Selasa, 07 Februari 2017

Sejarah yang Terentang dari Titik Nol hingga Sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta

Hari ini, Titik Nol dan Jalan Malioboro masih menjadi magnet wisatawan yang beranjangsana ke Yogyakarta. Di persimpangan dan sepanjang jalan yang ramai itu, berjajar beberapa gedung tua peninggalan Belanda yang masih tersisa, memperkental nuansa sejarah di kota istimewa itu. Pada tulisan Jejak Kolonial kali ini, saya mencoba untuk merangkai kembali kepingan-kepingan peninggalan kolonial di sepanjang jalan itu.
Sisa-sisa bangunan kolonial dari Titik Nol hingga Stasiun Tugu, A : De Javaschebank (Bank Indonesia), B : Kantor Pos Besar, C : NILLMIJ (BNI 46), D : Benteng Vredeburg, E : Gedung Agung, F : Gedung Seni Sono, G : GPIB Margomulyo, H : Pasar Beringharjo, I : Apotik Rathkamp (Kimia Farma), J : Loge Mataram (DPRD DIY), L : Toko Buku Kolff Buning, M : Apotik Juliana, N : Grand Hotel Djocjakarta (Hotel Inna Garuda), O : Eks Hotel Toegoe, P : Stasiun Tugu.
Sejarah jalan Malioboro sama panjangnya dengan sejarah kota ini. Kota Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan dari Kasultanan Yogyakarta yang didirikan oleh Mangkubumi pada tahun 1756. Kasultanan ini lahir dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani tahun 1755 sebagai hasil pemecahan kekuasaan Keraton Mataram pimpinan Pakubuwono III. Sebagai seorang raja baru, Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I mendapat jatah kekuasaan di barat Sungai Opak. Ia kemudian memilih sebuah hutan antara Kali Code dengan Kali Winongo, dan mendirikan keraton yang ditata mengikuti pola Catur Tunggal sebagai bentuk legitimasi kekuasaanya. Pola tersebut mencakup keraton sebagai tempat berdiamnya penguasa, dan masjid sebagai pusat keagaamaan yang dibangun mengelilingi sebuah tanah terbuka yang disebut alun-alun. Tak berhenti sampai di situ. Kejeniusan Sultan Hamengkubuwono I dalam menata kota juga terlihat dari keberadaan sumbu imajiner yang membujur lurus dari Panggung Krapyak di selatan, keraton di tengah hingga tugu Pal di utara. Sumbu imajiner tadi sejajar persis dengan sebuah jalan yang di kemudian hari dikenal sebagai jalan Malioboro.
Foto udara kawasan titik Nol Yogyakarta sekitar tahun 1930an. Keterangan. 1 : Benteng Vredeburg. 2 : Gedung Agung. 3 : Kantor Nillmij (kini BNI 46). 4 : Kantor Pos. 5 : Kantor De Javaasche Bank  (kini Bank BI).
(sumber : Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden)
Persimpangan Titik Nol barangkali merupakan persimpangan paling padat di Yogyakarta. Siang-malam tanpa putus persimpangan itu ramai dengan lalu lalang kendaraan dan semakin ramai jika musim liburan tiba. Seperti namanya, persimpangan Titik Nol menjadi titik nol penyusuran saya yang kemudian dilanjutkan menyusur ke utara sepanjang jalan Maliboro, berjalan melawan arus kendaraan sekaligus arus waktu.
Gedung BNI 46. Aslinya gedung ini memiliki sebuah pintu masuk yang terletak di susut perempatan. Namun karena jalan semakin ramai, pintu masuk ini ditutup.
Di seputaran Titik Nol, berdiri gedung-gedung kantor monumental peninggalan perusahaan swasta Belanda. Menyingsing diberlakukannya UU Liberal pada 1870, sejumlah perusahaan swasta mulai merintis cabang di Yogyakarta. Salah satunya adalah perusahaan asuransi Nederlandsch-Indisch Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij atau lebih mudahnya disingkat NILLMIJ yang memiliki gedung kantor kolosal di barat perempatan Titik Nol. Sebelum menjadi gedung kantor NILLMIJ, lokasi gedung tersebut berdiri dahulunya merupakan lokasi dari hotel pertama di Yogyakarta, Hotel Centrum. Rancangan gedung dibuat oleh Ir.F.J.L. Ghisles dari biro arsitek Algemeen Ingenieurs en Architectenbureau yang cukup kondang kala itu. Dengan mengusung semangat "kesederhanaan adalah jalan pintas menuju keindahan", Ghijsels menghadirkan sebuah gedung dalam balutan gaya arsitektur art deco yang tidak banyak hiasan namun masih tampil menawan. Proses pembangunannya dimulai pada bulan Oktober 1922 dan konstruksinya dikerjakan oleh N.V. Bouwkundig Sitsen en Louzada. Gedung tersebut diresmikan pada 1 Januari 1924 dan seremoni pembukannya dihadiri oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Pangeran Paku Alam VII, Residen Yogyakarta, dan para petinggi NILLMIJ. Gedung ini memiliki empat pintu masuk karena bersama NILLMIJada perusahaan lain yang ikut menumpang di gedung ini. Nederlandsch Handel Maatschappij dan makelar Buyn & Co. pintu masuknya di utara. Kemudian pintu masuk bagian timur digunakan oleh Escompto Maatscahppij. Sementara NILLMIJ pintu masuknya ada di sudut menghadap perempatan Titik Nol. Gedung tersebut memiliki beranda keliling sebagai penyesuaian terhadap iklim tropis. Kemegahan gedung tidak hanya tampak dari luarnya saja namun juga pada interiornya yang diperindah dengan marmer-marmer yang dipasok oleh Ai Marmi Italiani (De Indische Courant, 11 Februari 1924). Saat ini, gedung tersebut ditempati oleh BNI 46.
Kantor Pos Besar pada masa dulu dan sekarang. 
Pada masa surat menyurat masih menjadi sarana komunikasi andalan setiap orang, hampir di setiap tempat dibangun gedung kantor pos. Layanan pos di Yogyakarta sudah hadir sejak awal abad ke-19. Berdasarkan buku De Ontwikkeling van Postwezen in Ned.Indie, lokasi kantor pos berada di "salah satu ruangan Kantor Pemerintah di kawasan Eropa, yang terletak di dekat gereja dan di seberang benteng Rustenburg (kini Vredeburg)." Bangunan kantor pos besar Yogyakarta menempati lokasi yang sekarang pada tahun 1900. Sayangnya, karena gedung tersebut dirancang oleh pegawai Jawatan Pengairan yang tidak memiliki kompetensi dalam membuat gedung, maka gedung tersebut setelah dibangun ternyata dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk bangunan kantor pos yang sudah ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, bangunan kantor pos lama digantikan dengan bangunan yang lebih besar pada tahun 1912 dan menelan biaya sebesar 90.700 gulden.
Kantor lama De Javasche Bank Yogyakarta pada tahun 1886.
Gedung De Javasche Bank Yogyakarta saat dibangun.
Gedung De Javaasche Bank pada saat dibangun, setelah selesai dibangun dan di masa kini.
Bersanding di sebelah timur Gedung Kantor Pos Besar, berdiri sebuah gedung bergaya Eropa yang dipermanis oleh dua menara kecil. Gedung tersebut dulunya adalah kantor perwakilan bank sentral Hindia-Belanda, De Javasche Bank. Kehadiran De Javasche Bank sudah ada  di Yogyakarta semenjak tahun 1879 dengan A.F. van Schutelen sebagai pemimpin cabang pertamanya. Pembukaan cabang De Javaasche Bank di Yogyakarta bertautan dengan tumbuhnya gairah industri gula pada waktu itu. Kian berjayanya De Javasche Bank di awal abad 20, membuat mereka mampu mempermegah beberapa kantor cabang De Javasche Bank di berbagai daerah termasuk yang ada di Yogyakarta. Pada pertengahan Mei tahun 1914, De Javasche Bank mulai membangun kantor baru di dekat perempatan Titik Nol yang lebih strategis untuk menggantikan kantor lama di selatan klenteng Gondomanan. Rancangan bangunan dibuat oleh biro arsitek Hulswit, Fermont, en Cuypers yang sudah beberapka kali digandeng oleh De Javasche Bank untuk merancang beberapa kantor perwakilannya yang tersebar di seantero Hindia-Belanda. Gedung baru De Javasche Bank Yogyakarta diresmikan pada 15 Februari 1915. Bangunan baru tersebut memiliki paras lebih indah dibandingkan kantor lama dengan langgam arsitektur ekletik rancangan  terlihat begitu kentara. Dari bagian depannya, semua orang dapat melihat simbol kerajaan Belanda dan kota Batavia. Selain itu juga terlihat simbol berupa sepasang sayap, dua ular, dan sebuah tongkat ; perlambang Dewa Merkurius, dewa perdagangan dalam pantheon Romawi. Sekalipun bergaya Eropa, namun jika diamati secara seksama akan terlihat detail-detail hiasan yang sering dijumpai pada candi-candi masa Jawa kuno.
Benteng Vredeburg.
Keadaan sekitar benteng Vredeburg tahu 1830. Keterangan. A : Benteng. B : Kediaman Residen. C : Kantor Residen. D : Kampung Eropa. F : Makam Belanda. H : Pasar.
Berada di sudut timur laut Titik Nol, berdiri sebuah benteng Belanda dengan bastion-bastion gaharnya di keempat sudutnya. Bersamaan dengan dibangunnya kota Yogyakarta oleh HB I, Belanda mulai menancapkan pengaruhnya di kerajaan baru itu lewat VOC dengan mendirikan benteng tak jauh dari Keraton. Benteng itu adalah benteng Vredeburg, atau Rustenburg ketika baru saja berdiri pada tahun 1756. Lokasinya yang menyisip di sumbu filosofi Keraton Tugu seakan menandakan usaha mereka mengintervensi urusan Keraton. Ia tak hanya sekedar sarana pertahanan dan pengawasan saja, namun juga sebagai sebuah kota Eropa kecil. Di dalamnya, terdapat hunian untuk tentara, gudang, societeit, kantor, dan penjara.  Ketika Belanda baru menancapkan kukunya di kota ini, orang Eropa masih tinggal di dalam kungkungan tembok Benteng Vredeburg yang memberi rasa aman kepada mereka dari lingkungan yang asing. Setelah melewati beberapa generasi, mereka secara berangsur-angsur mulai bermukim di luar tembok benteng, kira-kira di sebelah timur benteng. Permukiman itu kemudian dikenal sebagai Loji Kecil. Dari Loji Kecil, mereka mulai menyebar di penjuru kota seperti di Kotabru, Bintaran, Gondolayu, dan Jetis.
Bangunan rumah residen sebelum pemugaran yang memperlihkatn portiko bergaya Yunani di bagian depan (sumber : media-kitlv.nl).
Gedung Agung Yogyakarta pada tahun 1930an. Terlihat koleksi arca kuno yang dipajang di halaman depan. Bagian atas fasad juga masih tampak sisa tympanum atau hiasan segitiga dari bangunan periode sebelumnya. Tympanum tersebut saat ini sudah tidak ditemukan lagi (sumber : geheugenvannederland.com).
Ruang tengah Gedung Agung tempat pertemuan Residen dengan tamu-tamu penting. (sumber : media-kitlv.nl)
Persis di seberang Benteng Vredeburg, di balik pagarnya yang tinggi, saya dapat menyaksikan Gedung Agung yang dulunya menjadi kediaman Residen. Kedaulatan Kasultanan Yogyakarta memang diakui Belanda, namun bukan berarti keraton bisa lepas dari bayang-bayang Belanda. Seorang residen ditempatkan di Yogyakarta oleh Belanda sebagai wakil mereka dan ia diberi kedudukan yang setara dengan Sultan. Apabila Sultan memiliki keraton sebagai kediamannya, maka residen Yogyakarta, selaku wakil Belanda di Kasultanan Yogyakarta memiliki Gedung Agung sebagai istana kebesarannya. Bangunan kuno itu sebenarnya sudah dibangun sejak tahun 1824, namun sempat terhenti akibat bergolaknya Perang Jawa sehingga bangunan baru dapat diselesaikan sesudah perang berakhir. Pada 10 Juni 1867, terjadi gempa cukup kuat yang merusak banyak bangunan di Yogyakarta termasuk rumah residen. Dua tahun kemudian, bangunan rumah residen dipugar dengan pengawasan oleh arsitek P.A. Kayser dan pemugaran selesai dilakukan tahun 1873 (De Locomotief, 21 Maret 1873). Gedung ini di masa lalu disebut pula sebagai Loji Kebon karena memiliki kebun depan yang luas nan rindang yang dihiasi dengan aneka arca dari masa kerajaan Hindu-Buddha yang diambil dari sekitar Yogyakarta
Gedung Agung Yogyakarta.
Sesuai namanya, muka Gedung Agung memancarkan keagungannya dengan serambi depannya yang tinggi dan lebar, ditopang oleh 10 tiang baja berukir dan dua kolom berlanggam Yunani. Kemewahan gedung itu kian kentara dengan lantai marmer putih nan mulus yang mengalasi setiap ruang. Lantai marmer tersebut ditambahkan pada tahun 1919. Segala kemewahan tersebut merupakan bentuk unjuk kekuasaan seorang residen yang menjadi pucuk pemerintahan kolonial tertinggi di Yogyakarta, dimana kedudukannya “disetarakan” dengan Sultan. Begitu megahnya gedung ini, nyaris mengalahkan Keraton Yogyakarta. Selama perjalanannya, rentetan penguasa silih berganti menghuni gedung itu. Di zaman Belanda, gedung itu merupakan kediaman resmi Residen Yogyakarta dan juga sebagai tempat menerima tamu-tamu agung seperti Gubernur Jenderal yang pernah melawat ke Yogyakarta pada tahun 1924. Belanda hengkang, Jepang datang. Jepang menjadikan gedung itu sebagai kediaman Koochi Zimmukyoku Tyookan, wakil Jepang di Yogyakarta. Tatkala ibukota RI pindah ke Yogyakarta tahun 1946, Presiden Sukarno menjadikannya sebagai kediaman resminya hingga ia ditangkap Belanda tahun 1948. Hari ini, gedung itu menjadi salah satu dari Istana Kepresidenan Republik Indonesia meskipun hanya ditempati saat presiden melawat ke Yogyakarta. Mungkin ketika tuan residen Belanda dulu tinggal di sana, tak terpikirkan bahwa di kemudian hari bendera Merah Putih akhirnya berkibar di halaman depannya yang luas.
Soceitei Vereeniging pada tahun 1886 (sumber : rijksmuseum.nl)
Societeit de Vereeniging pada awal abad-20 (sumber : media-kitlv.nl)
Bangunan yang tersisa dari societeit  De Vereeniging yang kini dikenal sebagai gedung Senisono.
Masih berada di dalam pagar Gedung Agung, terdapat bekas bangunan dari Societeit De Vereeniging. Sejarah mencatat bahwa asal muasal Societeit tersebut dapat ditarik setelah peralihan kekuasaan kolonial Inggris kepada Belanda pada tahun 1818. Saat itu, situasi relatif damai dan di kota Yogyakarta tinggal perwira Eropa yang karena hubungannya dengan keluarga kerajaan dapat menyewa tanah ke Sultan. Para penyewa tersebut memiliki sebuah tempat pertemuan di Kadasterstraat (kini Jl. Pangurakan). Tempat tersebut awalnya disebut Geneverhuis karena menjual minuman keras jenever. Sebutan lainnya adalah “Roemah Bitjara”. Pada 27 Juni 1820, dibentuk perkumpulan Soceiteit De Vereeniging atas prakarsa Luitnant de Terrie dan beberapa penyewa tanah. Kemudian pada tahun 1821, perkumpulan tersebut mendirikan gedung pertemuan baru yang terletak di tempat yang sekarang dengan biaya sebesar 2800 gulden. Societeit tersebut dibuka tanggal 4 Juni 1822. Orang-orang Eropa di Yogyakarta mengunjungi Societeit untuk menghabiskan waktu senggangnya. Di Soceteit, mereka dapat berpesta, menonton pentas sandiwara, mendengarkan orkes musik, bermain biliar, atau hanya duduk sembari menikmati minuman keras. Hanya orang Eropa saja yang boleh menjadi anggota Societeit sehingga selain pelayan jarang sekali ada orang pribumi yang masuk. ke dalam. Bangunan soceiteit lama kemudian diganti dengan bangunan baru yang lebih besar pada tahun 1863 dan sesudahnya terus diperluas (Soerabaisch Handelsblad, 24 April 1937). Setiap tahun, Soceitetit Vereeniging menggelar agenda balapan kuda yang ramai ditonton orang. Pada malam pergantian tahun, Societeit mengadakan perayaan yang meriah. Societeit De Vereeneging sendiri kini hanya tersisa bagian belakangnya yang bertarikh 1915. Bagian depan yang terbuat dari kayu hancur terkena bom salah sasaran yang dijatuhkan sekutu saat terjadi Agresi Militer Belanda. Selain Soceiteit De Vereeniging, ada pula Militaire Societeit di sebelah timur Benteng Vredeburg yang diperuntukan untuk kalangan militer. 


Pasar Beringharjo sebelum dan setelah direnovasi oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1923 (sumber : Gegevens over Djocjacarta)
Bagian depan Pasar Beringharjo.
Deretan ruko-ruko Tionghoa di utara pasar Beringharjo.
Para pedagang Pasar Beringharjo tumpah ruah hingga trotoar, membuat saya sedikit tidak nyaman berjalan. Denyut perekenomian rakyat Yogyakarta memang berpusat di pasar ini hingga tak terhitung banyaknya pedagang yang meraup rezeki di sini. Sebagai bagian dari pola Catur Tunggal, pasar itu sama tuanya dengan kota Yogyakarta. Letak pasar dalam tata kota tradisional Jawa diletakan di utara alun-alun. Saat itu, yang namanya pasar tidak memiliki bangunan permanen. Selama ada tempat berteduh dan ada keramaian, di sanalah pedagang akan menggelar dagangannya dan mereka umumnya berteduh di bawah pohon beringin yang masih banyak tumbuh di sana. Dari situlah kemungkinan Pasar Beringharjo mendapat namanya. Pada masa Residen Mullemeister (1889-1892), pasar itu ditambahkan los-los beratap dan bertiang kayu jati. Menurut keterangan Groeneman dalam Reisgids van Jogjakarta en Omstreken, di setiap los ada penanda dalam bahasa Jawa dan Belanda yang memberitahukan jenis barang dagangan apa saja yang dijual di sana. Pelancong asing saat itu biasanya membeli barang seperti kain batik dan perabotan dapur. Pasar itu juga menjual buah, sayur, daging, tembakau dan sereh. Atas prakarsa Sultan Hamengkubuwono VIII, pasar itu disempurnakan pada 1923 dengan biaya sebesar 150.000 gulden. Tiang-tiang kayu diganti dengan tiang beton bikinan Indische Beton Maatschappij dari Surabaya. Pasar berlanggam Art Deco itupun dinobatkan sebagai ”Eender Mooiste Passers op Java” atau salah satu pasar terindah di Jawa. Keramaian Pasar Beringharjo semakin semarak dengan keberadaan kampung Ketandan, permukiman utama orang-orang Tionghoa di Yogyakarta. Berada persis di sebelah utara pasar, mereka membuka toko-toko yang juga merangkap sebagai tempat tinggal.
GPIB Margomulyo.
GPIB Margomulyo (kanan) pada tahun 1880an (Sumber : data.collectienederland.nl)
Di seberang Pasar Beringharjo, bangunan GPIB Margomulyo tertutup oleh kios PKL. Gereja itu merupakan bangunan gereja tertua di Yogyakarta. Dengan semakin banyaknya orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta, maka berbagai sarana turut dibangun untuk memenuhi kebutuhan orang Belanda seperti stempat ibadah. Kebutuhan tempat ibadah orang Belanda di Yogyakarta dipenuhi dengan gereja-gereja yang tersebar di beberapa tempat. Gereja pertama yang dibangun di Yogyakarta adalah gereja yang kini menjadi GPIB Margomulyo di Jalan A.Yani. Ia dibangun pada masa residen Brest van Kempen. Sementara bangunan gereja dirancang oleh arsitek dari Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum), J.G.H. De Valette. Akhirnya Gereja itu diresmikan 11 Oktober 1857 oleh pendeta Ds. C.G.S Begeman (Dingemans, 1925; 98).
Tiga bangunan lama yang berada di depan Hotel Inna Garuda. Bangunan yang sempat menjadi Indomaret Point dahulu adalah apotik Juliana.

Iklan lama apotik Juliana yang merupakan jejaring dari apotik J. van Gorkom & Co.

Jogja Library Center yang menempati bekas toko buku Kolff-Buning.
Iklan lama toko buku dan percetakkan Kolff-Buning.


Apotik Kimia Farma yang dahulunya adalah Apotik Rathkamp, yang memiliki banyak cabang di Hindia-Belanda.

Iklan lama dari apotik Rathkamp.

Salah satu ruko berlanggam Tionghoa di Malioboro.
Bangunan tua di ujung Jalan Malioboro yang di masa kolonial adalah sebuah coffieur atau tukang cukur premium. Konon tukang cukur ini merupakan tukang cukur langganan orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta.
Dari Pasar Beringharjo, geliat perekonomian Yogyakarta kemudian mengalir di sepanjang Jalan Malioboro. Di sepanjang jalan itu, saya masih menjumpai bangunan toko-toko milik orang Tionghoa maupun Belanda yang dulu berjejalan di sepanjang jalan, menjual beraneka barang dan jasa; dari sembako, sandang, obat-obatan, buku, hingga tukang cukur. Sebab itulah di jalan ini dapat dijumpai toko bergaya Eropa yang bersanding dengan ruko bergaya Tionghoa selatan. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, banyak bangunan tersebut yang bersalin rupa. Beberapa bangunan toko bergaya barat yang masih utuh antara lain Apotik Juliana, Apotik Rathkamp, bekas coffieur atau tukang cukur di ujung utara Jalan Malioboro, dan Toko Buku dan Penerbit Kolff-Buning yang saat ini ditempati oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. Untuk yang disebutkan terakhir, gedung tersebut dulunya adalah toko busana "Toko de Zon" yang menempati gedung sejak tahun 1930 (De Locomotief, 16 Juni 1930). Kemudian pada 7 April 1934, gedung tersebut menjadi kantor percetakan dan toko buku Kolff-Buning (Algemeen Handelsblad 8 April 1934).
Gedung DPRD DIY, eks Loge Mataram.
Kenampakan dari gedung Loge Mataram yang masih menggunakan kanopi dari kayu. (Sumber " 
Kepingan kolonial yang berikutnya saya jumpai adalah
Gedung DPRD DIY yang menempati bekas tempat pertemuan sebuah persaudaraan yang erat dengan lambang jangka dan penggaris siku, Freemason. Tahun 1870 adalah tahun kehadiran Freemason di Yogyakarta yang ditandai dengan dibukanya Loge Mataram oleh sejumlah pengusaha perkebunan seperti A. Th. Raaff, F.W. Wieseman, G. Weynschenk, J. J. Raaff, A. E. Klaring, R. M. E., F. E. Israel dan lainnya (Robles, 1917: 299-304). Dengan mengambil nama sebuah kerajaan besar yang pernah ada di Jawa, para anggota Mason berusaha menunjukan rasa hormatnya pada masa lampau Jawa. Sejak awal berdirinya, mengundang orang pribumi Jawa ke dalam persaudaraan Freemason seperti Pangeran Arjo Soerjodilogo dari Pakualam yang bergabung pada tahun 1871. Jejakknya kemudian diikuti oleh Pangeran Ario Notodirojo dan bupati Karanganyar, R.A. Tirto Koesoemo. Loge ini juga menerima Ko Ho Sing sebagai orang Tionghoa pertama yang menjadi anggota Freemason. Dengan demikian pupuslah anggapan Freemason sebagai persaudaraan khusus untuk orang kulit putih. Jumlah keanggotaan Loge Mataram tidak menentu. Kadang naik, kadang turun. Seringnya sedikit karena ada beberapa tuntutan berat yang menyertai dalam proses penerimaan anggota baru. Pada akhirnya, Loge Mataram lebih mengejar kualitas anggotanya daripada jumlah. Loge ini menyewa sebuah gedung di pinggir Jalan Malioboro dari Sultan Yogyakarta sebagai tempat pertemuan. Pada tahun 1894, bangunan loge dipugar dalam rangka perayaan 25 tahun “Mataram”. Dr. Th. Stevens dalam bukunya yang berjudul Tarekat Mason Bebas di Hindia-Belanda dan Indonesia 1764-1961 (2004) menyebutkan loge ini diharapkan akan menjadi loge induk bagi kegitan masonik di Indonesia selepas kemerdekaan. Harapan itu pupus ketika Freemason dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah. Setelah tak dipakai sebagai Loge, gedung itu dipakai sebagai kantor BKNIP (Badan Komite Nasional Indonesia Pusat). Di gedung yang sama wakil presiden Moh. Hatta merumuskan kebijakan politik luar negeri Indonseia yang bebas dan aktif pada tahun 1948.


Bangunan Grand Hotel Djocjakarta sebelum perombakan, setelah perombakan, dan saat sekarang  (sumber : Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden ).
Di ujung Jalan Maliboro, hanya dipisahkan oleh jalur kereta, terdapat dua bangunan hotel peninggalan Belanda yang nasib akhirnya begitu berbeda. Kebudayaannya yang khas serta panorama alamnya yang beragam menjadikan banyak pelancong yang tertarik untuk berwisata ke Yogyakarta dan tentunya mereka membutuhkan sarana akomodasi seperti hotel. Di samping itu, hotel juga menjadi tempat bermalam para penumpang kereta yang turun di Stasiun Tugu karena saat itu belum ada layanan kereta malam. Salah satu hotel yang memiliki pelayanan terbaik di Yogyakarta pada masa kolonial adalah Grand Hotel Djocjakarta yang kini ditempati oleh Hotel Inna GarudaHotel tersebut didirikan oleh badan usaha "N.V. Grand Hotel Djocjakarta" yang dibentuk pada Agustus 1911 oleh J. Jansen, Pynacker Hordijk, J.G. Dom, dan C.F. van der Spek. Mereka kemudian mendapat lahan di ujung utara jalan Malioboro yang dulunya ditempati A. van Rijn (De Indische Mercuur, 3 Oktober 1911). Peletakan batu pertama pada 10 September 1911 menjadi tanda dimulainya pembangunan hotel. Sekitar 450 pekerja dikerahkan untuk membangunnya. Sementara desain gedungnya dirancang oleh arsitek Harmsen dan Pagge dengan penataan ruang meniru Hotel Oranje di Surabaya. Rencananya hotel tersebut mulai dibuka pada Juli tahun 1912. Namun baru pada tanggal 15 September 1912, Grand Hotel Djocjakarta dibuka untuk umum (De Expres, 23 September 1912). Fasilitas yang disediakan hotel tersebut terbilang lengkap, mulai dari air ledeng, lampu listrik dan telepon yang ada di setiap kamar. Kemudian ada restoran, perpustakaan, dan garasi untuk tamu yang membawa kendaraan pribadi. Selain itu, pihak hotel juga menyewakan kendaraan bagi tamu yang ingin berkeliling (De Expres, 18 September 1912). Tamu yang datang semakin banyak bahkan hotel sampai harus menolak tamu karena kamar sudah terisi penuh semua. Maka dari itu pada tahun 1929 dan 1930, Grand Hotel Djocjakarta melakukan sejumlah perombakan. Paviliun tempat tamu menginap yang semula hanya satu lantai dibuat menjadi dua lantai sehingga kapasitasnya meningkat dari 100 tamu menjadi 150 tamu. Tampilan bangunan hotel akhirnya diganti total oleh kantor aristek Sitsen en Louzada dengan bentuk baru bergaya Art Deco (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1930). Di masa lalu, hotel ini menjadi penginapan pilihan orang-orang terpandang yang sedang berkunjung ke Yogyakarta. Misalnya adalah aktor legendaris dari Amerika Serikat, Charlie Chaplin yang pernah singgah di hotel ini pada bulan April tahun 1932 (Algemeen Handelsblad, 1 April 1932). Momen penting lainnya adalah ketika hotel ini digunakan sebagai tempat pembentukan Algemeene Bond Hotelhouders in Nederlandsch-Indische atau ABHINI, ikatan pemilik hotel seluruh Hindia-Belanda pada 1925 (De Indische Courant, 22 Januari 1925) Beberapa kali hotel itu berganti nama seiring pergantiang kekuasaan. Di masa kekuasaan Jepang, namanya adalah Hotel Asahi. Ketika euforia kemerdekaan Republik Indonesia, hotel itupun lantas diubah namanya menjadi Hotel Merdeka.


Hotel Tugu dulu dan sekarang (sumber : media-kitlv.nl )..
Berbanding terbalik dengan Grand Hotel Djocjacarta yang masih lestari, nasib Hotel Tugu terbilang malang. Dibalik pagar seng yang tinggi, hotel itu setidaknya masih berdiri dengan kedua menara kecil yang di kemuncaknya masih terpasang sirene. Entah bagaimana keadaan di bagian dalamnya. Keadaannya sungguh berbanding terbalik ketika hotel bergaya arsitektur Dutch Revival itu masih menjadi hotel terbaik di Yogyakarta pada masa kolonial. Hotel Tugu diperkirakan sudah ada sejak tahun 1870an dan itu artinya hotel tersebut sudah berdiri beberapa tahun sebelum pembukaan Stasiun Tugu. Waktu itu hotel tersebut masih bernama “Logement Toegoe”. Pada 1 November 1878, “Logement Toegoe” dinyatakan bangkrut dan dibeli oleh pemilik baru. Penginapan itu lalu dibuka dengan nama Hotel de Volharding pada 1 Juni 1882 dan berubah nama menjadi Hotel Toegoe pada tahun 1883. Hotel tersebut sempat menjadi tempat digelarnya resepsi penyambutan Raja Siam, Chulalongkorn yang melawat ke Yogyakarta pada tahun 1896 (De Locomotief 29 Juni 1896). Memasuki abad ke-20, Hotel Toegoe yang saat itu dikelola oleh A. Herscheit menambahkan fasilitas berupa bel listrik yang dipasang pada empat puluh kamarnya sehingga tamu hotel dapat memanggil pelayan dari kamarnya (Het Nieuws van den dag 29 Februari 1908). Herscheit kemudian keluar dari bisnis perhotelan pada tahun 1917 dan Hotel Toegoe kemudian dibeli oleh “N.V. Grand Hotel”, pemilik Grand Hotel Djocja yang hotelnya ada di seberang Hotel Toegoe dengan harga 176.000 gulden. Pembelian tersebut bertujuan untuk menambah kamar Grand Hotel Djocja yang selalu terisi penuh sehingga apabila Grand Hotel Djocja kehabisan kamar, tamu dapat diarahkan ke Hotel Toegoe yang masih dekat jaraknya. Setelah diakuisisi “N.V. Grand Hotel”, bangunan Hotel Toegoe diperbesar dan diperbarui tampilannya menjadi bangunan yang terlihat seperti saat ini (De Nieuwe Vorstenlanden 13 Januari 1917). 
Restoran hotel Toegoe yang dikenal sebagai hotel dengan hidangan paling lezat di Yogyakarta ( sumber : media-kitlv.nl )..
Salah satu pelayanan terbaik dimiliki hotel ini adalah restorannya. Sultan Hamengkubuwono VIII konon karena takut diracun oleh kalangan dalam keraton, beliau memerintahkan agar makanan yang ia santap harus dimasak di restoran itu dan dibawa ke keraton dalam wadah tertutup.  Namun bukan itulah kisah terhebat dari hotel ini. Kisah terhebat terjadi pada tanggal 1 Maret 1949, salah satu tanggal yang selalu diingat sejarah republik ini selain tanggal 17 Agustus 1945. Hari itu adalah saat ketika republik ini berusaha menunjukan eksistensinya di hadapan dunia setelah kemerdekaanya sempat diciderai oleh aksi Agresi Militer Belanda Kedua dengan melancarkan serangan umum. Hotel ini ini menjadi salah satu sasaran utama para pejuang karena hotel ini menjadi markas Belanda di bawah Letkol DBA. Van Langen. Sirene yang terpasang di puncak menara hotel dijadikan tanda serangan udara dan jam malam sekaligus sebagai tanda dimulainya Serangan Umum Satu Maret. Tahun 2000an awal, bangunan hotel difungsikan sebagai toko. Namun hotel cantik yang menjadi saksi heroisme anak bangsa ini sekarang ditelantarkan begitu saja dan terkesan dibiarkan roboh perlahan agar dapat dibangun bangunan baru. Terasa ironis manakala hotel-hotel mulai menjamur di kota Yogyakarta, nasib salah satu hotel tertuanya justru memprihatinkan

Stasiun Tugu sebelum dan sesudah perombakan ( sumber : media-kitlv.nl ).
Kedatangan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda terakhir, Tjarda van Stakenbroug-Stachower, di Stasiun Tugu yang disambut oleh Sultan Hamengkubuwono VIII (sumber : media-kitlv.nl).
Stasiun Tugu menjadi kepingan kolonial terakhir saya. Sejarah kehadiran kereta di Yogyakarta bermula dari hasrat Belanda untuk membangun jalur kereta yang menghubungkan Yogyakarta dengan kota bandar Semarang. Hasrat itu akhirnya diwujudkan oleh Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij pada tahun 1872 dengan dibukanya Stasiun Lempuyangan. Gairah pembangunan kereta tak hanya berhenti pada Stasiun Lempuyangan saja. Pada tahun 1887 perusahan kereta plat merah kolonial, Staatspoorweg, membuka Stasiun Tugu yang menghubungkan Yogyakarta dengan Cilacap dan Batavia. Letaknya yang berada di dekat Malioboro diharapkan dapat menjaring penumpang sebanyak-banyaknya. Kala Stasiun Tugu dibuka untuk pertama kalinya dengan gaya bangunan neo klasik, koran Bataviaasch Handelsblad menyanjungnya sebagai stasiun paling jelita di Hindia-Belanda. Memasuki paruh 1900an, Stasiun Tugu menjadi stasiun paling penting di Yogyakarta karena stasiun tersebut menjadi pertemuan jalur kereta Yogyakarta-Magelang (dibuka 1898) dan Yogyakarta-Srandakan (dibuka 1895). Jumlah penumpang terus meningkat, sehingga bersamaan dengan hari jadi Staatspoorwegen yang ke 50 pada tahun 1925, muncul wacana untuk mendirikan bangunan stasiun baru di sisi selatan stasiun lama. Wacana tersebut tidak jadi dilaksanakan dan sebagai gantinya dibuat penambahan bangunan baru yang menempel di depan stasiun lama pada tahun 1926. Bangunan baru tersebut dimaksudkan sebagai ruang tunggu penumpang pribumi karena mereka saat itu harus menunggu kereta di luar stasiun. Bangunan baru tersebut dirancang oleh F. Cousin, kepala Bouwkundig Bureau StaaspoorwegenSelain Stasiun Tugu, Cousin juga merancang bangunan stasiun lain milik Staatspoorwegen seperti Stasiun Purwokerto, Stasiun Manggarai, Stasiun Pasar Senen, dan Stasiun Karawang. Pengembangan selanjutnya adalah dengan memperpanjang atap peron sisi utara stasiun. Dibanding Stasiun Lempuyangan, Stasiun Tugu derajatnya lebih tinggi. Di stasiun inilah tamu-tamu penting menginjakan kakinya di Yogyakarta, mulai dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Sultan Surakarta, hingga Presiden RI pertama Sukarno, semuanya pernah singgah di Stasiun Tugu. Stasiun Tugu juga termasuk stasiun yang sibuk dan ramai karena ia melayani empat jalur sekaligus, yakni jalur Yogyakarta-Magelang, Yogyakarta-Batavia, Yogyakarta-Brosot, dan Yogyakarta-Surakarta. Walau telah melintasi perjalanan waktu yang lama, dan jalur Yogyakarta-Magelang dan Yogyakarta-Brosot telah lama mati, stasiun Tugu masih senantiasa ramai.

Referensi

Andrisjantiromli, Inajati dkk. 2009. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.

Dingemans. L.F. 1925. Gegevens Over Djocjacarta. Magelang : Firma Maresch.

Leushuis, Emile. 2014. Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Robles, Vries. Ophuysen, Van & Ko, M.A. 1917. "Loge Mataram" dalam Gedenkboek van de vrijmetselarij in Nederlandsch Oost-Indië 1767-1917. Semarang : G.C.T. van Dorp & Co. 

Groneman, I. 1909. Reisigids voor Jogjakarta en Omstreken. Semarang : Drukkerij en Boekhandel Benjamin.

Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis. Depok : Komunitas Bambu.

Suhartono WP dkk. 2002. Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia.  Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Dr. Th. Stevens. 2004. Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia-Belanda dan Indonesia 1764-1962. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Tim Penyusun, 2014. Lensa Budaya 2 ; Menguak Fakta Mengenali Keberlanjutan. Kalasan : Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta,

Van Bruggen, M.P. dan Wassing, R.S. 2000. Djocja Solo, Beeld van de Vorstenlanden. Pumerend : Asia Maior.

Algemeen Handelsblad, 8 April 1934
Algemeen Handelsblad, 1 April 1932
De Expres, 18 September 1912
De Expres, 23 September 1912
De Locomotief, 21 Maret 1873
De Locomotief, 16 Juni 1930
De Indische Courant, 11 Februari 1924
De Indische Mercuur, 3 Oktober 1911
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27 Juni 1930
Soerabaisch Handelsblad, "De interessante geschiedenis van stad en soos van Djokja" 24 April 1937

14 komentar:

  1. Nice. Ditunggu terbitnya di gramedia

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak sudah mau mampir, semoga bisa diwujudkan

    BalasHapus
  3. Tambah lagi pengetahuan saya... makasih

    BalasHapus
  4. Mas, bahas rumah2 kuno di kotabaru, sagan, dan baciro dong...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk Kotabaru sudah saya bahas di sini http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2016/03/yang-tidak-baru-di-kotabaru.html. Sementara untuk Sagan dan baciro sedang saya cari data sejarahnya. Terima kasih sudah berkunjung :-)

      Hapus
  5. Halo mas. Saya kalau mau email,bisa kemana nih? Tmks sebelumnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan email saja di sini : mynameislengkong@gmail.com

      Hapus
    2. MAS BISA MINTA KONTAK YANG BISA DI HUBUNGI. SAYA MAU NELITI TENTANG KEBUDAYAAN INDIS DI YOGYAKARTA NAMU SAYA MASI KEKUARANGAN SUMBER

      Hapus
  6. Jogja kampung saya walaupun lahir dan besar di Jakarta,, ada gerja unik di Kecamtan Godean nama nya GKJ Rewulu, Terima kasih info2 nya

    BalasHapus
  7. Gilaaa lengkap bangeeettt....
    Salam kenal, Mas. Saya sedang cari cari tentang Malioboro kemudian nyasar ke sini dan baru tahu ada blog lengkap begini. :)

    Ada akun twitter atau instagram, Mas?

    BalasHapus
  8. Salut dengan tulisan-tulisan masnya, mantul , lanjuetkeun mas, tetap semangat ....

    BalasHapus
  9. Kak boleh tau untuk dokumentasi gedung de javasche bank diperoleh dari mana ya kak

    BalasHapus