Jalan Prof. Dr. N. Driyarkara, Purworejo merupakan sepenggal ruas jalan di Purworejo yang namanya diambil dari seorang putra daerah Purworejo yang menjadi filsuf Katolik terkemuka di Indonesia. Jalan Prof. Dr. N. Driyarkara sendiri sarat dengan bangunan yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan Katolik mulai dari gereja, susteran, bruderan, dan sekolah Katolik. Di antara bangunan-bangunan tersebut, Gereja Santa Perawan Maria menyimpan sejarah yang menarik dan arsitektur yang mewakili kondisi pada zaman ketika bangunan tersebut dibangun. Lewat tulisan ini, Jejak Kolonial akan menuntun anda untuk mengenal lebih jauh tentang riwayat dan arsitektur gereja ini.
Foto yang diambil oleh Pastor Thien pada artikel...Keterangan foto "Pastoran di Purworejo, tampak begitu indah dan 'cukup lapang' dari luar, tetapi di dalamnya...." (Sumber :Annalen van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart tanggal 1 Ferbuari 1928) |
Sekitar bulan September 1927, sebuah kapal bernama “Indrapoera” berlayar meninggalkan daratan Eropa dari pelabuhan Marseille dalam suasana tenang. Kapal tersebut dengan membawa banyak penumpang bergerak dengan tenang ke arah timur. Tiga penumpang kapal tersebut adalah pastor, yakni Pastor Bernardus Johannes Visser M.S.C selaku pengawas, Bernardus P. J Thien M.S.C dan Marteen de Lange M.S.C. Ketiganya merupakan anggota tarekat “Missionarii bacratissimi Cordis Jesu" atau disingkat MSC yang dalam sumber-sumber Belanda disebut Missionarisen H. Hart dan jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Misionaris Hati Kudus. (Visser, 1928; 39-40). Tarekat MSC didirikan oleh pastor dari Perancis bernama Jean Jules Chevalier pada 8 Desember 1854 bersamaan dengan tanggal diakuinya dogma Maria Dikandung Tanpa Noda oleh Paus Pius IX. Pada tahun 1881, Tahta Suci memberikan restu kepada MSC untuk mengutus anggotanya untuk menyiarkan agama Katolik ke berbagai penjuru dunia. Sejak saat itu, MSC memberangkatkan banyak misionaris termasuk misionaris dari Belanda yang berkedudukan di Tillburg. Mereka diutus ke Hindia-Belanda dan menjadikan Papua barat sebagai daerah tujuan pertamanya (Van Woesik. 1938 : 27-29).
Sekolah Hollandsch Inlandsche School yang dibuka oleh Serikat Jesuit pada 1 September 1922. Sebelum dibangun gedung baru, kegiatan belajar mengajar diadakan di beranda depan pastoran. (Sumber foto : Sint Claverbond 1923) |
Menoleh beberapa tahun ke belakang sebelum kedatangan ketiga pastor tersebut, Purworejo bersama beberapa daerah lain di Pulau Jawa menjadi ladang misi dari tarekat Serikat Jesuit yang memulai kembali kegiatannya pada 1859 setelah sekian lama tiarap karena kerajaan Belanda yang Protestan sempat tidak mengizinkan adanya penyebaran agama Katolik di Hindia-Belanda. Untuk kegiatan di Purworejo, Serikat Jesuit membeli sebuah rumah besar berhalaman luas dari kantor Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) pada tahun 1888 dan mereka mengadakan misa di aula kecil belakang rumah tersebut. Kehadiran Serikat Jesuit di Purworejo tidak banyak menarik banyak pengikut karena mereka bersaing dengan Kyai Sadrach yang karismatik atau dengan para zending Kristen utusan Gereformeerde Kerken. Meskipun demikian, ada sejumlah keluarga keturunan serdadu Afrika yang menjadi pengikut Gereja Katolik yang taat. Serikat Jesuit kemudian membuka sekolah dasar Hollandsche-Inlandsche School pada tahun 1922. Sebelum resmi dibuka pada 1 September 1922, Serikat Jesuit telah mengirim surat edaran kepada para kepala desa bahwa di Purworejo telah dibuka HIS “Canisius Vereeniging”. Banyak orang tua yang antusias mendaftarkan anaknya ke sana karena HIS masih jarang di Purworejo sehingga pendaftar sekolah tersebut hampir mencapai seribu anak sementara sekolah hanya menerima 160 anak. Akhirnya diadakan seleksi masuk secara mendadak karena sambutan dari masyarakat di luar bayangan misi. Mengingat sekolah tersebut adalah sekolah berbasis agama, maka sebelum mendaftar orang tua murid diberitahu bahwa murid yang bersekolah di sana akan diajarkan agama Katolik. Jika orang tua sepakat, baru sekolah dapat menerima murid tersebut (Van Baal, 1923 : 33-37)
Peta misi MSC di Jawa Tengah dari. Keterangan : "Area Misi Kami di Jawa Tengah. Garis silang adalah batasnya. Garis normal dengan garis putus-putus di sebelahnya merupakan batas ketiga Karesidenan. Garis putus-putus yang lebih tebal adalah jalur trem uap, garis balok adalah jalur kereta. Ada gereja di Tegal dan Tjilatjap, dan Sekolah Katolik di Purworejo. Di Pekalongan, Misa Kudus dirayakan di gudang pemerintah." |
Mgr. Van Velsen, Vicaris Apostolik Batavia, dalam kunjungannya di Purworejo. (Sumber :Annalen van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart tanggal 1 Ferbuari 1928) |
Setelah menempuh perjalanan panjang di atas lautan, ketiga pastor tadi ketika menginjakkan kaki di Batavia pada 22 Oktober 1927. Tiga hari kemudian mereka berangkat ke Purworejo menggunakan kereta api. Kedatangan mereka ke Purworejo tidak lepas dari beralihnya kegiatan misi di sebagian wilayah Jawa Tengah dari Serikat Jesuit ke MSC. Latar belakang peralihan tersebut tidak lepas dari pertumbuhan umat Katolik di Jawa Tengah berkat pendekatan Serikat Jesuit yang cukup baik sehingga mampu untuk menarik banyak penganut baru, terutama di sekitar Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Tenaga manusia Serikat Jesuit di Jawa rupanya cukup terbatas sehingga mereka kesulitan untuk menjangkau umat yang berada di luar wilayah-wilayah tersebut. Untuk mengurangi beban Serikat Jesuit, maka tugas untuk membina dan menuntun umat di wilayah yang melingkupi Karesidenan Banyumas, Pekalongan, dan sebagian Karesidenan Kedu selanjutnya akan dipercayakan kepada MSC. Tidak banyak aset yang ditinggalkan oleh Serikat Jesuit di tempat-tempat tersebut sehingga dari berbagai tempat tersebut, Purworejo dipilih sebagai pijakan pertama karena di sana sudah ada gereja dan tempat tinggal tetap untuk pastor. Pada 25 Oktober 1927, tiga gembala utusan MSC tiba di Purworejo untuk memulai tugas mulianya (Visser, 1928: 39-40). Menurut buku "De missionarissen van het H. Hart Tilburg en hun missiewerk in Nederlandsch Oost-Indiƫ", disebutkan bahwa Purworejo adalah stasi pertama MSC di Jawa Tengah.
Foto tampak samping gereja di Purworejo yang diambil oleh Schutz. (Sumber :Annalen van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart tanggal 1 Ferbuari 1933) |
“Gereja sudah sangat kusam”, terang Pastor Visser dalam Annalen van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart 1 Februari 1928 ”dan foto yang kami sertakan ini tidak dapat menyembunyikan adanya lubang menganga di langit-langit, tempat burung terbang ke sarang mereka dan air merembes dengan deras saat hujan”. Tulisan Pastor Visser tersebut menggambar kondisi tempat ibadah umat di stasi Purworejo yang menempati bagian belakang pastoran. Kendati stasi pertama MSC ada di Purworejo, namun MSC memilih Purwokerto sebagai pusat administrasinya di Jawa Tengah. Tanggal 25 April 1932 menjadi tanggal bersejarah bagi MSC karena wilayah asuhan mereka yang semula berada di bawah naungan Vikariat Apostolik Batavia, kini dipisahkan menjadi Prefektur Apostolik Purwokerto. Vatikan kemudian mengangkat Pastor Visser sebagai Prefek Apostolik Purwokerto pada 2 Agustus 1932 ; sumber lainnya menyebut 18 Mei 1932 (Anonim. 1933 : 17).
Upacara peletakan batu pertama Gereja Santa Perawan Maria Purworejo. (Sumber : Annalen van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart tanggal 1 Desember 1933) |
Nama biro arsitek yang masih terbaca di dinding tenggara gereja. |
Niatan untuk mendirikan bangunan baru gereja mengemuka pada tahun 1932 seiring dengan pesatnya pertumbuhan jemaat di Purworejo sehingga ruang gereja yang kecil mulai tidak sanggup menampung jemaat saat misa. Lokasi bangunan baru gereja dipilih di halaman depan bangunan pastoran yang lama karena halamannya masih cukup luas. Pada 5 Maret 1933, biro arsitek Fermont en Cuypers dari Batavia dilimpahkan tanggung jawab untuk merancang gedung gereja. Nama biro arsitek Hulswit, Fermont en Cuypers sudah sangat tenar dalam jagat arsitektur Hindia-Belanda dan telah lama berkiprah dalam menyusun rancangan gedung gereja Katolik. Selain di Purworejo, hasil karya biro tersebut di wilayah Prefektur Apostolik Purwokerto antara lain gereja di Purwokerto dan Pekalongan; kedua gereja tersebut saat ini sudah berubah bentuk aslinya. Penunjukan biro arsitek sekelas Hulswit, Fermoent en Cuypers boleh dibilang adalah suatu yang langka di Purworejo mengingat kebanyakan bangunan yang ada di Purworejo dirancang oleh arsitek amatiran dari zeni militer, pemborong Tionghoa, atau dari instansi pemerintah Burgerlijke Openbare Werken.
Sketsa Gereja Santa Perawan Maria Purworejo yang dibuat oleh Fermont-Cupyers (sumber : Annalen van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart tanggal 1 Juli 1933) |
Foto Gereja Santa Perawan Maria beberapa waktu setelah diresmikan (sumber : De Koerier 27 Agustus 1933) |
Untuk menandai awal pembangunan gereja, maka diadakan upacara peletakkan batu pertama gereja oleh Pastor Lange pada tanggal 12 Maret 1933. Pada saat gereja dibangun, dunia sedang didera krisis ekonomi Great Depression. Masyarakat lokal mengenalnya sebagai malaise. Krisis tersebut dampaknya cukup terasa sampai Purworejo dan salah satu dampaknya adalah ditutupnya Pabrik Gula Purworejo di Jenar pada tahun yang sama dengan pembangunan Gereja Santa Perawan Maria. Masa itu memang menjadi masa yang sulit untuk semua orang. Ada yang usahanya bangkrut atau kehilangan pekerjaannya hingga akhirnya mereka jatuh miskin. Meskipun perekonomian sedang suram, namun hal tersebut tidak menyurutkan niat dan semangat umat Katolik dari golongan masyarakat Eropa dan Pribumi untuk mendirikan Rumah Tuhan di Purworejo meski dalam bentuk yang relatif sederhana. Berselang lima bulan dari upacara peletakan batu pertama, bangunan gereja yang didambakan dapat dituntaskan dalam waktu yang terhitung singkat. Pentahbisan gereja dilakukan Prefek Apostolik Purwokerto, Mgr. B. J. J. Visser MSC pada 13 Agustus 1933 dalam upacara yang sederhana namun khidmat (De Koerier 24 Agustus 1933). Ketika memandang gereja tersebut untuk pertama kali, orang akan mendapati paras gereja yang dipoles begitu sederhana dan sedikit hiasan. Hal tersebut menjadi pesan bahwa tidak pantas bagi Gereja untuk bermewah-mewahan di saat banyak orang sedang dilanda kesusahan. Meskipun arsitektur gereja terkesan polos, kewibawaan dan pesona sebagai sebuah bangunan sakral masih terpancar jelas.
Tampak depan Gereja Santa Perawan Maria. |
"Matris Filio dicata". Sepenggal kalimat bahasa Latin yang berarti “Didedikasikan untuk Putra Sang Bunda” tergurat di atas pintu masuk, menyambut setiap pengunjung yang datang. Pintu utama Gereja Santa Perawan Maria Purworejo menghadap ke arah timur, arah yang sama sebagaimana gereja-gereja kuno di Roma dahulu dibangun. Bagian depan gereja dahulu memiliki dua tiang bendera, tiang yang satu untuk mengibarkan bendera Belanda dan tiang yang kedua untuk mengibarkan bendera Tahta Suci Vatikan. Tengara yang menonjol di gereja ini adalah menara kecil yang menyembul dari atap limas gereja dan di dalamnya terdapat lonceng terukir sepenggal kalimat Latin "Non recuso laborem in Dei summi honorem". Alkisah, setelah gereja memesan lonceng dari pabrik Petit en Fritsen dari Aarle-Rixtel, rupanya uang untuk membayar lonceng tersebut masih kurang sehingga Pastor Visser lantas membuat tulisan di buletin Annalen van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart tanggal 1 Juli 1933 dan berharap agar pembaca yang terketuk hatinya dapat memberikan sumbangan seihklasnya untuk membantu pembelian lonceng. Lonceng itu akhirnya berhasil didatangkan dan kumandang dentangnya dapat terdengar oleh seluruh umat di hari pentahbisan gereja.
Bagian nave Gereja Santa Perawan Maria Purworejo. |
Bagian yang dahulu digunakan sebagai tempat paduan suara. |
Melangkah masuk ke dalam gereja, pengunjung dapat menjumpai dua kota sumbangan yang sudah ada sejak gereja dibangun. Uang yang masuk ke dalam kotak “Voor de Kerk” digunakan untuk pengelolaan gereja sedangkan uang yang masuk ke dalam kotak “Voor de Armen” digunakan untuk menolong orang-orang miskin. Bagian dalam gereja terkesan polos dan nyaris tidak menampakan hiasan berlebih yang mencolok. “Saat memasuki gereja ini, seseorang dapat membayangkan dirinya berada di dalam Basilika Roma” terang harian De Koerier tanggal 24 Agustus 1933 yang memuat deskripsi gereja sesaat setelah dibuka. Tata ruang Gereja Santa Perawan Maria Purworejo mengacu pada bangunan basilika masa Romawi yang dianggap sesuai untuk persekutuan umat Kristiani yang membutuhkan ruang luas. Denahnya berbentuk persegi panjang dibagi menjadi tiga bagian memanjang. Ruang utama di tengah adalah tempat berkumpulnya umat yang disebut nave. Kemudian nave diapit oleh lorong memanjang yang di sebut aisle. Ujung dari nave adalah tempat posisi altar memimpin ibadah. Pada awal dibuka, gereja direncanakan memiliki daya tampung mencapai 700 orang. Seiring dengan bertambahnya jemaat, maka diadakan penambah bangunan baru di sisi selatan pada akhir tahun 2022. Perubahan lainnya menyangkut pada perubahan tata cara ibadah paska Konsili Vatikan II (1962-1965). Sebelum Konsili Vatikan II, Tata Perayaan dan Ritus Perayaan dilakukan secara Ad Orientem, yakni Umat dan Imam sama-sama menghadap ke arah Altar. Setelah Konsili Vatikan II, Perayaan Ekaristi, yang semula berkonsep Ad Orientem berganti menjadi Versus Populum, dimana Imam tidak membelakangi Umat sehingga saling berhadapan sehingga posisi altar dimajukan ke depan (Abbas. 2021 : 44).
Kotak sumbangan untuk Gereja. |
Kotak sumbangan untuk orang miskin. |
Bejana baptis yang masih asli. |
Aisle sisi utara memiliki tiga ruang pengakuan dosa. Sementara bagian barat merupakan panti imam. Kemudian aisle sisi selatan dapat dijumpai satu fitur langka yang jarang ditemukan di gereja manapun, yakni bejana untuk baptisan anak yang masih asli. Pada bejana dari batu jenis terazzo itu, tertera kalimat berbahasa Latin “In sanguini agni laverunt stolas suas” yang bila diartikan adalah “Dibasuh dalam darah Anak Domba”. Kalimat tersebut merujuk pada Kitab Wahyu 7:14 yang menyebut tentang orang-orang yang keluar dari kesengsaraan besar yang telah membasuh jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba. Ujung dari aisle sisi selatan Gereja Santa Perawan Maria adalah kapel kecil yang didedikasikan untuk Bunda Maria. Di dalam kapel tersebut, “di atas alas kayu sono berwarna gelap, berdiri patung Bunda Maria berwarna putih, persembahan dari umat Katolik Jawa dan menjadi permata yang indah untuk gereja ini” urai koran De Koerier. Patung tersebut saat ini sudah diberi tambahan warna. Keanggunan dari patung tersebut dilengkapi dengan tujuh jendela kaca patri di belakangnya. Jendela kaca patri berbentuk segitiga yang ujungnya mengarah ke patung tersebut menampilkan motif bunga matahari, bakung, mawar, dan melati.
Kapel Maria. |
Jendela bundar di samping kapel memancarkan kilau cahaya warna-warni dari kaca patri karya Albert Verschuuren, seorang seniman dari kota Oosterhout, provinsi Nord Barabant, Belanda. Kaca patri tersebut memperlihatkan sebuah biduk atau perahu yang berlayar di atas ombak dengan berlatar belakang pelangi. Hiasan tersebut mengandung pesan bahwa Gereja yang dilambangkan dengan perahu akan mampu bertahan menghadapi ketidakpastian zaman laksana ombak di lautan dan menuntun umatnya menuju pelabuhan keselamatan. Sementara pelangi di latar melambangkan perlindungan Tuhan terhadap Gereja. Selain di kapel, Gereja Santa Perawan Maria Purworejo juga memiliki kaca patri di bagian depan namun kaca patri tersebut dirusak massa saat kerusuhan sipil Purworejo yang terjadi tahun 1990an.
Jendela kaca patri karya Albert Verschuuren. |
Gereja Santa Perawan Maria saat ini tinggal menjadi satu-satunya karya biro arsitek Cupyers-Fermont yang masih utuh di wilayah Keuskupan Purwokerto. Gereja ini menjadi salah satu tengara bahwa di Purworejo, umat Katolik setidaknya dapat menjalankan ibadahnya dengan damai dan hidup berdampingan dengan umat lain. Kisah perjuangan umat untuk berupaya mendirikan gereja di tengah krisis ekonomi mengandung pesan bahwa nilai sebuah gereja tidak terletak pada ukuran atau kemegahannya, namun bagaimana umat yang beribadah di dalamnya tetap teguh dengan imannya sekalipun didera banyak cobaan. Semoga bangunan yang menjadi bagian dari khazanah warisan budaya di Purworejo ini senantiasa lestari...
Referensi
Abbas, Novida. Soleiman, Yusak. Suryaningsih, Febriyanti. Hutagalung, Sylvania. 2021. Gema Genta : 400 Tahun Gereja Warisan Budaya di Indonesia. Jakarta : Direktorat Pelindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Anonim. 1933. De Missionarisen Van Het H. Hart Tilburg en Hun Missiewerk in Nederl. Oost Indie. Limburg Dagblad.
De Koerier 24 Agustus 1933
Van Baal, Jos. 1923. "Opening Der H.I.S. Te Poerwaredja op 1 September 1922". dalam Sint Claverbon halaman 33-37.
Van Woesik. 1938. De Missioneerende Orden. 't Gravenhage ; Nederlandsch Medisch Missie Comite
Visser MSC. Bern J.J. 1928. "Onze Java Missie" dalam Annalen van O.L. Vrouw V. H. H Hart, 1 Februari 1928. Tillburg : Missionarisen H. Hart 39-40