Minggu, 06 Maret 2016

Nasib Lunta Kerkhof Gombong

Penjelajahan saya di Gombong tidak berhenti di benteng Van der Wijk saja. Tak jauh dari benteng tadi, saya mendapati sekelompok makam-makam tua peninggalan Belanda yang kini berbaur bersama makam-makam baru. Ada apa sajakah di sana ?
Lokasi kerkhof Gombong pada peta lama (sumber : maps.library.leiden.edu).
Tiada gerbang antik nan megah di depan kerkhof yang terletak di Desa Semanding, Kecamatan Gombong, Kebumen. Tak ayal, saya pun sempat mengira jika kerkhof itu sudah hilang dan menjelma menjadi permakaman umum. Namun begitu mendekat dan mengamatinya dengan seksama, beberapa monumen kecil dengan bentuk yang tak biasa terlihat masih berdiri di sela-sela makam baru. Ya, monumen kecil itu sejatinya merupakan tempat dimana jasad orang-orang Belanda dikebumikan dan itu artinya jejak kerkhof Gombong masih ada !
Makam berbentuk peti milik Floris.K. 
Makam  Maria Anna Elizabeth Coke.
Dalam catatan P.C. Bloys van Treslong Prins, orang yang dimakamkan pertama di kerkhof Gombong adalah makam seorang perwira detasemen kesehatan bernama Marcus Octavianus Robinow. Ia dimakamkan di sana pada 22 November 1849. Dengan kata lain, kerkhof Gombong sudah ada sejak tahun 1849, setahun sejak benteng Fort Cochius atau benteng Van der Wijck dibangun. Saat Treslong Prins mengunjungi kerkhof Gombong pada warsa 1930an, setidaknya ada 97 makam Belanda yang teridentifikasi kala itu (Prins, 1932; 211). Sayangnya, makam lama yang kini bisa teridentifikasi jumlahnya merosot karena kebanyakan batu nisan tersebut dijarah sesudah kemerdekaan. Beberapa yang masih tersisa mulai memudar sehingga tidak semuanya dapat saya baca. Salah satunya adalah makam Floris K yang berada di dekat pintu masuk kerkhof.  Kendati telah diberi cungkup, namun tulisan makam ini hampir tidak bisa dibaca dengan jelas lagi karena pahatannya tidak terlalu dalam. Menurut penuturan juru kunci, makam ini masih diziarahi oleh keturunanya. Makam lain yang masih tersisa batu nisannya adalah makam Maria Anna Elizabeth Coke (1882-1884).
Makam berbentuk seperti sebuah gerbang milik salah satu anggota keluarga Burm. Di bagian bawah makam terdapat rongga cukup besar yang dapat menampung peti mati lebih dari satu orang. Sayangnya kondisi di dalam sini sudah banyak timbunan sampah.
Daftar anggota keluarga Van Burm yang termuat pada sebuah obituari yang dimuat oleh harian De Locomotief tahun 1879.
Di bawah pohon kamboja berbunga putih, tampak sebuah makam tua yang bentuknya terlihat lain dari yang lain. Makam itu dari segi bentuk dan ornamennya merupakan makam paling mewah di antara makam-makam kerkhof ini. Ia dirancang sedemikian rupa seperti sebuah gerbang, lambang dari pintu masuk ke alam baka. Di atas ambang ceruk makam, tertera sebuah kalimat berbahasa Belanda yang berbunyi “Rustplaats van de familie van Burm“. “Tempat peristirahatan keluarga van Burm“, demikianlah bunyinya jika kalimat tersebut diartikan ke bahasa Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa di bawah makam itu, dibaringkan lebih dari satu orang jasad di dalamnya. Kesimpulan tersebut diperkuat ketika saya menemukan sebuah rongga besar di bawah yang kini penuh dengan tumpukan sampah. Dari kemewahan makamnya, keluarga van Brumm jelas merupakan keluarga yang terpandang di masanya. Namun siapakah gerangan keluarga van Burm ini ? Dari hasil penelusuran saya dari berbagai sumber, garis keluarga Burm di Gombong dimulai dari Charles Louis Burm yang meninggal di Gombong pada tahun 1879. Charles Louis Burm memiliki seorang istri C. W. Boomhoff dan memiliki empat anak, yakni K. Burm, L. Burm, M. Burm, dan J. Burm. Satu-satunya anak laki-laki Charles Burm, K. Burm, adalah seorang arsitek di Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) yang ditugaskan di Karesidenan Pantai Timur Sumatera. Sementara putri Charles Burm, L. Burm, menikah dengan Pieter Peelen, pemilik Hotel Gombong. Lalu anak perempuan lainnya bernama M. Burm menikah dengan W. Lantermans, kepala Pupillen School Gombong. Makam keluarga itu sendiri berisi tiga jenasah keluarga Charles Louis Burm, yakni jenasah putrinya Maria Burm (meninggal 1889), istrinya, C.W. Boomhoff (meninggal 1893), dan menantunya, Pieter Peelen (meninggal 1910).
Makam dan potrait C.F.H.Campen (1853-1886)
Saya sekarang berdiri di hadapan sebuah makam tua yang masih terlihat gagah, segagah orang yang dikebumikan di bawahnya. Makam itu tak lain dan tak bukan adalah makam seorang perwira berpangkat Letnan Infanteri bernama C.F.H Campen. Catatan sejarah menyebutkan bahwa Campen memiliki jasa besar terhadap Pupillenschool Gombong, sekolah yang berada di bawah naungan militer Belanda untuk anak-anak serdadu yang terlantar. Saat Pupillens School dipindah dari Purworejo ke Gombong pada 1856, peminat Pupillenschool masihlah sedikit karena tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan sekolah tersebut. Maka dari itu, Campen sebagai salah satu pengajar di Pupillenschool Gombong menulis buku mengenai gambaran Pupillenschool Gombong supaya lebih banyak orang yang mengenal tentang sekolah Campen mengajar. Sayangnya, belum sempat Campen menuntaskan karyanya, ia terbunuh dengan cara ditusuk belati oleh seorang pribumi yang masih belum diketahui motifnya. Letnan Campen saat itu berusia 33 tahun dan meninggalkan seorang istri dan anak laki-laki. Permakamannya pada 24 Januari 1886 dihadiri oleh asisten residen, bupati, kepala distrik, penduduk pribumi dan Tionghoa serta seluruh murid-murid Pupillenschool Gombong. Karya yang tak sempat dituliskan Campen lalu dilanjutkan oleh istrinya. Sebanyak seratus salinan karya Campen selanjutnya dibagikan kepada keluarga Indo-Eropa miskin sementara pemerintah kolonial membeli seribu salinan lainnya untuk dibagikan secara gratis kepada masyarakat (Java Bode 29 November 1886).
Makam berbentuk peti.
Makam-makam bentuk seperti tugu kecil
Sebagaimana dengan makam-makam di kerkhof lain yang nasibnya terlunta-lunta, hal yang sama juga menimpa pada makam-makam ini. Sesudah kemerdekaan, banyak orang-orang Belanda yang meninggalkan Indonesia. Perlahan, makam-makam tadi banyak yang tak terurus. Batu nisan di makam segera saja menjadi incaran para penyamun makam. Berlusin-lusin batu nisan dilucuti dari tempatnya, dibawa pergi entah kemana. Kini, sebagian besar makam di kompleks kerkhof Gombong merupakan makam tanpa nama. Letak kerkhof itu berada di kelokan Sungai Gombong yang tidak besar lebarnya. Arusnya terlihat tenang, tapi tanpa disadari, arus sungai itu secara perlahan menggerus kerkhof ini. Sebuah makam yang sudah posisinya sudah merosot ke dasar sungai merupakan salah satu korban arus sungai itu. Apabila hal ini dibiarkan, pelan tapi pasi, akan lebih banyak makam yang menyusul makam yang malang tadi..

Tuntaslah hasil penyusuran singkat saya di kerkhof Gombong, sebuah kompleks kerkhof yang berisi makam-makam tua yang tak berdaya digulung oleh zaman. Semoga ada kepedulian dari pemerintah dan masyarakat untuk menyelamatkannya..

Referensi
Prins, P.C Bloys van Treslong. 1934. Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigen ; Betreffende Europanen op Java Deel I. Batavia : Drukkerij Albrecht.

4 komentar:

  1. Terima Kasih atas nama posting pemakaman Gombong dan Manisrenggodan saya menghargai pekerjaan Anda. Saya menulis 3 artikel dengan keterangan orang2 yang di kubur dan saya mohon maaf karena saya memakai gambar2 Anda. Lagi saya menghubungkan blog Anda dan nama Anda di artikel ku. ... Artikel pertama: http://www.imexbo.nl/div-kerkhoven-deel-3.html dan artikel kedua: http://www.imexbo.nl/div-kerkhoven-deel-4.html dan artikel ttg makam keluarga BURM berada di http://www.imexbo.nl/div-kerkhoven-deel-2.html Terima Kasih atas perhatian Anda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2.mungkin itu juga bisa menjadi tambahan untuk blog saya.

      Hapus