Sore itu, derau suara kendaraan yang
berseliweran di jalan sedikit mengurangi suasana senyap kerkhof Purbalingga, tempat dikuburkannya jenasah orang-orang
Belanda yang tutup usia di Purbalingga. Walau suasana kerkhof mulai gelap,
namun hal tersebut lantas tak mengurangi rasa penasaran saya dan kawan-kawan
dari Banjoemas Heritage menegnai salah satu jejak kolonial di Purbalingga ini.
Keadaan kerkhof Purbalingga saat ini. |
Berbicara tentang sebutan kerkhof, sebutan yang merujuk pada makam-makam Belanda di Indonesia, sebutan ini asalnya dari
gabungan dua kata Belanda, yakni Kerk yang berarti gereja dan hof(f) yang
berarti halaman. Oleh karena itu kerkhof dapat diartikan sebagai halaman
gereja. Hal ini merujuk pada kebiasaan masyarakat pedesaan di Eropa Barat yang
menguburkan sanak saudara mereka di halaman gereja. Gereja menjadi pilihan
tempat penguburan karena selain dipandang sebagai tempat suci, gereja merupakan titik fokus yang penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan Eropa, dimana upacara pembaptisan bayi, pernikahan, dan misa arwah dilakukan di gereja. Dengan demikian, daur hidup manusia dari lahir hingga meninggal tidak akan lepas dari gereja. Di samping itu, gereja adalah tempat umum yang dikunjungi banyak orang sehingga dengan menguburkan jasad keluarga yang telah tiada di halaman gereja, keluarga dapat menunjukan keberlangsungan suksesi kepada khalayak (Kerrigan, 2017; 141).
Letak kerkhof Purbalingga. |
Kebiasaan memakamkan jenasah di halaman gereja mulai pudar setelah populasi penduduk kian meningkat pada abad ke-18 Kota menjadi semakin padat dan halaman gereja mulai kehabisan lahan untuk menerima jasad baru. Untuk mengakalinya, seringkali jasad dari orang yang baru meninggal dikubur di atas jasad yang lama sehingga jarak antara permukaan tanah dengan jasad kian dangkal. Jasad yang membusuk akhirnya menjadi biang keladi penyakit dan penularannya semakin meluas melalui perantara jemaat yang menghadiri ibadah di gereja. Atas desakan para ahli kesehatan, gereja memtuskan untuk melarang praktik penguburan yang pertama kali dimulai di Perancis pada 1776 (Kerrigan, 2017; 145). Pada akhirnya, orang-orang Eropa kembali
mengulang kebiasaan lama dari zaman Romawi, yakni membuat permakaman di di sebelah
jalan utama di luar kota dan kerkhof Purbalingga adalah wujud dari gagasan ini.
Bentuk-bentuk pusara di kerkhof ini nyaris seragam dan tiada yang tampak istimewa. Bentuknya cenderung kaku dan minim pernak-pernik seperti patung atau ukiran ornamen. Ukurannya pun juga tak besar-besar amat. Walau demikian, besar kecilnya sebuah pusara tak mengurangi peran pusara itu sebagai sebuah monumen, monumen untuk keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan. Lapisan luarnya tampak baru saja diperbaiki, tanda bahwa pemerintah di sini masih cukup peduli dengan keberadaan kerkhof Purbalingga.
Bentuk-bentuk pusara di kerkhof ini nyaris seragam dan tiada yang tampak istimewa. Bentuknya cenderung kaku dan minim pernak-pernik seperti patung atau ukiran ornamen. Ukurannya pun juga tak besar-besar amat. Walau demikian, besar kecilnya sebuah pusara tak mengurangi peran pusara itu sebagai sebuah monumen, monumen untuk keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan. Lapisan luarnya tampak baru saja diperbaiki, tanda bahwa pemerintah di sini masih cukup peduli dengan keberadaan kerkhof Purbalingga.
Makam Wilhelmine Hoff. |
Kusam pada makam-makam ini
menciptakan nuansa kelam pada Kerkhof Purbalingga. Dimanapun itu, yang namanya
permakaman pasti lekat dengan nuansa kelam, muram, dan duka. Hal itu tak lepas
dari fungsi permakaman sebagai tempat menguburkan jasad yang sudah meninggal.
Karena itulah seni yang terlihat pada makam tak jauh-jauh dari urusan maut
seperti makam milik Wilhelmine Hoff. Bentuknya sekilas seperti sebuah tiang patah, yang dalam seni permakaman (funerary art) merupakan makna dari putusnya kehidupan di dunia dan simbol duka.
Makam-makam yang dibubuhi nomor. |
Bangunan yang tampaknya dipakai sebagai knekelhuis tempat persemayaman jenasah sebelum dikubur. |
Kerkhof Purbalingga memiliki sebuah
bangunan kecil yang mungkin saja dulunya adalah knekelhuis, yakni tempat jenazah disemayamkan sebelum
dimasukan ke liang lahat. Hampir mirip fungsinya dengan rumah duka.
Membincangkan kerkhof tentu tak lepas dari tata upacara kematian. Dalam Java Courant 1 Juli 1846, diatur bahwa upacara pemakaman dapat dilakukan sesudah
pukul enam malam. Bagi orang Belanda, merupakan suatu keagungan bila penguburan diadakan di kala matahari
sudah terbenam. Aura duka pada upacara pemakaman begitu terasa dengan
pancaran cahaya lilin dan obor yang seringkali dibawa dalam jumlah
banyak, tidak peduli dengan harga lilin dan minyak yang saat itu cukup mahal.
Pidato belasungkawa ditiadakan dengan alasan orang yang hadir di pemakaman sejak pukul 6 sore sudah kelelahan dan
ada kecemasan pada kehadiran roh jahat penghuni kuburan (Soekiman,
2014; 129).
Salah satu nisan di kerkhof Purbalingga. |
Karena faktor usia dan cuaca,
beberapa batu nisan sudah tak bisa terbaca. Batu nisan dar marmer yang semula
putih bersih berubah menjadi sedikit kehitaman akibat kerak jamur yang
menempel. Pada permulaan masa kolonial, batu-batu nisan didatangkan dari
Coromandel, dari jenis batuan arduin biru atau kunsteen biru. Hiasan sesuluran
dipahatkan pada tepi batu nisan, sementara di atas nama si mati dipahatkan
hiasan lambang keluarga yang dibingkai karangan bunga. Memasuki abad ke-19,
batu nisan yang dipakai pada kerkhof mengalami perubahan. Pahatan hiasan pada
batu nisan menjadi jarang. Batu yang dipakai merupakan batu marmer putih yang
ditambang dari Gunung Carrara, Italia.
Berdasarkan makam tertua di kerkhof
ini, yakni makam A.J. Vincent dan Claudien van Haak, kerkhof Purbalingga sudah
ada sejak tahun 1865. Pada abad ke-19, abad saat, pemerintah kolonial di
tingkat lokal mulai getol membuka lahan makam di wilayah pinggiran yang
tanahnya masih luas. Lahan makam ini tentunya diperuntukan bagi warga Belanda
atau campuran. Yang menarik adalah keberadaan makam perempuan di kerkhof ini.
Di masa itu, jumlah perempuan Eropa masih terbatas di Hindia-Belanda. Para
penguasa masa kolonial pada mulanya terdiri dari orang militer, pedagang, dan aparat
pemerintah. Mereka datang tanpa anak atau isteri dikarenakan perjalanan laut
waktu itu dari Belanda sampai Nusantara sangat lama dan berbahaya. Setelah ada
jaminan keamanan pada perjalanan laut, apalagi setelah dibuknya terusan Suez
yang mempersingkat waktu tempuh pelayaran, maka perempuan-perempuan kulit putih
mulai berdatangan ke Hindia-Belanda (Soekiman, 2012;24-25).
Referensi
Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis, dari zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.
Kerrigan. Michael, 2017, Sejarah
Kematian ; Tradisi Penguburan dan Ritus-ritus Pemakaman dari Zaman Kuno sampai
Zaman Modern. Jakarta : Elex Media Computindo.
Jatmiko. W. 3 April 2011. Kuburan Belanda Purbalingga dalam https://www.banjoemas.com/2011/04/kuburan-belanda-purbalingga.html