Rabu, 25 Desember 2024

Stasiun Cirebon, Ketika Kereta Negara Menembus Kota Udang

Suasana udara Cirebon terasa begitu panas menyengat. Matahari seakan mendekati ubun-ubun hingga peluh membanjiri kepala. Dengan usianya yang lebih dari seabad, bisa dibayangkan sudah berapa lama menerpa dinding putihnya. Stasiun Cirebon adalah salah satu dari sekian banyak stasiun dari zaman Belanda yang memiliki bentuk yang khas. Selain arsitekturnya yang khas, stasiun ini juga menjadi salah satu saksi bisu pembangunan jalur kereta Batavia-Cirebon yang perjalanannya cukup berliku. Bagaimanakah kisahnya ?

Kota Cirebon dalam peta jalur perkeretaapian Semarang Cheribon Stoomtram Mij. tahun 1913. Jalur eksploitasi SCS ditandai dengan garis merah dan jalur eksploitasi Staatspoorwegen ditandai dengan garis hitam. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Untuk mengetahui sejarah Stasiun Cirebon, marilah kita sejenak menarik mundur agak sedikit jauh ke belakang, kira-kira pada tahun 1871. Saat itu, pemerintah kolonial mulai membahas rencana untuk membangun jalur kereta api yang akan menghubungkan bagian barat dan timur Pulau Jawa (Rietsma, 1912 : 2). Sekalipun jalur kereta api di Jawa sudah mulai dibangun pada tahun 1864, namun sejak saat belum ada lagi pihak yang berminat untuk membangun jalur kereta di tempat lain. Terlebih setelah melihat kinerja operator kereta api satu-satunya saat itu, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, menderita kerugian cukup besar pada tahun-tahun pertamanya. Di sisi lain, pemerintah kolonial juga memiliki kepentingan terhadap keberadaan angkutan kereta api karena adanya angkutan tersebut akan memudahkan proses pengangkutan hasil bumi. Jika pihak swasta belum bisa diandalkan, maka pemerintah kolonial yang akan turun tangan sendiri dalam pembangunan jalur kereta api melalui Staaspoorwegen.

Emplasemen Stasiun Cirebon dalam peta tahun 1913. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Pemerintah kolonial membentuk suatu tim ahli yang terdiri dari Kool, Henket, De Bordes, Van Kappen, Mullemeister, dan d’Aulnis de Bourrouiil. Pada dasarnya, mereka mendukung rencana pemerintah kolonial untuk membangun jalur kereta yang akan menjalin Jawa dari timur ke barat. Pertanyaan selanjutnya adalah rute manakah yang akan dipilih, apakah lewat rute selatan atau utara ? Sebagian besar rupanya lebih mendukung pembangunan jalur kereta via selatan, yakni lewat Batavia-Buitezorg-Bandung-Yogyakarta-Solo. Mereka beralasan bahwa di Pantura sudah ada jalan raya pos Daendels yang dinilai sudah cukup untuk angkutan darat sehingga tidak perlu dibuatkan jalur kereta. Prioritas pembangunan jalur kereta akhirnya diutamakan untuk melewati Batavia-Bogor-Bandung-Yogyakarta. Meskipun demikian, gagasan jalur kereta Pantura via Depok-Karawang-Cirebon-Semarang tidak dilupakan begitu saja (Rietsma, 1912 : 2). 

Stasiun Cirebon sekitar tahun 1914. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Tampilan bangunan stasiun milik Semarang Cheribon Stoomtram Mij yang lebih sederhana dibanding Stasiun Cirebon milik Staaspoorwegen. Bangunan ini kini menjadi Stasiun Cirebon Prujakan.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Kendati pembuatan jalur kereta di Pantura Jawa belum mendapat perhatian, namun sudah ada pihak-pihak yang tertarik untuk menggarap jalur tersebut setelah perusahaan kereta swasta NISM mulai dapat memperoleh keuntungan. Misalnya P.F.W Pels dan B.V. de Jong yang mengajukan konsesi jalur kereta dari Anyer hingga Semarang walau mereka tiba-tiba memilih mundur karena besarnya modal yang dikeluarkan untuk mewujudkan rencana tersebut. Pada tahun 1882, konsesi pembangunan jalur kereta Cirebon-Semarang jatuh kepada Ruyl dan Van Daalen meskipun mereka tidak langsung segera menggarapnya. Selanjutnya pada 1 Oktober 1883, konsesi jalur kereta Batavia-Bekasi diberikan kepada H.J. Meertens dan perusahaan Tiedeman en Van Kerchem yang disertai pembentukan Bataavia Ooster Spoorweg Mij. (BOS) untuk mengoperasikan jalur tersebut. Perusahaan tersebut berhasil membuka jalur kereta Batavia-Bekasi pada 31 Maret 1887 sebagai cikal jalur kereta di Pantura. Perusahaan tersebut tentu hendak meneruskan jalurnya hingga ke Cirebon. Hal tersebut terlihat dari upaya BOS untuk menambah jaringan kereta ke Kedunggede yang dibuka pada 21 Juni 1891. Sayangnya BOS sendiri rupanya belum bisa melanjutkan pembangunannya sampai ke Cirebon karena terganjal persoalan jaminan bunga  dari pemerintah sehingga untuk sementara waktu belum ada kereta yang akan sampai di Cirebon (Rietsma, 1912 : 3-4).



Dokumentasi Stasiun Cirebon dalam buku peringatan 50 tahun Staatspoorwegen.

Stasiun Cirebon pada tahun 1930-an. Terlihat mobil-mobil taksi di depan stasiun yang sedang menunggu penumpang.(Sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Pada 1893, Menteri Kolonial, W.K. Baron van Dedem merancang Algemeen Spoorwegplan voor Java atau Rencana Umum Kereta Api untuk JawaDalam rencana tersebut, jalur kereta Kedunggede-Cirebon ditetapkan sebagai jalur trem lebar 1067 mm. Tujuannya supaya rangkaian kereta milik SS dapat melintasi jalur tersebut karena SS menggunakan lebar rel yang sama dengan lebar kereta trem milik maskapai swasta (Rietsma, 1912: 12). Pemerintah mulai serius menggarap jalur kereta di Pantura dengan dibelinya BOS pada 1898. Pembangunan jalur kereta Pantura yang semula hanya sampai di Karawang diteruskan ke arah Bandung pada tahun 1900 dan mulai beroperasi pada 1902. Kendati kereta Staaspoorwegen belum menjangkau Cirebon, namun kereta api berhasil menembus Cirebon setelah dibukanya jalur kereta Cirebon-Sindanglaut pada 1 Mei 1897. Jalur kereta tersebut merupakan bagian dari jaringan kereta milik perusahaan swasta Samarang-Cheribon Stoomtram Mij. Perusahaan tersebut bahkan meneruskan pembangunannya hingga ke Kadipaten mengingat di sana terdapat sejumlah pabrik gula. Jalur kereta sendiri Cirebon-Kadipaten dibuka pada 29 Desember 1901 (Anonim, 1907 : 43).

Stasiun Cirebon pada tahun 1914 dilihat dari sisi peron.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Emplasemen Stasiun Cirebon pada tahun 1914. Terlihat bantalan kereta yang dipersiapkan untuk pembangunan jalur kereta Cirebon-Kroya.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Berselang enam tahun sesudah dibukanya jalur Cirebon-Kadipaten, Staaspoorwegen telah menyelesaikan draft rancangan jalur kereta Cikampek-Cirebon. Pembangunannya disahkan secara legal lewat Staatsblad No. 477 tanggal 14 Juli 1909. Selama pelaksanaan, insinyur  J. van der Waerden mengawasi proyek jalur kereta sepanjang 137 km tersebut. Pada bulan Mei 1912, pembangunan jalur kereta Cikampek-Cirebon mengalami kemajuan yang pesat dan pekerjaan yang tersisa tinggal pemasangan peralatan perkeretapian di stasiun. Rasa pesimis dari pihak-pihak yang menganggap jalur tersebut baru dapat beroperasi pada 1 Agustus 1912 akhirnya terhapus. (Het Nieuws van den dag Voor N.I. 2 September 1912). 


Fasad bangunan Stasiun Cirebon. Pada bagian tulisan "Cirebon", dahulu terdapat tulisan "Kaartjes" dan "Bagatie".

Mari sejenak kita membayangkan diri kita kembali pada tanggal 2 Juni 1912, ketika kereta yang membawa Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg dan pengiringnya tiba di Stasiun Cirebon sekitar pukul sepuluh pagi. Di peron tersebut, telah menunggu sejumlah tokoh penting Cirebon seperti Residen Cirebon, Van Den Moore, Bupati Indramayu, Bupati Cirebon, Kapitan-kapitan Tionghoa, pejabat-pejabat sipil, perwakilan dari Samarang-Cheribon Stoomtram Mij, dan pengusaha-pengusaha swasta di Cirebon. Kereta tersebut dengan kecepatan pelan meneruskan perjalanannya ke pelabuhan dan baru kembali ke stasiun Cirebon pada tengah hari. Jamuan makan siang diadakan di stasiun, dimana tamu undangan menikmati hidangan dari Batavia Stam en Weijns. Mereka duduk di meja panjang, dihiasi dengan mewah, dan Gubernur Jenderal menempati kursi kehormatan di ujung meja. Sementara itu, pertunjukan wayang digelar di area stasiun dari jam sepuluh hingga dua belas siang. Selain wayang, masih ada sejumlah permainan dan tidak ketinggalan pula upacara slametan yang selalu diadakan setiap kegiatan peresemian-peresmian. Rangkaian upacara dan kemeriahan tersebut adalah penanda dibukanya jalur Cirebon-Cikampek yang mulai beroperasi keesokan harinya pada 3 Juni 1912. Meskipun jalur Cikampek-Cirebon sudah beroperasi, bangunan Stasiun Cirebon masih belum seutuhnya selesai. Pembangunan Stasiun Cirebon setidaknya baru selesai sekitar bulan Agustus (De expres 21 Mei 1912).

Plafon stasiun Cirebon.
Kaca patri stasiun Cirebon.

Dari mulai beroperasi hingga hari ini, arsitektur Stasiun Cirebon masih membuat orang terkesima dengan gaya bangunannya yang tampil elegan dan menjadi salah satu permata arsitektur kota Cirebon. Bangunan Stasiun Cirebon merupakan karya arsitektur yang patut untuk diapresiasi.  Sosok yang bertanggungjawab dalam rancangan stasiun Cirebon adalah P.A.J. Moojen. Pada masanya, ia adalah salah satu arsitek yang berusaha membuat pembaharuan arsitektur di Hindia-Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tampilan bangunan Stasiun Cirebon seakaan berusaha melepaskan diri dari pengaruh arsitektur stasiun-stasiun milik SS di tempat lainnya yang cenderung mengikuti gaya arsitektur neoklasik. Sekitar awal abad ke-20, arsitek-arsitek di Eropa memulai pembaharuan dalam arsitektur, salah satunya adalah Berlage dan semangat Berlage diteruskan oleh Moojen di Hindia-Belanda. Dalam perancangan Stasiun Cirebon, Moojen dibantu arsitek lainnya bernama George Elenbaas (Bataviaasch nieuwsblad, 18 April 1912). Sejumlah kelengkapan perkeretaapian juga didirikan di sekitar Stasiun Cirebon seperti depo, turntable atau meja pemutar lokomotif, dan perumahan pegawai stasiun.


Perbandingan interior Stasiun Cirebon dulu dan sekarang.

Pembangunan jalur Cirebon-Kroya masih diteruskan oleh Staatspoorwegen. Jalur Cirebon-Margasari dibuka pada 1 Juli 1916 dan Cirebon akhirnya tersambung dengan Kroya pada 1 Januari 1917 dengan dibukanya jalur Margasari-Patuguran. Mulai saat itu, terciptalah jalur kereta yang berkesinambungan antara Cirebon dan kota-kota lain yang dilewati oleh jalur SS seperti Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, hingga Surabaya. Selain Cirebon, kota-kota lain di sepanjang pantura Jawa Tengah seperti Tegal, Pekalongan, hingga Semarang juga diuntungkan dengan jalur tersebut karena jalur kereta yang melewati kota tersebut secara otomatis juga tersambung dengan jalur kereta menuju ibukota Hindia-Belanda dan kota-kota lain di Jawa bagian barat meskipun penumpang harus berganti kereta terlebih dahulu di Cirebon sebelum meneruskan perjalanannya. Kereta malam saat itu belum ada sehingga penumpang kereta yang transit di Cirebon harus mencari penginapan. Mengingat jauhnya jarak Stasiun Cirebon yang baru dengan pusat kota Cirebon, maka Hotel Wilhelmina memindahkan hotelnya dekat Stasiun Cirebon pada 1 Mei 1914, yang mulanya hotel tersebut berlokasi di utara alun-alun. Harapannya adalah para penumpang tidak perlu berjalan jauh jika ingin mencari penginapan. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 14 April 1914)


Peron Stasiun Cirebon.

Stasiun Cirebon menjadi tempat turunnya tamu-tamu penting yang melakukan kunjungan kenegaraan di Cirebon. Sejumlah Landvoogd atau Gubernur Jenderal Hindia-Belanda menjadikan stasiun ini sebagai tempat pemberhentian saat berkunjung ke Cirebon dan di stasiun ini juga mereka menaiki kereta untuk kembali ke Batavia atau melanjutkan perjalanan ke tempat lainnya. Sewaktu Perundingan Linggarjati diadakan pada tahun 1946, Presiden Soekarno turun di stasiun ini sebelum beliau meneruskan perjalanan ke Desa Linggarjati yang berada di kaki Gunung Ciremai untuk mengikuti jalannya perundingan (De waarheid 11 November 1946). Hingga hari ini, deru suara kereta masih menggema di Stasiun Cirebon. Sekalipun mungkin sudah tidak ada lagi tamu-tamu penting yang turun di sini, namun stasiun ini akan tetap terasa penting perannya untuk Cirebon.

Referensi

Anonim. 1907.Gedenkboek Samengesteld Ter Gelegenheid Van Het Vijf en twintig-jarig Bestaan Der Samarang Joana Maatschappij. 'S-Gravenhage : Kon. Ned. Boek- En Kunsthandel Van M.M. Couvee

Rietsma, S.E. 1912. Bij Opening Cheribon Tjikampek Lijn. Soerabaiasch Handelsblad.

Bataviaasch nieuwsblad, 18 April 1912

De expres 21 Mei 1912

De waarheid 11 November 1946

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 14 April 1914

Kamis, 17 Oktober 2024

Sekeping Masa Lampau dari Lautan Makam Kerkhof Kembang Kuning

Kembang Kuning hari ini laksana lautan makam yang begitu padat, nyaris tidak tersisa sejengkal tanah terbuka di pemakaman tersebut. Ketiadaan pohon-pohon perindang menjadikan sinar matahari begitu leluasa menyengat sehingga suasana pemakaman tersebut luar biasa teriknya. Tidak hanya sinar matahari, orang-orang tampaknya juga terlihat bebasnya melewati jalanan pemakaman.

Bangunan gerbang dan pendapa Kerkhof Kembang Kuning
(Sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).
Bangunan Gerbang Kerkhof Kembang Kuning saat ini yang menjadi bagian dari Puskesmas Pakis.

Tampak luar bangunan Puskesmas Pakis Surabaya tidak terlihat seperti bangunan puskesmas pada umumnya. Hal yang membuatnya berbeda dari puskesmas lainnya adalah bahwa bagian depan puskesmas tersebut memanfaatkan pendapa yang dahulu digunakan sebagai tempat untuk memberikan upacara pelepasan kepada jenazah sebelum dimakamkan. Barangkali tidak setiap pengunjung puskesmas menyangka jika tempat parkir di depan puskesmas tersebut dahulunya adalah tempat menurunkan jenazah dari mobil jenazah. Di dekat Puskesmas tersebut, memang terdapat sebuah pemakaman yang sudah dibuka sejak zaman Belanda, Algemeene Begraafplaats Kembang Koening, atau Pemakaman Umum Kembang Kuning.

Suasana jalan masuk ke pemakaman Kembang Kuning pada tahun 1930-an (Sumber : data.collectienederland.nl)

Suasana pemakaman seorang anggota militer Belanda pada tahun 1946. Terlihat suasana pemakaman Kembang Kuning yang masih rindang oleh pepohonan (Sumber : beeldbank.nimh.nl).

Sebelum Pemakaman Kembang Kuning dibuka, satu-satunya pemakaman resmi untuk orang Eropa di Surabaya adalah kerkhof Peneleh yang sudah digunakan sejak tahun 1850. Seiring berjalannya waktu, lahan kosong di Kerkhof Peneleh mulai menyempit dengan dibangunnya makam-makam baru. Persoalan tersebut sudah diketahui oleh gemeente atau pemerintah kotamadya Surabaya yang mulai dibentuk pada tahun 1906. Nyaris tidak ada pilihan untuk tempat penguburan lainnya di Surabaya. Kerkhof tua di Krembangan sudah lama tidak dipakai karena tempatnya dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk kegiatan pemakaman. Sementara pemakaman Eropa di Semarung ternyata digunakan juga untuk pemakaman orang pribumi sehingga orang-orang Eropa enggan mengubur jenazah keluarganya di sana. Kondisi ini mendorong gemeente Surabaya untuk segera mencari dan membuka lahan pemakaman baru (Faber, 1934: 186).

Suasana Kerkhof Kembang Kuning tempo dulu. Terlihat suasana kerkhof masih rindang dengan deretan pohon-pohon cemara (sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).

Pemandangan udara Kerkhof Kembang Kuning dilihat dari sebelah barat. Terlihat deretan pohon yang ditanam rapi di sepanjang jalanan pemakaman.
(sumber : data.collectienederland.nl).

Tidak sembarang tempat dijadikan sebagai lokasi pemakaman yang ideal. Merujuk G.J. De Bruijn dalam "Indische Bouwhijgenie Deel I" (1927), lokasi pemakaman yang berada di luar kota dimaksudkan supaya keberadaan Kerkhof tidak akan menghambat perluasan kota. Hal lain yang harus diperhatikan adalah pemakaman tersebut mudah terjangkau dan jalan di sepanjang pemakaman harus terpelihara dengan baik. Jalan yang melewati pemakaman hanya dibatasi untuk kegiatan pemakaman saja sehingga tidak dilewati orang secara leluasa. Komposisi tanah pemakaman tersebut juga harus mudah digali dan jika digali tidak keluar mata air. Drainase di sekitar lokasi pemakaman juga harus dipastikan lancar agar tanah pemakaman tidak terendam banjir.

Kerkhof Kembang Kuning (dalam tulisan EUROP. KERKHOF KEMBANGKOENING) pada peta kota Surabaya tahun 1933. Terlihat posisi kerkhof yang masih berada di pinggiran kota Surabaya.

Foto keluarga Karel J. Eysma dan Lucia G. Scheffer.
Bangunan yang dahulu digunakan sebagai rumah dan kantor pengurus Kerkhof Kembang Kuning.

Pemerintah gemeente Surabaya awalnya menyiapkan tanah di Gubengjepit seluas 50 bouw sebagai lokasi pemakaman yang baru. Namun tanah yang dibeli pemerintah pada tahun 1909 tersebut batal digunakan untuk pemakaman karena drainasenya buruk dan posisi tanahnya yang terlalu cekung dapat menyebabkan banjir sehingga tidak ideal untuk pemakaman. Pencarian lahan kembali dilakukan dan akhirnya lahan untuk cikal pemakaman Eropa diperoleh di Kembang Kuning. Lahan tersebut memiliki luas sekitar 150.000 m2 dan dibeli dengan harga sebesar 0,20 per m2. Sesudah pembelian, lahan pemakaman segera digarap sehingga makam siap digunakan pada tahun 1916. Pembukaan Kerkhof Kembang Kuning menghabiskan biaya sebesar 100.000 gulden (Faber, 1934: 187).

Bangunan untuk mensucikan jenazah orang Yahudi.

Konsep pengelolaan makam Kembang Kuning pada masa kolonial mirip seperti mengelola real estate modern. Sebagaimana perumahan real estate yang dibagi menjadi klaster, lahan kerkhof Kembang Kuning dipecah menjadi empat klaster – umum, Protestan, Katolik, dan Yahudi. Masing-masing klaster tersebut kemudian dibagi lagi menjadi empat kelas sesuai dengan posisi kedekatan dengan jalan. Tiga kelas pertama yang dekat dengan jalan dipungut biaya untuk membeli atau menyewa petak makam. Biaya tersebut tidak termasuk biaya untuk menguburkan jenazah dan pemasangan monumen yang akan dikenai biaya tersendiri. Sementara kelas terakhir yang letaknya paling jauh dari jalan tidak dipungut biaya (Faber, 1934: 187). Di dekat pemakaman kluster Yahudi, kita dapat menjumpai sebuah bangunan dengan simbol bintang Daud, simbol orang Yahudi. Bangunan tersebut dahulunya merupakan tempat orang Yahudi melakukan pembersihan jenazah sebelum dimakamkan. Baik dalam agama Yahudi dan Islam, terdapat kebiasaan untuk menyucikan jenazah sebelum dimakamkan, bahkan kebiasaan tersebut memiliki nama yang sama baik dalam bahasa Ibrani maupun Arab, yakni taharah.

Makam Walikota Surabaya, G. J. Dijkerman.

G. J. Dijkerman dalam buku "Nieuwe Soerabaja" (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 97)

Sebuah monumen berdiri termangu di tengah-tengah persimpangan jalan pemakaman. Monumen tersebut dikelilingi oleh sebidang tanah terbuka yang lapang, tidak seperti makam-makam lain di Kembang Kuning yang berhimpitan satu sama lain. Mulus, polos, dan lugas. Begitulah kesan saya saat melihat monumen tersebut untuk pertama kalinya. Monumen tersebut memang tidak banyak hiasan. Satu-satunya hiasan yang ada di monumen tersebut hanyalah sebuah patung malaikat. Itupun bukan patung yang asli karena jika dibandingkan dengan foto lamanya, monumen tersebut aslinya tidak memiliki patung. Pada monumen tersebut, tergurat kalimat berbahasa Belanda “AAN DE NAGEDACHTENIS VAN BURGEMEESTER G.J. DYKERMAN DE SOERABAIASCHE BURGERY”. Kalimat tersebut menjadi penanda bahwa monumen tersebut merupakan makam walikota Surabaya tempo dulu, G.J. Dykerman. Bagaimanakah kiprah Dykerman semasa hidupnya ? Lahir pada 22 Januari 1885, Dykerman merintis karir sebagai insinyur. Pernah ia menjabat sebagai kepala pengairan Afdeeling Brantas pada tahun 1917 dan setahun berikutnya ia diangkat sebagai direktur pelabuhan Surabaya. Puncak karir Dijkerman adalah saat diangkat sebagai walikota Surabaya pada 23 Oktober 1920. Pada tahun 1929, Dijkerman meninggal dunia sebelum menjalani operasi usus buntu. Jenazah Dijkerman dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning  dan makamnya diletakkan di tempat yang begitu strategis, yakni persis di tengah-tengah pemakaman (De Locomotief 28 Januari 1929). 

Tampak makam G.J. Dijkerman tempo dulu. (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 187)

Untuk mengenang sosok Dijkerman, maka sejumlah orang Belanda di Surabaya memberikan persembahan berupa sebuah monumen di atas pusara Dijkerman. Keseluruhan monumen yang dirancang oleh Cosmas Citroen tersebut dibuat dari marmer Cararra yang mengkilap dan ditaruh di tempat yang sangat strategis, yakni di tengah kerkhof Kembang Kuning. Aslinya monumen tersebut pernah dilengkapi lempengan perunggu yang dibuat oleh pematung Poschacher dan dicetak oleh perusahaan Begeer, Van Kempen en Vos yang menggambarkan wajah Dykerman (De Indische courant, 12 Desember 1930). Sayangnya lempengan tersebut dan bejana marmer yang ada di depan makam saat ini sudah tidak berada lagi di tempatnya.

Makam  T.B.A. Faubel.
T. B. A. Faubel, walikota Surabaya periode interim 1921-1922 (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 194).

Di Kerkhof Kembang Kuning, kita juga masih dapat melacak jejak tokoh terpandang Surabaya pada masa kolonial. Salah satunya adalah Theodor Bastian August Faubel. Nama Faubel saat ini memang tidak lagi dikenal banyak orang padahal ia termasuk tokoh terpandang semasa hidupnya. Faubel lahir di Den Haag pada 17 Maret 1874 dan tiba di Hindia-Belanda pada 1895 sebagai karyawan De Javasche Bank. Faubel kemudian bekerja di pabrik spirittus Grudo sebelum ia mendirikan pabrik spiritus miliknya sendiri bernama “Spiritusfabriek Brantas”. Faubel juga merangkap jabatan sebagai konsul Belgia dan Italia di Surabaya. Faubel selanjutnya bergabung dengan dewan kotapraja Surabaya dan bahkan sempat ditunjuk mengisi kursi walikota Surabaya pada tahun 1921 yang kosong setelah walikota Dijkerman pergi menjalani cuti. Sekembalinya Dijkerman pada tahun 1922, Faubel menjabat sebagai wakil walikota Surabaya. Tiga tahun berselang, Faubel meninggal dunia di rumahnya di Ketabang. Padahal saat itu Faubel telah menghimpun banyak data sejarah kota Surabaya dan ia sedang bersiap menyusun buku sejarah Surabaya. Pekerjaan Faubel akhirnya diteruskan oleh G.H. Von Faber yang juga dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning (De Indische Courant 2 Maret 1925). 

Makam Cosman Citroen.

C. Citroen (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 99)

Selain Dijkerman, tokoh Surabaya lain yang dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning adalah  Cosman Citroen. Bagi orang yang mendalami sejarah arsitektur, khususnya arsitektur masa kolonial di Indonesia, nama Citroen termasuk nama besar dalam sejarah arsitektur. Lahir di Amsterdam pada tahun 1881, Citroen mulai menetap di Surabaya pada tahun 1915. Semenjak di Surabaya, Citroen diberi berbagai proyek dari gemeenteraad Surabaya untuk merancang bangunan-bangunan penting. Banyak karyanya di Surabaya yang masih dapat dilihat sampai sekarang seperti gedung Balaikota Surabaya, kompleks Rumah Sakit Darmo, Jembatan Gubeng, dan lain sebagainya. Citroen meninggal di Surabaya pada 15 Mei 1935 dan dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning. Makamnya jauh dari kesan megah layaknya bangunan-bangunan yang ia rancang semasa hidupnya dan bahkan sempat tidak terurus. Beruntung makam Citroen saat ini sudah dapat kembali dipugar dan menjadi monumen pengingat sosok yang membentuk wajah kota Surabaya modern pada masa lampau.

Monume korban kecelakaan pesawat D26 dan patung pilot yang menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning.

Tidak jauh dari jalan yang melintang di tengah area pemakaman, tampak sebuah makam dengan sebuah patung berwujud seorang penerbang yang duduk termangu di atas sebuah bangku. Makam tersebut dibuat untuk mengenang korban kecelakaan pesawat yang terjadi pada 14 April 1932. Saat itu, pesawat  Dornier D26 milik Marine Luchtvaart Dienst lepas landas dari pangkalan udara Morokrembangan untuk menjalani tugas latihan penerbangan malam. Saat pesawat hendak mendarat kembali, pesawat  tiba-tiba menukik tajam ke bawah dan menghujam ke perairan. Pesawat seketika meledak dan terbakar. Tidak ada yang selamat dalam peristiwa nahas tersebut kendati kapal-kapal patroli sudah dikerahkan memberi bantuan. Mereka yang gugur adalah Cornelis Wilhelmus Christiani, Valentin Jan Leder, Lambertus Jetten dan Marthin Malo Pangandaheng (De Koerier 16 April 1932). Rekan-rekan mereka yang masih hidup akhirnya mendirikan sebuah monumen kehormatan di Kembang Kuning sebagai ekspresi jiwa korsa dan penghargaan kepada mereka yang telah menunaikan tugas pengabdian hingga akhir hayatnya. 

Gambar sketsa monumen yang dibuat oleh Backer dan dimuat dalam De Indische Courant 10 Mei 1932.
Kondisi monumen pada tahun 1938 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Desain monumen korban kecelakaan Dornier D26 dirancang oleh J.W.T. Backer, pilot Marine Luchtvaart. Sekitar akhir bulan Juni 1932, monumen selesai dibuat dan diresmikan secara sederhana. Monumen terdiri dari granit abu-abu, prasasti dari marmer keabu-abuan, dan patung dari marmer. Patung tersebut dibuat menyerupai sosok penerbang angkatan laut Hindia-Belanda lengkap dengan kostum pilot dan topi penerbang yang menutupi kepala. Sosok patung dibuat dalam ekspresi muram, dimana patung dibuat seperti seorang pilot yang sedang duduk termenung sedih dengan kepala tertunduk dan tangan kiri yang terkulai ke bawah (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932). Belakangan, patung tersebut akhirnya menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning. Sayangnya orang lebih mengenal makam tersebut dengan cerita supranatural yang menyelubungi makam tersebut daripada sejarah sesungguhnya dari makam tersebut. Selain itu, hal yang patut disayangkan adalah prasasti yang ada di atas makam tersebut juga sudah tidak ada sehingga menghilangkan konteks sejarah dari makam tersebut.

Makam korban kecelakaan pesawat Fokker T13. (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Selain monumen korban kecelakaan pesawat Dornier D26, di Kerkhof Kembang Kuning dahulu juga terdapat monumen peringatan untuk korban kecelakaan pesawat Fokker T13. Rancangan monumen tersebut mengikuti desain yang dipilih sendiri oleh Panglima Angkatan Laut Hindia-Belanda, A.C. Van Sande Lacoste. Bahan monumen terbuat dari marmer dari perusahaan “Carrara”, termasuk prasasti yang memuat nama dan pangkat terakhir mereka saat meninggal dalam kecelakaan yang terjadi pada 12 Oktober 1937. Mereka yang gugur dalam peristiwa tersebut antara lain H.G. de Bruyne, M.Vethake, H. Uurbanus, P. Spronk, F. H. Plevier,  H. J. Rute dan A. A. Goedhart, G. J. Zuyderhoudt dan E. J. S. de Groot. Monumen tersebut diresmikan pada tahun 1938 dan dihadiri oleh para perwira tinggi angkatan laut Hindia-Belanda (De Indische courant 16 Agustus 1938). Sayangnya, saya sejauh ini belum dapat mengetahui di sebelah manakah keberadaan monumen tersebut. Foto-foto yang diperoleh dari “Nederland Instituut voor Militaire Historie” juga tidak dapat memberi banyak petunjuk soal letak makam tersebut.


Makam-makam lama di Kerkhof Kembang Kuning.

Hingga hari ini, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai tempat penguburan. Seiring dengan kepergian orang-orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1950-an, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai kegiatan pemakaman dan kali ini penggunanya merupakan masyarakat keturunan Tionghoa yang saat itu sudah banyak menganut agama Kristen. Di bagian lain Kerkhof Kembang Kuning, terhampar area pemakaman yang diperuntukkan sebagai makam kehormatan tentara korban Perang Dunia Kedua dan Perang Kemerdekaan dari pihak Belanda. Pemakaman tersebut kini dikenal sebagai Ereveld Kembang Kuning yang tertata dan terawat dengan begitu rapi nan bersih.

Pintu gerbang Ereveld Kembang Kuning saat pertama dibuka pada tahun 1947 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Hari ini, makam-makam orang Belanda berkelindan di antara makam-makam orang Tionghoa yang boleh dikatakan jumlahnya sudah melebihi jumlah makam lama. Bagi orang yang hendak menelusuri makam orang-orang Belanda di Kerkhof Kembang Kuning, menjadi suatu tantangan tersendiri untuk menemukan makam-makam orang Belanda di Kembang Kuning, terlebih bentuk-bentuk makam Eropa di Kerkhof Kembang Kuning sudah relatif modern sehingga sulit untuk membedakan antara makam lama dan makam baru kecuali dengan melihat tulisan prasastinya. Jika mau menelisik lebih mendalam, boleh jadi kita masih dapat menemukan makam-makam kuno di sana yang akan membantu kita dalam menyusun kepingan-kepingan sejarah Surabaya yang terlupakan.

Referensi

De Bruijn, G.K. 1927. Indische Bouwhygenie Deel I. Weltevreden : Landsdrukkerij.

Faber, G. H. 1934. Nieuwe Soerabaja ; De Geschiedenis Van Indie Voornaamste Koopstad in De Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931.  Surabaya : N.V. Boekhandel en Drukkerij H. Van Ingen.

De Locomotief 28 Januari 1929

De Indische Courant 2 Maret 1925

De Koerier 16 April 1932

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932

De Indische courant 16 Agustus 1938

Rabu, 08 Mei 2024

Waduk Delingan Karanganyar, Waduk Warisan Mangkunegara VII

Semburat Gunung Lawu memantul di atas riak-riak air Waduk Delingan yang tampak tenang. Sudah lebih dari seabad air dari Sungai Jirak mengisi waduk tinggalan Mangkunegoro VII tersebut, menjadi sumber pengairan untuk pertanian yang ada di sekitarnya. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan mengantarkan anda untuk mengenal sejarah Waduk Delingan di Kabupaten Karanganyar yang masih sedikit diketahui.

Waduk Tirtomarto atau Waduk Delingan dalam peta topografi tahun 1931-1932.

Mengapa Waduk Delingan ini dibuat ? Sebagaimana diketahui, Mangkunegaran merupakan kerajaan yang berkelimpahan dengan kemakmuran yang bersumber dari usaha agribisnis yang dirintis oleh Mangkunegoro IV. Sumber pemasukan terbesar berasal dari dua industri gula milik Mangkunegaran, yakni Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu, yang mendapat pasokan bahan baku dari perkebunan tebu di Karanganyar dengan luas mencapai 12.000 bouw atau 8.800 hektar. Perkebunan tersebut jelas membutuhkan air, terlebih tebu adalah tanaman yang membutuhkan air lebih banyak dibandingkan tanaman lainnya. Malangnya, area perkebunan tebu yang luas tersebut nyatanya tidak diimbangi dengan daerah tangkapan air yang luas. Akibatnya debit air sungai yang mengalir tidak memadai untuk mengairi perkebunan tebu Mangkunegaran meskipun curah hujannya cukup bagus. Kondisi tersebut diperumit dengan kenyataan bahwa lahan perkebunan disewa dari petani-petani lokal. Langkanya air sungai di Karanganyar menyebabkan para petani menanam padi dalam waktu yang lebih lama sehingga lahan yang harusnya sudah ditanam tebu belum dapat digunakan untuk kepentingan tersebut. Kondisi tersebut tentu menyulitkan bagi kedua pihak, baik untuk manajemen PG Tasikmadu dan petani di Karanganyar (Anonim, 1924 : 6).

Tugu peringatan peresmian Waduk Delingan.

Sebagai raja yang bijak, Mangkunegoro VII tentu tidak tinggal diam begitu saja mendapati negeri yang sedang dipimpinnya dilanda persoalan pengairan. Sebelum naik tahta, Mangkunegoro VII yang masih bergelar Pangeran Prangwedono memiliki kegemaran berkelana untuk mempelajari berbagai pengetahuan, termasuk irigasi yang ia pelajari dari kunjungan beliau ke Demak, dimana di sana terdapat jaringan irigasi yang menjadi irigasi percontohan di Hindia-Belanda. Dari sana, sang pangeran menyadari pentingnya irigasi untuk menopang kegiatan pertanian yang menjadi penyangga kemakmuran suatu negeri. Mimpi sang pangeran untuk memajukan irigasi di wilayah Mangkunegaran rupanya juga mendapat dukungan Residen Surakarta, Sollewijn Gelpke. Sejak tahun 1915, irigasi di wilayah Mangkunegaran mulai dibenahi dengan bantuan insinyur F.E. Wolff yang sudah berpengalaman dalam menangani irigasi di Karesidenan Bagelen. Berkat bujukan Gelpke, Wolff akhirnya bersedia mencurahkan keahlian dan pengalamannya untuk melayani Kadipaten Mangkunegaran (Notodiningrat, 1940 : 224-226).

Waduk Delingan pada tahun 1930-an.

Persoalan utama yang dihadapi dalam penyediaan infrastruktur irigasi di Mangkunegaran, terutama di area perkebunan Tasikmadu, adalah kurang melimpahnya debit air sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Berkenaan dengan persoalan tersebut, maka para ahli irigasi Belanda di Surakarta menyarankan untuk membangun sebuah waduk daripada membuat bendung biasa. Kendati biaya pembangunan bendung biasa lebih murah dibandingkan dengan waduk, namun waduk menjadi satu-satunya solusi untuk memenuhi kebutuhan irigasi di wilayah yang debit air sungainya terlalu kecil untuk irigasi. Waduk tersebut akan menjadi tempat penampungan cadangan air irigasi saat curah hujan menurun serta dapat juga digunakan untuk membantu perluasan area perkebunan tebu PG Tasikmadu (Anonim, 1924 : 3).  

Gambar rencana pembangunan Waduk Delingan (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Waduk yang akan dibuat merupakan tipe waduk lembah, yakni waduk yang dibuat di lembah sungai dan topografinya dapat dimanfaatkan untuk menjadi tempat menampung air yang mengisi waduk. Bagian pinggir lembah dimanfaatkan sebagai tembok, sedangkan letak bendungan dibangun pada bagian yang paling sempit, yang akan memberikan kekuatan tekanan lebih besar dengan biaya yang lebih rendah. Setelah melalui berbagai survey, akhirnya lokasi waduk dipilih di Desa Delingan dan di sana terdapat Sungai Jirak yang merupakan salah satu anak sungai Bengawan Solo. Tempat tersebut dipilih karena memiliki topografi cekungan yang mendukung untuk dibuat waduk. Selain itu debit curah hujan di hulu Sungai Jirak dinilai cukup untuk mengisi waduk sebanyak 4 hingga 5 kali setahunnya (Anonim, 1924 : 5). 

Mangkunegoro VII dan tamu undangan di tenda VIP saat upacara peletakan batu pertama Waduk Delingan (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Peletakan batu pertama pembangunan menara penyadap (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Sesudah lokasi dipilih, maka dimulailah proses pembebasan lahan yang kemudian berlanjut dengan upacara peletakan batu pertama yang dihadiri oleh Mangkunegoro VII dan dilangsukan pada tanggal 11 Oktober 1920, 35 hari sesudah pernikahan Mangkunegoro VII dengan Ratu Timur. Dalam upacara tersebut, turut diundang pula J. Schuit dan F.E. Wolff, dua insiniyur yang berperan dalam pembuatan waduk baru tersebut. Sebelum dilakukan proses pengerjaan, sejumlah persiapan dilakukan secara cermat untuk mendukung penyediaan material dan logistik yang dibutuhkan selama pekerjaan. Misalnya sebuah jalan baru dibuat dari Mojogedang ke lokasi waduk untuk mempercepat proses pengangkutan logistik. Di sekitar lokasi proyek waduk juga didirikan gudang-gudang untuk menampung material (De Inidshce Courant 31 Desember 1929). 

Profil potongan tanggul (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Memasuki tahun 1921, harga kapur bakaran tiba-tiba melonjak tajam padahal material tersebut sangat diperlukan. Supaya biaya pembangunan tidak ikut melonjak, tidak jauh dari lokasi proyek didirikan pabrik pembakaran kapur. Kapur-kapur mentah tersebut dibeli dari penduduk desa yang menambang di lereng-lereng perbukitan dekat Karangpandan dan diangkut menggunakan truk. Sementara kayu bakarnya dibeli dari lahan sekitar. Harian De Preanger Bode tanggal 17 Juni 1922 melaporkan bahwa jalur decauville (kereta kecil) direntangkan dari lokasi proyek ke tempat pengambilan material di bagian hulu. Material-material seperti tanah, dan kerikil sengaja ditambang sendiri untuk menekan harga material. Harian yang sama juga melaporkan bahwa kurang lebih ada enam ratus tenaga kuli, baik laki-laki atau perempuan, yang dipekerjakan untuk proyek besar tersebut. Mereka diberi upah harian yang cukup dan istirahat di bedeng-bedeng pekerja yang ditempatkan di dekat lokasi proyek (De Preanger Bode, 17 Juni 1922).


Pemandangan waduk yang mulai terisi air (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Selain tanggul, pekerjaan yang ditargetkan untuk selesai terlebih dahulu adalah pintu air dan  terowongan yang menjadi saluran utama waduk. Bagian tersebut harus selesai terlebih dahulu supaya air Sungai Jirak dapat mengalir saat musim hujan tiba. Selama proses pembuatan tanggul dan pintu air, dibuat bendung dan saluran khusus di bagian hulu untuk mengalihkan air sungai. Posisi dan rute saluran akan diubah menyesuaikan proses pembangunan waduk. Di tengah proses pekerjaan menggali pondasi pintu air, pekerja menemukan tanah di sana sangat lunak dan mudah menyerap air. Keberadaan tanah tersebut tentu saja akan membahayakan struktur waduk sehingga tanah-tanah tersebut disingkirkan dan diisi dengan mortar. Kendati sudah dikerjakan dengan hati-hati, masih ditemukan bagian tanggul yang mengalami penurunan sehingga tanggul harus diperbaiki berkali-kali. Dua tahun setelah proses pembangunan dimulai, ketinggian tanggul sudah mencapai 14 meter dan kedua sisi tanggul sudah diperpanjang hingga beberapa ratus meter (Anonim, 1924 : 7).

Saluran pelimpah dilihat dari bawah (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Proses pembangunan menara penyadap dan tanggul (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Di dekat sisi tanggul waduk, terdapat intake tower atau menara penyadap yang berfungsi untuk memasukkan air waduk ke saluran irigasi. Saat debit air penuh, bangunan ini tidak akan terlihat seperti menara karena sebagian besar bagian bawahnya terendam air. Namun saat debit menurun, barulah terlihat bangunan tersebut seperti sebuah menara dengan jembatan yang ada di atasnya. Bangunan menara penyadap inilah yang berfungsi sebagai pintu untuk mengalirkan air dari waduk ke saluran irigasi di bawah waduk. Selain menara penyadap, waduk juga dilengkapi spillway atau saluran pelimpah. Spillway ini memiliki fungsi untuk membuang kelebihan air waduk karena jika waduk tidak sanggup menampung air lagi maka akan terjadi kerusakan pada tanggul penahan yang dapat menyebabkan bencana tanggul jebol.

Suasana peresmian Waduk Delingan oleh Mangkunegoro VII yang ditandai dengan pembukaan pintu air waduk (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Suasana kerumunan yang sedang menyaksikan upacara pembukaan Waduk Delingan (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Sarana pembagi air yang ada di bawah waduk.

Tenaga, pikiran, dan biaya yang dicurahkan untuk proses pembangunan yang melelahkan akhirnya terwujud dalam bentuk sebuah tanggul setinggi 23 m dengan bentang panjang 886 m. Proses pembangunannya selesai pada Desember 1923 dan perlahan waduk mulai terisi dengan air. Waduk dambaan Mangkunegoro VII di Desa Delingan itu diresmikan pada 9 September 1924 dan diberi nama “Tirtomarto” yang dapat diartikan sebagai “sumber air yang subur”. Meski demikian, orang lebih mengingat nama waduk tersebut dengan Waduk Delingan. Peresmian Waduk Delingan diabadikan dalam sebongkah prasasti dari batu andesit yang hingga hari ini masih terpancang di pinggir waduk. Patut disayangkan kondisi tulisannya sudah aus sehingga sulit terbaca dengan jelas. Kehadiran Waduk Delingan sangat membantu dalam penyediaan irigasi yang diperlukan. Namun berhasil atau tidaknya sebuah irigasi tidak hanya ditentukan oleh keberadaan waduk saja namun juga adanya aturan pembagian air yang harus ditaati oleh semua pengguna. Manfaat dari Waduk Delingan tidak hanya dinikmati oleh PG Tasikmadu yang dapat memperluas area penanaman. Bagi petani lokal, mereka dapat memanen padi lebih banyak dari sebelumnya dan di musim kemarau mereka dapat menanam tanaman palawija (De Indische Courant, 31 Desember 1929).

Tanggul waduk.

Pintu air waduk. Saat air waduk surut, struktur ini akan terlihat seperti sebuah menara.

Pintu saluran pelimpah. Saluran ini dibuka manakala air di dalam waduk dinilai sudah melebihi ambang batas yang dapat membahayakan struktur waduk.

Bersama Waduk Cengklik, dan Jombor, Waduk Delingan menjadi salah satu waduk tinggalan Mangkunegara VII. Waduk-waduk tersebut menjadi bukti ikhtiar Mangkunegara VII untuk memajukan pertanian di wilayahnya dan keberadaannya tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang hidup pada masa Mangkunegara VII saja. Hasil dari kebijakan Mangkunegara VI tersebut dewasa ini juga menjadi sumber pencaharian bagi masyarakat sekitar. Pemandangan Gunung Lawu nan indah menjadikan Waduk Delingan memiliki panorama yang indah sehingga memikat banyak orang untuk mendatangi waduk tersebut. Hal ini tentu saja membuka peluang rezeki untuk warga sekitar dengan berjualan aneka makanan dan minuman. Ada juga warga yang mencari udang atau memancing ikan yang disebar di waduk agar ekosistem tetap hidup. Pada akhirnya, Waduk Delingan tidak hanya merupakan tinggalan sejarah Mangkunegara VII saja, namun juga menjadi sumber penghidupan bagi warga sekitar dan para petani yang mengandalkan air irigasinya hingga hari ini.


Sumber :

Comite voor Triwindoe Gedenkboek. 1940. Notodhiningrat. 224-228. dalam Supplement op Het Triwindoe - Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII. Soerakarta.

Anonim. 1924. Wadoek „Tirtomarto, Gelegen in Het M. N. Regentschap Karanganjar Afdeeling Sragen Residentie Soerakarta. Weltevreden : Albrecht & Co.

De Preanger-bode 17 Juni 1922