Suasana
khusyuk menyertai kunjungan saya ke kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus,
sebuah kompleks gereja yang berada di Ganjuran, Bantul. Selain sebagai tempat
ibadah, gereja ini juga merupakan tujuan wisata religi yang cukup kondang bagi
umat Katolik. Setiap harinya, selalu saja ada peziarah yang datang dan berdoa
menghadap bangunan berbentuk candi yang berada di samping timur bangunan gereja
utama. Kehadiran bangunan yang berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha di tengah
tempat ibadah umat Katolik ini mungkin akan membuat bingung pengunjung yang
pertama kali datang ke sini. Semakin bingung lagi bila mereka mengetahui jika
candi tersebut ternyata adalah warisan dari keluarga pemilik pabrik gula
berdarah Belanda, keluarga Schmutzer. Jejak Kolonial kali ini akan mengangkat
jejak-jejak yang ditinggalkan dari keluarga Schmutzer.
Foto udara PG Gondanglipura. Bangunan besar berona putih adalah gedung pabrik yang sekarang sudah tidak ada lagi (sumber : beeldbankwo2.nl). |
Sebagian dari sisa PG Gondanglipura. |
Pada masa lampau, kompleks gereja
Hati Kudus Tuhan Yesus bersanding dengan kompleks pabrik gula Gondanglipuro.
Letaknya berada di sebelah timur kompleks gereja. Sejarah dari pabrik gula itu
sendiri lebih lama dari gereja ini. Sekitar pertengahan abad 19, sepasang
suami-istri dari Belanda tiba Ganjuran. Mereka adalah Stefanus Barends dan
Elise Fransisca Wilhelmina Kathaus. Seperti kebanyakan pendatang Belanda kaya
pada saat itu, mereka merintis usaha pabrik gula pada 1 September 1862. Pabrik
gula tersebut dinamakan Gondanglipuro yang merupakan gabungan dari dua nama
dusun tempat pabrik gula tersebut berdiri, Dusun Kaligondang dan Dusun Lipuro. Pada
saat pabrik baru didirikan, luas tanamnya baru mencapai 435 bouw dengan hasil
panen sekitar 65.000 per musim tanam. Tahun 1876, Barends meninggal dan ia
mewariskan pabrik gulanya kepada istrinya. Walau sudah tujuh tahun berdiri,
belum terlihat tanda-tanda kemajuan yang berarti. Bahkan pada tahun 1882,
pabrik gula Gondanglipuro terancam bangkrut akibat kegagalan panen (Kalken,
1930; 147)186. Setelah menjanda selama empat tahun, Elise Kathaus kemudian
menikah lagi dengan Gottfried Schmutzer. Dari pernikahan keduanya, ia
dikaruniai empat anak. Mereka adalah Elise Anna Maria Antonia Schmutzer (lahir
1881), Josef Ignatius Julius Maria Schmutzer (lahir 1882), Julius Robert Anton
Maria Schmutzer (lahir 1884) dan Eduard Milhelm Maria Schmutzer (lahir 1887).
Julius Schmutzer dengan medali yang diberi oleh Tahta Suci Vatikan. |
Paus Leo XII, mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum pada 1891 untuk mengurangi beban penderitaan kaum pekerja (sumber : common.wikimedia.org) |
Schmutzer sewaktu meninjau panen tebu. Sebagai pemilik, Schmutzer tidak segan untuk turun langsung ke lapangan. Dari sinilah Schmutzer tahu seperti apa kerja keras para buruh tani. |
Josef dan
Julius Schmutzer sama-sama memiliki ketertarikan dengan bidang teknik. Selepas
mereka tamat dari HBS Surabaya, mereka melanjutkan pendidikan di Politeknik
Delft, Belanda. Selama mereka kuliah di Belanda, kedua Schmutzer bersaudara
melibatkan diri ke dalam gerakan Mahasiswa Katolik. Kala
itu, revolusi industri yang berjalan mesra dengan kapitalisme sedang berada di
masa puncaknya. Di sisi lain, revolusi industri tak hanya membuahkan aneka
mesin-mesin ajaib, namun juga menciptakan beragam masalah sosial yang mengusik nurani.
Sayangnya, para pemilik modal hanya berkutat mengejar kemajuan materi semata,
sementara hak-hak sebagian buruh seringnya diabaikan. Buruh dilarang untuk
berserikat dan kalaupun bisa biasanya dikekang. Kecilnya pendapatan membuat
mereka hanya bisa tinggal di rumah yang sebenarnya kurang pantas untuk
ditinggali. Hal yang hampir sama juga terjadi di Jawa, dimana kecilnya upah
buruh membuat mereka tidak mampu mengenyangkan isi perut seluruh anggota
keluarganya. Seringkali didapati anak-anak buruh dalam keadaan kurang gizi.
Singkat cerita, baik buruh di Jawa maupun di Eropa, adalah kaum yang paling
disengsarakan selama revolusi industri. Gereja Katolik sebagai otoritas
keagamaan terbesar di Barat rupanya menaruh simpati pada penderitaan kaum buruh.
Paus Leo XIII lantas menerbitkan ensiklik Rerum Novarum, Ajaran Sosial Gereja pada 1891. Perlu diketahui pula selain sebagai bentuk perhatian gereja terhadap
hak-hak buruh, Rerum Novarum juga merupakan upaya gereja untuk menangkal pengaruh ajaran Marxsisme di lingkungan pekerja Katolik (Burchell, 1984; 80-81). Anjuran dari Rerum
Novarum meliputi tidak menganggap buruh sebagai komoditi, pembagian keuntungan
yang merata, perhatian kepada tuntutan buruh, dan yang paling penting adalah
kesucian keluarga harus dijaga dengan cara pemberian upah yang layak dan mengurangi
jam kerja untuk pekerja anak dan wanita. Sayangnya, anjuran mulia dari gereja tadi
lebih banyak menuai cercaan dengan alasan akan menghambat kemajuan. Para
pemilik modal, sekalipun setiap Minggunya pergi ke gereja, juga enggan menuruti
anjuran ini karena itu artinya keuntungan yang masuk ke kantung mereka menjadi berkurang. Sebagai
umat Katolik yang taat, Schmutzer bersaudara berusaha mendalami
Ajaran Sosial Gereja. Mereka bertekad untuk menerapkannya bukan di Eropa,
melainkan di Jawa (Aritonang dan Steenbrink, 2008; 702).
Shmutzer bersaudara di masa tua. |
Makam orang tua Schmutzer bersaudara, Gotfried dan Elisa Schmutzer di permakaman Belanda Peneleh Surabaya. |
Poliklinik PG Ganjuran yang dikelola oleh tarekat biarawati Carollus Borromeus. (sumber : collectie.wereldculturen.nl) |
|
Pada
1919, Josef
Schmutzer menikah dengan Lucie Cornelle Amelie Hendriksz
dan setahun berikutnya, ia menerima tawaran sebagai anggota Volksraad. Karena
hal itu ia pindah ke Bogor. Walau demikian ia masih menjalin kontak dengan
saudaranya di Ganjuran. Sepeninggal saudaranya, Julius Schmutzer lalu menikah
dengan Caroline van Rijckevorsel, saudari muda dari pastor Leopold van
Rijkevorsel. Sebelum menikah, Caroline sempat bekerja sebagai perawat dan sebagaimana
suaminya, ia memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Karena itu, pada 1921 garasi
rumahnya disulap menjadi poliklinik. Dari hanya sekedar menumpang garasi rumah,
poliklinik tersebut menempati gedung rumah sakit yang lebih besar pada 1 Juni 1934.
Dalam pelayannya, Caroline Schmutzer dibantu oleh empat suster dari tarekat Carolus Boromeus. Mereka adalah Bunda Cunegundis, Suster Barbarine, Suster Iris, dan Suster Amonia (Kalken, 1930; 146). Pada awalnya mereka sempat kesulitan berkomunikasi dengan
pasien karena kendala perbedaan bahasa. Namun beruntung ada seorang
perempuan pribumi bernama Waginem yang bersedia membantu mereka dalam
berkomunikasi sebagai penterjemah. Untuk meningkatkan pelayanan, rumah sakit tersebut dilengkapi sebuah mobil untuk menjemput pasien. Rumah sakit tersebut hari ini
menjadi Rumah Sakit Santa Elisabeth Ganjuran. Karya sosial keluarga filantropi
ini juga merambah ranah pendidikan. Mereka membuka 12 sekolah rakyat yang
diperuntukan baik untuk anak laki-laki atau anak perempuan. Mereka sengaja
memilih angka 12 sebagai lambang dari 12 rasul yang diutus Yesus. Guru-gurunya
didatangkan dari kweekschool Muntilan.
Untuk menghidupi karya sosial tersebut, Schmutzer menyisihkan sebagian
keuntungan pabrik. Sepeninggal Schmutzer, sekolah-sekolah tersebut dikelola
oleh Yayasan Kanisius. Atas karya sosialnya selama di Ganjuran, Tahta Suci
Vatikan menganugerahkan Bintang Gregorius kepada Julius Schmutzer pada tahun
1930. Berikutnya pada tahun 1933, istrinya mendapat bintang Oranje Nassau dari
Kerajaan Belanda disertai ucapan selamat dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Rumah sakit Panti Rapih, dulunya bernama Ziekenhuis Onder de Bogen. |
Selain
di Ganjuran, warisan sejarah lain dari keluarga Schmutzer dapat dijumpai di
lingkungan kota Yogyakarta. Warisan sejarah berupa kompleks rumah sakit
tersebut boleh jadi sudah dikenal banyak orang namun sedikit yang mengetahui asal-usulnya.
Warisan sejarah itu tak lain adalah Rumah Sakit Panti Rapih. Kisah bermula pada
Februari 1920, ketika ketua badan sosial Katholieken Socialen Bond saat itu, J. van
Roosendaal menyurati VLV (Vorstenlandsche Landhuurders Vereeniging) perihal
rencana pembukaan rumah sakit di kota Yogyakarta. Julius Schmutzer
yang juga anggota VLV saat mendengar rencana tersebut akhirnya berkenan untuk
mendanai pembangunanya. Rencana tersebut sayangnya belum bisa diwujudkan
secepatnya karena belum adanya SDM yang akan menjalankan rumah sakit itu. Pada
tahun 1926, Kongregasi Biarawati Carolus Borromeus dari Maastricht bersedia untuk mendatangkan
sejumlah suster dari kongregasi itu untuk mengelola rumah sakit
yang akan dibangun di Yogyakarta itu. Sebagai langkah persiapan, dibentuklah
Yayasan Onder de Bogen pada 22 Februari 1927 yang diketuai oleh Schmutzer.
Selama dua bulan, yayasan tersebut mempersiapkan lahan yang akan dibangun rumah
sakit dan akhirnya memperoleh sebidang lahan di pinggir utara kota Yogyakarta.
Yayasan selanjutnya membuat kontrak kepada agensi arsitektur AIA (Algemenee Ingineurs
en Architect) khususnya pada Ir. F.J.L Ghijsles untuk merancang kompleks rumah sakit tersebut (De
Locomotief, 16 September 1929). Ghijsels secara khusus mendalami kelebihan dan kekurangan gedung-gedung
rumah sakit di Jawa supaya dapat menghasilkan rancangan gedung rumah sakit
bermutu tinggi.
Bagian bangsal Ziekenhuis "Onder de Bogen" (Sumber : Gedenkboek bij Het Honderd-Jarig, Bestaan Der Liefdezusters van de H. Carolus Borromeus) |
Ziekenhuis Onder de Bogen dengan lengkungan dan atapnya yang meniru bentuk rumah tradisional Nusantara (sumber : Ir. F.J.L. Ghisels, Architect in Indonesia). |
Rumah Sakit Onder de Bogen awalnya memiliki 4 bangsal rawat
inap dengan kapasitas 61 pasien. Supaya bagian dalam ruangan tidak terasa panas
akibat cahaya matahari, maka bangunan bangsal dibangun melintang timur-barat. Keempat
bangsal tersebut dibagi berdasarkan kemampuan pasien. Bangsal A merupakan
bangsal paling mewah di antara keempat bangsal lain dan memiliki beranda yang
menghadap ke Gunung Merapi. Sementara bangsal D diperuntukan bagi pasien kurang
mampu. Selain bangsal rawat inap, rumah sakit juga dilengkapi sejumlah sarana
seperti ruang bedah, klinik bersalin, binatu, dapur, dan gudang penyimpanan
yang dibuat mengikuti standar kebersihan tinggi. Rumah sakit tersebut juga
sudah memiliki mesin rontgen meskipun baru didatangkan beberapa bulan setelah
pembukaan karena belum ada ahli rontgen di Yogyakarta (Algemeen Handelsblad 16
Juli 1929).
Tahun pertama rumah sakit Onder de Bogen tidak dilalui dengan
mulus. Pasien yang datang masih sedikit karena rumah sakit tersebut masih belum
menerima bantuan keuangan dari pihak lain sehingga pasien dari kalangan bawah belum
bisa dirawat di sana. Baru sejak bulan Januari 1932 ketika bantuan keuangan
dari pihak luar telah mengalir, secara berangsur-angsur banyak pasien yang
berobat dan dirawat di rumah sakit Onder de Bogen (Onder de Bogen, 1937;
376-378). Kendati rumah sakit tersebut milik yayasan berlatar Katolik, namun
sehari-harinya mereka menerima pasien dari segala latar belakang. Kalangan bangsawan
Jawa di Yogyakarta menjadikan rumah sakit “Onder de Bogen” sebagai pilihan
tempat perawatan karena lengkapnya fasilitas yang dimiliki rumah sakit
tersebut. Ketika Sultan Hamengkubuwono VIII kesehatannya memburuk, beliau
langsung dibawa ke sana walau akhirnya beliau wafat di rumah sakit tersebut pada
22 Oktober 1939.
Bangunan baru gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, menggantikan gereja lama yang hancur karena gempa 2006. |
Bangunan lama gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (sumber : Sint Claverbond 1934). |
Prasasti yang memperingati upacara peletakan batu pertama gedung gereja. |
Sebagai
umat Katolik yang baik, keluarga Schmutzer mendukung kegiatan keagamaan umat
Katolik di Ganjuran yang saat itu diampu oleh Rm,Van Driessche, SJ. Keluarga
Schmutzer bersedia memberi tumpangan ketika Romo tersebut datang ke Ganjuran
untuk menggelar ibadah misa dan memberikan pelajaran agama. Sungguhpun keluarga
Schmutzer adalah penganut agama Katolik yang taat, tidak ada paksaan bagi buruh
yang bekerja pada mereka atau warga sekitar pabrik untuk mengikuti agama
mereka. Di antara mereka memang ada yang akhirnya yang menjadi Katolik, namun
itu karena atas kehendak mereka sendiri. Karena itulah jumlah umat Katolik di
Ganjuran terbilang kecil. Sebelum Schmutzer memutuskan untuk mendirikan
bangunan gereja pada 1924, kegiatan ibadah selama ini dilangsungkan di kediaman
keluarga Schmutzer (Kalken, 1930; 144). Biarpun kecil dan sederhana, gereja tersebut cukup untuk
menampung umat Katolik ketika beribadah. Sayangnya, rupa gereja Ganjuran yang
sekarang tidaklah sama dengan gereja yang diresmikan Schmutzer. Sayangnya,
gereja ini tidak mampu menahan kuatnya guncangan gempa bumi yang terjadi 2006
silam. Bagian depan bangunan gereja lama itupun runtuh dan karena hal itu,
selama beberapa bulan jemaat beribadah di gereja darurat yang terbuat dari
bambu. Kini, di atas gereja lama telah berdiri gereja baru yang bentuknya lebih
tradisional dibanding gereja lama. Satu-satunya jejak dari gereja lama yang
masih dapat dijumpai adalah batu prasasti yang menandai upacara peletakan batu
pertama pada 1924.
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. |
Monumen HKTY setelah diresmikan pada 11 Februari 1930 (sumber ; Sint Claverbond 1930) |
Di
samping timur gereja, berdiri sebuah monumen berwujud candi yang menjadi titik utama di kompleks gereja HKTY. Kendati tidak semonumental Candi Prambanan atau Candi Borobudur, namun candi ini amatlah unik dan mungkin tiada padanannya di dunia karena candi HKTY adalah candi yang bercorak agama Katolik. Sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dan kasih yang telah dilimpahkan oleh Tuhan kepada usaha dan karyanya, Julius Schmutzer mendirikan monumen yang didevosikan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Namun monumen yang dirancang sendiri oleh Julius Schmutzer lain daripada yang lain karena dibangun dalam wujud seperti candi. Julius Schmutzer sengaja memilih bentuk candi
karena baginya, kepercayaan dan kebudayaan tradisional Jawa telah menjadi
anasir yang mendarah daging pada setiap orang Jawa dan sulit untuk ditinggalkan.
Karena itulah untuk mempermudah pengenalan dan pemahaman orang Jawa terhadap ajaran Katolik, Schmutzer menyelipkan beberapa unsur budaya Jawa yang sekiranya
tidak bertentangan dengan ajaran Katolik (Soekiman, 2014;87). Candi merupakan
wujud kebudayaan Jawa yang monumental dan mudah dikenali orang. Candi yang pada masa silam adalah tempat
suci umat agama Hindu-Buddha, oleh Schmutzer dijadikan sebagai sarana ibadah
umat agama Katolik.
Rancangan Candi HKTY yan dibuat oleh Julius Schmutzer. (Sumber : Europanisme of Katholiksme) |
Suasana pada upacara pemberkatan candi HKTY pada 26 Desember 1927 (sumber ; Sint Claverbond 1928). |
Suasana pada upacara peresmian candi HKTY pada 10 Februari 1930 (sumber : Sint Claverbond 1930). |
Pada 26 Desember 1927, diadakan upacara pemberkatan monumen yang dipimpin oleh Mgr. A. van Velsen. Bahan untuk pembangunan candi dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya untuk disusun menjadi landasan candi. Pengerjaanya tampak begitu halus dan tanpa cacat. Pada kesempatan tersebut, sebuah lempengan tembaga
yang berbunyi “Bila candi ini hancur, Kristus Raja tetap selamanya di
Ganjuran” ditanamkan di dalam sumur peripih. Bersamaan dengan lempengan tersebut, ditanamkan pula arca Yesus buatan pematung bernama Iko yang ditampilkan duduk di atas tahta dan berbusana layaknya raja Jawa di masa silam. Sebagai elemen penting dari ikonografi Hati Kudus Tuhan Yesus, terdapat atribut ikonografi hati menyala di dada arca (Van Rijckvorsel, 1928 ; 130-137). Setelah pembangunannya selesai, monumen candi tersebut kemudian diresmikan pada 11 Februari 1930. Di dalam relung candi, ditempatkan arca Yesus yang serupa dengan arca yang ditanamkan pada tahun 1927 namun dengan ukuran yang lebih besar. Secara
tidak langsung, upaya yang dilakukan Schmutzer tersebut telah memberi nafas baru pada
kebudayaan Jawa.
Patung Hati Kudus Tuhan Yesus, replika dari patung yang dibuat oleh pematung Iko. |
Adegan penyaliban Yesus yang dibuat seperti relief candi dari masa Mataram Kuna. |
Schmutzer bersaudara tidak selamanya hidup bersama di Ganjuran.
Selepas menjadi anggota Volksraad, Josef Schmutzer kembali ke
Belanda. Lantaran kesibukannya sebagai pengajar, Josef tidak sempat
kembali ke Ganjuran hingga ia meninggal di Belanda pada 26 September 1946.
Walau demikian, Josef selama di Belanda berusaha memberi dukungan pada
saudaranya di Ganjuran. Sementara itu, Julius Schmutzer yang kesehatannya
sedikit memburuk akhirnya menyusul kakaknya kembali ke Belanda pada 1934 guna
mendapatkan perawatan lebih baik di sana. Kepergian keluarga Schmutzer menjadi
kehilangan besar bagi para buruh, suster, guru, dan warga sekitar yang telah
menganggap keluarga Schmutzer sebagai bagian dari mereka. Secara ajaib, pabrik
gula Gondanglipuro lolos dari amukan krisis ekonomi pada tahun 1930an padahal
krisis tersebut telah membuat banyak pabrik gula gulung tikar (Soerabaiasch
Handelsblad, 1 September 1937). Meskipun mampu melalui masa-masa kemalangannya
pada krisis ekonomi dan pendudukan Jepang, namun operasional pabrik sempat terhenti sewaktu Agresi Militer
Belanda Kedua. Saat itu Pabrik Gula Gondanglipuro adalah satu-satunya pabrik gula di Yogyakarta yang utuh. Hari-hari terakhir Julius Schmutzer akhirnya dihabiskan untuk
menghidupkan kembali pabriknya Beberapa kali ia berkunjung
ke Indonesia untuk bertemu dengan beberapa tokoh politik dan pemerintah. Salah satunya
adalah I.J. Kasimo yang juga sama-sama penganut Katolik. Sungguhpun sudah mengeluarkan
segala daya upaya, situasi politik yang tidak menentu serta tidak tercapainya kesepakatan dengan petani sekitar membuat
Schmutzer menanggalkan harapannya untuk memulihkan PG Gondanglipuro seperti
sediakala (Kedaulatan Rakyat 3 Desember 1953).
Tidak
bisa dipungkiri bila kehadiran pabrik gula di Jawa selama masa kolonial sudah
memberikan jalan bagi industrialisasi Jawa. Namun di sisi lain, industrilaisasi
tersebut memunculkan masalah sosial dari ketimpangan kesejahteraan hingga
pertikaian kaum pekerja dengan majikan. Dari sekian cerita buruk yang
ditinggalkan dari industri gula di Jawa, masih ada secercah cerita mulia seperti
yang sudah ditunjukan oleh keluarga Schmutzer, tokoh kunci yang memainkan peran besar dalam penyebaran agama Katolik di Yogyakarta. Perbuatan-perbuatan mulia mereka terekam dalam kepingan sejarah yang telah mereka tinggalkan dan bila kepingan tersebut disatukan,
maka hasilya adalah suatu mosaik yang akan melengkapi lembaran
sejarah industri gula di Jawa.
Referensi
Aritonang,
Jan Sihar & Steenbrink, Karel. 2008. A
History of Christianity in Indonesia. Leiden : Brill.
Burchel,
S.C. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta :
Tira Pustaka.
Kalken S.J, A Van. 1930. "Hunne Werken Immers Volgen Hen" dalam Sint Claverbond. Nijmegen ; N.V. Centrale Drukkerij.
Onder
de Bogen. 1937. Gedenkboek bij Het Honderd-Jarig,
Bestaan Der Liefdezusters van de H. Carolus Borromeus. Amsterdam :
Drukkerij. H. J. Koersen.
Rijkevorsel S.J., L. Van. 1928. "Eerste Steenleggeing van Eeen H. Hart Monument op Java" dalam Sint Claverbond. Nijmegen ; N.V. Centrale Drukkerij.
Soekiman,
Djoko. 2014. Kebudayaan Indis ; Dari
Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.
Soerabaiasch Handelsblad, 1 September 1937
Kedaulatan Rakyat, 3 Desember 1953