Senin, 01 Juli 2019

OSVIA Madiun ; Menyingkap Sejarah Sekolah Calon Birokrat Masa Kolonial

Terjaminnya pendapatan tiap bulan dan jabatan yang disegani oleh banyak orang menjadikan PNS sebagai salah satu pekerjaan idaman di Indonesia. Sepanjang ketersediaan kas negara masih baik, sepanjang itu pula pendapatan terjamin. Tidak mengherankan bila tiap lowongan pegawai negeri dibuka, jutaan orang akan mendaftar dan bersaing demi meraih titel sebagai birokrat negara. Anggapan bahwa pegawai negeri adalah pekerjaan bergengsi sejatinya telah terpupuk sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Bagaimanakah hal tersebut bermula ? Jejak Kolonial edisi kali ini membahas sejarah gedung Bosbow Madiun atau dahulu adalah OSVIA Madiun, satu dari sekian banyak jejak pendidikan calon pegawai negeri dari masa kolonial.
Kompleks sekolah OSVIA Madiun sesaat setelah dibangun (Sumber : media-kitlv.nl).
Pada suatu hari Minggu yang cerah di bulan September, saya bertandang ke kota Madiun untuk melihat potensi-potensi bangunan bersejarah yang terdapat di sana. Selama di kota yang mahsyur akan pecelnya ini, saya didampingi oleh sejawat dari komunitas Historia van Madioen (HVM), Andrik. Tujuan pertama adalah kompeks Bosbow yang berada di jalan Diponegoro. “Masyarakat Madiun lebih mengenal kompleks ini sebagai Bosbow. Pasalnya kompleks ini sempat dipakai untuk sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen”, jelas Andrik setibanya di sana. “Pada faktanya, tujuan dibangun kompleks ini oleh pemerintah kolonial ialah untuk sekolah calon pamong praja di masa kolonial, OSVIA”, sambung Andri. OSVIA adalah kependekan dari Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren, kawah candradimukanya pegawai negeri Hindia-Belanda. Maka dari itu, menyingkap sejarah OSVIA Madiun itu artinya juga menyingkap perjalanan sejarah pendidikan calon pamong praja di era kolonial.


Gedung OSVIA Madiun saat ini.
Bangkrutnya VOC akibat birokrasi berbelit yang dibuat oleh mereka sendiri tampaknya menyadarkan pemerintah kolonial untuk melakukan reformasi birokrasi. Dari era Gubernur Jenderal Daendels, birokrasi lama kompeni perlahan dikikis dan digantikan oleh birokrasi baru yang lebih tertata. Guna memudahkan komunikasi birokrasi kolonial dengan masyarakat bumiputera, maka pegawai Eropa yang berada di dalam pamong pemerintahan dituntut untuk bisa menguasai bahasa Melayu (Brugmans, 1938: 75-77). Kebutuhan pegawai Eropa yang mahir berbahasa Melayu ternyata sulit dipenuhi, terutama setelah perekonomian Hindia-Belanda mulai dibuka kepada perusahaan swasta pada tahun 1870 sehingga terjadi lonjakan kebutuhan tenaga profesional yang terlatih. Untuk menjawab permintaan tersebut, pemerintah kolonial akhirnya menyelenggarakan Hoofdenschoolen, yakni sekolah persiapan untuk orang-orang pribumi yang kelak ditempatkan pada jabatan-jabatan resmi (Meer, 2020: 44). Pemerintah kolonial membuka Hoofdenschoolen pertamanya di Bandung pada tahun 1879. Setahun berikutnya, sekolah sejenis dibuka di Magelang dan Probolinggo (Brugmans, 1938; 183). Dalam Staatsblad No.121 Tahun 1878, secara tegas disebutkan bahwa Hoofdenschoolen adalah sekolah “untuk putra-putra bupati dan orang pribumi terkemuka lainnya”. Dengan kata lain menjadi suatu hal mustahil untuk anak dari kaum jelata, golongan Tionghoa, atau anak perempuan dapat diterima bersekolah di Hoofdenschoolen
Direktur OSVIA Madiun, J.C. Hietnik bersama pengajar dan siswa-sisa OSVIA sedang berfoto bersama dengan latar gedung OSVIA. Foto diambil pada tahun 1916 (Sumber : media-kitlv.nl).a
Diterapkannya kebijakan politik etis pada awal abad 20 merubah arah tujuan pendidikan kolonial yang semula untuk mencetak tenaga terampil yang murah, menjadi bentuk “balas budi” kepada tanah jajahan. Menanggapi kebutuhan tersebut pemerintah kolonial akhirnya mengubah Hoofdenschool yang ada menjadi Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada 29 Agustus 1900. Karakter dan budaya penduduk Pulau Jawa yang berlainan satu sama lain dari ujung barat hingga timur menjadi pertimbangan pemerintah kolonial membuka OSVIA di tempat berbeda. Kondisi sosial dan budaya masyarakat menjadi pertimbangan mengingat selama menimba ilmu di OSVIA, para siswa selain belajar di kelas juga diharuskan untuk menjalin hubungan sosial dengan masyarakat sekitar sekolah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai sarana melatih kemampuan dalam mengenal karakter dan menyesuaikan diri dengan masyarakat di sekitarnya. Kemampuan tersebut adalah bekal penting bagi calon pegawai negeri itu yang kelak menjadi penghubung masyarakat pribumi dengan pemerintah kolonial (PPBB, 1937; 34-35).
Siswa-siswa OSVIA yang sedang mengikuti pelajaran olahraga. Foto tahun 1917 (Sumber : media-kitlv.nl).
Bekas gym.
OSVIA sebagaimana sekolah kedinasan pada zaman penjajahan memiliki syarat masuk yang ketat. Calon pelajar OSVIA disyaratkan harus menguasai bahasa Melayu dan bahasa Belanda dengan baik serta telah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School atau Hollandsch Inlandsch School (Brugmans, 1938; 293). Ini artinya, hanya anak-anak kalangan ningrat saja yang dapat bersekolah di OSVIA mengingat kebanyakan lulusan ELS dan HIS berasal dari kalangan ningrat yang cenderung lebih mudah diajak bekerja sama oleh pemerintah kolonial. Maka dari situ, OSVIA mendapat sebutan sekolah raja sebab hanya anak raja atau bangsawan yang diterima di sekolah tersebut. Sebelum bersekolah di OSVIA, calon siswa mengikuti pendidikan persiapan (Voorberediende Afdeeling) terlebih dahulu. Pendidikan tersebut meliputi bahasa (Belanda dan Melayu), geografi Hindia Belanda, prinsip-prinsip pengetahuan alam, aritmatika, morfologi dan geometri, menggambar tangan dan menulis halus. Hanya anak di bawah usia lima belas tahun dan sudah menyelesaikan pendidikan di HIS atau ELS yang berhak mengikuti pendidikan persiapan OSVIA. Anak yang tidak sempat mengikuti pendidikan persiapan juga diperbolehkan bersekolah di OSVIA asalkan berusia di bawah 17 tahun. Biaya sekolah dipungut menurut siapa yang lahir terlebih dahulu. Untuk anak pertama dipungut biaya 10 gulden per bulan, anak kedua 6 gulden, dan 4 gulden untuk setiap anak berikutnya dari keluarga yang sama. Beberapa siswa juga dapat mengikuti pendidikan di OSVIA secara gratis dengan pertimbangan tertentu (Kats, 1915; 72).
Para pengajar OSVIA Madiun (Sumber : media-kitlv.nl).
Lama waktu belajar di OSVIA adalah lima tahun. Tiga tahun pertama siswa OSVIA dikhususkan untuk mempelajari bahasa, aritmatika, geometri, prinsip aljabar, geografi, sejarah, pengetahuan alam dan menggambar tangan. Kemudian pada dua tahun menjelang kelulusan digunakan untuk mempelajari prinsip ilmu hukum, hukum tata negara, administrasi, ekonomi, politik, pemetaan dan pertanian. Semua pengajaran diberikan oleh guru Eropa dalam bahasa Belanda mengingat bagaimanapun juga bahasa Belanda tetaplah menjadi bahasa resmi dalam birokrasi kolonial. Sementara pada mata pelajaran bahasa Melayu  pengajarannya diberikan oleh pengajar pribumi (Colijn, 1913: 272). Pengajaran diberikan dari pagi hari dan berlangsung selama 5 jam sehari. Di sela-sela pergantian pelajara ada jeda istirahat selama 30 menit. Sekolah libur pada hari Minggu serta di hari-hari besar agama Islam, Kristen, dan sipil. Setiap tahun, ada musim liburan siswa OSVIA selama enam minggu yang dimulai dari awal bulan Ramadhan (Kats, 1915; 78).
Denah OSVIA pada peta Madiun tahun 1920an (sumber : maps.libary.leiden.edu).
Sejalan dengan diperkenalkannya kebijakan desentralisasi dan bertambah luasnya wilayah yang diatur pemerintah kolonial, maka lapangan pekerjaan birokrasi semakin mekar. Lantaran hal itulah pemerintah kolonial menambah jumlah murid OSVIA menjadi 140 murid per sekolah pada tahun 1910. Kebijakan tersebut selanjutnya disusul dengan pembukaan tiga sekolah OSVIA baru, yakni di Serang, Blitar, dan yang menjadi pokok bahasan tulisan ini Madiun. Ketiga gedung OSVIA tersebut dibangun oleh departemen Burgerlijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum yang bertanggung jawab dalam pembangunan gedung-gedung untuk instansi pemerintahan kolonial (BOW, 1912; 176). Oleh karena itu tidak mengherankan jika bentuk ketiga gedung tersebut tidak berbeda jauh. Angka tahun 1912 yang terlihat samar di wajah depan bangunan secara jujur mengungkapkan kapan bangunan itu OSVIA Madiun diselesaikan. Kompleks OSVIA Madiun sendiri meliputi kantor administrasi, dua ruang kelas yang masing-masing kelas dapat menampung 25 siswa serta sarana penunjang seperti dapur dan gymnasium. Kesemua bangunan tadi disambung dengan selasar terbuka. OSVIA Madiun juga dilengkapi asrama untuk 50 siswa. Pembangunan keseluruhan kompleks tersebut menelan biaya sebesar 416.232 gulden dimana biaya paling besar dikeluarkan untuk pembebasan lahan. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad 8 Agustus 1910, kemewahan dari gedung OSVIA Madiun dapat disejajarkan dengan hotel termewah di Madiun saat itu. Beberapa orang Belanda bahkan menganggap upaya pemerintah kolonial itu berlebihan mengingat masih banyak gedung sekolah untuk anak Eropa yang dalam keadaan tidak layak dan butuh perbaikan. Setelah dilakukan reogranisasi, OSVIA Madiun bersama dengan OSVIA di tempat lain berubah menjadi MOSVIA (Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische Ambtenaren) pada 1927. MOSVIA menerima lulusan bumiputera dari sekolah lanjutan khusus Bumiputera, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – setingkat sekolah menengah pertama – untuk menghimpun lebih banyak calon birokrat bumiputera.
Rumah dinas guru dan pegawai OSVIA Madiun (Sumber : media-kitlv.nl).
Bekas rumah dinas direktur OSVIA Madiun.

Bekas rumah dinas pengajar OSVIA.
Setiap sekolah OSVIA memiliki oleh lima atau enam tenaga pengajar, termasuk kepala sekolah. Kepala sekolah OSVIA harus seorang doktor di bidang hukum. Gajinya perbulan sebesar 550 gulden dan mendapat kenaikan gaji sebanyak tiga kali dalam jangka waktu tiga tahun. Kemudian ada guru pertama yang digaji 350 gulden perbulan. Sementara untuk tenaga pengajar lainnya menerima gaji sebesar 225 gulden dengan kenaikan gaji sebanyak empat kali dalam jangka waktu tiga tahun. OSVIA juga mempekerjakan pengajar dari kalangan pribumi dan menerima gaji yang kurang lebih setara dengan pengajar Eropa. Kesemua pengajar OSVIA tadi menerima fasilitas berupa rumah dinas yang saat ini masih berdiri di sekitar gedung OSVIA Madiun (Kats, 1915; 74).
Bagian ruang kelas yang kini digunakan sebagai masjid.
Tampak luar bekas ruang kelas.
Tampilan gedung OSVIA Madiun terhitung mentereng untuk sebuah gedung sekolah pada masa kolonial. Perpaduan atap limasan dan menara kayu di bagian tengah membuat rupa gedung ini hampir mirip dengan gedung Stadhuis Batavia atau kini menjadi Museum Fatahillah. Sementara itu, bagian atap pelana diberi aksen kayu. Pada bagian ini dahulunya ada tulisan “Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren”. Sayangnya tulisan tersebut sudah tidak terlihat lagi. Bagian ini dahulu digunakan untuk menyambut tamu, salah satunya adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Andries Cornelis Dirk de Graeff yang mengunjungi OSVIA Madiun pada tahun 1929. Ketika tiba di OSVIA Madiun, ia disambut dengan iringan musik gamelan. Dari situ ia melanjutkan tur keliling kompleks sekolah. Perhatian yang begitu besar terhadap penyediaan prasarana pendidikan untuk orang pribumi sejatinya adalah bentuk investasi yang sedang ditanam pemerintah karena setelah siswa-siswa OSVIA lulus, pemerintah kolonial dapat memanen pegawai pemerintahan yang dapat dibayar dengan upah murah, lebih murah dibanding mendatangkan dan menggaji pegawai dari Eropa. Namun siapa sangka upaya tersebut menjadi senjata makan tuan.
Tampak luar bekas dapur.
Bagian dalam gedung OSVIA.
Tampak belakang gedung utama.

Selasar yang menghubungkan antar gedung.
Selepas menempuh masa pendidikan, lulusan MOSVIA diangkat sebagai birokrat pemerintah dan ditempatkan ke berbagai posisi kedinasan. Di samping mendapat penghasilan tetap, menyandang status sebagai birokrat yang masuk dalam lingkaran birokrasi kolonial membuat derajat sosial mereka terangkat dan disegani oleh banyak orang. Mereka inilah yang dikenal sebagai golongan priyai baru. Hal yang membedakan antara priyayi lama dengan priyai baru adalah priyayi lama dihormati karena garis silsilahnya, sementara priyayi baru mendapat penghormatan setelah berhasil menempuh jalur pendidikan. Kehadiran MOSVIA akhirnya mengundang minat orang-orang tua dari kalangan priyayi rendahan untuk menyekolahkan putra mereka di sana. Bagi priyayi tersebut, pendidikan adalah jalan keluar mereka lepas dari penghambaan kepada priyayi yang lebih tinggi. Akhirnya banyak orang bumiputra yang berlomba untuk membina karir sebagai birkorat kolonial. Kendati banyak yang berharap kedudukan sosialnya dapat sejajar dengan orang Eropa setelah menjadi pegawai negeri, namun kenyataanya tidak jaminan mereka dapat menerobos sekat rasial yang sudah berlaku sejak lama. Beberapa pegawai bumiputra tersebut masih menerima sejumlah perlakuan kurang menyenangkan dari atasan kulit putih mereka. Bagi sebagian kalangan kulit putih konservatif dan tidak ingin kehilangan kekuatannya, mereka yang terjajah selamanya tidak akan pernah mencapai kedudukan yang sejajar sekalipun sudah menerima pendidikan model barat (Meer, 2020: 10).
Berita insiden "Wilhelmus" pada koran De Soematra Post tanggal 17 Maret 1930. Insiden tersebut menjadi pertimbangan pemerintah kolonial untuk menutup OSVIA Madiun.
Tidak semua lulusan OSVIA betul-betul setia mengabdi kepada pemerintah kolonial. Beberapa di antaranya ada yang dalam sudut pandang pemerintah kolonial adalah pembangkang karena mereka adalah yang paling lantang menentang sistem pemerintah kolonial. Bibit-bibit pembangkangan tersebut bahkan sudah muncul sedari proses pendidikan. Dalam surat kabar Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 3 Juli 1930 diberitkan pernah terjadi suatu insiden ketika siswa-siswa MOSVIA Madiun menolak untuk memainkan lagu “Wilhelmus”, lagu kebangsaan Belanda yang biasanya dimainkan pada upacara resmi. Kejadian bermula ketika serikat siswa MOSVIA Madiun, “Mardi Oetomo”, hendak menggelar perayaan ulang tahun pada pertengahan bulan Maret. Perayaan tersebut sedianya akan dihadiri oleh pejabat-pejabat penting di Madiun seperti residen dan karenanya lagu “Wilhelmus” wajib untuk dikumandangkan. Jiwa-jiwa nasionalis tampaknya sudah merasuki pada setiap insan siswa MOSVIA Madiun sehingga mereka menolak untuk memainkan lagu kebangsaan bangsa yang menjajah mereka. Mendengar kabar tersebut, para pejabat kolonial mengancam untuk tidak hadir di perayaan ulang tahun “Mardi Oetomo”. Walau sudah diberi pemahaman dari pihak kepala asrama bahwa memainkan lagu tersebut hanyalah bentuk penghormatan kepada otoritas, namun siswa-siswa MOSVIA Madiun bersikeras untuk tidak membawakan lagu “Wilhelmus”. Perayaan pada akhirnya tetap berlangsung meriah seperti biasa meski lagu “Wilhelmus” tidak berkumandang pada saat penyambutan residen. Residen Madiun yang tetap berkenan untuk menghadiri perayaan mendapat permintaan maaf dari direktur MOSVIA. Kabar kegaduhan tersebut rupanya tersiar sampai di telinga petinggi di Batavia dan membuat mereka gusar. Dari pandangan mereka, menolak memainkan lagu “Wilhelmus” sama saja dengan melawan otoritas kolonial, apalagi itu terjadi di sekolah untuk calon abdi otoritas kolonial (Soerabaiasch Handelsblad 11 Desember 1930).
Berita peleburan OSVIA Madiun dengan OSVIA Magelang pada koran Soerabaiasch Handelsblad 11 Desember 1930.
Berita pembukaan Boschbouwschool pada koran De Indische Courant 30 Mei 1939.
Gegara perkara lagu kebangsaan, pemerintah kolonial mulai menyadari jika sekolah bentukan mereka yang sedianya menjadi tempat memperoleh pegawai negeri ternyata sudah mulai menjadi tempat bersamainya bibit-bibit kaum pergerakan nasional. Baru tiga tahun dibentuk, perjalanan sekolah bergengsi di Madiun itu akhirnya harus berakhir pada tahun 1930. Di samping unsur politik, penghapusan tersebut juga dipicu oleh krisis keuangan global atau Great Depression yang merundung keuangan pemerintah kolonial. Sesudah MOSVIA Madiun dihapuskan, kegiatan belajar mengajar MOSVIA Madiun dipindahkan dan digabungkan ke MOSVIA Magelang, satu-satunya MOSVIA yang masih dibiarkan beroperasi. Bekas gedung sekolahnya lalu ditempati oleh sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen (MBS), yang dibuka oleh J.H. Becking pada 26 Agustus 1939. Sebagaimana MOSVIA, Boschbouwschool juga sekolah kedinasan, bedanya Boschbouwschool merupakan sekolah yang dikhususkan untuk ilmu kehutanan dan pengelolaan kayu. Madiun adalah pilihan yang tepat untuk lokasi sekolah kehutanan ini mengingat wilayah Madiun dikelilingi oleh hutan dan merupakan pusat pengolahan kayu. Siswa-siswa Boschbouwschool tidak hanya berasal dari Madiun saja, melainkan juga ada yang dari Bogor, Malang, dan Sukabumi. Mereka akan belajar dan tinggal di asrama selama 3 tahun (De Indische Courant, 29 Agustus 1939).
Halaman tengah OSVIA. Halaman ini dahulu digunakan untuk lapangan olahraga dan latihan tari.

Bagian OSVIA yang dulu digunakan sebagai asrama.
Setelah lama tidak diperhatikan, gedung OSVIA MAdiun akhirnya dipugar dan dimanfaatkan sebagai galeri dan restoran pada tahun 2019. Hari ini gedung OSVIA Madiun masih berdiri kokoh sebagai bukti kepada generasi mendatang tentang bagaimana perjuangan anak negeri untuk meraih cita-citanya sebagai pegawai negeri. Entah apakah mereka nantinya akan menunjukan kesetianya kepada pemerintah kolonial atau justru malah sebaliknya, turut ambil bagian dalam pergerakan nasional melawan kolonialisme. Namun yang jelas, cita-cita mereka ketika masuk OSVIA adalah satu, yakni menjadi pegawai negeri yang terpandang di mata masyarakat. Belanda boleh saja hengkang, namun anggapan bahwa pegawai negeri adalah pekerjaan bergengsi tampaknya sulit untuk lekang bila melihat kenyataan saat ini.

Referensi

Brugmans, I.J. 1938. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia : J.B. Wolter Uitgeving Maatschappij.

Burgerlijke Openbare Werken. 1915. Verslag Over de Burgerlijke Openbare Werken 1912. Batavia : Landsdrukkerij.

Colijn, H. 1913. Neerlands Indie Land en Volk Geschiedenis en Bestuur Bedrijf en Samenleving. Amsterdam : Elsevier.

Perhimpunan Pegawai Bestuur Boemipoetra. 1937. De Bezuiniginen op Het Indonesischbestuur. Batavia : Drukkerij Lux.

Kats,J. 1915. Overzicht van Het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia : Landsdrukkerij.

Bataviaasch Nieuwsblad 8 Agustus 1910

De Indische Courant, 30  Mei 1938.

Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie, 3 Juli 1930.

Soerabaijasch handelsblad, 11 Desember 1930.


Sabtu, 20 April 2019

Mosaik Warisan Sejarah Keluarga Schmutzer

Suasana khusyuk menyertai kunjungan saya ke kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, sebuah kompleks gereja yang berada di Ganjuran, Bantul. Selain sebagai tempat ibadah, gereja ini juga merupakan tujuan wisata religi yang cukup kondang bagi umat Katolik. Setiap harinya, selalu saja ada peziarah yang datang dan berdoa menghadap bangunan berbentuk candi yang berada di samping timur bangunan gereja utama. Kehadiran bangunan yang berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha di tengah tempat ibadah umat Katolik ini mungkin akan membuat bingung pengunjung yang pertama kali datang ke sini. Semakin bingung lagi bila mereka mengetahui jika candi tersebut ternyata adalah warisan dari keluarga pemilik pabrik gula berdarah Belanda, keluarga Schmutzer. Jejak Kolonial kali ini akan mengangkat jejak-jejak yang ditinggalkan dari keluarga Schmutzer.
Foto udara PG Gondanglipura. Bangunan besar berona putih adalah gedung pabrik yang sekarang sudah tidak ada lagi (sumber : beeldbankwo2.nl).
Sebagian dari sisa PG Gondanglipura.
Landhuis Gandjoeran, tempat tinggal keluarga Schmutzer yang dirancang oleh N.J.Kruizinga pada 1925.
Pada masa lampau, kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus bersanding dengan kompleks pabrik gula Gondanglipuro. Letaknya berada di sebelah timur kompleks gereja. Sejarah dari pabrik gula itu sendiri lebih lama dari gereja ini. Sekitar pertengahan abad 19, sepasang suami-istri dari Belanda tiba Ganjuran. Mereka adalah Stefanus Barends dan Elise Fransisca Wilhelmina Kathaus. Seperti kebanyakan pendatang Belanda kaya pada saat itu, mereka merintis usaha pabrik gula pada 1 September 1862. Pabrik gula tersebut dinamakan Gondanglipuro yang merupakan gabungan dari dua nama dusun tempat pabrik gula tersebut berdiri, Dusun Kaligondang dan Dusun Lipuro. Pada saat pabrik baru didirikan, luas tanamnya baru mencapai 435 bouw dengan hasil panen sekitar 65.000 per musim tanam. Tahun 1876, Barends meninggal dan ia mewariskan pabrik gulanya kepada istrinya. Walau sudah tujuh tahun berdiri, belum terlihat tanda-tanda kemajuan yang berarti. Bahkan pada tahun 1882, pabrik gula Gondanglipuro terancam bangkrut akibat kegagalan panen (Kalken, 1930; 147)186. Setelah menjanda selama empat tahun, Elise Kathaus kemudian menikah lagi dengan Gottfried Schmutzer. Dari pernikahan keduanya, ia dikaruniai empat anak. Mereka adalah Elise Anna Maria Antonia Schmutzer (lahir 1881), Josef Ignatius Julius Maria Schmutzer (lahir 1882), Julius Robert Anton Maria Schmutzer (lahir 1884) dan Eduard Milhelm Maria Schmutzer (lahir 1887).
Julius Schmutzer dengan medali yang diberi oleh Tahta Suci Vatikan.
Paus Leo XII, mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum pada 1891 untuk mengurangi beban penderitaan kaum pekerja (sumber : common.wikimedia.org)

Schmutzer sewaktu meninjau panen tebu. Sebagai pemilik, Schmutzer tidak segan untuk turun langsung ke lapangan. Dari sinilah Schmutzer tahu seperti apa kerja keras para buruh tani.
Josef dan Julius Schmutzer sama-sama memiliki ketertarikan dengan bidang teknik. Selepas mereka tamat dari HBS Surabaya, mereka melanjutkan pendidikan di Politeknik Delft, Belanda. Selama mereka kuliah di Belanda, kedua Schmutzer bersaudara melibatkan diri ke dalam gerakan Mahasiswa Katolik. Kala itu, revolusi industri yang berjalan mesra dengan kapitalisme sedang berada di masa puncaknya. Di sisi lain, revolusi industri tak hanya membuahkan aneka mesin-mesin ajaib, namun juga menciptakan beragam masalah sosial yang mengusik nurani. Sayangnya, para pemilik modal hanya berkutat mengejar kemajuan materi semata, sementara hak-hak sebagian buruh seringnya diabaikan. Buruh dilarang untuk berserikat dan kalaupun bisa biasanya dikekang. Kecilnya pendapatan membuat mereka hanya bisa tinggal di rumah yang sebenarnya kurang pantas untuk ditinggali. Hal yang hampir sama juga terjadi di Jawa, dimana kecilnya upah buruh membuat mereka tidak mampu mengenyangkan isi perut seluruh anggota keluarganya. Seringkali didapati anak-anak buruh dalam keadaan kurang gizi. Singkat cerita, baik buruh di Jawa maupun di Eropa, adalah kaum yang paling disengsarakan selama revolusi industri. Gereja Katolik sebagai otoritas keagamaan terbesar di Barat rupanya menaruh simpati pada penderitaan kaum buruh. Paus Leo XIII lantas menerbitkan ensiklik Rerum Novarum, Ajaran Sosial Gereja pada 1891. Perlu diketahui pula selain sebagai bentuk perhatian gereja terhadap hak-hak buruh, Rerum Novarum juga merupakan upaya gereja untuk menangkal pengaruh ajaran Marxsisme di lingkungan pekerja Katolik (Burchell, 1984; 80-81). Anjuran dari Rerum Novarum meliputi tidak menganggap buruh sebagai komoditi, pembagian keuntungan yang merata, perhatian kepada tuntutan buruh, dan yang paling penting adalah kesucian keluarga harus dijaga dengan cara pemberian upah yang layak dan mengurangi jam kerja untuk pekerja anak dan wanita. Sayangnya, anjuran mulia dari gereja tadi lebih banyak menuai cercaan dengan alasan akan menghambat kemajuan. Para pemilik modal, sekalipun setiap Minggunya pergi ke gereja, juga enggan menuruti anjuran ini karena itu artinya keuntungan yang masuk ke kantung mereka menjadi berkurang. Sebagai umat Katolik yang taat, Schmutzer bersaudara berusaha mendalami Ajaran Sosial Gereja. Mereka bertekad untuk menerapkannya bukan di Eropa, melainkan di Jawa (Aritonang dan Steenbrink, 2008; 702).
Keluarga sewaktu masih bersama di Ganjuran. Pria yang sedang menggendong seorang anak adalah Julius Schmutzer sementara pria di kirinya adalah saudaranya, Josef Schmutzer. Sementara dua perempuan Belanda di depan adalah Lucie Cornelle Amelie Hendriksz, istri Josef dan Caroline van Rijckevorsel, istri Julius (sumber : geheugenvannederland.nl).
Shmutzer bersaudara di masa tua.
Makam orang tua Schmutzer bersaudara, Gotfried dan Elisa Schmutzer di permakaman Belanda Peneleh Surabaya.
Meninggalnya suami kedua dan anak bungsunya dalam waktu yang berdekatan tampaknya membuat Nyonya Elise Kathaus terpukul. Bersama putrinya, ia menyusul kedua putranya ke Belanda pada tahun 1905 dan meninggal di Surabaya pada 1912. Keluarga Schmutzer sonder si sulung Elis kembali lagi ke Ganjuran pada 1910. Sepeninggal Kathaus pada 1912, pengelolaan pabrik gula Gondanglipuro dilanjutkan oleh Josef dan Julius Schmutzer. Ketika satu persatu pabrik gula di Vorstenlanden yang dirintis oleh keluarga Indo-Eropa jatuh ke tangan perusahaan besar, PG Gondanglipuro masih dimiliki oleh keluarga Schmutzer selama lebih dari lima puluh tahun. Untuk meningkatkan produksi pabrik, maka pabrik memperluas area ladang dengan pembelian tanah perkebunan Kebonongan pada tahun 1926. Selain itu, PG Gondanglipuro mulai untuk membuat jenis gula putih setelah bertahun-tahun memproduksi jenis gula merah (Soerabaiasch Handelsblad 1 September 1937). Sebagai pengusaha sekaligus umat Katolik yang taat, posisi mereka sebagai pemilik pabrik membuka kesempatan mereka untuk menerapkan Ajaran Sosial Gereja yang dulu mereka pelajari selama di Belanda. Perbedaan warna kulit Schmutzer bersaudara dengan buruhnya tidak menjadi halangan untuk mereka. Bagi Schmutzer bersaudara, buruh bukanlah barang komoditi yang dapat diperlakukan sesukanya sebagaimana pandangan kebanyakan pemangku pabrik gula saat itu, melainkan sebagai mitra kerja. Schmutzer bersaudara memberi hak kepada buruh mereka untuk membentuk serikat buruh pabrik Gondang Lipuro, Tjipto Utomo (Kalken, 1930; 144). Dari kesepakatan kontrak dengan serikat buruh tersebut, Schmutzer bersaudara memutuskan untuk mengurangi jam kerja, menaikan upah buruh sebesar 5% per tahun, memberi tunjangan pensiun dan asuransi kesehatan, menyediakan perumahan yang layak, dan memberi jatah hari libur. Di samping itu, anggota serikat buruh diperkenankan untuk mengetahui keadaan keuangan pabrik (Aritonang dan Steenbrink, 2008; 703).
Poliklinik PG Ganjuran yang dikelola oleh tarekat biarawati Carollus Borromeus.
(sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Rumah sakit Santa Elizabeth Ganjuran, karya sosial di bidang kesehatan yang bermula dari garasi rumah keluarga Schmutzer. 
Pada 1919, Josef Schmutzer menikah dengan Lucie Cornelle Amelie Hendriksz dan setahun berikutnya, ia menerima tawaran sebagai anggota Volksraad. Karena hal itu ia pindah ke Bogor. Walau demikian ia masih menjalin kontak dengan saudaranya di Ganjuran. Sepeninggal saudaranya, Julius Schmutzer lalu menikah dengan Caroline van Rijckevorsel, saudari muda dari pastor Leopold van Rijkevorsel. Sebelum menikah, Caroline sempat bekerja sebagai perawat dan sebagaimana suaminya, ia memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Karena itu, pada 1921 garasi rumahnya disulap menjadi poliklinik. Dari hanya sekedar menumpang garasi rumah, poliklinik tersebut menempati gedung rumah sakit yang lebih besar pada 1 Juni 1934. Dalam pelayannya, Caroline Schmutzer dibantu oleh empat suster dari tarekat Carolus Boromeus. Mereka adalah Bunda Cunegundis, Suster Barbarine, Suster Iris, dan Suster Amonia (Kalken, 1930; 146). Pada awalnya mereka sempat kesulitan berkomunikasi dengan pasien karena kendala perbedaan bahasa. Namun beruntung ada seorang perempuan pribumi bernama Waginem yang bersedia membantu mereka dalam berkomunikasi sebagai penterjemah. Untuk meningkatkan pelayanan, rumah sakit tersebut dilengkapi sebuah mobil untuk menjemput pasien. Rumah sakit tersebut hari ini menjadi Rumah Sakit Santa Elisabeth Ganjuran. Karya sosial keluarga filantropi ini juga merambah ranah pendidikan. Mereka membuka 12 sekolah rakyat yang diperuntukan baik untuk anak laki-laki atau anak perempuan. Mereka sengaja memilih angka 12 sebagai lambang dari 12 rasul yang diutus Yesus. Guru-gurunya didatangkan dari kweekschool Muntilan. Untuk menghidupi karya sosial tersebut, Schmutzer menyisihkan sebagian keuntungan pabrik. Sepeninggal Schmutzer, sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh Yayasan Kanisius. Atas karya sosialnya selama di Ganjuran, Tahta Suci Vatikan menganugerahkan Bintang Gregorius kepada Julius Schmutzer pada tahun 1930. Berikutnya pada tahun 1933, istrinya mendapat bintang Oranje Nassau dari Kerajaan Belanda disertai ucapan selamat dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Rumah sakit Panti Rapih, dulunya bernama Ziekenhuis Onder de Bogen.

Julius Schmutzer, Caroline Schmutzer-van Rijckvorsel, Mgr van Velsen, dan para suster Carolus Boromeus sewaktu upacara pemberkatan rumah sakit Onder de Bogen (sumber : Ir. F.J.L. Ghisels, Architect in Indonesia).
Selain di Ganjuran, warisan sejarah lain dari keluarga Schmutzer dapat dijumpai di lingkungan kota Yogyakarta. Warisan sejarah berupa kompleks rumah sakit tersebut boleh jadi sudah dikenal banyak orang namun sedikit yang mengetahui asal-usulnya. Warisan sejarah itu tak lain adalah Rumah Sakit Panti Rapih. Kisah bermula pada Februari 1920, ketika ketua badan sosial Katholieken Socialen Bond saat itu, J. van Roosendaal menyurati VLV (Vorstenlandsche Landhuurders Vereeniging) perihal rencana pembukaan rumah sakit di kota Yogyakarta. Julius Schmutzer yang juga anggota VLV saat mendengar rencana tersebut akhirnya berkenan untuk mendanai pembangunanya. Rencana tersebut sayangnya belum bisa diwujudkan secepatnya karena belum adanya SDM yang akan menjalankan rumah sakit itu. Pada tahun 1926, Kongregasi Biarawati Carolus Borromeus dari Maastricht bersedia untuk mendatangkan sejumlah suster dari kongregasi itu untuk mengelola rumah sakit yang akan dibangun di Yogyakarta itu. Sebagai langkah persiapan, dibentuklah Yayasan Onder de Bogen pada 22 Februari 1927 yang diketuai oleh Schmutzer. Selama dua bulan, yayasan tersebut mempersiapkan lahan yang akan dibangun rumah sakit dan akhirnya memperoleh sebidang lahan di pinggir utara kota Yogyakarta. Yayasan selanjutnya membuat kontrak kepada agensi arsitektur AIA (Algemenee Ingineurs en Architect) khususnya pada Ir. F.J.L Ghijsles untuk merancang kompleks rumah sakit tersebut (De Locomotief, 16 September 1929). Ghijsels secara khusus mendalami kelebihan dan kekurangan gedung-gedung rumah sakit di Jawa supaya dapat menghasilkan rancangan gedung rumah sakit bermutu tinggi.
Bagian bangsal Ziekenhuis "Onder de Bogen" (Sumber : Gedenkboek bij Het Honderd-Jarig, Bestaan Der Liefdezusters van de H. Carolus Borromeus)
Setelah rancangan gedung rumah sakit disepakati oleh keduabelah pihak, pada 15 September 1928 dilakukan upacara peletakan batu pertama yang dilakukan oleh istri Julius Schmutzer. Rumah sakit tersebut diberi nama Ziekenhuis Onder der Bogen yang dapat diartikan sebagai "Rumah Sakit di Bawah Plengkungan". Penamaan tersebut merujuk pada biara induk kongregasi Carolus Boromeus di Maastricht yang letaknya dekat dengan struktur lengkung kuno. Ketika rumah sakit mulai ditempati sekitar bulan April, sarana seperti air dan listrik belum tersedia di sana. Sesudah rumah sakit tersebut diberkati oleh Mgr van Velsen 24 Agustus 1929, barulah pembangunannya dikebut sampai pembukaanya pada 14 September 1929. Dalam kesempatan itu, hadir Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Para tamu undangan yang terdiri dari pejabat kolonial, petinggi gereja dan keluarga keraton dibuat terpana dengan arsitektur bangunan yang memasukan unsur arsitektur lokal (Onder de Bogen, 1937; 376-378).
Ziekenhuis Onder de Bogen dengan lengkungan dan atapnya yang meniru bentuk rumah tradisional Nusantara (sumber : Ir. F.J.L. Ghisels, Architect in Indonesia).
Rumah Sakit Onder de Bogen awalnya memiliki 4 bangsal rawat inap dengan kapasitas 61 pasien. Supaya bagian dalam ruangan tidak terasa panas akibat cahaya matahari, maka bangunan bangsal dibangun melintang timur-barat. Keempat bangsal tersebut dibagi berdasarkan kemampuan pasien. Bangsal A merupakan bangsal paling mewah di antara keempat bangsal lain dan memiliki beranda yang menghadap ke Gunung Merapi. Sementara bangsal D diperuntukan bagi pasien kurang mampu. Selain bangsal rawat inap, rumah sakit juga dilengkapi sejumlah sarana seperti ruang bedah, klinik bersalin, binatu, dapur, dan gudang penyimpanan yang dibuat mengikuti standar kebersihan tinggi. Rumah sakit tersebut juga sudah memiliki mesin rontgen meskipun baru didatangkan beberapa bulan setelah pembukaan karena belum ada ahli rontgen di Yogyakarta (Algemeen Handelsblad 16 Juli 1929). 
Gambar tampak burung Ziekenhuis Onder de Bogen (Sumber : Sint Claverbond 1929)
Tahun pertama rumah sakit Onder de Bogen tidak dilalui dengan mulus. Pasien yang datang masih sedikit karena rumah sakit tersebut masih belum menerima bantuan keuangan dari pihak lain sehingga pasien dari kalangan bawah belum bisa dirawat di sana. Baru sejak bulan Januari 1932 ketika bantuan keuangan dari pihak luar telah mengalir, secara berangsur-angsur banyak pasien yang berobat dan dirawat di rumah sakit Onder de Bogen (Onder de Bogen, 1937; 376-378). Kendati rumah sakit tersebut milik yayasan berlatar Katolik, namun sehari-harinya mereka menerima pasien dari segala latar belakang. Kalangan bangsawan Jawa di Yogyakarta menjadikan rumah sakit “Onder de Bogen” sebagai pilihan tempat perawatan karena lengkapnya fasilitas yang dimiliki rumah sakit tersebut. Ketika Sultan Hamengkubuwono VIII kesehatannya memburuk, beliau langsung dibawa ke sana walau akhirnya beliau wafat di rumah sakit tersebut pada 22 Oktober 1939.
Bangunan baru gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, menggantikan gereja lama yang hancur karena gempa 2006.

Bangunan lama gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (sumber : Sint Claverbond 1934).
Prasasti yang memperingati upacara peletakan batu pertama gedung gereja.
Sebagai umat Katolik yang baik, keluarga Schmutzer mendukung kegiatan keagamaan umat Katolik di Ganjuran yang saat itu diampu oleh Rm,Van Driessche, SJ. Keluarga Schmutzer bersedia memberi tumpangan ketika Romo tersebut datang ke Ganjuran untuk menggelar ibadah misa dan memberikan pelajaran agama. Sungguhpun keluarga Schmutzer adalah penganut agama Katolik yang taat, tidak ada paksaan bagi buruh yang bekerja pada mereka atau warga sekitar pabrik untuk mengikuti agama mereka. Di antara mereka memang ada yang akhirnya yang menjadi Katolik, namun itu karena atas kehendak mereka sendiri. Karena itulah jumlah umat Katolik di Ganjuran terbilang kecil. Sebelum Schmutzer memutuskan untuk mendirikan bangunan gereja pada 1924, kegiatan ibadah selama ini dilangsungkan di kediaman keluarga Schmutzer (Kalken, 1930; 144). Biarpun kecil dan sederhana, gereja tersebut cukup untuk menampung umat Katolik ketika beribadah. Sayangnya, rupa gereja Ganjuran yang sekarang tidaklah sama dengan gereja yang diresmikan Schmutzer. Sayangnya, gereja ini tidak mampu menahan kuatnya guncangan gempa bumi yang terjadi 2006 silam. Bagian depan bangunan gereja lama itupun runtuh dan karena hal itu, selama beberapa bulan jemaat beribadah di gereja darurat yang terbuat dari bambu. Kini, di atas gereja lama telah berdiri gereja baru yang bentuknya lebih tradisional dibanding gereja lama. Satu-satunya jejak dari gereja lama yang masih dapat dijumpai adalah batu prasasti yang menandai upacara peletakan batu pertama pada 1924.
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus.
Monumen HKTY setelah diresmikan pada 11 Februari 1930 (sumber ; Sint Claverbond 1930)
Di samping timur gereja, berdiri sebuah monumen berwujud candi yang menjadi titik utama di kompleks gereja HKTY. Kendati tidak semonumental Candi Prambanan atau Candi Borobudur, namun candi ini amatlah unik dan mungkin tiada padanannya di dunia karena candi HKTY adalah candi yang bercorak agama Katolik. Sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dan kasih yang telah dilimpahkan oleh Tuhan kepada usaha dan karyanya, Julius Schmutzer mendirikan monumen yang didevosikan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Namun monumen yang dirancang sendiri oleh Julius Schmutzer lain daripada yang lain karena dibangun dalam wujud seperti candi. Julius Schmutzer sengaja memilih bentuk candi karena baginya, kepercayaan dan kebudayaan tradisional Jawa telah menjadi anasir yang mendarah daging pada setiap orang Jawa dan sulit untuk ditinggalkan. Karena itulah untuk mempermudah pengenalan dan pemahaman orang Jawa terhadap ajaran Katolik, Schmutzer menyelipkan beberapa unsur budaya Jawa yang sekiranya tidak bertentangan dengan ajaran Katolik (Soekiman, 2014;87). Candi merupakan wujud kebudayaan Jawa yang monumental dan mudah dikenali orang. Candi yang pada masa silam adalah tempat suci umat agama Hindu-Buddha, oleh Schmutzer dijadikan sebagai sarana ibadah umat agama Katolik. 
Rancangan Candi HKTY yan dibuat oleh Julius Schmutzer.
(Sumber : Europanisme of Katholiksme)

Suasana pada upacara pemberkatan candi HKTY pada 26 Desember 1927 (sumber ; Sint Claverbond 1928).
Suasana pada upacara peresmian candi HKTY pada 10 Februari 1930
(sumber : Sint Claverbond 1930).
Pada 26 Desember 1927, diadakan upacara pemberkatan monumen yang dipimpin oleh Mgr. A. van Velsen. Bahan untuk pembangunan candi dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya untuk disusun menjadi landasan candi. Pengerjaanya tampak begitu halus dan tanpa cacat. Pada kesempatan tersebut, sebuah lempengan tembaga yang berbunyi “Bila candi ini hancur, Kristus Raja tetap selamanya di Ganjuran” ditanamkan di dalam sumur peripih. Bersamaan dengan lempengan tersebut, ditanamkan pula arca Yesus buatan pematung bernama Iko yang ditampilkan duduk di atas tahta dan berbusana layaknya raja Jawa di masa silam. Sebagai elemen penting dari ikonografi Hati Kudus Tuhan Yesus, terdapat atribut ikonografi hati menyala di dada arca (Van Rijckvorsel, 1928 ; 130-137). Setelah pembangunannya selesai, monumen candi tersebut kemudian diresmikan pada 11 Februari 1930. Di dalam relung candi, ditempatkan arca Yesus yang serupa dengan arca yang ditanamkan pada tahun 1927 namun dengan ukuran yang lebih besar. Secara tidak langsung, upaya yang dilakukan Schmutzer tersebut telah memberi nafas baru pada kebudayaan Jawa.
Patung Hati Kudus Tuhan Yesus, replika dari patung yang dibuat oleh pematung Iko.


Adegan penyaliban Yesus yang dibuat seperti relief candi dari masa Mataram Kuna.
Schmutzer bersaudara tidak selamanya hidup bersama di Ganjuran. Selepas menjadi anggota Volksraad, Josef Schmutzer kembali ke Belanda. Lantaran kesibukannya sebagai pengajar, Josef tidak sempat kembali ke Ganjuran hingga ia meninggal di Belanda pada 26 September 1946. Walau demikian, Josef selama di Belanda berusaha memberi dukungan pada saudaranya di Ganjuran. Sementara itu, Julius Schmutzer yang kesehatannya sedikit memburuk akhirnya menyusul kakaknya kembali ke Belanda pada 1934 guna mendapatkan perawatan lebih baik di sana. Kepergian keluarga Schmutzer menjadi kehilangan besar bagi para buruh, suster, guru, dan warga sekitar yang telah menganggap keluarga Schmutzer sebagai bagian dari mereka. Secara ajaib, pabrik gula Gondanglipuro lolos dari amukan krisis ekonomi pada tahun 1930an padahal krisis tersebut telah membuat banyak pabrik gula gulung tikar (Soerabaiasch Handelsblad, 1 September 1937). Meskipun mampu melalui masa-masa kemalangannya pada krisis ekonomi dan pendudukan Jepang, namun operasional pabrik sempat terhenti sewaktu Agresi Militer Belanda Kedua. Saat itu Pabrik Gula Gondanglipuro adalah satu-satunya pabrik gula di Yogyakarta yang utuh. Hari-hari terakhir Julius Schmutzer akhirnya dihabiskan untuk menghidupkan kembali pabriknya Beberapa kali ia berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan beberapa tokoh politik dan pemerintah. Salah satunya adalah I.J. Kasimo yang juga sama-sama penganut Katolik. Sungguhpun sudah mengeluarkan segala daya upaya, situasi politik yang tidak menentu serta tidak tercapainya kesepakatan dengan petani sekitar membuat Schmutzer menanggalkan harapannya untuk memulihkan PG Gondanglipuro seperti sediakala (Kedaulatan Rakyat 3 Desember 1953).

Tidak bisa dipungkiri bila kehadiran pabrik gula di Jawa selama masa kolonial sudah memberikan jalan bagi industrialisasi Jawa. Namun di sisi lain, industrilaisasi tersebut memunculkan masalah sosial dari ketimpangan kesejahteraan hingga pertikaian kaum pekerja dengan majikan. Dari sekian cerita buruk yang ditinggalkan dari industri gula di Jawa, masih ada secercah cerita mulia seperti yang sudah ditunjukan oleh keluarga Schmutzer, tokoh kunci yang memainkan peran besar dalam penyebaran agama Katolik di Yogyakarta. Perbuatan-perbuatan mulia mereka terekam dalam kepingan sejarah yang telah mereka tinggalkan dan bila kepingan tersebut disatukan, maka hasilya adalah suatu mosaik yang akan melengkapi lembaran sejarah industri gula di Jawa.


Referensi
Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink, Karel. 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden : Brill.

Burchel, S.C. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta : Tira Pustaka.

Kalken S.J, A Van. 1930. "Hunne Werken Immers Volgen Hen" dalam Sint Claverbond. Nijmegen ; N.V. Centrale Drukkerij.

Onder de Bogen. 1937. Gedenkboek bij Het Honderd-Jarig, Bestaan Der Liefdezusters van de H. Carolus Borromeus. Amsterdam : Drukkerij. H. J. Koersen.

Rijkevorsel S.J., L. Van. 1928. "Eerste Steenleggeing van Eeen H. Hart Monument op Java" dalam Sint Claverbond. Nijmegen ; N.V. Centrale Drukkerij.

Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis ; Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.

Soerabaiasch Handelsblad, 1 September 1937

Kedaulatan Rakyat, 3 Desember 1953