anak perusahaan Nederlandsch Indische Handelsbank bernama N.V. Maatschappij tot Expliotatie van Oliefabriken atau disingkat Mexolie menyewa pabrik minyak Insulinde di Kebumen (De Sumatra Post 10 Juli 1923). Aset Insulinde di berbagai kota termasuk di Kebumen kemudian dijual kepada Mexolie pada Desember 1926. Di bawah pengelolaan Mexolie, pabrik minyak di Kebumen mengalami peningkatan pendapatan yang besar. Pada masa pendudukan Jepang, pabrik minyak Mexolie juga menghasilkan minyak kemiri dan minyak karet.


Bekas-bekas bangunan cungkup di area pemakaman Tionghoa Pejagoan.

Membicarakan sejarah perkembangan suatu kota di Jawa tentu akan bersinggungan dengan kawasan permukiman orang Tionghoa yang disebut Pecinan. Pada tahun 1905, jumlah penduduk Tionghoa di pusat kota Kebumen mencapai 860 jiwa. Menurut harian De Locomotief 4 Februari 1930, Chineesche Kamp atau Pecinan Kebumen cukup luas. Selain di Pecinan, orang Tionghoa Kebumen juga tinggal di Stationweg (kini Jalan Pemuda) Mengingat banyak penduduk Tionghoa adalah pedagang, maka mereka mendirikan rumahnya di dekat pasar. Pasar yang dimaksud bukanlah Pasar Tumenggungan yang sekarang, melainkan pasar lama yang berada di barat daya Pasar Tumenggungan.Sewaktu pemerintah kolonial hendak mendirikan Pasar Tumenggungan pada pengujung 1920an, beberapa orang Tiongha berbondong-bondong membeli lahan di Pasar Tumenggungan untuk dibangun toko. Sementara pedagang Tionghoa di dekat pasar yang lama mengeluh akan kehilangan pembeli setelah pasar yang baru mulai beroperasi. Kehidupan niaga yang semarak bermunculan di pasar yang baru. Selain pedagang Tionghoa, rupanya ada pedagang Jepang yang baru muncul belakangan di sana dan mereka menjadi pesaing bisnis yang serius. (De Locomotief 24 Februari 1930). Selain ruko dan klenteng, tinggalan fisik yang identik dengan komunitas Tionhoa di suatu tempat adalah makam. Kompleks permakaman Tionghoa di Kebumen berada di Pejagoan. Beberapa makam Tionghoa di sana rupanya diberi struktur semacam cungkup. Sayangnya karena pengaruh usia, atap cungkup tersebut sudah hilang dan menyisakan struktur penopang di kedua sisi makam.


Demikian tulisan Jejak Kolonial mengenai sebagian sudut sejarah kota Kebumen yang belum terhapus oleh perkembangan zaman dan barangkali ada sudut lainnya yang belum sempat terkuak sejarahnya. Sudut sejarah tersebut akan menjadi pengingat orang bahwa Kebumen pada masa kolonial merupakan kota yang berarti, mulai dari sebagai pusat pembuatan bata dan genteng Hindia-Belanda yang mendunia, saksi sejarah pendewasaan jemaat Kristen Jawa, hingga perkembangan industri minyak kopra yang pernah berjaya pada masanya. Pada akhirnya kota kecil seperti Kebumen bukanlah kota tanpa sejarah samasekali. 

Referensi

Bakker, D. 1925. "De Eerste Jaren" dalam Schetsen en Herinneringen. Sneek : N.V. Drukkerij De Motor. Halaman 31-38.

Bleeker, P. 1850. "Fragementen eener Reis over Java ; Van Poerworedjo Naar Banjoemas" dalam Tijdschirft voor Nederlandsch Indie. Groningen : C. M. Van Bolhuis Hoitsema. Halaman 94-99.

Dijk, K. 1918. "Het Zendingshospitaal te Keboemen" dalam Het Zendingsblad van de Gereformeerde Kerken in Nederland. Halaman 54-58.

Harnoko, Darto & Poliman, B.A. Perang Kemerdekaan Kebumen Tahun 1942-1950. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Muller, J.H. 1932. De industrie van plantaardige oliën in Nederlandsch-lndië. Polytechnisch Weekblad.

Pol, D. 1939. Onze Zendingsvelden Midden Java ten Zuiden. Honderloo : De Drukkerij van De Stichting Hoenderloo.

Veth, P.J. 1882. Java, Geographisch, Ethnologisch, Historich. Haarlem : De Erven F. Bohn.

Vonk, A.H. 1925. "Onze Medische Dienst" dalam Schetsen en Herinneringen. Sneek : N.V. Drukkerij De Motor. Halaman 76-95

De Nieuwe Courant 7 Januari 1916

De Sumatra Post 10 Juli 1923

1 komentar: