Ketika matahari mulai menyongsong dari ufuk timur,
sebuah kereta listrik perlahan memasuki satu dari dua belas jalur yang terentang di Stasiun Jakarta Kota. Kereta
berhenti dan segera para penumpang menyeruak dari dalam kereta, berpencar ke
berbagai penjuru. Sudah berdiri lebih sembilan puluh tahun lamanya stasiun ini
menyaksikan lika - liku kehidupan manusia ibukota. Lengkung kanopi besinya seakan
ingin menceritakan sejarah kehadiran si ular besi di Batavia sekaligus karya
salah satu arsitek yang mahsyur di masanya, Frans Johan Lowrens Ghijsels.
Stasiun Batavia Noord pada tahun 1880an (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl). |
Peta tahun 1910an yang memperlihatkan letak Stasiun Batavia Selatan (dalam tanda St. Batavia Z.) (sumber : maps.library.leiden.edu). |
Stasiun Batavia Zuid sebelum direnovasi pada tahun 1927 (sumber : colonialarchitecture.eu). |
Jalur kereta jurusan Batavia-Buitenzorg dikelola oleh maskapai Nederlandsch Indische Spoorweg. Tempat pemberhentiannya sendiri berada di Stasiun Batavia Noord yang dahulu ada di timur balai kota. Selain melayani jalur Batavia-Buitenzorg, Stasiun Batavia Noord juga menjadi tempat pemberhentian kereta jurusan Batavia-Priok yang dibuka dan dikelola oleh Staaspoorwegen pada tahun 1887. Dari pelabuhan, penumpang akan berganti kereta di Stasiun Batavia Noord sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah pedalaman. Selain Stasiun Batavia Noord, terpaut 200 meter ke selatan terdapat stasiun Batavia Zuid milik maskapai lain, yakni "Bataviasche Oostpoorweg Maatschappij" atau sering disingkat menjadi BEOS. Sejarah berdirinya maskapai ini dimulai ketika H.J. Meertens mengajukan konsensi pembangunan kereta api dari Batavia sampai wilayah timurnya seperti Pasar Senen, Meester Kornelis, Tanjung Priok, dan Bekasi. Namun karena tidak memenuhi persyaratan hukum, maka konsensi tersebut ditolak. Tidak putus asa, Meertens beserta firma "Tiedeman en van Kerchem" mengajukan konsensi yang sama pada pada 1881 dan setahun berikutnya, pemerintah akhirnya menerima konsensi tersebut. Mereka diberi konsensi selama 90 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalur kereta dari Batavia hingga wilayah timur seperti Bekasi dan Meester-Cornelis. Lintas Batavia-Bekasi sendiri selesai dibuka pada tahun 1887 dan diikuti Bekasi-Cikarang pada 1890. Pemerintah kolonial rupanya juga meminta BEOS untuk meneruskan pembangunannya hingga lebih jauh ke timur sampai Cirebon. Namun BEOS menolak permintaan tersebut dengan pertimbangan bahwa biaya yang dibutuhkan sangat tinggi untuk membuat jalur di sana. Walaupun demikian, BEOS akhirnya membuka jalur kereta Kedunggede - Karawang pada 20 Maret 1898 yang melewati Sungai Citarum meski BEOS tidak jadi melanjutkan pembangunanya hingga ke Cirebon (Rietsma, 1916;6-8).
Proses pembangunan stasiun Batavia Kota pada tahun 1927 (sumber : colonialarchitecture.eu).
|
Pada 4 Agustus 1898, jalur kereta Batavia-Karawang dibeli oleh Staaspoorwegen dari BEOS. Hal tersebut sejalan dengan rencana pemerintah kolonial untuk pengembangan dan penyatuan jalur kereta di Jawa barat di bawah bendera maskapai kereta plat merah tersebut. Staaspoorwegen kemudian merambah jalur Batavia-Buitenzorg dengan pembelian konsesi jalur dari NISM pada 1 November 1913 (Reitsma, 1928: 116). Dengan demikian, baik Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid sudah dikuasai oleh Staaspoorwegen. Pada perkembangan selanjutnya, Staaspoorwegen juga mulai membenahi jalur kereta di Batavia dalam rangka persiapan elektrifikasi kereta di Batavia. Salah satu pembenahan yang dilakukan adalah dengan menyatukan operasional dua Stasiun Batavia. Sebagai persiapan, Stasiun Batavia Zuid ditutup pada tahun 1923 sehingga tinggal stasiun Batavia Noord saja yang masih beroperasi. Untuk ukuran stasiun yang berdiri di ibukota pemerintah dan menjadi pintu gerbang ke pedalaman Pulau Jawa, gedung stasiun Batavia Noord masih terlihat kurang pantas untuk menunjukkan citra kemegahan Hindia-Belanda. Maka dari itu, Staaspoorwegen menugaskan C.W. Koch, kepala insinyur di Staaspoorwegen untuk merancang sebuah stasiun dengan muka yang lebih megah. Rancangan Koch sedianya akan dilengkapi dengan menara jam di salah satu sudut stasiun namun rancangan tersebut urung dipakai karena alasan ekonomi dan ketidaksepakatan.
Tugas perancangan bangunan stasiun yang memiliki 12 jalur tersebut akhirnya diserahkan kepada Frans Josef Lowrens Ghijsels, arsitek dari biro konsultan Algemeen Ingenieurs- en Architectenbureau (A.I.A). Dalam merancang stasiun baru tersebut, arsitek kelahiran Tulungagung tersebut mencoba beberapa variasi bentuk pintu masuk utama untuk bagian depan bangunan. Setelah bereksperimen dengan berbagai bentuk, Ghijsels akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah bangunan yang lebar, fasad rendah, dan di bagian tengahnya terdapat sebuah atap lengkung yang megah. Bentuk tersebut dinilainya cocok untuk sebuah stasiun terminus atau stasiun ujung (Akihary, 1996; 83). Selepas Ghijsels mematangkan desainnya pada Juni 1927, bangunan stasiun Batavia Zuid dirobohkan. Proyek pembangunan tersebut dikerjakan oleh kontraktor Hollandsch Beton Maatschappij.
Peron stasiun Batavia dengan bentang atap lengkungnya yang panjang(sumber : colonialarchitecture.eu). |
Para penumpang kereta yang tiba di stasiun (sumber : Batavia Als Handels-, Industrie-,en Woonstad) . |
Berkat bantuan kemajuan teknologi konstruksi saat itu, stasiun ini hanya perlu dibangun selama dua tahun. Kontras dengan bangunan stasiun yang bernuansa modern, upacara peresmian yang diadakan pada 8 Oktober 1929 menampilkan unsur tradisional yang sangat kental. Pada pagi hari, para pegawai baik yang berdarah Eropa dan pribumi menggelar upacara selamatan. Sementara itu, pada siang harinya, Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff melakukan upacara penanaman kepala kerbau yang ditanam di depan pintu masuk stasiun. Maksud dari upacara selamatan dan penanaman kepala kerbau itu ialah supaya bangunan stasiun selama beroperasi dapat terhindarkan dari marabahaya. Seminggu setelah upacara tersebut, koran Javabode menyebut stasiun Batavia “berdiri bak monumen yang bersaksi kepada penerus kita tentang apa yang harus dipahami seputar ekonomi. Bangunan itu akan menjadi stasiun yang memesona dan bergelar sebagai salah satu stasiun tercantik di timur”. Keamanan perjalanan telah dipikirkan begitu matang pada saat itu dengan digunakanya sistem keamanan Siemens & Halke, sistem paling mutakhir yang
sudah dipakai pada stasiun-stasiun besar di Eropa dan Amerika (Anonim, 1937; 164-167).
Stasiun Jakarta Kota pada masa sekarang. Sebelum dilakukan penataan kawasan pada tahun 2022, bagian depan Stasiun adalah jalan raya yang ramai kendaraan. |
Vestibule stasiun. |
Kesan lapang tercipta berkat atap lengkung desain karya arsitek F.J.L. Ghijsels. |
Peron Stasiun Jakarta Kota. |
Seakan menolak kemewahan langgam neo-klasik yang
menjadi pakem bangunan stasiun dari periode sebelumnya, Ghijsels memilih langgam
arsitektur art deco yang terkesan lugas dan rasional, namun bercita rasa tinggi.
Langgam tersebut tentu sejalan dengan prinsip Ghijsles, “kesederhanaan adalah
jalan tersingkat menuju keindahan”. Prinsip tersebut dituangkan dalam hiasan interior
dan eksterior stasiun baru yang tampak sederhana, hanya menampilkan permainan
garis tegak lurus namun meninggalkan kesan elegan. Bagian dalam stasiun
ini sendiri berupa ruang tunggu di lantai satu dan kantor di lantai dua yang membentuk galeri. Sementara itu, di atasnya terbentang atap
lengkung yang ditopang oleh kuda-kuda baja yang menangkup ruang di bawahnya. Perhatian besar juga
ditujukan pada detil pintu dan jendela. Racikan Ghijsels tersebut menghasilkan sebuah bangunan
stasiun yang melampaui masanya dan tidak lekang oleh zaman. Karenanya, orang yang pertama kali berjumpa
dengan bangunan ini, tidak akan menyangka jika sebenarnya bangunan ini adalah
bangunan lawas. Walau aura kekunoan masih membungkus di stasiun ini, namun bagaimanapun
juga perkembangan zaman tak bisa dihindarkan. Pintu utama yang berada di tengah
kini tidak bisa dilalui pengunjung lagi. Di samping itu, peron yang berada di
sebelah utara ditambahkan ruang tunggu baru untuk penumpang kereta api jarak
jauh dan menengah.
Jam antik di Stasiun Jakarta Kota. |
Baut penyambung kuda-kuda baja. |
Sebagai penghias, dinding stasiun dilapisi dengan lempengan batu alam yang digosok mengkilat. |
Bila melihat keadaan sekitar, Stasiun Jakarta Kota yang memiliki jarak berdekatan tersebut menempati tempat yang cukup strategis. yakni di sebelah selatan balaikota yang menjadi jantung perekonomian. Ia diapit oleh pusat perdagangan Eropa di sebelah utaranya dan ruko-ruko orang Tionghoa di sebelah selatannya. Berhadapan dengan stasiun ini, berdiri dua gedung perusahaan terbesar di Hindia-Belanda, Nederlands Handel Maatschappij dan De Javaasche Bank. Selain lintas Batavia-Buitenzorg, stasiun Batavia juga juga tersambung dengan Tanjung Priok, Tanah Abang, dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Hiasan interior stasiun baru yang terlihat sederhana, hanya menampilkan permainan garis tegak lurus. |
Seperti itulah kisah Stasiun Jakarta
Kota, salah satu stasiun teragung di Hindia-Belanda, penanda babak baru sejarah
transportasi di ibukota. Dengan visinya yang spektakuler, arsitek Ghijsels
berhasil menghadirkan sebuah bangunan stasiun dengan arsitektur yang melampaui
masa sehingga bangunan ini terlihat sedap dipandang di masa lalu, masa kini dan
masa mendatang.
Referensi
Akihary,H. 1996. Ir. F.J.L Ghijsels
; architect in Indonesia (1910-1929).
Utrecht L: Seram Press.
Anonim. 1937. Batavia Als Handels-, Industrie-,en Woonstad.
Batavia : G.Kolff & Co.
Anonim. Nederlandsch
Indische Staatspoor-en Tramwegen. Nedelands Welvaart.
Reitsma, S.A. 1916. Indische
Spoorweg Politiek (Deel I). Batavia : Landsdrukkerij
Reitsma, S.A. 1928. Korte Geschiedenis der Nederlandsche Indische Spoor en Tramwegen. Batavia : Landsdrukkerij
Bataviaasch Nieuwsblad. 15
Agustus 1929.