Di suatu hari Minggu yang cerah, saya menyusuri eks kompleks HKS Purworejo, sebuah tetenger pendidikan guru masa kolonial di tengah kota militer yang kini sintas menjadi SMA N 7 Purworejo. Sekolah itu merupakan buah dari praktik poitik etis yang diterapkan pemerintah kolonial di permulaan abad ke-20. Bagaimanakah kisah lengkap dari kompleks sekolah yang sarat nilai sejarah ini ?
Gerbang masuk ke kompleks HKS.
|
Sisi luar dan dalam ruang guru yang dahulu merupakan sebuah balairung tempat menyambut tamu. |
Beranda. |
Tampak luar bangunan utama. |
Gedung H.K.S sisi timur dan tamannya yang masih tertata rapi. |
Gedung H.K.S sisi barat. Di bagian ini sekarang sudah tertutup oleh bangunan baru ( sumber : Indie, 21 Februari 1923 ) |
Sekolah ini, sesungguhnya hanyalah buah dari sebuah pohon besar.
Pohon besar itu bernama Politik Etis, yang memiliki lima cabang besar, yakni
pendidikan, kesehatan, komunikasi, irigasi, dan transmigrasi. Namun dari kelima
cabang tadi, yang paling terasa faedahnya di kemudian hari ialah pendidikan.
Lewat pendidikan, lahirlah golongan bumiputera terpelajar yang akan melakukan
perlawanan gaya baru terhadap penindasan pemerintah kolonial, yakni dengan
tulisan, gagasan, dan perserikatan.
Sang direktur pertama H.K.S, J.D. Winnen dan keluarganya di depan kediamannya. Bangunan ini sekarang masih utuh dan menjadi kantor Dinas Komunikasi, Pariwisata, dan Kepemudaan Purworejo (Sumber : colonialarchitecture.eu). |
Rasa tidak tega masyarakat Belanda melihat bangsa yang dijajahnya begitu menderita merupakan pemantik dari politik etis. Sumber
daya alam dikuras habis-habisan, sementara kaum bumiputera dibiarkan melarat,
bodoh dan penyakitan. Kritikan paling keras datang dari Eduard Douwes Dekker, asisten
Residen Lebak, yang tertuang lewat karya kontroversialnya, Max
Havelaar. Singkat cerita, Ratu
Wilhelmina akhirnya memberi dukungan Politik Etis lewat pidato kenegaraanya di
bulan September tahun 1901 (Cribb & Kahin 2012;431). Sejak Politik Etis
direstui oleh sang ratu, sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial segera
dibuka di berbagai tempat. Salah satunya ialah H.I.S. (Hollandsch
Inlandsch School), jenjang sekolah dasar paling bergengsi untuk golongan bumiputra dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Seiring dengan makin banyaknya H.I.S yang
dibuka, maka semakin besar pula kebutuhan akan tenaga pendidik. Mendatangkan
guru-guru dari Eropa jelas menghabiskan banyak biaya, apalagi standar upah
mereka lebih tinggi. Enggan mendatangkan guru dari Eropa, akhirnya pemerintah
kolonial menemukan jalan keluar yang mudah dan murah untuk mendapatkan guru ;
mendidik kaum bumiputera menjadi guru.
Lokasi HKS pada peta tahun 1905, 10 tahun sebelum Kompleks HKS belum dibangun. Pada waktu itu, lahan HKS masih berupa Exercitie plein atau lapangan latihan militer (Sumber : maps.library.leiden.edu).
|
Sebuah foto udara yang memperlihatkan kompleks infantri Kedungkebo (sekarang Yonif 412). Foto ini menghadap ke arah utara. Terlihat sebagian sisi timur kompleks HKS (sumber : media-kitlv.nl).
|
Pada mulanya, sekolah kweekschool dibuka untuk
mendidik kaum bumiputera menjadi guru. Namun jenjangnya tidak terlalu
tinggi. Ia hanya setara dengan SPG di tahun 1980an. Padahal untuk jenjang H.I.S
sendiri setidaknya membutuhkan tenaga pengajar dengan mutu lebih tinggi
daripada kweekschool biasa. Berkenan dengan masalah tersebut, pada tahun
1914 pemerintah kolonial membuka sekolah pendidikan guru yang setingkat di atas kweekschool, Hoogere Kweekschool (H.K.S).
Pemerintah kolonial hanya membuka HKS di dua kota saja di Jawa, satu di
Bandung, menempati gedung kweekschool pertama di Hindia-Belanda, dan
satunya lagi dibangun di Purworejo. Mengapa
Purworejo yang menjadi pilihan padahal
Purworejo sendiri bukanlah sebuah kota besar ? Peter Carey menyebutkan bahwa
infrastruktur yang baik dan dukungan bupati trah Cokronegoro pada dunia
pendidikan menjadi pertimbangan Belanda memilih Purworejo sebagai lokasi HKS (Carey, 2017; 218). Selain itu, pemerintah kolonial juga menilai bahwa situasi sosial-politik Purworejo saat itu relatif aman dari paham "nasionalisme radikal" yang saat itu mulai bergema dan dikhawatirkan dapat mempengerahui para siswa HKS (De Locomotief, 1 Desember 1920). Lingkungan kota Purworejo yang tenang juga mendukung
suasana belajar para murid HKS. Atas segala pertimbangan tersebut, maka pemerintah kolonial memutuskan untuk membangun HKS di Purworejo dan mengucurkan dana sebesar 53.000 gulden untuk mendirikan kompleks sekolah itu. Begitu pentingnya sekolah itu bagi dunia pendidikan Hindia-Belanda, dimana gubernur jenderal A.W.F Idenburg dalam kunjungannya ke Purworejo pada 11 November 1914 menyempatkan diri untuk meninjau lapangan latihan serdadu di sebelah barat garnisun yang di atasnya akan dibangun kompleks H.K.S Purworejo. Seremoni pembukaannya sendiri pada 19 Oktober 1914 dihadiri oleh direktur Onderwijzens en Eredienst, DR. G.A.J. Hazeu. Selama gedung belum dibangun, siswa H.K.S belajar di bangunan semi permanen sementara bekas gedung pegadaian dijadikan asrama sementara mereka. Keseluruhan gedung sekolah akhirnya purna dibangun pada tahun 1916.
Sekalipun sekolah ini didirikan oleh Belanda, namun semua siswa yang menempuh pendidikan di situ justru berasal dari kalangan bumiputera. Siswa H.K.S tak hanya berasal dari sekitar Purworejo saja. Dari segala penjuru daerah di Nusantara, mereka datang ke kota kecil itu karena bagi mereka
yang lulus dari sekolah di situ, pamor dan derajatnya akan terangkat di mata orang. Maka dari itu persaingannya cukup keta. Setiap tahun, sekolah bergengsi ini hanya menerima maksimal 75 orang siswa saja. Mereka yang diterima akan menimba ilmu di sini selama 3 tahun lamanya. Tentang pelajarannya, siswa-siswa H.K.S diberi materi pelajaran berupa ilmu pedagogi dan pengetahuan umum dalam bahasa Belanda. Sayang,
berselang lima belas tahun sesudah dibuka, riwayat H.K.S Purworejo akhirnya
tamat. Pada 1 Juli 1930, H.K.S Purworejo ditutup. Gegaranya ialah krisis ekonomi yang membuat pemerintah kolonial tak sanggup lagi mendanai pengelolaan H.K.S. Siswa kelas 2 dipindahkan ke H.K.S
Bandung dan siswa kelas 1 dipindahkan ke Magelang. Sementara R.H. van Otteloo sebagai kepala H.K.S Purworejo terakhir dimutasi ke H.K.S. Bandung (Tjaja Soematra, 12 Mei 1930). Kedua H.K.S tersebut akhirnya juga menyusul ditutup. Betapa
singkatnya usia H.K.S. Purworejo. Namun di usia yang singkat tersebut, H.K.S.
Purworejo berhasil meluluskan ratusan siswanya yang menjadi guru-guru H.I.S yang tersebar di seantero Hindia-Belanda. Tak
sedikit pula lulusan H.K.S. Purworejo yang menjadi cendekiawan dan terjun ke
pergerakan nasional. Salah satunya yang paling mahsyur ialah Oto Iskandar di
Nata, Si Jalak Harupat dari bumi priangan yang lulus dari H.K.S Purworejo tahun
1924.
Para pamong H.K.S Purworejo (sumber : budayapurworejo.blogspot.com). |
H.K.S Purworejo memang telah purna ceritanya tapi tidak pada gedungnya. Marwah gedung tersebut sebagai sarana pendidik terus terjaga pada periode setelahnya. Sesudah HKS Purworejo ditutup, gedungnya dipakai menjadi sekolah di bawah naungan M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijzer) hingga
zaman Jepang. Berikutnya pada zaman Jepang menjadi Sekolah Menengah Pertama. Paska
kemerdekaan, kembali lagi menjadi sekolah guru. SPG (Sekolah Pendidikan
Guru) namanya. Oleh sebab itu, generasi tua masyarakat Purworejo lazim
menyebut gedung ini sebagai SPG. Setelah berdiri sejak tahun 1968, SPG akhirnya
dihapuskan tahun 1991. Setelah silih berganti institusi, eks kompleks HKS Purworejo lestari sebagai SMA N 7
Purworejo (Pranoto, 2015). Saya sungguh mengapresiasi usaha dari pihak
sekolah untuk mengupayakan agar kompleks sekolah ini tetap terawat dengan baik
di tengah tuntutan sarana dan prasarana pendidikan yang kian banyak.
Rancangan sekolah HKS yang dibuat oleh Burgerlijke Openbare Werken (sumber : Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken 1917). |
Kompleks HKS Purworejo dirancang oleh arsitek dari Burgerlijke Openbare Werken, jawatan pemerintah kolonial yang menangangi pembangunan gedung pemerintahan dan infrastruktur publik. Arsitek tersebut bernama Hoytema dan Beraud. Sementara pengawas pembangunannya bernama Creemers dan Antonisse. Adapun urusan pembukuannya dipegang oleh mantri pribumi bernama Mas Kartodisastro. Beraud merancang gedung kompleks tersebut secara ringkas, jelas, dan praktis. Bangunan dirancang dengan baik dan dibuat dalam bentuk yang modern di masanya. Ruang-ruang kelas memiliki sirkulasi udara yang bagus. Penataan bangunan-bangunan yang ada di
dalamnya sudah diperhitungkan dengan seksama. Lihatlah, bagaimana mewadahi berbagai bangunan yang berbeda fungsi seperti
lobi, kantor guru, ruang kelas, gymnasium, dapur, ruang makan, ruang kesehatan, asrama siswa, dan tempat tinggal pegawai dalam sebuah kompleks besar. Masing-masing bangunan tadi aksesnya disatukan
oleh sebuah doorlop, koridor panjang beratap tanpa dinding. Beraud juga membuat setiap bangunan tidak berdiri
terlalu berhimpitan, sehingga terciptalah keleluasaan ruang yang memberi rasa
nyaman dalam kegiatan belajar mengajar. Ruang-ruang yang kosong diisi dengan taman yang indah dengan berbagai pohon perindang yang menauinginya. Atas keberhasilan Beraud dan timnya dalam merancang kompleks HKS Purworejo, ia diganjar bonus sebesar 2000 gulden (De Preanger Bode, 29 Januari 1919).
Lapangan dan pohon trembesi besar.
|
Kaki inipun mulai berayun menyusuri setiap jengkal kompleks sekolah yang telah berdiri lebih dari seabad lamanya itu. Suasana sekolah hari itu terasa sepi lantaran hari itu sekolah sedang libur. Tak terlihat kegiatan
belajar mengajar seperti pada hari biasa. Di ujung lapangan, tampak pohon trembesi tua yang
menjulang tinggi dengan dahannya yang lebat, memberi keteduhan kepada siapapun
yang ada di bawahnya. Pohon itu sekilas mungkin tak berbeda dengan pohon besar pada
umumnya, tapi bagi siapapun yang pernah bersekolah di sini, pohon itu adalah
pohon yang sarat akan kenangan dan romansa.
Doorlop panjang yang menghubungkan setiap bangunan di dalam kompleks H.K.S. |
Seperti halnya bangunan kolonial di tempat lain,
gedung itu memakai jendela krepyak. Tapi yang membedakannya adalah adanya
tonjolan di luar daun jendela. Saya awalnya tak paham apa fungsi tonjolan itu.
Tapi begitu saya melihat ada semacam pengait di dinding dan posisinya pas
dengan tonjolan itu ketika jendela dibuka, saya akhirnya paham. Tonjolan itu
namanya doorstop, biasanya dipakai
untuk mencegah daun jendela atau pintu tertutup kembali akibat tertiup angin.
Baru di gedung inilah saya menjumpai keberadaan doorstop
pada bangunan kolonial.
WC untuk karyawan dan guru. |
Ruang makan. |
Tungku dapur yang sama yang dipakai oleh juru masak dari era HKS hingga SMA N 7 Purworejo. |
Ruang pelayanan kesehatan H.K.S. Sempat kosong dan menjadi sarang kelelawar selama bertahun-tahun, saat ini masih memiliki fungsi yang sama sebagai UKS.
|
Doorlop yang sedang saya susuri ini luar biasa panjang. Seperti yang sudah saya
jelaskan di awal, doorlop ini
merupakan penghubung antar bangunan yang ada di dalam kompleks. Salah
satu bangunan itu ialah ruang makan yang berada tepat di tengah kompleks. Gedung ruang makan ini berhadapan dengan bangunan gymnasium yang kini telah berubah bersalin rupa. Di belakang ruang makan,
terdapat dapur yang juru masaknya masih menggunakan kompor yang sama dengan
juru masak ketika sekolah ini masih bernama H.K.S. Terlihat asap yang mengepul
tipis dari cerobong yang mencuat di atap.
Tampak luar bekas bangunan asrama. |
Saya akhirnya tiba di area barat kompleks HKS Purworejo, dimana di sana terdapat sebuah memanjang yang dulunya adalah asrama untuk siswa. Di asrama itulah para siswa-siswa H.K.S harus tinggal dengan
pengawasan ketat layaknya sekolah kedinasan pada zaman sekarang. Sekolah ini
memang dibangun dan dimiliki oleh pemerintah kolonial, namun siswa-siswanya
yang semuanya berasal dari golongan pribumi diperlakukan cukup baik. Kini bangunan asrama fungsinya diubah menjadi ruang belajar mengajar dan di dalamnya sudah disekat-sekat untuk ruang kelas. Selain
asrama, mereka diberi beragam fasilitas secara cuma-cuma oleh pemerintah
seperti makanan dan layanan kesehatan. Setiap bulan mereka mendapat tunjangan
sebesar 20 gulden dan alat belajar (Kats, 1915; 104). Para siswa-siswa H.K.S yang berasal
dari berbagai daerah lalu membuat suatu perhimpunan bernama De
Broederschap. Kadang perhimpunan ini mengadakan pertandingan olahraga
sesama H.K.S. Perhimpunan murid H.K.S De Broederschap dapat dibilang sebagai embrio persatuan
nasional. Peter Carey menyebut jika peran H.K.S mirip dengan sekolah Sultan
Idris Training College di Malaysia yang saat itu menjadi jajahan Inggris karena
sekolah itu membangkitkan kesadaran kebangsaan Melayu sesama calon guru dari
seantero Melayu (Carey, 2017; 219). Jika Sultan Idris membangkitkan kesadaran
pada bangsa Melayu, maka HKS Purworejo memiliki sumbangsih besar dalam membentuk
tali persaudaraan sesama bangsa Indonesia yang menjadi bekal penting dalam
merebut kekuasaan dari Belanda.
Rumah dinas yang diperuntukan sebagai rumah guru Eropa. |
Rumah dinas yang diperuntukan sebagai rumah tinggal guru pribumi. |
Seusai puas
melihat-lihat kompleks sekolah yang masih terawat dengan baik, saya pun
beringsut ke Jalan Ki Mangun Sarkoro, seruas jalan teduh yang dipayungi oleh
pohon-pohon asam. Di sepanjang jalan ini berdiri bangunan rumah tinggal bergaya
Indis yang dulunya menjadi kediaman para pengajar H.K.S Purworejo. Rumah dinas adalah salah satu fasilitas yang didapatkan oleh para tenaga pengajar H.K.S selain gaji bulanan sebesar 550 gulden untuk direktur H.K.S dan 450 gulden untuk tenaga pengajar. Tidak semua sekolah yang dibangun oleh pemerintah
kolonial dilengkapi dengan rumah dinas guru, dimana hanya sekolah yang dianggap
penting saja yang memilikinya (Elout, 1936; 212). Kompleks rumah guru ini aslinya masih merupakan satu lingkungan dengan kompleks H.K.S Purworejo. Dua buah tugu yang terpancang di mulut jalan Ki Mangunsarkoro menjadi penandanya. Di tugu itulah saya menjumpai monogram H.K.S Purworejo yang masih tampak jelas.
Rumah dinas kepala HKS Purworejo. Foto lama dapat anda lihat di atas.
|
Di selatan kompleks SMA N 7 Purworejo, ada kompleks sekolah lain, yakni SMP N 1 Purworejo yang menempati bekas Hollandsch Inlandsch School (HIS) Purworejo. Sekolah tersebut tidak seperti HIS pada umumnya karena selain sebagai sekolah dasar untuk anak-anak pribumi, sekolah tersebut juga dimaksudkan sebagai sekolah praktek siswa HKS. HIS Purworejo mulai dibangun pada tahun 1917 dan selesai setahun berikutnya. Kegiatan HIS Purworejo masih terus berjalan meski HKS Purworejo sudah ditutup hingga zaman pendudukan Jepang. HIS Purworejo lalu diubah menjadi
SMP Negeri 1 Purworejo dan sejak
saat itu eks bangunan HIS terus digunakan sebagai SMP N 1 Purworejo.
Monogram H.K.S yang berada di mulut jalan Ki Mangun Sarkoro.
|
Dengan berat hati sayapun meninggalkan kompleks sekolah itu. Namun
tersimpan sebuah rasa bangga dan bahagia di hati kecil saya. Bangga karena di
kota tempat saya lahir dan tumbuh, terdapat sebuah kompleks sekolah yang
menjadi kawah candradimukanya para guru di masa lampau yang menyimpan nilai
sejarah perjuangan bangsa. Bahagia karena ia masih lestari dengan baik sampai
sekarang, menjadi tetenger yang memberi wajah tersendiri untuk kota Purworejo. Sayang,
peran besar H.K.S Purworejo belum sempat ditulis dalam sejarah modern
Indonesia. Sayapun hanya bisa berharap, mulai dari warga sekolah hingga semua
masyarakat Purworejo, untuk bisa selalu merawat warisan sejarah yang
dimilikinya. Sebuah warisan berharga yang hendak kita wariskan untuk generasi
selanjutnya….
Referensi
Carey, Peter. 2017. Sisi
Lain Diponegoro ; Babad Kedungkebo da Historiografi Perang Jawa. Jakarta;
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Pranoto, Agung.2015 .Dalam http://budayapurworejo.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-hks-hoogere-kweekschool.html.
Cribb, Robert &
Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah
Indonesia. Depok : Komunitas Bambu.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
18 September 1914.
De Preanger Bode, 29 Januari 1919
Elout, C.K. 1936. Indisch Dagbook. Den Haag ; W.P. Van
Stockum & Zoon N.V.
Kats, J. 1915. Overzicht van het Onderwijs in Ned. Indie. Batavia : Landsdrukkerij.
Vidi S, Albertus Agung. 2009. "Dinamika Pola Tata Ruang HKS Sampai
SMAN 7 Purworejo". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.
Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken. 1917