Semburat Gunung Lawu memantul di atas riak-riak air Waduk Delingan yang tampak tenang. Sudah lebih dari seabad air dari Sungai Jirak mengisi waduk tinggalan Mangkunegoro VII tersebut, menjadi sumber pengairan untuk pertanian yang ada di sekitarnya. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan mengantarkan anda untuk mengenal sejarah Waduk Delingan di Kabupaten Karanganyar yang masih sedikit diketahui.
Waduk Tirtomarto atau Waduk Delingan dalam peta topografi tahun 1931-1932. |
Mengapa Waduk Delingan ini dibuat ? Sebagaimana diketahui, Mangkunegaran merupakan kerajaan yang berkelimpahan dengan kemakmuran yang bersumber dari usaha agribisnis yang dirintis oleh Mangkunegoro IV. Sumber pemasukan terbesar berasal dari dua industri gula milik Mangkunegaran, yakni Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu, yang mendapat pasokan bahan baku dari perkebunan tebu di Karanganyar dengan luas mencapai 12.000 bouw atau 8.800 hektar. Perkebunan tersebut jelas membutuhkan air, terlebih tebu adalah tanaman yang membutuhkan air lebih banyak dibandingkan tanaman lainnya. Malangnya, area perkebunan tebu yang luas tersebut nyatanya tidak diimbangi dengan daerah tangkapan air yang luas. Akibatnya debit air sungai yang mengalir tidak memadai untuk mengairi perkebunan tebu Mangkunegaran meskipun curah hujannya cukup bagus. Kondisi tersebut diperumit dengan kenyataan bahwa lahan perkebunan disewa dari petani-petani lokal. Langkanya air sungai di Karanganyar menyebabkan para petani menanam padi dalam waktu yang lebih lama sehingga lahan yang harusnya sudah ditanam tebu belum dapat digunakan untuk kepentingan tersebut. Kondisi tersebut tentu menyulitkan bagi kedua pihak, baik untuk manajemen PG Tasikmadu dan petani di Karanganyar (Anonim, 1924 : 6).
Tugu peringatan peresmian Waduk Delingan. |
Sebagai raja yang bijak, Mangkunegoro VII tentu tidak tinggal diam begitu saja mendapati negeri yang sedang dipimpinnya dilanda persoalan pengairan. Sebelum naik tahta, Mangkunegoro VII yang masih bergelar Pangeran Prangwedono memiliki kegemaran berkelana untuk mempelajari berbagai pengetahuan, termasuk irigasi yang ia pelajari dari kunjungan beliau ke Demak, dimana di sana terdapat jaringan irigasi yang menjadi irigasi percontohan di Hindia-Belanda. Dari sana, sang pangeran menyadari pentingnya irigasi untuk menopang kegiatan pertanian yang menjadi penyangga kemakmuran suatu negeri. Mimpi sang pangeran untuk memajukan irigasi di wilayah Mangkunegaran rupanya juga mendapat dukungan Residen Surakarta, Sollewijn Gelpke. Sejak tahun 1915, irigasi di wilayah Mangkunegaran mulai dibenahi dengan bantuan insinyur F.E. Wolff yang sudah berpengalaman dalam menangani irigasi di Karesidenan Bagelen. Berkat bujukan Gelpke, Wolff akhirnya bersedia mencurahkan keahlian dan pengalamannya untuk melayani Kadipaten Mangkunegaran (Notodiningrat, 1940 : 224-226).
Waduk Delingan pada tahun 1930-an. |
Persoalan utama yang dihadapi dalam penyediaan infrastruktur irigasi di Mangkunegaran, terutama di area perkebunan Tasikmadu, adalah kurang melimpahnya debit air sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Berkenaan dengan persoalan tersebut, maka para ahli irigasi Belanda di Surakarta menyarankan untuk membangun sebuah waduk daripada membuat bendung biasa. Kendati biaya pembangunan bendung biasa lebih murah dibandingkan dengan waduk, namun waduk menjadi satu-satunya solusi untuk memenuhi kebutuhan irigasi di wilayah yang debit air sungainya terlalu kecil untuk irigasi. Waduk tersebut akan menjadi tempat penampungan cadangan air irigasi saat curah hujan menurun serta dapat juga digunakan untuk membantu perluasan area perkebunan tebu PG Tasikmadu (Anonim, 1924 : 3).
Gambar rencana pembangunan Waduk Delingan (Sumber : Wadoek "Tirtomarto") |
Waduk yang akan dibuat merupakan tipe waduk lembah, yakni waduk yang dibuat di lembah sungai dan topografinya dapat dimanfaatkan untuk menjadi tempat menampung air yang mengisi waduk. Bagian pinggir lembah dimanfaatkan sebagai tembok, sedangkan letak bendungan dibangun pada bagian yang paling sempit, yang akan memberikan kekuatan tekanan lebih besar dengan biaya yang lebih rendah. Setelah melalui berbagai survey, akhirnya lokasi waduk dipilih di Desa Delingan dan di sana terdapat Sungai Jirak yang merupakan salah satu anak sungai Bengawan Solo. Tempat tersebut dipilih karena memiliki topografi cekungan yang mendukung untuk dibuat waduk. Selain itu debit curah hujan di hulu Sungai Jirak dinilai cukup untuk mengisi waduk sebanyak 4 hingga 5 kali setahunnya (Anonim, 1924 : 5).
Mangkunegoro VII dan tamu undangan di tenda VIP saat upacara peletakan batu pertama Waduk Delingan (Sumber : Wadoek "Tirtomarto") |
Peletakan batu pertama pembangunan menara penyadap (Sumber : Wadoek "Tirtomarto") |
Sesudah lokasi dipilih, maka dimulailah proses pembebasan lahan yang kemudian berlanjut dengan upacara peletakan batu pertama yang dihadiri oleh Mangkunegoro VII dan dilangsukan pada tanggal 11 Oktober 1920, 35 hari sesudah pernikahan Mangkunegoro VII dengan Ratu Timur. Dalam upacara tersebut, turut diundang pula J. Schuit dan F.E. Wolff, dua insiniyur yang berperan dalam pembuatan waduk baru tersebut. Sebelum dilakukan proses pengerjaan, sejumlah persiapan dilakukan secara cermat untuk mendukung penyediaan material dan logistik yang dibutuhkan selama pekerjaan. Misalnya sebuah jalan baru dibuat dari Mojogedang ke lokasi waduk untuk mempercepat proses pengangkutan logistik. Di sekitar lokasi proyek waduk juga didirikan gudang-gudang untuk menampung material (De Inidshce Courant 31 Desember 1929).
Profil potongan tanggul (Sumber : Wadoek "Tirtomarto") |
Memasuki tahun 1921, harga kapur bakaran tiba-tiba melonjak tajam padahal material tersebut sangat diperlukan. Supaya biaya pembangunan tidak ikut melonjak, tidak jauh dari lokasi proyek didirikan pabrik pembakaran kapur. Kapur-kapur mentah tersebut dibeli dari penduduk desa yang menambang di lereng-lereng perbukitan dekat Karangpandan dan diangkut menggunakan truk. Sementara kayu bakarnya dibeli dari lahan sekitar. Harian De Preanger Bode tanggal 17 Juni 1922 melaporkan bahwa jalur decauville (kereta kecil) direntangkan dari lokasi proyek ke tempat pengambilan material di bagian hulu. Material-material seperti tanah, dan kerikil sengaja ditambang sendiri untuk menekan harga material. Harian yang sama juga melaporkan bahwa kurang lebih ada enam ratus tenaga kuli, baik laki-laki atau perempuan, yang dipekerjakan untuk proyek besar tersebut. Mereka diberi upah harian yang cukup dan istirahat di bedeng-bedeng pekerja yang ditempatkan di dekat lokasi proyek (De Preanger Bode, 17 Juni 1922).
Pemandangan waduk yang mulai terisi air (Sumber : Wadoek "Tirtomarto") |
Selain tanggul, pekerjaan yang ditargetkan untuk selesai terlebih dahulu adalah pintu air dan terowongan yang menjadi saluran utama waduk. Bagian tersebut harus selesai terlebih dahulu supaya air Sungai Jirak dapat mengalir saat musim hujan tiba. Selama proses pembuatan tanggul dan pintu air, dibuat bendung dan saluran khusus di bagian hulu untuk mengalihkan air sungai. Posisi dan rute saluran akan diubah menyesuaikan proses pembangunan waduk. Di tengah proses pekerjaan menggali pondasi pintu air, pekerja menemukan tanah di sana sangat lunak dan mudah menyerap air. Keberadaan tanah tersebut tentu saja akan membahayakan struktur waduk sehingga tanah-tanah tersebut disingkirkan dan diisi dengan mortar. Kendati sudah dikerjakan dengan hati-hati, masih ditemukan bagian tanggul yang mengalami penurunan sehingga tanggul harus diperbaiki berkali-kali. Dua tahun setelah proses pembangunan dimulai, ketinggian tanggul sudah mencapai 14 meter dan kedua sisi tanggul sudah diperpanjang hingga beberapa ratus meter (Anonim, 1924 : 7).
Saluran pelimpah dilihat dari bawah (Sumber : Wadoek "Tirtomarto") |
Proses pembangunan menara penyadap dan tanggul (Sumber : Wadoek "Tirtomarto") |
Di dekat sisi tanggul waduk, terdapat intake tower atau menara penyadap yang berfungsi untuk memasukkan air waduk ke saluran irigasi. Saat debit air penuh, bangunan ini tidak akan terlihat seperti menara karena sebagian besar bagian bawahnya terendam air. Namun saat debit menurun, barulah terlihat bangunan tersebut seperti sebuah menara dengan jembatan yang ada di atasnya. Bangunan menara penyadap inilah yang berfungsi sebagai pintu untuk mengalirkan air dari waduk ke saluran irigasi di bawah waduk. Selain menara penyadap, waduk juga dilengkapi spillway atau saluran pelimpah. Spillway ini memiliki fungsi untuk membuang kelebihan air waduk karena jika waduk tidak sanggup menampung air lagi maka akan terjadi kerusakan pada tanggul penahan yang dapat menyebabkan bencana tanggul jebol.
Suasana peresmian Waduk Delingan oleh Mangkunegoro VII yang ditandai dengan pembukaan pintu air waduk (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/) |
Suasana kerumunan yang sedang menyaksikan upacara pembukaan Waduk Delingan (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/) |
Sarana pembagi air yang ada di bawah waduk. |
Tenaga, pikiran, dan biaya yang dicurahkan untuk proses pembangunan yang melelahkan akhirnya terwujud dalam bentuk sebuah tanggul setinggi 23 m dengan bentang panjang 886 m. Proses pembangunannya selesai pada Desember 1923 dan perlahan waduk mulai terisi dengan air. Waduk dambaan Mangkunegoro VII di Desa Delingan itu diresmikan pada 9 September 1924 dan diberi nama “Tirtomarto” yang dapat diartikan sebagai “sumber air yang subur”. Meski demikian, orang lebih mengingat nama waduk tersebut dengan Waduk Delingan. Peresmian Waduk Delingan diabadikan dalam sebongkah prasasti dari batu andesit yang hingga hari ini masih terpancang di pinggir waduk. Patut disayangkan kondisi tulisannya sudah aus sehingga sulit terbaca dengan jelas. Kehadiran Waduk Delingan sangat membantu dalam penyediaan irigasi yang diperlukan. Namun berhasil atau tidaknya sebuah irigasi tidak hanya ditentukan oleh keberadaan waduk saja namun juga adanya aturan pembagian air yang harus ditaati oleh semua pengguna. Manfaat dari Waduk Delingan tidak hanya dinikmati oleh PG Tasikmadu yang dapat memperluas area penanaman. Bagi petani lokal, mereka dapat memanen padi lebih banyak dari sebelumnya dan di musim kemarau mereka dapat menanam tanaman palawija (De Indische Courant, 31 Desember 1929).
Tanggul waduk. |
Pintu air waduk. Saat air waduk surut, struktur ini akan terlihat seperti sebuah menara. |
Pintu saluran pelimpah. Saluran ini dibuka manakala air di dalam waduk dinilai sudah melebihi ambang batas yang dapat membahayakan struktur waduk. |
Bersama Waduk Cengklik, dan Jombor, Waduk Delingan menjadi salah satu waduk tinggalan Mangkunegara VII. Waduk-waduk tersebut menjadi bukti ikhtiar Mangkunegara VII untuk memajukan pertanian di wilayahnya dan keberadaannya tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang hidup pada masa Mangkunegara VII saja. Hasil dari kebijakan Mangkunegara VI tersebut dewasa ini juga menjadi sumber pencaharian bagi masyarakat sekitar. Pemandangan Gunung Lawu nan indah menjadikan Waduk Delingan memiliki panorama yang indah sehingga memikat banyak orang untuk mendatangi waduk tersebut. Hal ini tentu saja membuka peluang rezeki untuk warga sekitar dengan berjualan aneka makanan dan minuman. Ada juga warga yang mencari udang atau memancing ikan yang disebar di waduk agar ekosistem tetap hidup. Pada akhirnya, Waduk Delingan tidak hanya merupakan tinggalan sejarah Mangkunegara VII saja, namun juga menjadi sumber penghidupan bagi warga sekitar dan para petani yang mengandalkan air irigasinya hingga hari ini.
Sumber :
Comite voor Triwindoe Gedenkboek. 1940. Notodhiningrat. 224-228. dalam Supplement op Het Triwindoe - Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII. Soerakarta.
Anonim. 1924. Wadoek „Tirtomarto, Gelegen in Het M. N. Regentschap Karanganjar Afdeeling Sragen Residentie Soerakarta. Weltevreden : Albrecht & Co.
De Preanger-bode 17 Juni 1922