Stasiun kayu itu memang tidak begitu monumental ukurannya. Dari
segi estetik juga tidak indah amat. Namun stasiun itu begitu istimewa dalam
sejarah perkereta-apian negeri ini. Ya, seperti itulah Stasiun Tanggung, sebuah
stasiun kecil yang terletak di Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah.
Peron stasiun Tanggung. Terlihat hamparan lantai tegel yang masih asli. |
Ketika sampai di Stasiun Tanggung, saya nyaris tidak percaya bahwa
stasiun dari kayu itu masih kokoh berdiri menantang zaman. Untuk bangunan
sejenis, di Jawahanya ada empat buah saja yang masih berdiri. Pertama adalah
Stasiun Tanggung ini, berikutnya adalah Stasiun Maguwo Lama, Stasiun Gresik,
dan Stasiun Mayong yang sudah berpindah dari tempat asalnya di Jepara, ke
sebuah resort di Magelang. Nasib Stasiun Tanggung sendiri nyaris seperti
Stasiun Mayong. Pada 1980, Stasiun Tanggung rencananya akan diboyong ke TMII.
Namun rencana tadi akhirnya dibatalkan. Kini Stasiun Tanggung menjadi
satu-satunya stasiun kayu yang masih dipakai.
Dengan konstruksi kayunya yang masih belum berubah, bangunan
Stasiun Tanggung adalah mesin waktu yang mengantarkan saya pada perjalanan
panjang transportasi kereta. Saya pun sejenak merenungkan sejarah kereta api
yang terbentang panjang seperti sebuah rel lurus.
Entah benar atau tidak, kehadiran kereta api di Pulau Jawa telah
diramalkan jauh hari sebelum penjajah Eropa menginjakan kakinya ke Nusantara.
Maharaja Jayabhaya, raja kerajaan Kediri yang memerintah pada abad ke 12
dipercaya membuat sebuah nubuat yang menggambarkan kondisi Pulau Jawa di masa
depan. Salah satu nubuat tersebut berbunyi “Kelak akan ada kereta yang
berjalan tanpa kuda dan Pulau Jawa akan berkalung baja”. Tentu nubuat
tersebut sulit dipahami oleh orang pada masa itu. Bagaimana bisa ada sebuah
kereta yang bisa berjalan tanpa kuda dan yang lebih mengherankan, bagaimana
membuat Pulau Jawa berkalung baja ? Sebuah jawaban yang akan terjawab tujuh
abad kemudian.
Monumen peringatan di depan Stasiun Tanggung.
|
Abad 19 di Eropa sana merupakan masa munculnya penemuan-penemuan
cemerlang mahakarya dari Revolusi Industri. Salah satunya adalah lokomotif uap
yang ditemukan oleh George Stephenson pada 1829. Mesin baru tersebut dapat
menarik beban lebih banyak dan sedikit lebih cepat ketimbang kuda (Burschell,
1984;14). Dua dasawarsa sejak keberhasilan Stephenson, jalur kereta api mulai
mengular di seantero Eropa termasuk wilayah koloni mereka.
Foto Stasiun Tanggung ketika baru saja dibuka pada tahun 1867. Wilayah sekitar stasiun masih terlihat seperti sebuah frontier. Foto ini diambil oleh agensi foto Woodbury & Page, co ( Sumber : media-kitlv.nl ).
|
Era sebelum kereta api dibangun adalah era yang menyiksa bagi orang-orang Belanda yang hendak pergi menuju ke pedalaman. Saat itu satu-satunya sarana jalan yang masih bagus hanyalah jalan bikinan Daendels yang dibangun di sepanjang pantai utara. Sementara itu, moda angkutan yang ada juga masih terbatas. Pemerintah kolonial yang hendak mengangkut komdoditas hasil tanam paksa dari perkebunan ke pelabuhan hanya memiliki dua pilihan, antara pedati atau kuli angkut, dimana keduanya sama-sama lamban dan daya angkut sedikit. Hasil-hasil perkebunan akhirnya sudah berkurang mutunya ketika sampai di pelabuhan. Berangkat dari permasalahan tersebut, pada 1840 tercetus sebuah
gagasan dari Kolonel Jhr. Van der Wijk untuk membuat jalur kereta di Jawa. Gagasan Van der Wijk tadi segera
menjadi topik perdebatan yang menghangat di Parlemen Belanda. Setelah tenggelam
sekian lama, gagasan tadi mencuat kembali ketika semakin banyak
perkebunan yang dibuka di Jawa apalagi setelah melihat kesuksesan Inggris
membuat jalur kereta di India pada tahun 1853. Sebagai langkah awal, sebuah
studi banding dilakukan oleh Stieljtes. Ia mengusulkan agar jalur kereta dibuat
dari Semarang dengan tujuan Salatiga lewat Ungaran. Alasan Stiejtes adalah
karena di Salatiga terdapat garnisun militer dan populasi orang Eropa cukup banyak.
Berbeda dengan usul Stieljtes, sebuah konsorium yang dibentuk oleh Poolman,
Fraser, dan Kol justru mengusulkan agar jalur kereta dibuat dari Semarang
dengan tujuan Yogyakarta lewat Solo. Pertimbangan mereka adalah jalur yang
diusulkan oleh Stieljtes akan makan banyak biaya dalam proses pembuatannya.
Selain itu, wilayah Vorstenlanden yang mencakup Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta merupakan wilayah penghasil tanaman ekspor yang memperkaya kas
pemerintah kolonial. Setelah melobi pemerintah, konsorium milik Poolman cs
akhirnya diberi konsensi membangun jalur kereta dari Semarang- Vorstenlanden.
Konsorium tersebut kelak menjadi Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij, perusahaan kereta pertama di Hindia-Belanda ( Tim Telaga
Bakti Nusantara, 1997; 48-53 ).
Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele ( 1806-1890 ), Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang meresmikan pembangunan jalur kereta api di Hindia-Belanda. |
Gempita upacara peresmian menjadi awal dari pembangunan kereta seperti
yang diungkap oleh Liem dalam buku Riwajat
Semarang. Dapat dimaklumi karena jalur itu akan memberi manfaat luar biasa bagi kolonial
Belanda. Sehari sebelum perayaan, Gubernur Jenderal Mr. Baron Slur (Sloet)
van de Beele telah tiba di Semarang diiringi dengan para pembesar dan serdadu. Saat
hari upacara tiba tiba, di sepanjang jalan dari kediaman Residen hingga lokasi pencangkulan pertama di Tambaksari,
masyarakat tumpah ruang memadati jalan. Sesuai dengan adat kolonial, mereka
harus berjongkok ketika Gubernur Jenderal lewat. Trap-trap yang dihias indah
menyambut sang gubernur ketika tiba di lokasi pencangkulan yang disambut begitu antusias oleh masyarakat. Maklum saja karena lawatan seorang Gubernur Jenderal merupakan hal
yang jarang terjadi pada waktu itu. Pada 17 Juni 1864, dengan diiringi musik
militer dan gamelan, Gubernur Jenderal melakukan upacara menyerok tanah sebagai
tanda diawalinya pembangunan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden. Serokan pertama
itu sekaligus menjadi langkah pertama sejarah transportasi kereta di Nusantara
( Liem Thian Joe, 1931; 162 ).
Stasiun Samarang, stasiun pertama di Indonesia yang berdiri tahun 1867. Foto diambil sekitar tahun 1905. ( sumber : media-kitlv.nl ).
|
Selama pembangunan, tersiar selentingan yang menyebutkan bahwa
banyak penculik anak kecil yang keluar masuk perkampungan. Anak kecil ini nantinya
akan dijadikan sebagai tumbal pembangunan jembatan mengingat takhayul masyakat
pada waktu itu bahwa setiap pembangunan jembatan memperlukan sesajen agar
selamat. Selentingan tersebut menyebar begitu cepat bagai kabar hoax pada
masa sekarang. Masyarkatpun gempar mendengar selentingan tersebut. Orang-orang
tua mengawasi anaknya lebih ketat. Setiap menjelang senja, anak-anak harus kembali
ke rumahnya masing-masing. Setelah pembangunan jalur kereta yang selesai pada
tanggal 10 Agustus 1867, masih muncul selentingan aneh lagi. Di tengah masyarakat
yang masih dililit oleh takhayul, kereta api dianggap barang yang ajaib sekaligus mengerikan. Mereka percaya bahwa kereta api dijalankan dengan kekuatan
setan karena dapat bergerak sendiri tanpa perlu ditarik kuda. Oleh sebab itulah pada awalnya banyak orang pribumi dan Tionghoa yang
tidak berani naik kereta api lantaran percaya jika mereka naik kereta api, mereka akan dimakan oleh setan penunggu kereta. Sungguhpun demikian, kereta api perlahan mulai diterima oleh banyak orang (Liem Thian Joe, 1931; 163).
Di samping stasiun, terletak tugu peringatan dengan roda kereta bersayap yang berdiri di puncak tugu. Kalimat “Di Bumi inilah kita bermula” tertulis pada tubuh tugu itu. Tugu itu seharusnya didirikan di eks Stasiun Samarang di Kemijen, Semarang yang menjadi stasiun kereta api pertama di Indonesia. Namun sayangnya jejak stasiun tersebut sudah sulit dilacak. Menurut rencana, pembangunan jalur kereta masih akan dilanjutkan sampai Vorstenlanden. Namun rencana tersebut terganjal kesulitan finansial akibat biaya pembangunan yang ternyata melonjak dari perkiraan awal sehingga pembangunan jalur kereta masih tanggung sampai di stasiun Tanggung. Bahkan tahun 1868, proyek ambisius tersebut terancam gagal. Sesudah mendapat kucuran dana dari pemerintah dan pengusaha, akhirnya pembangunan jalur kereta dapat diteruskan sampai wilayah Vorstenlanden pada 1870. Tersambungnya Vorstenlanden dengan Semarang berdampak positif. Hasil-hasil perkebunan dapat diangkut dengan mudah dan cepat sampai pelabuhan. Sebagai operator, N.I.S.M menangguk banyak untung. Kesuksesan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden mengilhami dibangunnya jalur kereta api di tempat lain oleh pemerintah atau swasta. Walau pemerintah kolonial di Jawa membantu pembangunan jaringan kereta, tetapi porsi terbesar digarap oleh perusahaan-perusahaan swasta. Dalam beberapa puluh tahun saja, hampir seluruh Pulau Jawa dibangun jalur rel yang saling menyambung satu sama lain tanpa putus, seolah Pulau Jawa berkalung besi.
Di samping stasiun, terletak tugu peringatan dengan roda kereta bersayap yang berdiri di puncak tugu. Kalimat “Di Bumi inilah kita bermula” tertulis pada tubuh tugu itu. Tugu itu seharusnya didirikan di eks Stasiun Samarang di Kemijen, Semarang yang menjadi stasiun kereta api pertama di Indonesia. Namun sayangnya jejak stasiun tersebut sudah sulit dilacak. Menurut rencana, pembangunan jalur kereta masih akan dilanjutkan sampai Vorstenlanden. Namun rencana tersebut terganjal kesulitan finansial akibat biaya pembangunan yang ternyata melonjak dari perkiraan awal sehingga pembangunan jalur kereta masih tanggung sampai di stasiun Tanggung. Bahkan tahun 1868, proyek ambisius tersebut terancam gagal. Sesudah mendapat kucuran dana dari pemerintah dan pengusaha, akhirnya pembangunan jalur kereta dapat diteruskan sampai wilayah Vorstenlanden pada 1870. Tersambungnya Vorstenlanden dengan Semarang berdampak positif. Hasil-hasil perkebunan dapat diangkut dengan mudah dan cepat sampai pelabuhan. Sebagai operator, N.I.S.M menangguk banyak untung. Kesuksesan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden mengilhami dibangunnya jalur kereta api di tempat lain oleh pemerintah atau swasta. Walau pemerintah kolonial di Jawa membantu pembangunan jaringan kereta, tetapi porsi terbesar digarap oleh perusahaan-perusahaan swasta. Dalam beberapa puluh tahun saja, hampir seluruh Pulau Jawa dibangun jalur rel yang saling menyambung satu sama lain tanpa putus, seolah Pulau Jawa berkalung besi.
Kesederhanaan ruang tunggu Stasiun Tanggung.
|
Agensi fotografi Woodbury & Page co pernah mengambil gambar Stasiun Tanggung
ketika stasiun itu belum lama dibuka. Di foto itu terlihat wilayah sekitar
stasiun yang kosong melompong. Memang saat itu Tanggung dapat disebut sebagai
area frontier yang nyaris tak tersentuh oleh peradaban. Menariknya,
bentuk bangunan stasiun yang tampak pada foto tersebut berbeda dengan bentuk
yang sekarang terlihat. Usut punya usut ternyata Stasiun Tanggung dirombak
sendiri oleh N.I.S.M pada awal abad ke 20. Gaya arsitektur Swiss
Chalet menjadi pilihan untuk
bangunan staisun yang baru. Kala itu, gaya Swiss Chalet lazim dipakai
pada bangunan lumbung, kandang, atau rumah tinggal di Swiss. Dengan
banyaknya turis yang bertamasya menikmati hawa sejuk Alpen di Swiss, maka pada
abad ke-18, arsitektur Swiss Chalet menyebar ke Eropa,
utamanya di Jerman dan Belanda. Sederhana namun cantik adalah kesan yang
didapatkan dari gaya Swiss Chalet (
Davies dan Jokkinemi, 2008; 373 ). Maka, jadilah gaya arsitektur dari
pegunungan Alpen yang sejuk, dipakai pada Stasiun Tanggung di dataran rendah
yang cenderung panas.
Dinding sisi barat Stasiun Tanggung. Stasiun Tanggung merupakan stasiun bergaya Swiss-Chalet. |
Stasiun Tanggung didampingi oleh sebuah rumah tua kecil yang juga
terbuat dari kayu. Berbeda dengan kebanyakan rumah peninggalan kolonial yang
pada umumnya menyatu dengan tanah, rumah tersebut dibuat seperti rumah
panggung. Sebab rumah itu dibuat demikian karena wilayah Tanggung kerap
diterjang banjir. Di masa lampau, rumah tersebut dihuni oleh kepala Stasiun
Tanggung.
Rumah dinas Stasiun Tanggung. |
Sekian kisah dari Stasiun Tanggung, sebuah stasun sederhana
yang menyimpan cerita sejarah besar, utamanya sejarah kereta api. Kehadiran
kolonial Belanda di negeri ini memang membawa kenangan pahit, namun setidaknya
ada hadiah berharga yang diberikan darinya, yakni kereta api. Berkat kereta
api, kota-kota di Jawa tersambung satu persatu. Tidak terbayangkan jika
seandainya kereta api tidak pernah dibangun di Jawa, mungkin selamanya Jawa
akan terbelakang seperti pulau-pulau lain yang belum memiliki jalur kereta.
Semoga stasiun kecil ini tetap lestari…
Referensi
Burschell, S.C. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta :
Penerbit Tira Pustaka
Davies, Nikolas dan Erkki Jokiniemi. 2008. Dictionary of
Architecture and Building Construction. Oxford : Architectural Press.
Liem Thian Joe, 1931, Riwajat Semarang. Batavia :
Boekhandel Drukkerij.
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api , Tapak Bisnis dan
Militer Belanda. Klaten ; Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997. Sejarah Perkereta-apian
Indonesia Jilid I. Bandung ; Penerbit Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar