Kota Temanggung mungkin tak memiliki bangunan kolonial yang begitu
mencolok atau monumental, seperti Semarang dengan Lawangsewu-nya atau Ambarawa
dengan benteng dan stasiun-nya. Namun bukan berarti Temanggung tak memiliki
jejak masa kolonial. Nah, pada edisi Jejak Kolonial kali ini, saya akan
mencoba untuk melacak sebagian jejak
kolonial yang tertinggal di Temanggung. Apa saja itu dan seperti apa sejarahnya
?
Rumah tua di Kranggan, Temanggung. |
Sebelum masuk kota Temanggung, tepatnya di Kranggan, saya sudah
disambut oleh sebuah bangunan lawas yang berdiri di samping kanan jalan jika
berjalan dari arah Secang. Bangunan itu cukup sedap dipandang mata walau bagian
depannya sedikit bersalin rupa; sebagian beranda depannya ditutup. Sayang,
bangunan itu tak bisa menceritakan banyak mengenai dirinya.
Persebaran bangunan kolonial di Temanggung. Keterangan :
1. Kawasan alun-alun. 2. Rumah controleur. 3. Rumah keluarga Lie. 4. Rumah beheeder. 5. Stasiun Temanggung. 6. Bekas Kerkhof Temanggung, 7.Klenteng Kong Ling Bio. |
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20an menit, tibalah saya di
kota Temanngung. Secara geografis, kota Temanggung terletak di dataran Kedu
yang merupakan dataran tinggi dan sangat subur, maka tidak heran jika budaya
agraris mewarna sejarah perkembangan kota ini. Sejarah Temanggung sendiri dapat
dilacak jauh sampai masa Hindu-Budha yang dibuktikan dengan keberadaan
prasasti-prasasti kuno yang banyak ditemukan di sekitar Temanggu, misalnya
Prasasti Wanua Tengah III, Gondosuli. Mantyasih, Tlahap, dan lain-lain. Pada
masa kekuasaan Sultan Agung, Temanggung merupakan sentral penghasil beras yang
menghidupo para pejabat kerajaan dan kerabat raja. Catatan sejarah kemudian
menunjukan, pada masa kolonial Temanggung secara administratif berada di bawah
Karesdienan Kedu. Pada waktu itu, Kabupaten Temanggung masih bernama Kabupaten
Menoreh dengan hoofdplaats atau
kedudukan pemerintahan di Parakan.
Raden Adipati Arya Holland Soemodilogo, bupati ketiga Temanggung. Gelar adipati biasanya diberikan oleh pemerintah kolonial, tujuannya agar kekuasaan pemeritnah kolonial di tingkat daerah masih mendapat kepercayaan dari masyarakat. Gelar-gelar seperti adipati, pangeran, atau arya pada masa kolonial hanyalah gelar kosong belaka karena wewenang dan kekuasaan telah dibatasi oleh pemerintah kolonial.
|
Bekas kediaman bupati Soemodilogi di Kranggan, Temanggung. |
Temanggung sungguh beruntung karena dikaruniai dengan tanah vulkanis yang subur, sehingga
hasil bumi di sini sangatlah melimpah. Hasil bumi yang menggerakan roda
perekenomian Temanggung tidak lain adalah tembakau, si daun emas. Perkebunan
tembakau di Temanggun sendiri cukup istimewa. Dalam daftar perkebunan Tembakau
di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang dibuat oleh makelar tembakau J.H.
Lieftinck & Zoon, tiada nama perkebunan tembakau besar di Temanggung.
Tampaknya orang-orang Belanda di Temanggung kurang tertarik dengan bisnis
tembakau karena tembakau butuh pemeliharaan rumit dan harganya juga tidak begitu
menguntungkan (Muhammad 2013; 39). Hanya ada dua orang Belanda saja yang
tertarik merintis usaha tembakau, yakni W. Hoofner dan D. Seeuws dan itupun
termasuk perkebunan kecil (Anonim, 1914;145).
Peta kawasan alun-alun Temanggung pada masa kolonial. Di sekitar Aloon-aloon (alun-alun), tampak bangunan penting seperti Mesigit (Masjid Agung Temanggung), Gevanngenis (Penjara), Regent (Rumah tinggal bupati), dan Assistent Residen (saat ini menjadi Kantor DPRD Temanggung). (Sumber : maps.library.leiden.edu)
|
Melihat struktur tata
kotanya, Temanggung seperti halnya kota-kota bentukan pemerintah kolonial
memiliki tata kota Indis, yakni tata kota yang memadukan tata kota tradisional
dan Belanda (Eropa). Hal ini dapat dibuktikan dari keberadaan alun-alun
sebagai pusat kota tradisional dan bangunan-bangunan penting milik pemerintah
kolonial dan pribumi (Soekiman, 2014;155). Misalnya masjid yang dalam
struktur kota tradisional Jawa pasti ditaruh di sebelah barat alun-alun,
kemudian kediaman bupati di sebelah utara alun-alun dengan muka menghadap ke
alun-alun sekaligus kediaman asisten residen yang berada di selatan. Di sebelah
barat alun-alun juga terdapat bangunan penting lainnya berupa gevangenis atau
penjara. Dari keempat bangunan penting yang berdiri di sekitar alun-alun
Temanggung tadi, sudah tiada lagi yang asli karena banyak yang sudah
dibumihanguskan pada masa Perang Kemerdekaan. Karena kota Temanggung tidak
memiliki fungsi perdagangan yang kuat, maka Temanggung berakhir menjadi kota
administrasi pemerintah daerah yang berada di bawah Karesidenan Kedu. Sebab itu
tidak terlalu banyak bangunan penting yang ditemukan di sini selain bangunan
yang ada di alun-alun. Bangunan-bangunan penting lain yang dahulu pernah
berdiri misalnya bank, sekolah, kantor pos, dan hotel
yang terletak di sepanjang jalan utama Temanggung-Magelang atau Stasiun
Temanggung yang diletakan agak ke pinggir kota supaya tidak terlalu banyak
persimpangan jalan dan rel di tengah kota.
Bangunan SDN 3 Temanggug, bekas rumah tinggal pejabat controleur atau kontrolir. |
Barangkali jejak pemerintah kolonial yang masih asli di Temanggung
adalah bekas rumah controleur yang kini sudah menjadi Sekolah Dasar. Dalam
jajaran Binnelandsch Bestuur atau korps pegawai negeri kolonial, pemerintahan
dipecah menjadi dua, yakni Europesche Bestuur atau pemerintahan Eropa yang
dipimpin asisten residen dan Inlandsch Bestuur atau pribumi yang dipimpin
bupati. Para bupati kemudian dipasangkan oleh seorang controleur “ sebagai penasihat saudara tua yang baik bagi
pemerintahan lokal” (Cribb dan Kahin, 2012; 75). Sistem ini secara tidak
langsung merupakan upaya pemerintah kolonial untuk memerintah orang pribumi
tanpa perlu membuang jabatan bupati yang sudah ada sejak era pra-kolonial.
Pemerintah kolonial rupanya paham bahwa memaksakan ide-ide mereka secara
langsung terhadap orang pribumi bukanlah tindakan yang tepat karena akan
menimbulkan pertentangan dengan alasan mereka adalah bangsa asing seperti yang
dituangkan sarjana seni asal Amerika Van Dyke dalam buku In Java and the Neighbouring Islands of Dutch East Indies. Sarjana
yang mengunjungi Jawa pada tahun 1929 itupun lantas memuji Hindia-Belanda
sebagai koloni terbaik di dunia dan bahkan menyarankan Amerika Serikat dan
Inggris belajar dari pemerintah Hindia-Belanda yang menurutnya lebih liberal
dan toleran (Rush, 2013; 212).
Rumah keluarga Lie yang masih terawat dengan baik. |
Salah satu bangunan peninggalan masa kolonial di Temanggung yang mungkin paling layak untuk
dilihat adalah sebuah rumah Indis di Jalan Pangeran Diponegoro. Kemolekan
Rumah Indis Empire itu membuat saya terkesima. Rumah itu dahulunya dibangun pada
1870 oleh seorang juragan tembakau kaya bernama Lie Tiauw Ing. Uniknya, walau
rumah ini dibangun dan ditempati oleh orang Tionghoa, namun sentuhan seni
bangunnya justru justru lebih mirip rumah orang Belanda yang khas pada abad
ke-19, dengan langit-langit tinggi, lantai dari marmer atau ubin, beranda yang
luas, pilar neoklasik yang anggun, dan paviliun yang terpisah untuk memasak,
mandi, dan semacamnya. Sepanjang abad ke-19, banyak orang-orang Belanda yang
membangun rumah dengan gaya seperti ini dan kemudian diikuti oleh orang-orang
Tionghoa kaya untuk mengangkat gengsi mereka karena sekaya apapun mereka, status sosial mereka saat itu masih
berada di bawah orang Eropa. Walau rumah ini bergaya
Eropa, di dalam rumah ini ada satu perabot yang tidak dapat ditemukan di rumah orang Eropa
manapun, yakni meja altar leluhur yang
letaknya persis di tengah ruang tamu. Perabot satu ini merupakan perabot paling
berharga bagi keluarga Tionghoa dan pasti diletakan di tempat yang banyak
terlihat orang. Praktik
penghormatan kepada arwah leluhur merupakan praktik paling dasar dalam
kepercayaan masyarakat Tionghoa. Penyembahan ini merupakan aspek ritual dari
sistem keluarga tradisional Tionghoa yang menekankan pentingnya menjaga ikatan
dengan leluhur. Oleh sebab itulah untuk mengekalkan kehadiran leluhur di dalam
keluarga sebagai satu unit dasar, maka setiap rumah tinggal orang Tionghoa yang
masih menjaga kepercayaanya pasti ada meja altar arwah leluhur. Di atas meja altar
leluhur biasanya ada foto arwah yang disembahyangi, lampu minyak dan lilin,
tempat menaruh sinci, dan ada meja
lebih kecil yang dapat ditarik keluar untuk meletakan sesaji di hari-hari
tertentu (Pratiwo,2010; 19).
Klenteng Kong Ling Bio. |
Selain rumah tempat tinggal Lie Tiauw Ing, komunitas Tionghoa di
Temanggung meninggalkan jejak lain berupa kelenteng Kong Ling Bio. Usia
kelenteng itu relative muda, baru didirikan pada tahun 1890 oleh pemimpin
komunitas Tionghoa di Temanggung saat itu, Lieutnant Lie Ban Seng. Dana
pembangunan kelenteng berasal dari 240 dermawan dari berbagai kota seperti
Kranggan, Secang, Muntilan, Magelang, Parakan, dan lain-lain. Tanah kelenteng
ini berdiri juga merupakan hibah dari seorang dermawan lain bernama Oei Loo. Selanjutnya
pada tahun 1906, kelenteng ini dipugar oleh Lie Tiauw Ing ( Kota Tua Magelang,
28 Februari 2016 ). Bangunan kelenteng ini tidak terlalu besar, yakni
terdiri dari pendopo depan dan ruang utama tempat menaruh toapekong. Dewa utama
klenteng ini adalah Hok Tek Cing Sin atau Dewa Bumi, dewa yang banyak dipuja
oleh masyarakat agraris seperti masyarakat Temanggung dan menariknya,
masyarakat yang bersembahyang di klenteng ini tidak hanya orang Tionghoa saja,
tapi juga oleh orang non-Tionghoa.
Bangunan SMK Dr. Sutomo dengan pilar-pilarnya yang menjadi ciri khas dari arsitektur Indisch Empire Style.
|
Rekam jejak bangunan kolonial lain di Temanggung dapat dijumpai pada
bangunan SMK Dr.Sutomo di jalan Dr. Sutomo. Sentuhan seni bangun Indisch
Empire Style terlihat dari kolom-kolom kokoh bergaya Yunani di beranda
depan bangunan.
Rumah tua di dekat perempatan Kodim 0706 Temanggung. Bangunan ini mulai terpengaruh oleh aristektur yang lebih modern. |
Bangunan tua di Jalan P. Diponegoro yang juga bergaya Indisch Empire Stye. Tidak seperti rumah keluarga Lie yang pilarnya terbuat dari batu, pilar pada rumah ini menggunakan tiang besi, improvisasi dari masa yang lebih muda. Tampak beranda depan yang dipasangi kerai. Pada masa kolonial, banyak rumah seperti ini yang bagian beranda depan dipasangi kerai. Tujuannya untuk mengurangi sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan. |
Bangunan tua di sebelah timur Pasar Temanggung. Saat ini digunakan sebagai toko obat. |
Bangunan rumah beheeder atau kepala pandhuis ( pegadaian ). Transaksi gadai sendiri berjalan di sebuah bangunan yang terdapat di belakang banguann rumah beheeder. |
Bangunan kolonial lain di Temanggung yang masih utuh adalah bekas rumah beheeder atau
kepala kantor pegadaian di jalan Ahmad Yani. Di masa kolonial, pegadaian
dikenal dengan nama pandhuis. Kantor-kantor pandhuis tersebut
dikelola oleh pemerintah kolonial dan banyak masyarakat yang memilih
menggadaikan barang ke rumah
gadai pemerintah ketimbang ke rumah gadai milik perorangan
karena prosedurnya lebih sederhana, bunga yang rendah, serta taksirannya jelas.
Di
penghujung penjelajahan di Temanggung, saya sempatkan untuk melihat Stasiun
Temanggung. Stasiun tersebut adalah bukti kehadiran transportasi kereta api yang
pernah menjangkau Temanggung pada masa silam. Munculnya jalur kereta di
Temanggung bermula saat perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indisch
Spoorweg Maatschappij (NISM) telah mendapat izin dari pemerintah kolonial pada
tahun 1900 untuk meneruskan proyek pembangunan jalur kereta Magelang - Ambarawa yang selesai pada tahun 1905. Pada
lintasan tersebut, NISM ternyata memiliki rencana untuk membuat jalur kereta ke
arah Parakan dengan mengambil percabangan dari Secang. Proses pembangunan
tersebut dimulai pada bulan Mei 1905 dan diselesaikan secara
bertahap ruas demi ruas. Pertama dari ruas Secang-Kranggan yang dibuka pada
bulan Maret tahun 1906. Selanjutnya pada bulan Oktober di tahun yang sama, ruas
Kranggan - Temanggung tuntas dibangun. Akhirnya keseluruhan jalur Secang-Parakan
resmi beropeasi pada 1 Juli 1907. Stasiun Temanggung resmi beroperasi pada
tanggal 3 Januari 1907, beberapa bulan sesudah jalur kereta Kranggan-Temanggung
selesai dibuat (Buurman, 1907; 987). Stasiun yang menjadi titik pemberhentian kereta di Temanggung
tersebut dahulu memiliki kanopi peron dari kayu yang sekarang sudah dicopot
dari tempatnya dan tidak diketahui nasibnya. Adapun pembagian ruang stasiunnya meliputi ruang kantor pegawai, ruang komunikasi
telegraf, dan ruang tunggu. Selain itu, stasiun Temanggung dulu juga dilengkapi
dengan gudang dan rumah tinggal pegawai. Sayangnya sejak tahun 1973, mesin kereta sudah tidak menderu lagi di Temanggung. Beruntung bangunan stasiun yang tertinggal masih dipertahankan kendati sudah terjadi beberapa perubahan.
Tidak jauh
di utara kota Temanggung, terdapat sebuah sungai bernama Kali Kuwas. Di atas
sungai tersebut, terbentang jembatan kereta yang menjadi bagian jalur kereta
Secang-Parakan. NISM setidaknya membangun empat jembatan besar pada jalur
tersebut, yakni di Kali Progo, Kali Kuas, Kali Murung, dan Kali Galeh. Jembatan
tersebut masih tampak kokoh meskipun usianya sudah lebih dari seabad. Di atas jembatan
tersebut, masih terdapat jalur rel yang memiliki lebar 1067 mm. Lebar tersebut
lebih kecil dibandingkan lebar jalur NISM lain yang memakai lebar standar 1435
mm. Khusus untuk jalur Yogyakarta-Ambarawa dan termasuk juga Secang-Parakan, NISM
memilih untuk menggunakan acuan angkutan trem, bukannya angkutan kereta api
standar. Pertimbangannya adalah karena jalur tersebut berupa medan pegunungan
yang sulit dilintasi oleh kereta api standar. Trem yang berpostur lebih kecil
dinilai lebih cocok untuk medan tersebut. Meskipun sekilas menggunakan
lokomotif uap, perbedaan trem dengan kereta api biasa terletak pada
kecepatannya yang lebih rendah serta memiliki banyak tempat pemberhentian.
Selain itu, angkutan trem yang jalannya lebih pelan memungkinkan untuk membuat jalur
yang dekat dengan jalan raya yang sudah tersedia. Oleh karena itu, menjadi
suatu pemandangan umum saat angkutan trem berjalan beriringan dengan kendaraan
darat lainnya. Namun untuk jalur Magelang-Ambarawa, tampaknya jalur tersebut
sulit untuk diseuaikan jalan raya yang ada karena jalan tersebut memiliki kontur
yang lebih terjal sehingga trem akan kesulitan melewati jalan tersebut. Jalur
trem mustahil dipasang di sana apalagi setelah diketahui bahwa biaya pembangunan
jalur trem yang mengikuti jalan raya sepadan dengan membuka jalur sendiri. Oleh
karena itulah NISM membangun jalur baru yang lebih berliku tapi setidaknya
kereta atau trem lebih mudah melintasinya.
Dalam perjalanan pulang, masih di dalam kota Temanngung, saya
bersua dengan sebuah gapura yang tak lain adalah gapura kerkhof Temanggung. Sayangnya
pada tahun 1980an, makam-makam Belanda di kerkhof ini digusur untuk dijadikan
terminal. Tak diketahui dengan pasti nasib jasad yang dimakamkan di situ apakah
sudah dipindah atau jangan-jangan mereka masih terbaring tenang di bawah
warung-warung dan tempat parkir…
Bangunan-bangunan kuno yang masih terisa di Temanggung itu dalam konteks masa kini, boleh dikatakan adalah bentuk dari infrastuktur memori, yakni infrastruktur yang dibentuk untuk menjalin hubungan antara masa lalu dan masa kini. Gelombang modernitas menyebabkan mulai putusnya ikatan masyarakat terhadap memori atau ingatan kotanya. Pelestarian sebagai bentuk dari pembangunan infrastruktur memori adalah upaya untuk mengatasi krisis budaya tersebut dengan menyajikan tontonan dari masa lalu di hadapan masyarakat melalui bangunan-bangunan tuanya atau ruang-ruang lain yang dapat merangsang kesadaran masyarakat pada masa lalu. Namun, keberhasilan dari pembangunan infrastuktur ingatan bergantung pada sejauh mana obyek-obyek tersebut mampu meninggalkan pengalaman atau ingatan yang berkesan pada masyarakat.
Referensi
Buurman, D.C. 1907. "De lijn Setjang—Parakan der Nederlandsen-Indische Spoorweg-Maatschappij." dalam De Ingenieur No. 52 (978-987)
Handinoto. 2010. Arsitektur dan kota-kota di Jawa
pada Masa Kolonial. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Muhammad, Fariz Rizqi. 2013. "Tata Kota Temanggung dan
Faktor-Faktor Pendukungnya Tahun 1834-1942". Skripsi. Yogyakarta
: Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gajah Mada.
Pratiwo. 2010. Arsitetktur
Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis, dari zaman
Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.
Kota Tua Magelang, Pamflet "Djeladjah Petjinan #4 : Temanggoeng", 28 Februari 2016.
Makam kerkof dipindahkan ke desa gandulan, bangunan yg layak menjadi referensi berikut perabotannya mungkin rumah mantan lurah ngimbrang bisa menambah wawasan.
BalasHapusSoemodilogo léluhur saya
BalasHapusSama.... salam kenal
BalasHapusSama saya juga, dari Istri beliau yg ke 10...
HapusLeluhur saya pernah tinggal di padangan, dkt rel, skrng sdh jadi jalan+ balai kelurahan Tmg 1
BalasHapusTerimakasih sudah menyajikan referensi bacaan yang bermanfaat. Jasmerah!
BalasHapusSalam kenal clan soemodilogo
BalasHapusterima kasih kepada penulis,
BalasHapussangat bermanfaat sekali.
temanggung adalah kota kelahiran saya..
kata kakek saya rumah di kranggan itu dulu tempat penyiksaan
BalasHapusSekolah SD th 1940 ada dimana ya.bukan yg sekarang jadi smk doksut
BalasHapuswah temanggung kota kelahiran saya, jadi kangen pulang
BalasHapusSalam hangat untuk saudara2 fam Soemodilogo....utk penulis di sejarahnya ada yg perlu di ralat sedikit ya...Ario Soemodilogo adalah bupati Menoreh Parakan..kalau Ario Holland Soemodilogo itu putranya yg jadi bupati temanggung ke dua..menggantikan Joyonegoro bupati Temanggung pertama yg masih pamannya juga..sedangkan bupati ketiga Temanggung adalah Soemodirdjo ysitu cucu Ario Soemodilogo bupati Menoreh Parakan.
BalasHapusSalam IKS dr keluarga temanggung
Hapus