Kamis, 02 Januari 2025

Merambah Sejarah Fort Japara

Hari ini, kita mengenal Jepara sebagai kota yang menghasilkan produk ukir-ukirannya yang khas. Kita juga mengenal Jepara sebagai tempat kelahiran tokoh emansipasi perempuan masa kolonial, R.A. Kartini. Di Jepara juga pernah hidup seorang tokoh penguasa perempuan bernama Ratu Kalinyamat dan berkat jasanya, Jepara mampu tumbuh menjadi kota bandar paling penting di Jawa tengah. Akan tetapi, nasib Jepara sebagai kota niaga penting tidak bertahan lama setelah kedatangan Belanda dan reruntuhan Fort Japara yang berada di puncak bukit Jepara menjadi saksi kemunduran tersebut. Bagaimanakah kisahnya ?

Pemandangan Kota Jepara sekitar tahun 1614. Gambar ini tidak sepenuhnya akurat karena Jepara tidak dilengkapi dengan tembok keliling dan gunung di belakangnya harusnya hanya ada satu saja, ykni Gunung Muria. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Membicarakan sejarah Fort Japara tentu tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan Jepara menjadi kota bandar mengingat Fort Japara sendiri dibangun karena nilai penting Jepara sebagai kota bandar. Sosok yang berjasa dalam mengembangkan Pelabuhan Jepara adalah Ratu Kalinyamat. Selain menjadikannya sebagai Pelabuhan komersil, Ratu Kalinyamat juga membangun pangkalan Angkatan laut di Jepara dan dari sinilah armada-armada Ratu Kalinyamat dikirimkan pada tahun 1551 untuk membantu Kesultanan Johor mengusir Portugis dari Malaka. Armada Ratu Kalinyamat juga ikut turun saat Kesultanan Aceh juga berusaha mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1573. Antara tahun 1586-1602, Jepara tampaknya jatuh di bawah kekuasaan Mataram. Kerajaan tersebut tampaknya tidak menaruh minat yang besar terhadap Jepara karena saat itu Jepara tidak memiliki koneksi jalan yang baik ke ibukota Kerajaan Mataram di pedalaman dan sebagai gantinya Kerajaan Mataram lebih memilih Semarang sebagai pelabuhan utamanya. Kendati demikian, pelabuhan Jepara masih dipandang penting (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Denah loji pertama yang dibangun VOC di Jepara. Lokasinya saat ini kemungkinan berada di kantor Bapppeda Jepara.

Pada tahun 1612, para pegawai VOC di Gresik merasa tidak aman untuk menetap di Sana. Pada saat yang sama, Raja Kerajaan Mataram, Susuhunan Anyakrawati atau lebih dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak mengajukan tawaran kepada para pedagang VOC untuk menetap di Jepara. Tawaran tersebut diterima VOC dan mereka mulai bermarkas di Jepara pada 1615 dan sebuah loji selesai dibangun di sana pada tahun 1618. Lokasi loji tersebut bukanlah di Fort Japara yang sekarang, melainkan di sebelah barat Alun-alun Jepara. Jepara kemudian dijadikan sebagai ibukota VOC untuk wilayah Pantai Timur Jawa yang terentang dari timur Batavia hingga Banyuwangi (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Pemandangan jalanan kota di Jepara. Bangunan di sebelah kanan kemungkinan besar adalah rumah residen dengan adanya dua penjaga di depan rumah. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Hubungan antara Kerajaan Mataram dengan VOC rupanya mengalami pasang surut. Tiga tahun sebelum VOC menetap di Jepara, kekuasaan Kerajaan Mataram sudah beralih ke tangan Sultan Agung yang berambisi menyatukan Jawa dan itu artinya VOC harus hengkang dari Jepara. Oleh karena itu pada tahun 1619 atau setahun setelah loji mereka selesai dibangun, VOC harus angkat kaki dari Jepara. Namun VOC akan kembali lagi ke Jepara karena pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, memilih untuk kembali menjalin hubungan dengan VOC. Demikianlah VOC dapat kembali mendirikan lojinya di Jepara pada 1651 walau lagi-lagi mereka harus angkat kaki untuk ke sekian kalinya pada tahun 1660. Entah bagaimana ceritanya, pikiran Amangkurat I berubah dengan mengizinkan VOC untuk menetap di Jepara pada tahun 1663. Selama di Jepara, VOC menempatkan seorang Comptoir atau kepala pedagang yang diangkat dari salah satu pejabat tertinggi VOC (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Cornelis Speelman.(sumber : wikimedia)

Pada tahun 1675, situasi di Jawa memanas dengan meletusnya Pemberontakan Trunajaya yang terjadi akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan Amangkurat I. Hanya dalam waktu singkat, para pemberontak dengan cepat merebut kota-kota perdagangan di utara Jawa, mulai dari Surabaya hingga ke barat di Cirebon. Kota-kota tersebut jatuh dengan mudahnya. Saat itu, satu-satunya kota pesisir yang tidak jatuh adalah Jepara. Merasa tidak mampu untuk menghadapi pergolakan tersebut sendirian, maka Amangkurat I memutuskan untuk bersekutu dengan VOC. Cornelis Speelman tiba di Jepara pada 15 Januari 1677 dan dalam waktu setengah bulan, penakluk Kerajaan Gowa tersebut berhasil mengembalikan sejumlah kota-kota pesisir utara Jawa yang sempat jatuh ke tangan pemberontak. Amangkurat I menunjuk seorang gubernur militer di Jepara mengingat kegagalan kekuatan loyalis melawan pemberontak. Untuk memperkuat kota tersebut, maka Amangkurat I yang diwakili oleh Wongsodipo menjalin suatu kontrak dengan Speelman pada 28 Februari 1677. Dalam kontrak tersebut, VOC bersedia mengamankan Jepara dari gangguan pengikut Trunajaya dengan mendirikan sebuah kubu pertahanan di bukit sebelah utara kota, di lokasi sekarang Fort Japara berdiri. Selain itu, Speelman juga memperkuat loji VOC yang sudah ada dengan pertahanan yang lebih layak. Kontrak tersebut juga berisi bahwa raja bersedia membayar biaya perang jika pemberontakan berhasil diredam (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Peta Jepara saat Speelman memerintahkan untuk mendirikan kubu di bukit Jepara pada tahun 1670an. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Detail kubu pertahanan Speelman di puncak bukit.

Situasi perang nampaknya terus memburuk bagi Amangkurat I. Puncaknya terjadi saat istananya di Plered berhasil diduduki pemberontak pada Juni 1677. Amangkurat I beserta putra sulungnya pindah ke Jepara pada September 1677. Speelman juga  ikut menarik pasukannya ke Jepara mendengar kabar jatuhnya istana Plered. Putra sulung Amangkurat I kemudian dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Amangkurat II di Jepara. Pada bulan Oktober 1677, Jepara menjadi saksi sebuah penandatanganan sebuah kontrak yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan sejarah Jawa. Dalam kontrak tersebut, jika VOC berhasil membantu memulihkan Mataram, maka VOC berhak menerima pendapatan dari kota-kota pelabuhan di Pantai utara. Dataran tinggi Priangan dan Semarang juga akan diserahkan kepada VOC serta raja setuju untuk mengakui yurisdiksi kekuasaan VOC atas semua orang non-Jawa yang tinggal di wilayahnya. Setelah Speelman digantikan oleh Anton Hurdt, konflik terus berlanjut, namun situasi mulai menguntungkan bagi VOC dan loyalis raja. Pemberontakan Trunojoyo akhirnya berhasil diredam dengan menyerahnya Trunojoyo pada 1679 (Ovink, 1892 : 807).

Peta Jepara sekitar tahun 1680-an. Terlihat benteng lama di sebelah kanan sungai dan benteng baru di sebelah kiri sungai (sumber : nationaalarchief.nl).
Detail lokasi benteng lama, terlihat kubu-kubu pertahanan yang dibuat pada era Speelman sudah diongkar dan diganti dengan kubu pertahanan baru berbentuk persegi. Pada masa ini, Fort Japara masih belum tampak.

Setelah perlawanan Trunojoyo berakhir, kubu pertahanan yang dibangun oleh Speelman di bukit utara kota Jepara tidak dipakai lagi. Pada perkembangan selanjutnya, nasib Jepara juga ikut berakhir dengan berakhirnya pemberontakan Trunojo karena VOC lebih memilih Semarang sebagai markas mereka karena Semarang memiliki suatu hal yang tidak dimiliki oleh Jepara, yakni jalan langsung menuju ibukota Kerajaan Mataram di pedalaman. Sekitar tahun 1697, Letnan Jenderal VOC untuk Pantai Timur Jawa mulai berkantor di Semarang. Masih ada sejumlah pegawai dan pasukan VOC di Jepara namun jumlahnya mulai dikurangi. Pada tahun 1708, VOC akhirnya secara resmi memindahkan ibukota Pantai Timur Jawa ke Semarang dan mereka hanya meninggalkan 25 orang pasukan untuk menjaga Jepara. (Graaff dan Stibber, 1918 : 180). Meskipun demikian, VOC masih berupaya untuk mempertahankan Jepara dari serangan musuh. Hal tersebut terlihat dari gambar peta dari tahun sekitar 1709 yang memperlihatkan rencana VOC yang mengganti loji lama dengan benteng baru berbentuk persegi dan mendirikan benteng kedua di mulut sungai. Namun peta tahun 1719 memperlihatkan bagian loji yang lama saja yang dirubah. Sementara benteng kedua tidak jadi dibangun dan sebagai gantinya didirikan sebuah kubu kecil di puncak bukit, di bekas lokasi garnisun milik Speelman.

Ilustrasi Kota Jepara yang digambar oleh A. De Nelly sekitar tahun 1760-an. Terlihat Fort Japara yang ada di puncak bukit.

Peta Kota Jepara tahun 1824 (Sumber : nationaalarchief.nl).

Sesudah Perang Geger Pecinan yang terjadi pada tahun 1740-1743, VOC mendirikan benteng baru di puncak bukit dengan denah berbentuk segitiga. Inilah benteng yang dikenal sebagai Fort Japara. Benteng ini pertama kali diuraikan oleh John Joseph Stockdale dalam “The Island of Java” yang diterbitkan pada tahun 1811. “Ketika memasuki anak sungai di sisi utara, ada bukit kecil, sekitar 50 kaki tingginya, lalu di bagian barat berdiri sebuah benteng kecil yang berbentuk segitiga, dengan satu kubu pertahanan menghadap ke laut dan dua lainnya ke daratan, di tengah tembok yang menghubungkan dua kubu terakhir terdapat pintu gerbang.”, jelasnya. Stockdale kemudian melanjutkan, “Benteng ini juga dilengkapi dengan beberapa meriam kaliber yang berbeda. Benteng ini dibangun dari batu dan dalam kondisi yang baik, garnisun terdiri dari satu sersan, dua kopral dan 16 serdadu. Sisa wilayah lainnya digunakan untuk pemakaman, dimana sebuah tiang bendera berdiri”. (Stockdale, 2021 : 180) Dari uraian Stockdale tersebut, dapat diketahui bahwa benteng tersebut setidaknya masih digunakan saat ia mengunjungi Jepara antara tahun 1760-an hingga 1800-an. Stockadle tidak menguraikan bangunan-bangunan yang ada di dalam benteng. Namun dari peta denah benteng, bagian dalam Fort Japara kemungkinan dulunya terdiri dari rumah komandan, barak, istal, dan gudang.

Gambar Fort Japara (Sumber : nationaalarchief.nl)
Denah Fort Japara.

Bagi orang yang pertama kali mengunjungi benteng ini, mereka akan dibuat bingung. “Di manakah bangunannya ?”. Jika anda berkunjung ke benteng ini, memang jangan berharap untuk bisa menjumpai sebuah bangunan benteng yang besar dan utuh seperti Benteng Willem Ambarawa atau Benteng Van den Bosch Ngawi. Bagian dalam benteng sudah lama kosong melompong dan menyatu dengan lingkungan sekitarnya, menyisakan dinding-dinding karang yang mungkin sepintas tiada artinya. Kondisi demikian rupanya juga telah dialami oleh para pelancong-pelancong Belanda saat menyambangi benteng tersebut. Misalnya dokter P. Bleeker yang mengunjungi Jepara pada tahun 1840-an membuat uraian sebagai berikut. “Seseorang akan mencapai benteng Japara setelah menempuh beberapa ratus langkah. Benteng ini terletak di dekat muara sungai. Bentuknya segitiga dan kini hanya terdiri dari tembok batu dengan tiga bastion yang saat ini tanpa artileri. Setiap bastion memiliki celah sebanyak 36 buah. Tembok benteng itu sendiri sudah bobrok.” (Bleeker, 1850 : 39).


Sisa bastion Fort Japara pada tahun 1910-an. (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Kondisi pintu gerbang benteng sekitar tahun 1910-an.
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Bagian dalam benteng sekitar tahun 1890-an dengan gubug yang kemungkinan digunakan untuk menjaga kebun di dalam benteng.(sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Sisa bastion Utara Fort Japara.

Memasuki abad ke-19, Jepara tidak lagi menjadi kota yang terlalu penting bagi Belanda. Terlebih kota tersebut tidak memiliki koneksi jalur kereta. Akibatnya, menjadi wajar jika Fort Japara ditinggalkan begitu saja dan kondisinya nyaris terlantar. Kondisi Fort Japara pada akhir abad ke-19 diulas oleh kontrolir Th. Van Ovink pada tulisannya “Het Oude Fort en Graf van Kapiten Tak” dalam majalah Eigen Haard tahun 1892. Berdasarkan tulisannya, bagian dalam benteng sudah tidak ada bangunan yang tersisa dan oleh penduduk setempat dijadikan sebagai kebun singkong dan timun. Pemilik kebun kemudian mendirikan sebuah gubug bambu di dalam benteng untuk menjaga kebunnya. Beberapa batu karang penyusun tembok benteng lalu digunakan sebagai pagar pengaman dari hama babi hutan.

Kondisi bastion Fort Japara dengan echaugete di pojokan.(sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Sisa bastion selatan Fort Japara dengan bentuk echaugguete yang sudah berubah.

Selama beberapa waktu, keberadaan Fort Japara luput dari perhatian Oudheidkundige Commisie yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan benda-benda purbakala di Hindia-Belanda. Oudheidkundige Commisie saat itu memang belum terlalu peduli terhadap tinggalan bangsa-bangsa Belanda sendiri di Hindia-Belanda. Fort Japara baru disinggung oleh Perquin dalam Oudheidkundig Verslag tahun 1914. Dalam catatan Perquin, Fort Japara memiliki denah berbentuk segitiga sama sisi dan di ujung bastion, terdapat sebuah Menara yang dalam istilah perbentengan disebut echauguette. Echauguette adalah menara kecil atau pos jaga yang berfungsi sebagai pos pengamatan. Echauguette dilengkapi dengan celah sempit untuk pengamatan dan penembakan. Menurut Perquin, karakter Fort Japara mirip dengan Fort Speelwijk yang ada di Banten dan gerbang Fort Japara menurutnya kemungkinan dibangun belakangan (Oudheidkundige Verslag, 1914 : 55). Sayangnya gerbang benteng Fort Japara saat ini sudah tidak dijumpai lagi.

Kerkhof di depan Fort Jepara pada tahun 1892.

Sisa makam di Kerkhof Jepara.

Melangkah keluar dari Fort Japara, kita juga dapat melihat sebuah struktur yang dahulunya adalah makam. Kondisi makam seperti yang terlihat pada tahun 1892 masih terlihat utuh walau jika dilihat sudah banyak makam yang sudah rusak dan tidak diketahui namanya. Dalam tulisan Ovink, para penduduk meyakini jika salah satu makam tersebut berisi jenazah dari Kapten Francois Tak, perwira Belanda yang tewas saat menumpas perlawanan Untung Surapati. Jangan ditanya bagaimana kondisi makam-makam tersebut pada masa sekarang karena saat ini hanya tinggal satu makam yang tersisa dan itupun kondisinya jauh lebih bobrok dibanding kondisi tahun 1892. 

Sisa dinding utara Fort Japara.

Tampak dalam bastion Fort Japara.

Dalam bentangan sejarah masa kolonial, usia Fort Japara memang terbilang singkat dan reruntuhan Fort Japara hari ini termangu bisu di bawah rindangnya pepohonan sembari memandang Kota Jepara di bawahnya. Meskipun hanya tinggal seonggok tumpukan batu yang mungkin tidak akan membuat takjub orang-orang yang melihatnya, namun batu-batu tersebut setidaknya masih dapat sedikit bercerita tentang kemegahan pelabuhan Jepara di masa lampau.

Referensi

Bleeker, P. 1850. "Fragmenten Over Reis Java" dalam Tijdschrift voor Neerland's IndiĆ« jrg 12 (1e deel).

Graaff, S. De. dan Stibbe, D. G. 1918. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie. S-Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Ovink, Th. H. 1892. "Het Oude Fort en Het Graf Kapitan Tak". dalam Eigen Haard No. 51. halaman 804-807. Haarlem : H. D. Tjeenk Willink.

Stockdale, John Joseph. 2021. The Island Of Java : Sejarah Tanah Jawa. Yogyakarta : Indoliterasi.

Oudheidkundig verslag 1914. Weltevreden : Albrecht & Co.


De Lokomotief 23 Desember 1936