Dalam
belantika sejarah arsitektur Indonesia, nama Thomas Karsten termasuk nama yang
populer. Beragam karyanya masih berdiri megah pada beberapa kota di Indonesia,
utamanya di Semarang. Dalam kesempatan kali ini, saya mengajak anda untuk
menziarah karya Karsten, menelisik seluk beluk sejarahnya, dan memahami
pandangan Karsten mengenai jatidiri arsitektur Indonesia. Adapun karya yang
akan diangkat pada tulisan ini meliputi gedung pasar, kantor, gedung pertunjukan, hingga museum.
Keluarga Karsten pada tahun 1930an (sumber : Semarang Beeld van een Stad). |
1914
adalah tahun ketika Karsten menjejakan kakinya ke Hindia-Belanda. Dengan
mengantongi ijazah arsitektur dari kampus Technische Hoogeschool Delf, arsitek
kelahiran Amsterdam, 22 April 1884 itu mengikuti ajakan seniornya, Henri
Maclaine Pont yang memiliki biro arsitek di Hindia-Belanda. Di sinilah Karsten
meniti karirnya hingga ia menjadi arsitek yang cemerlang dalam semesta arsitektur kolonial. Kecermelangannya diakui oleh banyak orang karena ia mampu
hidup di dua alam pikir, yakni alam barat modern dan alam Jawa tradisional.
Alam pikirnya dituangkan dalam wujud karyanya yang dapat menyesuaikan
arsitektur modern dengan kondisi alam setempat (Brommer, 1995; 27).
Karya Karsten yang paling dikenang banyak orang tentu saja adalah Pasar Johar. Membicarakan Pasar Johar seolah tak lepas dari sosok Karsten karena ialah sosok utama yang membentuk rupa Pasar Johar seperti sekarang. Namun belum banyak yang tahu jika rancangan Pasar Johar merupakan salinan bentuk lebih besar dari Pasar Jatingaleh yang dirancang oleh Karsten pada tahun 1929. Dibandingkan Pasar Johar, Pasar Jatingaleh memang tidak memiliki ukuran yang besar dan fasad yang mencolok
sehingga keberadaanya tidak mudah terlihat dari jalan raya. Meskipun usianya sudah uzur, namun tampilan arsitektur pasar ini
masih relevan di masa kini sehingga dapat dibayangkan betapa
modernnya pasar ini sewaktu dibuka pertama kali. Pasar Jatingaleh
yang sekarang ini sejatinya menggantikan pasar partikelir
lama milik kepala desa Jatingaleh. Lokasi pasar lama tersebut berada di seberang Pasar Jatingaleh yang sekarang. Pembangunan Pasar Jatingaleh yang baru masih bersangkutan dengan perkembangan daerah Jatingaleh paska militer Belanda mendirikan tangsi di sana pada tahun 1921. Pasar Jatingaleh yang lama tentu menjadi semakin ramai dan berimbas dengan naiknya pemasukan pasar dari pungutan pedagang (De Locomotief 20 Juni 1932).
Tiang-tiang cendawan Pasar Jatingaleh. |
Besarnya
pendapatan yang diterima ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kebersihan pasar. Hal tersebut jelas dikeluhkan oleh pihak militer. Meskipun demikian pemerintah kotapraja tidak tergesa untuk membuka pasar baru di
sana karena belum yakin jika pasar baru itu dibuka, pasar akan sama ramainya dengan pasar yang dahulu. Pemerintah kotapraja Semarang akhirnya mendirikan sebuah pasar percobaan di
seberang pasar Jatingaleh yang lama pada tahun 1930. Mengingat sifatnya masih uji coba maka materialnya masih dibuat dari bahan kayu. Seandainya pasar percobaan tersebut dinilai ramai, baru pasar itu akan dibuatkan bangunan permanen. Pasar
percobaan itu rupanya mendulang pemasukan
yang lumayan besar sehingga pemerintah kotapraja memutuskan untuk membuat pasar permanen di sana (De
Locomotief 20 Juni 1932).
Bagian tempat pedagang. |
Pemerintah kotapraja terlebih dahulu mendata jumlah pedagang pasar. Dari data tersebut akan
diketahui berapa anggaran yang dibutuhkan untuk pasar baru
tersebut. Proses perancangan bangunan pasar baru tersebut lalu digarap oleh Thomas Karsten. Pemerintah kotapraja menentukan kriteria yang wajib dipenuhi Karsten, yakni seluruh pasar harus tertutup atap, atapnya harus rata agar tidak menjadi sarang burung liar, air hujan tidak mudah merembes ke dalam, dan tempat penjualan tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Karsten ternyata sanggup merancang bangunan pasar yang memenuhi kriteria yang sudah dijabarkan sebelumnya. Pasar tersebut tidak menggunakan konstruksi atap kuda-kuda yang akan digunakan pedagang sebagai tempat menggantung barang dagangan sehingga merusak pemandangan pasar. Sebagai gantinya, Karsten menggunakan tiang-tiang cendawan sebagai penopang atap. Konstruksi bangunan pasar tersebut seluruhnya tersusun dari beton yang dipasok oleh Hollandsch Beton Maatschappij. Material beton dipilih karena Karsten menilai material tersebut akan membuat pasar menjadi senantiasa bersih, tangguh, dan mampu bertahan dari ancaman kebakaran (Karsten, 1938 ;66).
Bangunan Pasar Jatingaleh sebelum ditempati pedagang. (sumber : collectie.wereldculturen.nl) |
Pasar Johar dilihat dari sisi alun-alun Semarang. |
Sisi utara Pasar Johar. |
Pasar Jatingaleh yang dilengkapi dengan deretan tiang cendawan penyangga atap datar kemudian menjadi model untuk bangunan Pasar Johar, karya
Karsten yang paling dikenang banyak. Membicarakan Pasar Johar seolah tak lepas dari sosok Karsten karena ialah sosok
utama yang membentuk rupa Pasar Johar seperti sekarang. Menengok asal-usul
pasar ini ke belakang, maka kembalilah ke waktu yang lebih belakang, yakni
tahun 1860, ketika Pasar Johar masih merupakan bagian dari alun-alun Semarang.
Di tepi alun-alun itu, tumbuh pohon-pohon Johar atau mahoni yang memberi
keteduhan bagi orang yang ada di bawahnya. Di dekat alun-alun itu, dulu pernah
ada sebuah penjara dan sanak keluarga yang hendak menejenguk saudaranya yang
dibui biasanya berteduh di bawah pohon johar itu. Lantaran tempat itu dekat
dengan Pasar Pedamaran, pasar terbesar di Semarang kala itu, maka lambat laun
tempat itupun tumbuh menjadi pasar. Mengingat para pedagang berjualan di bawah
naungan pohon johar, maka pasar itu dikenal dengan nama Pasar Johar. Pada 1890,
pasar itu pun kian ramai dan geliatnya mampu menyaingi Pasar Pedamaran yang
sudah lebih dulu ada. Antara tahun 1898 hingga 1900, sudah ada 240 pedagang
yang menjual barang-barang seperti mangkuk, piring, kain, barang kelontong,
barang besi, dan sebagainya (Liem, 1931; 176-177). Mereka menempati los-los
terbuka yang dibangun oleh pemerintah kolonial dengan biaya sebesar 18.000 gulden. Setiap pedagang ditarik iuran sebesar 75 gulden. per bulan. Pembagian los-los tersebut
ditentukan dengan sistem undian.
Seteleh
pemerintah gemeente atau kotamadya Semarang terbentuk pada tahun 1906,
pengelolaan beberapa pasar di Semarang seperti Ambengan, Karangbidara,
Kranggan, Pedamaran kidoel, Pedamaran-lor, Pedamaran Tengah, Peterongan dan Sayangan
diambil alih oleh pemerintah kotamadya. Pasar-pasar tersebut saat itu memiliki
keadaan kotor dan gelap sehingga pemerintah kotamadya Semarang mengupayakan
program renovasi bangunan pasar-pasar di Semarang menjadi modern. Sementara itu
pada tahun 1912, pemerintah kotapraja juga telah menyusun rencana untuk mendirikan sebuah
pasar induk di jantung kota Semarang. Pasar induk ini nantinya akan berperan sebagai pusat
kegiatan perdagangan yang akan menampung para pedagang
dari Pasar Johar, Pedamaran, Beteng, Jurnatan, dan Pekojan.
Bagian Pasar Johar yang menghadap ke alun-alun Semarang (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl). |
Sisi utara Pasar Johar (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl). |
Saat itu belum ada
orang yang tahu dimana pastinya lokasi pasar induk dibangun. Lalu muncul berbagai
spekulasi dimana pasar induk akan bertempat mulai dari Bugangan, lalu sebelah
timur Stasiun Tawang, hingga bekas barak Wurtemberg di Jurnatan. Belakangan,
pemerintah kotapraja memilih lokasi pasar induk di tempat Pasar Johar berdiri. Namun
rencana itu belum memungkinan untuk diwujudkan dalam waktu dekat karena
terhalang dengan proses pengalihan penjara di selatan Pasar Johar yang
berlarut-larut. Pasar Johar akhirnya belum bisa diperbaiki padahal di saat yang
sama beberapa pasar di Semarang sudah dikembangkan menjadi pasar beton.
Pengembangan terhadap Pasar Johar sebatas ditingkatkan pengamanannya pada tahun
1924 atas permintaan pedagang pasar supaya mereka tidak perlu membawa keluar
semua barang dagangan dari pasar (Gemeente Semarang 1931: 181).
Kondisi Pasar Johar sebelum ditempati pedagang. |
Rencana pembangunan Pasar Johar menemukan titik terang setelah para tahanan penjara di selatan Pasar Johar mulai dipindahkan ke penjara baru di Bandung pada tahun 1930 (De Locomotief, 27 juni 1930). Setelah melewati proses pemindahan sekitar delapan bulan, barulah penjara lama tersebut diserahkan kepada pemerintah kotapraja pada
tahun 1931. Tanah di sekitarnya
lalu dibeli pemerintah untuk proyek tersebut dan Thomas Karsten kemudian didapuk
oleh pemerintah kotapraja untuk merancang gedung pasar induk pada tahun 1933. Rancangan
pasar induk itu menyalin bentuk dari Pasar Jatingaleh yang dirancang oleh
Karsten pada tahun 1929.
Gambar potongan Pasar Johar yang mengalami dua kali perubahan rancangan (sumber : Locale Techniek Maret 1938. |
Rancangan kedua dari Pasar Johar yang tidak dipakai karena naiknya harga besi. |
Setelah
persiapan pra-pembangunan dirasakan sudah cukup, bangunan Pasar Johar lama mulai
dibongkar dan pedagang dipindahkan ke pasar sementara di utara pekarangan rumah
bupati. Beberapa rumah di sekitarnya juga dibeli untuk perluasan pasar. Selain
bangunan pasar, Karsten pada saat yang sama juga membuat penataan jalan baru di
selatan pasar untuk menghubungkan alun-alun dengan kampung Kranggan. Hal ini
dimaksudkan agar Pasar Johar mudah diakses dari berbagai arah. Awal pembangunan
Pasar Johar ditandai dengan seremoni penuangan beton pertama pada 4 Maret 1938
diadakan yang dihardiri oleh berbagai tokoh penting dari unsur pemerintahan dan
masyarakat kota Semarang. Acara itu kemudian diikuti dengan ritual slametan
yang digelar oleh pegawai pribumi HBM (Algemeen
Handeslblad voor N.I 4 Maret 1938).
Setelah melewati masa pembangunan yang
berlangsung relatif singkat, Pasar Johar dalam wajah barunya diresmikan pada
hari Sabtu, 10 Juni 1939. Pada hari yang bersejarah itu, masyarakat
berbondong-bondong datang ke Pasar Johar untuk menyaksikan momen diresmikannya
pasar kebanggan warga Semarang itu. Polisi lalu lintas tampak sibuk mengatur
jalanan di sekitar pasar yang ramai. Sekitar pukul setengah sepuluh, rombongan
tamu penting tiba di pasar. Walikota H. E. Bolssevain yang berhalangan hadir karena sakit. Di antara rombongan tersebut juga tidak terlihat sosok Karsten. Sementara itu di sisi gedung pasar
yang lain diadakan slametan sebagai ungkapan rasa syukur atas lancarnya
pembangunan pasar (Algemeen Handeslblad 10 Juni 1939)
Lubang atap sumber pencahayaan dan udara alami. |
Bagian lantai dua Pasar Johar. |
Tangga Pasar Johar. |
Letak
Pasar Johar memang amat strategis karena berada di titik pertemuan antara
kawasan perdagangan Eropa di Kota Lama dan Bojong dengan kawasan perdagangan
Tionghoa di Pecinan. Letak yang strategis kemudian menjadi tantangan bagi
perancangnya karena letaknya yang berada di pusat kota menyebabkan harga
tanahnya menjadi mahal sehingga luas lahan yang tersedia menjadi terbatas.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Karsten mengakalinya dengan membuat sisi luar
pasar menjadi berlantai dua (Karsten, 1938 ;66). Hal tersebut sebenarnya
bukanlah hal baru bagi Karsten karena ia pernah melakukan hal serupa pada
bangunan Pasar Gede di Surakarta yang juga merupakan hasil rancangannya. Karsten
juga mengubah citra pasar tradisional yang awalnya dipandang sebagai tempat
yang kotor, pengap dan gelap menjadi pasar yang bersih, terang dan sejuk. Untuk
mewadahi kebiasaan pedagang yang dahulu berjualan dengan duduk bersila, maka dibuatlah
panggung memanjang sehingga pembeli tidak perlu membungkukan badan namun
pedagang masih dapat berdagang dengan cara lama. Di bawah panggung itu ada semacam
ceruk kecil yang dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan barang. Mengingat
Pasar Johar adalah pasar berlantai dua, maka akses tangga ditempatkan di luar
dan dalam pasar untuk mempermudah akses ke lantai dua.
Salah satu tiang yang sengaja tidak dibersihkan sebagai pengingat terbakarnya Pasar Johar pada tahun 2015. |
Sekian tahun lamanya Pasar Johar menjadi kawasan perdagangan terbesar di kota Semarang dengan komoditinya yang lengkap. Di bawah tiang-tian cendawan rancangan Karsten, berkumpulah segenap orang-orang dari berbagai penjuru, mengais rezeki dengan berdagang agar dapat menyambung hidup. Namun malang tak dapat dihindarkan ketika si jago merah melalap pasar itu pada 10 Mei 2015. Usaha yang dibesarkan selama bertahun-tahun, hangus menjadi abu dalam semalam saja. Hampir selama lebih dari tiga tahun pasar yang dirancang oleh Karsten ini berdiri dalam kesunyian panjang, bergumul dengan abu hitam yang bisu. Untungnya sejak tahun 2018, mulai diambil langkah serius untuk menyelamatkan dan menghidupkan kembali Pasar Johar. Mengingat bangunan cagar budaya seperti Pasar Johar tidak bisa sembarangan dipugar, maka proses penangannya berlangsung lama. Belum lagi dengan urusan pembiayaannya. Pasar Johar akhirnya berhasil melalui masa kelamnya. Pada awal tahun 2022, Pasar Johar kembali bangkit dari tidurnya. Kehidupan niaga kini kembali bangkit bergeliat meski secara perlahan.
Gedung Zuustermaatshappijen yang sekarang menjadi kantor DAOP IV Semarang. |
Karya Karsten lain yang
menujukan kemahirannya sebagai arsitek adalah kantor perusahaan Zustermaatschappijen yang dibangun tahun
1930. Zustermaatschappijen sendiri
adalah perusahaan patungan antara beberapa perusahaan trem uap swasta seperti
Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij, Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij, Serajoedaal Stoomtram
Maatschappij, dan Oost-Java Stoomtram Maatschppij. Tidak seperti umumnya
bangunan Belanda yang diletakan di jalan-jalan besar strategis, gedung yang saat
ini menjadi kantor DAOP IV Semarang ini berada di tempat yang tidak terlalu
strategis, sehingga dengan leluasa Karsten dapat menciptakan sebuah gedung
dengan halaman yang luas di sisi-sisinya. Tampak luar gedung yang terletak di
jalan M.H. Thamarin, Semarang ini begitu ringkas dan minim pernak-pernik.
Gedung ini dikelilingi oleh tiang kotak yang terbuat dari beton. Tiang-tiang
ini menopang atap emperan datar yang juga terbuat dari beton. Sementara bagian
ris tiang-tiang ini ditutup dengan ubin dan teraso ( Sumalyo, 2002; 122 ).
Denah kantor yang dibuat Karsten. |
Denah
dasar gedung ini mirip dengan rumah tradisional orang Jawa, Joglo, dimana
tiang-tiang yang tinggi menopang atap dua susun yang memungkinkan pertukaran
udara dari lubang atap. Penghawaan di dalam ruang juga didukung dengan
keberadaan ventilasi berbentuk lingkaran. Pada denah buatan Karsten yang dimuat
pada Locale Techniek edisi Maret 1938, terlihat bahwa pengaturan denah gedung
ini dilakukan secara cermat sehingga ukuran lantai dasar cocok dengan ubin.
Bagian ruang tengah yang paling luas dan lebar diperuntukan bagi pegawai
menengah dan di keempat sisinya terdapat kamar-kamar untuk pegawai yang lebih
tinggi pangkatnya ( Karsten, 61; 1938 ).
Lorongdi bagian dalam. |
Suasana kantor di masa kolonial ( sumber : Locale Techniek ). |
Bersinggungan sekian
lama dengan alam dan budaya Jawa membuat ia tertarik untuk memasukan unsur
budaya Jawa dalam karyanya. Persinggungan ini mungkin bermula sejak ia menikah
dengan perempuan Jawa bernama Soembinah Mangoenredjo pada 1921. Ketertarikannya
pada budaya Jawa juga barangkali dipengaruhi oleh seniornya, Henri Maclaine
Pont yang bersama dengan Karsten menjadi bidan kelahiran arsitektur Indo-Eropa.
Bagi kedua arsitek itu, biarlah Jawa menjadi Jawa. Tak perlulah bangunan berlanggam
Eropa ditaruh di alam yang masyarakatnya telah memiliki identitas kuat seperti
Jawa. Berdua, mereka berusaha mendobrak pakem arsitek Belanda yang secara
mentah membawa arsitektur modern ke Hindia-Belanda dengan membuat bangunan yang
citarasa nusantaranya lebih kental seperti gedung ITB Bandung dan Gereja
Pohsarang Kediri, gedung Sobokartti Semarang dan Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Namun gagasan itu ditentang oleh arsitek lain, C.P. Wolff Schoemaker (Handinoto, 2012; 89). Alhasil, timbul perdebatan yakni seperti apa sejatinya
identitas arsitektur Hindia-Belanda itu ? Jawaban yang tentunya tak akan saya
ulas pada tulisan ini karena itu sudah menjadi pokok bahasan lain.
Gedung Sobokartti. |
Salah satu gagasan luhur Karsten memadukan unsur
budaya Jawa dengan arsitektur modern dituangkan dalam wujud gedung pertunjukan
Sobo Kartti. Gedung pertunjukan ini terbangun berkat peran dari Kuntsvereeniging
atau perkumpulan seni Sobo Kartti. Perkumpulan tersebut mulai didirikan pada 9
Maret 1920 atas prakarsa Semarangsche Kunst-Vereeniging dan berbadan hukum pada
9 Desember 1920. Nama Sobo Kartti dipilih oleh KGPH Koesoemojoedo dari
Kasunanan Surakarta. Ketua pertamanya adalah Mohammad Joesoef. Karsten sendiri juga
adalah anggota Sobo Kartti dan sempat bertugas sebagai bendahara. Tujuan dari perkumpulan
seni Sobo Kartti ialah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap
keseniannya sendiri. Pada saat itu, beberapa kesenian, utamanya seni tari hanya
eksklusif untuk dipelajari dan dipentaskan kalangan dalam keraton. Setelah
dibentuknya perkumpulan ini, tarian yang semula hanya dapat dinikmati di dalam
kungkungan tembok tebal keraton, kini dapat ditampilkan di hadapan khalayak
umum. Semenjak berdiri, Volkskunstvereeniging Sobo Kartti menerima kucuran
subsidi dari pemerintah Gementee Semarang sebanyak 3000 gulden setiap tahun
untuk kegiatan perkumpulan. Namun karena deraan krisis ekonomi tahun 1930an,
subsidi tersebut dipotong setengahnya.
Bagian depan gedung Sobokartti. |
Pintu masuk ke ruang pertunjukan. |
Sebelum menempati gedung Sobo Kartti, kegiatan
perkumpulan diadakan di sebuah bangunan yang beralamat di Dokter
Djawa. Sekitar akhir tahun 1930, perkumpulan Sobokartti menugaskan Karsten dan
J.H. Schisjma untuk merancang gedung pertunjukan baru untuk perkumpulan
tersebut. Gedung pertunjukan tersebut akan menjadi gedung pertunjukan pertama
yang dikhususkan untuk pentas kesenian Jawa (De Locomotief, 16 Desember 1930).
Untuk mewujukan pendirian gedung tersebut, perkumpulan Sobo Kartti setidaknya
membutuhkan dana sebesar 30.000 gulden dan masih belum termasuk untuk biaya
pemasangan listrik, perabotan, dan pembelian tanah. Sebagian besar dana untuk
pembangunan gedung berasal dari jatah sebagian keuntungan lotre dari
pemerintah. Sumber lainnya berasal dari donator, pemasukan dari pentas, dan
kontribusi tahunan anggota. Akhrinya terkumpulah dana sejumlah 30.500 gulden
untuk pembangunan gedung. Sementara tanah lokasi gedung pertunjukan berdiri
disediakan oleh pemerintah kota di Karrenweg (kini Jalan Dr. Cipto) dan
perkumpulan membayar biaya sewa tanah tersebut kepada pemerintah kota dengan harga
yang rendah. Kayu-kayunya sendiri dipasok dari Landbouw Departement atau
Departemen Pertanian.
Barangkali karena pertunjukan kesenian Jawa idealnya
juga dipentaskan di gedung bergaya Jawa, maka Karsten berpikir untuk mencoba
membuat sebuah bangunan jenis pendopo yang dapat mewadahi fungsi sebagai gedung
pertunjukan rakyat. Dari luar, bangunan itu nantinya akan terlihat seperti
sebuah pendapa Joglo besar, namun bagian dalam bangunan itu akan dibuat dalam bentuk
seperti sebuah gedung teater. Karsten berpandangan jika semua jenis
pertunjukan, baik pertunjukan tradisional Jawa atau Barat agar dapat disaksikan
penonton dengan baik, maka posisi duduk penonton harus dibuat nyaman dan dapat
melihat ke satu arah panggung proscenium seperti gedung teater Eropa yang tempat
duduknya semakin meninggi ke belakang.
Sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung, maka diadakanlah
upacara peletakan batu pertama pada 15 Maret 1931 yang diikuti dengan penanaman
dua pohon beringin di sebelah kanan dan kiri bangunan. Dua anak laki-laki
meletakan batu pertama gedung Sobo Kartti bernama Amang Harjoso dan Moediono (De
Locomotief, 12 Maret 1931). Setelah pembangunan hampir memasuki tahap akhir,
perkumpulan Sobo Kartti mulai memindahkan kegiatannya ke gedung baru pada 18
September 1931. Proses pemindahan yang dipimpin oleh ketua Sobo Kartti saat
itu, R. Slamet, mengikuti adat Jawa lama. Dimulai sekitar pukul 7 pagi,
pengurus dan beberapa pemain berkumpul di gedung lama untuk secara simbolis menyampaikan
salam perpisahan pada bangunan lama. Setelah itu, rombongan pindahan tersebut
berjalan kaki dari gedung lama ke gedung baru. Setibanya di gedung baru, diadakanlah
upacara slametan yang diikuti oleh Karsten, Schijfsma, dan pemborong Tionghoa Bang
A Hoo. Gedung Sobo Kartti akhirnya diresmikan pada Sabtu
malam, tanggal 10 Oktober 1931. Setidaknya ada 34 orang yang memberi sambutan
dalam upacara peresmian tersebut. Saking banyaknya sambutan membuat acara pertunjukan
tari yang ditunggu sedari awal akhirnya mundur dari jadwal (De Locomotief, 12
Oktober 1931).
Gedung Sobokartti yang terletak di Jalan Dokter Cipto
ini memiliki ruang depan terbuka dengan atap berbentuk limasan. Ruang depan ini
merupakan ruang tunggu sekaligus tempat penonton membeli tiket pertunjukan. Untuk
masuk ke ruang utama, penonton melewati dua buah pintu bergaya paduraksa. Di
ruang utama, terdapat sebuah panggung atau stage. Podium tempat duduk penonton
dibuat pada tiga sisi dengan ukuran yang semakin meninggi ke belakang, sehingga
pandangan penonton yang duduk di belakang tak terhalang oleh penonton di depan.
Seperti halnya gedung Pasar Johar, Karsten melengkapi gedung Sobokartti dengan
bukaan di bagian atap sebagai sumber pencahayaan dan udara alami. Di bagian
belakang ruang utama, terdapat ruangan untuk persiapan pemain sebelum pentas.
Museum Sonobudoyo. |
Usaha Karsten lain dalam memadupadankan arsitektur
modern dengan arsiktetur vernakular tampak pula saat ia ditugasakan untuk merancang
gedung Museum Sonobudoyo di Yogyakarta yang pendiriannya diprakarasi oleh Java
Instituut. Lembaga tersebut dibentuk. di Surakarta pada 1919 oleh P.A.A.P Prangwadono
(Pangeran Mangkunegara VII), R. Dr. Hoessein Djajadiningrat, dan Dr. F.D.K
Bosch sehingga Java Instituut menjadi lembaga ilmiah pertama di Hindia-Belanda
yang berisikan campuran intelektual orang pribumi dan Eropa. Tujuan utama
dari Java Instiuut adalah memajukan dan mengembangkan kebudayaan lokal,
khususnya kebudayaan Jawa yang mulai tergerus akibat penetrasi budaya barat
pada masa kolonial. Apabila kebudayaan suatu bangsa telah punah, maka akan
sukar dalam membangun kesadaran dan jatidiri sebuah bangsa yang utuh. Sebagai
usaha untuk memajukan kebudayaan lokal, maka konggres Java Insituut yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1924 memutuskan untuk mendirikan
sebuah museum sebagai pusat informasi mengenai seluruh aspek kebudayaan lokal.
Sejatinya, di Yogyakarta sendiri sudah ada museum yang didirikan pada 1894 oleh
perhimpunan arkeologi amatir Archaeologisch Vereeniging. Hingga tahun 1912, museum
tersebut bertempat di dekat kediaman residen Yogyakarta yang memberikan
sebagian pekarangan depannya untuk museum tersebut. Namun museum tersebut lebih pantas
disebut sebagai tempat penampungan arca ketimbang sebagai museum.
Museum Sonobudoyo sekitar tahun 1940. |
Koleksi arca. |
Meskipun niatan untuk membangun museum sudah muncul pada
tahun 1924, namun niat tersebut tidak bisa diwujudkan saat itu juga karena
keadaan keuangan Java Instituut sedang tidak memungkinkan untuk mendirikan bangunan
museum. Barulah saat Java Instituut menggelar kongres di Surakarta pada
Desember 1929, ada kepastian mengenai sumber pendanaan untuk pendirian museum.
Dalam kongres tersebut, direktur kehakiman saat itu J.J. Schrieke sepakat
membagi separo keuntungan lotere untuk kepentingan pembangunan museum. Selain
itu empat raja di wilayah Vorstenlanden (Kasunanan Surakarta, Kasultanan
Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Pakualaman) juga bersedia menyumbangkan sebagian benda pusakanya untuk dipamerkan di museum.
Denah museum sebelum perluasan tahun 1939. |
Untuk
lokasi museum, Java Insituut memilih bekas pos polisi di sebelah utara
alun-alun utara Yogyakarta yang dulunya lagi adalah rumah juru sita (Schoutenwoning)
yang dibangun pada tahun 1870an. Pertimbangan Java Instituut memilih tempat tersebut
adalah karena museum yang diharapkan oleh Java Instituut tidak hanya sebagai
tempat penyimpanan dan pemeliharaan koleksi artifak semata, namun juga sebagai sarana
mengenalkan khazanah budaya Nusantara yang menyentuh seluruh kalangan. Alun-alun
dalam tradisi Jawa dikenal sebagai pusat kehidupan masyarakat sehingga orang
berduyun-duyun mendatanginya saat ada perayaan penting atau hari besar. Letaknya
yang berdekatan dengan alun-alun itu akan membuat museum lebih mudah dijangkau
oleh masyarakat.
Bagian dalam museum. |
Pembangunan pendapa pagelaran. |
Di antara sederet panitia pembangunan museum,
terselip nama Th. Karsten. Gedung lama bekas kantor polisi itu dimodifikasi oleh
Karsten menyesuaikan fungsi-fungsi museum dan selanjutnya elemen arsitektur Jawa
dimasukan dalam gedung ini. Penggunaan pendapa di bagian depan meniru
arsitektur rumah tradisional Jawa. Pagar kelilingnya menyerupai pagar keliling
masjid kuno di Jawa sementara pintu gerbangnya mengadopsi bentuk padureksa yang
dijumpai pada kompleks pemakaman raja di Kotagede. Pemilihan gaya arsitektur
tradisional Jawa tersebut dimaksudkan tidak hanya untuk membuat bangunan tampak
serasi dengan lingkungan keraton, namun juga untuk membuktikan bahwa arsitektur
tradisional Jawa memiliki sifat yang luwes sehingga dapat diterapkan secara bijaksana
untuk jenis bangunan yang belum dikenal dalam budaya Jawa seperti museum. Karsten
berharap dari gaya yang dipilihnya itu, arsitektur tradisional Jawa dapat
dikenal secara lebih luas mengingat seni arsitektur belum banyak mendapat
perhatian di kalangan pecinta budaya Jawa dan orang-orang Jawa sendiri dapat menciptakan
kreasi bangunan yang ilhamnya bersumber dari warisan leluhur mereka.
Tender pembangunan museum dikerjakan oleh biro Sitsen
& Louzada. Sementara itu, S. Koperberg menyusun rencana koleksi yang akan
disajikan dan untuk itu ia melibatkan sejumlah ahli seperti R. Ajoe
Soerjadiningrat untuk bagian kain batik dan W.F. Stutterheim untuk bagian kepurbakalaan.
Setelah melalui berbagai tahap pembangunan dan penataan pameran, akhirnya
museum tersebut tinggal menentukan hari baik untuk peresmian museum. Hari baik
peresmian museum akhirnya jatuh hari Rabu Wage pada 6 November 1935. Secara
kebetulan, hari tersebut sama dengan hari lahir Sultan Hamengkubuwono VIII.
Sekitar empat ratus tamu diperkirakan akan menghadiru dalam upacara peresmian
tersebut. Selain tamu dari wilayah Vorstenlanden, ada juga tamu yang datang
jauh-jauh dari Bali mengingat meskipun menyandang nama Java Instituut, pada
kenyataanya lembaga tersebut juga mempelajari kebudayaan Sunda, Madura, dan
Bali. Pada peresmian tersebut terlihat juga sosok yang kelak menjadi Menteri pendidikan
di awal kemerdekaan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Upacara peresmian yang
dimulai pada pukul sembilan pagi itu diawali dengan sambutan pembukaan oleh
ketua Java Instituut, R.A. Hoessein Djajadiningrat. Setelah sambutan dari
berbagai pihak, museum yang diberi nama Sonobudoyo tersebut secara resmi dibuka
oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Selama dua malam, digelar pentas pertunjukan di
pendapa depan museum seperti tari topeng Bali yang dibawakan oleh raja Karangasem,
I Gusti Bagus Jelantik.
Bagian dalam pendapa. |
Pada hari-hari pertama Museum Sonobudoyo, kunjungan
museum dibuka setiap hari dari jam delapan pagi hingga dua belas siang. Sore
hari kecuali pada hari Minggu, kunjungan museum kembali dibuka pada jam empat
sore hingga enam petang. Harga tiket yang dipatok sebesar 25 gulden untuk
pengunjung non pribumi dan 5 gulden untuk pengunjung pribumi. Untuk pelajar yang
didampingi oleh guru, harga tiketnya sebesar 5 sen untuk pelajar non pribumi
dan 2,5 sen untuk pelajar pribumi. Anggota Java Instituut digratiskan masuk ke
dalam museum asalkan dapat menunjukan bukti kontribusi keanggotaan terbaru.
Bagian terdepan dari Museum Sonobudoyo adalah pendapa beratap limasan. Bagian
ini dahulu berfungsi sebagai ruang upacara resmi dan pertunjukan wayang. Di
belakang pendapa, ada ruang yang disebut dalem yang menyimpan ranjang tidur
tinggalan Sultan Hamengkubuwono I yang disumbangkan kepada museum oleh Sultan
Hamengkubuwono VIII. Selanjutnya pengunjung dapat memasuki sejumlah galeri
seperti galeri wayang yang memamerkan aneka jenis wayang, galeri perahu yang memajang
miniature perahu dari berbagai penjuru Nusantara, dan galeri Bali yang berisi barang
seni khas Bali. Sehubungan dengan terbatasnya ruang saat itu, maka tidak semua
koleksi museum dapat disimpan di dalam. Contohnya adalah arca-arca kuna yang akhirnya
diletakan di luar pendapa. (Het Vaderland 21 November 1935).
Karena koleksi terus bertambah, maka Museum
Sonobudoyo akhirnya diperluas pada tahun 1940. Perluasan museum salah satunya
adalah dengan menambah paviliun Bali yang gapura bentarnya dibuat oleh
pengrajin yang didatangkan dari Bali. Selain memperbesar museum, Java Instituut
juga membuka sekolah kerajinan Kunstambachtschool yang diharapkan dapat menghasilkan
seniman-seniman tradisional. Peresmian museum baru dan sekola tersebut diadakan
pada Februari 1941 (Bataviaasch Nieuwsblad 1 Maret 1941). Saat terjadi Agresi
Militer Belanda Kedua, bangunan museum mengalami kerusakan akibat ledakan bom
yang dijatuhkan pesawat Belanda. Situasi politik yang saat itu tidak menentu
mengancam keberlangsungan museum apalagi ada desas-desus jika museum akan
dijarah oleh massa (Het Nieuwsblad voor Sumatra 4 Januari 1949). Hingga hari
ini masih sintas sebagai tempat menyimpan dan memamerkan beragam koleksi benda
budaya seperti keris, kain batik, gamelan, patung kayu, topeng dan arca-arca
batu. Sejak tahun 2002, Museum Sonobudoyo dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi
D.I. Yogyakarta.
Ranjang tinggalan Sultan Hamengkubuwono I yang disumbangkan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. |
Hiasan pintu ke ruang Bali. |
Bagian dalam museum. |
Begitulah
uraian sebagian karya dari sang arsitek humanis Thomas Karsten yang masih bisa
disaksikan sampai sekarang. Karya-karya yang dibuat oleh Karsten seolah menunjukan bahwa ia
berusaha untuk meletakan arsitektur nusantara sebagai unsur dasar, sementara
bentuk dan teknologi konstruksi barat hanya pelengkap saja. Sang maestro memang
sudah lama tiada, namun namanya tak akan pernah terhapus dari sejarah seni bangun
di Indonesia dan karyanya akan menjadi ilham untuk anak bangsa dalam penarian
jatidiri kebudayaan mereka.
Referensi
Brommer dkk. 1995. Semarang, Beeld van een Stad. Purmerend : Asia Maior.
Bruggen dkk. 1995. Djoca Solo, Beeld van Vorstenlanden. Pumerend : Asia Maiaor.
Handinoto. 2010. Arsitektur dan kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Karsten, Thomas. 1938. 'Twee Semarangse Kantoorgebouwen' dalam Locale Techniek edisi Maret 1938.
Karsten, Thomas. 1938. 'Iets Over De Centraale Pasar' dalam Locale Techniek edisi Maret 1938.
Liem Thian Joe. 1931. Riwajat Semarang. Batavia : Drukkerij Boekhandel.
Sumalyo, Yulianto. 2002. 'Usaha Penyatuan : Arsitek Belanda di Hindia' dalam Indonesian Heritage : Arsitektur. Jakarta : Widyadara.
Algemeene
Handeslblad 1 Juli 1932
Bataviaasch Nieuwsblad 1 Maret 1941
De
Locomotief 20 Juni 1932
di blognya gak ada sumber yang jelas asal muasal foto lama nya
BalasHapusSemua foto yang tidak saya cantumkan sumbernya merupakan dokumentasi pribadi saya. Terima kasih
HapusHallo mas, saya sedang menulis skripsi tentang sobokartti dengan tujuan untuk menyebar luaskan gedung kesenian sobokartti yang berada di Semarang. apa mas punya data" yang kiranya bisa membantu saya mas ? Terima kasih sebelum nya mas.
BalasHapusReferensi di akhir tulisan sekiranya dapat membantu. Terima kasih.
Hapususaha bertahan sia2 hanya dalam semalam Malang tak dapat dipinjamkan, dan tinggal menjadi debu, saya kira tidak tepat mas. nyatanya di lalap api demikian hebat pasar ini masih berdiri tegak, sementara pasar lain roboh jika mengalami kebakaran. ada advertentie tentang pasar ini saat di awal berdiri nya, bahwa pasar ini di klaim tiada takut kebakaran, dan ini dibuktiken. tinggal renovasi memang masih menunggu waktu.
BalasHapushttps://www.tokopedia.com/mabokbukukobam/arsitektur-tropis-modern-karya-dan-biografi-c-p-wolff-schoemaker
BalasHapus
BalasHapusDalam buku saya Modenritas Tropis ada banyak informasi tentang bangunan kolonial di Semarang, Bandung, Jakarta dan Surabaya dll.
Terima kasih sudah mampir di blog saya dan terima kasih pula atas informasinya. Segera saya akan membeli buku anda.
Hapus