Pada mulanya, tak banyak
orang yang mengira, bahwa di sebagian pelosok perkampungan di Kabupaten Klaten,
terselip jejak-jejak kerkhof atau makam Belanda yang masih dapat dijumpai.
Inilah tulisan saya di Jejak Kolonial mengenai ikhtiar menyelediki jejak-jejak
yang terlupakan tersebut.
Letak kerkhof Ceper (dalam lingkaran merah) pada peta tahun 1925. Sumber : maps.library.leiden.edu.
|
Lawatan kerkhof di
Klaten yang pertama ialah di sebuah kerkhof yang terletak tidak begitu jauh
dari PG Ceper, sebuah pabrik gula yang kini menyandang gelar almarhum. Kerkhof
itu saya temukan ketika saya sedang mahsyuk menerawang pola tata ruang PG Ceper
yang tergambar cukup detail pada sebuah peta topografi. Secara tak sengaja,
mata saya menangkap seberkas simbol salib kecil yang terpampang di sebelah atas
area PG Ceper. Ya, simbol tersebut tak lain ialah simbol dari sebuah permakaman
Belanda.
Gerbang kerkhof Ceper.
|
Tak lama kemudian, saya
menyambangi lokasi kerkhof tadi. Sesampainya di tempat, sebuah plengkung
gerbang tua menyambut kedatangan saya. Sayapun bergegas melangkah masuk
melewati gerbang itu untuk menguak isi kerkhof itu. Sayang beribu sayang,
begitu langkah kaki ini semakin masuk ke dalam, harapan saya dapat menjumpai
makam – makam monumental di kerkhof itu segera pupus. Apa yang saya dapati
hanyalah seonggok makam remuk yang rasanya mustahil untuk dikenali lagi.
Penasaran apakah masih ada makam lainnya di sini, saya berusaha mencari makam
lain. Namun usaha saya tadi sia-sia belaka. Tiada makam lain lagi di situ dan
yang saya temukan hanyalah ratapan pilu dari makam remuk itu.
Satu-satunya makam yang tersisa di kerkhof Ceper.
|
Sebelum saya beranjak
meninggalkan tempat itu, saya bersua dengan seorang warga yang sedari tadi
mencari rumput di sekitar kerkhof itu. Berbagai pertanyan seputar sejarah
permakaman langsung saya todongkan pada warga tadi. “Sejak saya kecil ya
kondisinya sudah seperti ini mas” tutur warga yang sepertinya berusia empat
puluhan tahun itu. “Jadi saya tidak tahu persis siapa yang dimakamkan di sini”,
sambungnya. “Tapi, kalau mas nya mau mencari makam Belanda…”, beliau seperti
ingin memberi tahu sesuatu pada saya “Coba saja cari di pemakaman umum di
dekat sini. Kalau dari sini jalan ke timur sampai ketemu pertigaaan yang
keempat. Lalu belok ke kanan. Nah, nanti pintu masuknya ada di ujung jalan”,
jelasnya sambil memberi petunjuk jalan pada saya. Penasaran dengan perkataan
warga tadi, saya lantas menuju makam yang dimaksud warga tadi.
Makam Belanda di tengah makam lokal. |
Sebuah makam tua yang batu prasastinya rusak.
|
Apa yang dikatakan warga
tadi benar adanya. Setibanya di lokasi pemakaman umum yang dimaksud, saya
menemukan makam Belanda yang jumlahnya lebih dari satu. Namun anehnya, makam
Belanda itu tergeletak tengah-tengah pemakaman pribumi yang di peta topografi
lama disimbolkan dalam bentuk bulan sabit. Inilah kali pertama saya mendapati
hal tersebut. Makam-makam Belanda itu nyaris luput dari perhatian saya andai saja saya tak bertemu dengan warga tadi.
Makam Alexander Portier.
|
Dari berbagai makam yang
ada, ada sebuah makam yang berhasil mencuri perhatian saya. Bukan dari segi
ukuran atau keindahannya yang membuat saya tertarik. Makam itu ukurannya
setidaknya hanya sebesar kotak mainan dan ornamen yang terlihat hanyalah
pahatan berwujud tengkorak, simbol dari kematian. Namun hal yang benar-benar
membuat saya tertarik pada makam itu ialah pada pilihan bahasanya...
Aksara Arab Pegon pada makam A. Portier.
|
Lazimnya, makam-makam
Belanda memakai satu jenis bahasa saja, yakni bahasa Belanda. Namun di makam
milik Alexander Portier itu, ia ternyata menggunakan dua bahasa dan tiga jenis
aksara dalam epitafnya, yakni bahasa Belanda beraksara Latin dan bahasa Jawa
dengan aksara Jawa Baru dan Arab Pegon. Oleh sebab itulah, saya menjuluki makam
ini sebagai sebuah makam polyglot.
Letak kerkhof Wonosari ( dalam lingkaran merah ) pada peta topografi tahun 1925. Sumber : maps.library.leiden.edu
|
Dari Kerkhof Ceper, saya
beranjak ke sebuah kerkhof yang terletak di Wonosari, Klaten. Sebagaimana
kerkhof di Ceper tadi, kerkhof ini juga saya temukan secara tidak sengaja
ketika sedang mengamati peta topografi tinggalan Belanda. Sesampainya di
lokasi, saya menjumpai semacam struktur pagar tua yang tampaknya dulu pernah
berdiri mengelilingi kompleks kerkhof. Di kerkhof yang terletak
di sepetak kebun yang terkungkung hamparan sawah itu, makam yang saya temukan
hanyalah sebuah makam renta berbentuk menyerupai sebuah monumen kecil. Kendati
mulai remuk, keantikan dari makam itu belum sepenuhnya hilang. Sayang, saya tak
dapat menemukan petunjuk apapun perihal siapa yang dimakamkan di situ. Akhirnya
saya berasumsi bahwa kerkhof ini merupakan makam dari salah satu keluarga
pembesar PG Wonosari karena kebetulan lokasi pabrik, dimana di sekitarnya
pernah ada tanda-tanda permukiman orang Belanda, berada lumayan dekat dengan
makam ini. Sayapun kemudian mencoba menyisir area sekitar makam itu, tapi
ternyata hasilnya nihil. Ingin bertanya dengan warga juga percuma karena di
sekitar makam tiada satupun batang hidung yang terlihat. Asa saya akhirnya
pupus dan segera saja saya meninggalkan lokasi dengan sejumput kekecewaan di
hati.
Satu-satunya makam Belanda yang tersisa di Kerkhof Wonosari.
|
Beberapa saat kemudian,
kawan saya bernama Surya yang kebetulan tinggal di dekat Wonosari memberi tahu
saya bahwa tak jauh dari makam yang saya temukan di Wonosari tadi, ada
jejak-jejak makam Belanda yang masih tergeletak utuh di tengah permakaman umum.
Tak menunggu lama, saya segera berangkat ke lokasi yang dimaksud kawan saya. Tiba di lokasi, mata saya langsung menangkap beberapa benda yang terlihat amat mencolok di tengah kijing-kijing baru. Benda itu seperti sebuah kubus kecil dengan bagian atas berbentuk piramid. Ya, benda itu tak lain dan tak bukan adalah makam dari zaman Belanda.
Makam-makam tua yang tersisa.
|
Keberadaan makam-makam ini memang cukup janggal jika meninjau aspek lokasinya karena lokasinya bukan di permakaman yang diperuntukan bagi orang Eropa. Pada masa kolonial, pemerintah mengeluarkan Staatsblad van Ned.Indie no.196 tahun 1864 sebagai peraturan hukum pertama di Hindia-Belanda yang mengatur perihal permakaman. Dalam peraturan tersebut, orang-orang Eropa harus dimakamkan di permakaman Eropa yang sudah disediakan oleh pemerintah kolonial setempat. Lokasi permakaman tersebut biasanya masih berdekatan dengan hoofdplaats atau pusat administrasi pemerintah. Seandainya ingin membuat makam di luar permakaman umum, maka mereka harus mengajukan izin kepada pemerintah setempat. Pendirian makam di luar permakaman umum diperbolehkan selama tidak berada di dalam permukiman. Jika melanggar maka akan dikenai hukuman denda sebesar 100 gulden dan dipenjara selama 8 hari. Makam yang berada di luar permakaman umum akan dipindahkan ke permakaman umum. Jika membandingkan usia makam tertua dengan tahun dikeluarkannya peraturan tersebut, tentu pihak kelurga sudah mengajukan izin kepada pemerintah kolonial. Masih belum diketahui alasan pihak keluarga memakamkan jenasah di permakaman desa bukannya di permakaman umum Eropa yang ada di Klaten kota.
Makam Johannes Nicolaas De Bruijn.
|
Salah satu makam yang
saya temukan merupakan makam dari seorang pria Belanda bernama
Johannes-Nicolaas De Bruijn, lahir di Semarang tahun 1810 dan meninggal di
Gawok tahun 1868. Selain makam tadi, di sini ditemukan pula beberapa makam
anggota keluarga Breton van Groll, antara lain Gerardien Nicolien Breton van
Groll, Albertien Louise Breton van Groll, Gustaaf Adolf Adriaan Breton van
Groll, Rosalie Adolphie Breton van Groll, Henri Gerardus Adolf Breton van Groll
dan Theodora Breton van Groll ,yang sebelum menikah bernama Theodora De Bruijn.
Dari marga kecilnya, sepertinya Theodora masih berkerabat dengan
Johannes-Nicolaas De Bruijn. Menariknya ialah hampir semua anggota keluarga
Breton van Groll dilahirkan di Gawok, Klaten. Informasi sejauh ini yang saya dapatkan mengenai keluarga Breton van Groll adalah keluarga ini dahulu pernah memiliki perkebunan di Gondangsari, Klaten.
Makam Breton van Groll bersaudari. |
Obituari Albertiene Louise van Groll yang dimuat di harian De Locomotie taanggal 2 Oktober 1877.
|
Rumah tinggal keluarga Breton van Groll (sumber : media-kitlv.nl). |
Dhr. Van Groll, kepala perkebunan milik keluarga Van Groll pada tahun 1897 (sumber : media-kitlv.nl) |
Bekas makam Belanda di Manisrenggo. |
Hanya beberapa puluh meter dari perbatasan Yogyakarta-Klaten,
tepatnya di Desa Pobaya, Manisrenggo, masih terjumpa kompleks kerkhof yang luasnya juga
tidak terlampau besar. Keadaan kerkhof tersebut lebih mirip sebuah kebun yang
tak teurus dengan semak belukar menyelubungi makam-makam. Ukurannya juga
terbilang mungil dengan rata-rata ukuran hanya setinggi lutut saya. Bila
melihat ukurannya, dugaan saya ialah bahwa yang dibaringkan di bawah makam-makam
tersebut adalah anak-anak kecil yang ketika meninggal usianya belum sampai lima
tahun. Menurut P.C. Bloys van Treslong Prins dalam Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigen ; Betreffende Europanen op Java Deel I, terdapat 17 makam Belanda di kerkhof itu (Prins, 1932;228-229).
Batu nisan Jan. A Gerlach. |
Di kerkhof ini, hanya ada dua makam yang prasastinya masih berada
di tempatnya, yakni makam milik Constant. J . Gerlach (16 Mei 1907-22 November 1907) dan
Jan. A. Gerlcah (17 Agustus 1905 – 22 Desember 1907). Dari nama belakangnya,
kedua insan ini tampaknya masih berkerabat. Usia mereka masih belia ketika
meninggal, yakni yang satu meninggal ketika berusia 7 bulan dan satunya lagi
meninggal saat menginjak usia 2 tahun. Lebih mengejutkannya, tanggal
meninggalnya mereka berdekatan sehingga pasti ada sesuatu yang bisa digali dari
makam ini. Besar dugaan kalau kedua anak tersebut meninggal akibat terjangkit
yang sedang mewabah saat itu. Pada masa ilmu kedokteran tidak semaju sekarang,
wabah penyakit yang sekarang dianggap sepele seperti malaria atau pes bisa
menjadi momok, apalagi untuk wilayah pelosok desa yang belum mendapat perhatian
dokter. Dari kedua makam anak itu akhirnya saya tahu betapa rentannya anak-anak
terhinggap penyakit pada masa lampau.
Keberadaan empat makam bergaya Tionghoa atau bongpay di sisi barat memberi keunikan untuk kerkhof
Manisrenggo. Altar dewa bumi yang berada di samping makam menjadi pembeda
antara makam Tionghoa dan makam Belanda. Diantara keempat makam tadi, saya hanya
mendapati satu makam yang masih ada prasastinya, yakni milik Kwik Kiem Sing
(meninggal tahun 1935). Prasasti ini dapat dikatakan unik karena memakai huruf
latin dan berbahasa Melayu, bukan aksara Mandarin sebagaimana makam Tionghoa
lama. Makam-makam itu setidaknya memberi informasi kepada saya tentang
komunitas Tionghoa di daerah ini. Barangkali orang-orang Tionghoa yang
dimakamkan di sini mulai tinggal di Manisrenggo setelah tahun 1904 mengingat
sebelum tahun itu orang Tionghoa dilarang menetap di daerah pedesaan (Robert
Cribb dan Audrey Kahin, 101; 2012).
Seperti itulah rupa
kerkhof-kerkhof yang berhasil saya temukan di pelosok perkampungan Klaten. Bila
ditinjau dari segi konteks makam dan lingkungan sekitar, saya berasumsi bila
keberadaan kerkhof-kerkhof yang terselip di pelosok perkampungan itu masih
bertautan dengan keberadaan pabrik-pabrik gula yang dulu banyak berdiri di
Klaten. Walau asumsi saya belum terbukti, satu hal yang pasti adalah keberadaan
kerkhof tersebut membuktikan kehadiran orang-orang Belanda di Indonesia tak
hanya terpusat di kota saja.
Dari sini, saya juga mendapat pengetahuan baru bahwa tidak semua
makam Belanda tercantum di peta topografi lama. Kadangkala makam-makam Belanda itu terselip bersama dengan makam-makam orang pribumi. Hal ini semakin memacu saya untuk
mengungkap lebih banyak kerkhof yang siapa tahu masih tersembunyi di suatu
tempat…
Referensi
Cribb, Robert dan Kahin,
Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Komunitas Bambu. Depok.
Prins, P.C Bloys van Treslong. 1934. Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigen ; Betreffende Europanen op Java Deel I. Batavia : Drukkerij Albrecht.