Belum
banyak orang yang tahu bahwa Banyumas selain nama Karesidenan juga merupakan
sebuah nama kota kecamatan dari bekas sebuah hoofdplaats atau
ibukota pemerintahan di masa kolonial. Kehidupan di kota kecil ini memang tidak
begitu gemerlap, malah bisa dikatakan hampir mati. Pusat keramaian hanya ada di
sekitar pasar atau di alun-alunnya dan itupun tidak ramai sepanjang hari. Namun
dibalik itu semua, Banyumas merupakan sebuah kota tua yang menarik untuk
dikupas.
|
Letak kota Banyumas. |
Sejarawan terkemuka asal
Perancis, Dennys Lombard, menyebut Banyumas sebagai “Serambi Dunia Jawa” karena
wilayah ini merupakan batas antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah-Timur yang
keduanya memiliki kebudayaan berbeda. Secara geografis, Banyumas merupakan daerah
yang sedikit mendapat kontak dari luar karena ia terkungkung oleh pegunungan
terjal yang terbentang di sepanjang sisi utara dan selatan. Kedua pegunungan
tersebut dipisahkan oleh lembah Sungai Serayu yang mengiris wilayah ini. Selain
memberikan kesuburan, sungai Serayu juga menjadi sarana penunjang lalu lintas perdagangan sungai. Dari
sini muncul beberapa simpul-simpul perdagangan yang kecil namun cukup sibuk
seperti Banjarnegara, Wonosobo, Purbalingga, Purworkerto dan Banyumas (Lombard,
2018;38). Untuk simpul perdagangan yang disebutkan terakhir, ia menduduki
posisi cukup penting karena ia menjadi pusat pemerintahan Mancanagari Kilen
dari Kerajaan Mataram Islam. Kota Banyumas diperkirakan berdiri sekitar tahun 1582
dan didirikan oleh Jaka Kaiman dari wangsa Wirasaba. Wilayah tersebut lalu dicaplok oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 1830 sebagai pampasan Perang Jawa. Wilayah itupun lalu dipecah menjadi dua Karesidenan, yakni Bagelen dan Banyumas. Pemerintah kolonial menunjuk J.E. de Struler sebagai residen pertama di Banyumas.
|
Alun-alun Banyumas sekitar awal abad 20 (Sumber : media-kitlv.nl) |
Karesidenan Banyumas membawahi empat kabupaten, yaitu Banyumas, Ajibarang, Dayaluhur, dan Purbalingga. Kota Banyumas yang sudah lama menjadi tempat kedudukan bupati ditetapkan sebagai ibukota Karesidenan Banyumas. Pada saat kolonial mulai bercokol di Banyumas, Banyumas masih tertutup dari dunia luar karena keadaan alam sekitarnya yang dikelilingi bukit. Untuk membuka akses Banyumas, maka residen De Seriere pada tahun 1836 membangun kanal yang kemudian dinamakan Kali Yasa. Kanal tersebut menghubungkan antara Kali Serayu dengan pelabuhan Cilacap. Barang-barang dari luar negeri dibawa dari Cilacap dan kemudian dikumpulkan di Banyumas sebelum disebar. Sebaliknya, hasil-hasil bumi seperti nila, gula, teh dihimpun terlebih dahulu di Banyumas sebelum dibawa ke pasaran luar. Selain membangun jalur air, upaya menghubungkan Banyumas dengan dunia luar juga dilakukan membangun jalan darat dari Banyumas ke Selatan hingga Buntu. Meskipun sudah dibangun jalan, namun rupanya jalan tersebut kondisinya sangat buruk, dimana medannya tidak rata dan curam sehingga kereta kuda mengalami kesulitan saat melaluinya (Widyakirana, 2000;31).
|
Alun-alun Banyumas.
|
Banyumas adalah kota lama yang masih memperlihatkan corak tata kota tradisional Jawa yang ditunjukan dengan keberadaan alun-alun, yakni lapangan terbuka yang pada bagian tengahnya ditanami dengan sepasang pohon beringin. Alun-alun lebih dari lapangan terbuka saja. Ia adalah pelataran sakral yang melambangkan keserasaian antara langit yang dilambangkan dengan pohon beringin dan bumi yang dilambangkan dengan pasir halus (Handinoto, 2012;225). Pada saat tertentu seperi grebeg mulud, kepala wilayah bawahan bupati Banyumas berkumpul untuk menunjukan kesetiaannya. Perayaan-perayaan penting semisal hari perayaan naik tahtanya Ratu Belanda juga digelar di sini. Dahulu, tiap hari Sabtu atau Senin diadakan permainan sodoran, yakni semacam pertandingan di atas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul atau pertandingan macan secara ramai-ramai yang disebut rampogan macan.
|
Bangunan bekas kediaman bupati Banyumas. Kini menjadi kantor kecamatan Banyumas. |
|
Sekelompok anggota militer Belanda berkumpul di depan bekas rumah bupati Banyumas pada tahun 1947. Tampak sisa lantai dari pendapa Si Panji (sumber : nationaalarchief.nl) |
Terletak di sebelah utara alun-alun, terdapat kompleks yang disebut kabupaten. Berbeda di masa sekarang dimana sebutan kabupaten merujuk pada satuan wilayah di bawah provinsi, di masa lalu kabupaten juga menjadi sebutan untuk kediaman bupati. Pada era Jawa
pra-kolonial, bupati adalah kepala daerah di wilayahnya sekaligus seorang abdi
kepada raja yang lebih senior. Kekuasaan seorang bupati tidak dihitung dari
seberapa luas wilayah yang dimilikinya, namun dari seberapa banyak rumah tangga
atau cacah. Sebagai bentuk “penghormatan” terhadap masyarakat
pribumi, pada masa kolonial kedudukan bupati masih dipelihara dengan memasukan
mereka ke jajaran birokrasi kolonial. Para bupati diberi wewenang mengatur
nasib rakyat kecil seperti halnya penguasa negeri, namun ketundukan mereka yang
semula kepada raja Jawa kini ditujukan kepada Raja negeri Belanda. Gengsi
sebelum era kolonial juga dijaga sebagai cara agar mereka bergantung kepada
pemerintah kolonial. Dapat dikatakan bila mereka berada di perbatasan antara
sebagai kepala negeri dan pamong pemerintah (Lombard, 2018;126-127).
Gemerlapnya jabatan bupati dapat dilihat dari mewahnya kediaman mereka yang
menjadi bagian utama dari tata kota kolonial. Banyumas, sebagaimana kota-kota
lama di Jawa menempatkan kediaman penguasa sebagai inti kota. Bangunan ini
didirikan pada masa Tumenggung Yudanegara yang memerintah sekitar tahun
1708-1743. Perombakan yang senantiasa dilakukan oleh penerusnya menjadikan sulit untuk mengetahui bentuk asli dari bangunan kabupaten Banyumas. Kini, bekas kediaman Bupati Banyumas dimanfaatkan sebagai kantor kecamatan Banyumas. Meskipun turun status, namun sisa keagungan Kabupaten Banyumas masih dipertahankan dengan baik.
|
Replika pendapa Si Panji. |
Laksana miniatur
keraton, bangunan yang menghadap ke selatan ini cukup besar dan halaman
dalamnya luas mengingat besarnya jumlah anggota keluarga dan pekerja rumah
tangga yang dipekerjakan. Kompleks kabupaten Banyumas dibatasi dengan tembok
keliling yang bagian depannya terputus sebagai akses ke halaman rumah bupati.
Di dalam kompleks itu terdapat bagian seperti pendapa, bangunan utama, kantor,
paseban (tempat tamu menunggu sebelum diperkenankan bertemu bupati) dan di
belakangnya terdapat taman yang dikelilingi tembok. Di depan bangunan ini
terdapat pendapa yang kondang dengan nama pendapa Si Panji.
Pendapa adalah barang yang harus dimiliki pada setiap rumah bupati di Jawa karena
ia merupakan salah satu simbol kebesaran seorang penguasa Jawa. Bila pusat
pemerintahan bupati berpindah, maka pendapa juga ikut diboyong ke tempat
baru seperti yang terjadi dengan pendapa Si Panji, ketika pemerintah kolonial
memindahkan ibukota Karesidenan ke Purwokerto pada 1932. Selama bertahun-tahun
bekas bangunan kabupaten Banyumas tidak memiliki pendapa dan akhirnya
dibangun pendapa baru yang bentuknya masih serupa dengan yang lama.
Wujud pendapa Banyumas sangat unik karena tidak seperti pendapa di
tempat lain yang berbentuk joglo, pendapa tersebut memiliki bentuk limasan yang
lebih banyak dipakai untuk bangunan tempat ibadah. Di belakang pendapa terdapat
bangunan utama yang sekilas bentuknya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa
yang ditunjukan pada penggunaan dormer pada atap dan kolom-kolom Yunani. Dalam
laporan perjalanan Dr. P. Bleeker yang singgah di Banyumas pada 1850, bangunan
rumah bupati masih belum menampakan sentuhan arsitektur Eropa seperti yang
terlihat sekarang (Bleeker, 1850;94). Bangunan rumah bupati yang terlihat
sekarang merupakan hasil perombakan oleh Burgelijke Openbare Werken pada tahun 1891 (Verslag BOW, 1895). Sebagai bagian dari birokrat
pemerintah, pemerintah kolonial melalui Burgerlijke Openbare Werken atau
Dinas Pekerjaan Umum menanggung biaya dan bertanggung jawab terhadap urusan
perombakan, pemeliharaan, dan perbaikan rumah tinggal bupati jika bupati menghendakinya
(Winoto, 1919: 143).
|
Masjid Nur Sulaiman Banyumas. |
|
Bagian dalam Masjid Nur Sulaiman. |
Sebagai pusat kota di masa lalu,
alun-alun Banyumas dikelilingi oleh bangunan penting. Salah satu bangunan yang cukup
penting adalah masjid Nur Sulaiman yang terletak di sebelah barat alun-alun.
Masjid ini masih mempertahankan gaya arsitektur masjid tradisional Jawa dengan
ciri berupa atap tajug bertumpang tiga. Dari segi praktis, penempatan masjid
yang berada di barat alun-alun akan mempermudah jalannya upacara keagamaan yang
digelar bupati serta untuk memudahkan orang masuk ke dalam. Dahulu, di belakang masjid tersebut ada sebuah meriam yang aslinya berasal dari sebuah benteng kecil di bukit Gunung Binangun yang ada di barat kota. Benteng tersebut dibangun Belanda pada masa Perang Jawa untuk mengawasi jalan. Sekitar tahun 1886, meriam benteng tersebut dipindahkan ke belakang masjid atas perintah bupati Cakranegara. Hal yang menarik dari
ibukota Karesidenan Banyumas ini adalah tidak dijumpainya bangunan gereja sebagaimana
ibukota karesidenan di tempat lain. Hal ini disebabkan kecilnya jumlah orang
Kristen di kota Banyumas, sehingga keberadaan gedung gereja yang besar tidak
diperlukan.
|
Bangunan bekas Afdeeling Bank yang saat ini menjadi Puskesmas Banyumas. |
Bangunan lama lain
yang dapat dijumpai di Banyumas adalah bangunan Puskesmas Banyumas yang dahulunya adalah kantor bank perkreditan rakyat masa kolonial, Banjoemasche Bank. Bank tersebut
didirikan tahun 1904 atas prakarsa Tj. Halbertsma yang saat itu menjabat sebagai
Residen Banyumas. Pendirian Banjoemasche Bank bertujuan untuk memberikan
bantuan pinjaman uang kepada penduduk pribumi untuk kegiatan produktif atau
jika ada kebutuhan lain yang mendesak (De Locomotief
2 Mei 1904). Selama ini penduduk pribumi jika sedang membutuhkan uang
terpaksa meminjam uang kepada lintah darat yang mematok bunga sangat tinggi. Di
wilayah Karesidenan Banyumas sebenarnya sudah ada lembaga semacam Banjoemashe
Bank, yakni Poerwokertosche
Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden yang didirikan oleh Raden Aria Wirjaatmadja pada 16 Desember 1895. Bank yang ada di Purwokerto itu
kemudian menjadi cikal dari Bank Rakyat Indonesia. Halbertsma rupanya tertarik
dengan langkah yang dilakukan oleh Raden Aria Wirjaatmadja itu dan akhirnya ia
mendirikan bank serupa di ibukota karesidenan di Banyumas. Bank sejenis di
Banyumas itu awalnya akan diberi nama Banjoemasche Hulp- spaar- en landbouwbank.
Namun karena dirasakan terlalu panjang dan lembaga sejenis tidak akan ada di Kabupaten Banyumas, maka nama bank itu disingkat menjadi Banjoemasche Bank saja. Susunan
pengurus pada masa awal terdiri dari Halbertsma sebagai ketua, bupati Banyumas
R.A. Ario Mertodiredjo sebagai wakil ketua, controleur E.R. van Lier sebagai
sekretaris, Hoofdjaksa Raden Gondo Soebroto sebagai bendahara, dan asisten residen
J.J. Meijer sebagai wakil bendahara. Bank yang masih sederhana itu awalnya bertempat di
kantor hoofdjaksa. Tempat itu juga digunakan sebagai tempat penyimpanan
uang dan kertas berharga. Modal awal bank sebesar 15.000 gulden. Untuk
membiayai jasa akuntan, juru tulis, agen, dan peralatan kantor, Banjoemasche
Bank mendapat subsidi sebesar 190 gulden perbulan dari pemerintah. Pada tahun 1914, Banjoemasche
Bank menempati gedung kantor baru di dekat tikungan jalan raya Banyumas-Sokaraja.
Selama keberadaanya, arus keuangan bank berjalan cukup baik karena peminjam dapat mengangsur cicilan dengan lancar (Algemeen Handelsblad voor Ned.Indie, 5-6 Februari 1929).
|
Bekas Hospitaal Banyumas. |
|
Bekas Inlandsche school yang kni menjadi SMP N 1 Banyumas.
|
|
Bekas Europeesche school Banyumas yang saat ini menjadi SD N 1 Sudagaran. |
|
Kantor Pos Banyumas. |
|
Gedung Societeit Harmonie Banyumas. |
Selain masjid, di
sekitar alun-alun terdapat bangunan-bangunan umum lainnya. Untuk sarana pendidikan, yang jejaknya masih ada antara lain Europeesche lagere School yang selesai dibangun tahun 1919 dan Hollandsch-Inlandsche School yang selesai dibangun tahun 1927. Kemudian untuk komunikasi ada kantor pos dan telegraf yang dibangun oleh Burgerlijke Openbare Werken pada tahun 1914. Selain itu, ada gedung societeit Harmonie yang dibuka pada tahun 1870 dan menjadi pusat kehidupan malam di Banyumas. Keanggotaan societeit tersebut selain penduduk Eropa yang tinggal di Banyumas juga mencakup pegawai pabrik gula yang berada di sekitar Banyumas. Pada tahun 1933, societeit tersebut ditutup karena jumlah anggota societeit terus merosot sehingga tidak ada pemasukan untuk biaya operasi harian. Merosotnya jumlah anggota societeit disebabkan oleh banyak pabrik gula yang tutup akibat krisis ekonomi sehingga banyak pegawai yang meninggalkan Banyumas (Algemeen Handelsblad, 6 Februari 1933).
|
Bekas kepatihan.
|
|
Bekas rumah orang Eropa di Jalan Pengadilan Lama. |
|
Rumah-rumah di Jalan Pungkuran. |
|
Rumah controleur Jan van Baal di Jalan Pengadilan Lama. |
|
Bekas rumah seorang anggota Landraad. |
|
Rumah keluarga C.P. du Cloux di Jalan Pengadilan Lama. |
|
SD Kristen Banyumas di Jalan Onderan.
|
|
Rumah bergaya Indis Empire yang tidak terawat.
|
Banyumas
memiliki beberapa kelompok permukiman, antara lain Kauman, Kepatihan,
Kepangeranan, Pacinan, dan permukiman Eropa. Kawasan Kauman berada di sebelah
barat Masjid Nur Sulaiman, sementara kepatihan dan kepangeranan berada di
sekitar tempat tinggal patih dan pangeran. Pacinan atau tempat tinggal kelompok
masyarakat Tionghoa berada di dekat Pasar Banyumas dan Sudagaran. Salah satu rumah
bergaya Tionghoa di Sudagaran memperlihatkan serambi depan yang lumayan besar. Pada
tahun 1850, jumlah penduduk Tionghoa di Banyumas sudah mencapai 200 jiwa. Dahulu selain beprofesi sebagai pedagang,
orang-orang Tionghoa di Banyumas juga menjalankan usaha batik. Untuk memenuhi
kebutuhan tempat ibadah, orang Tionghoa membangun klenteng yang bangunan aslinya sudah terbakar. Sementara itu, orang-orang Eropa tinggal di
sepanjang Jalan Pengadilan Lama yang mengarah ke Sungai Serayu. Di sini
terdapat bekas rumah seorang pejabat controleur bernama Jan van Baal. Banyak bangunan rumah, sisa
permukiman tersebut yang berada di jalan atau sudut yang jarang dilalui banyak
orang.
|
Bekas rumah dinas perwia Veldpolitie.
|
Dahulu, Banyumas pernah memiliki sarana pertahanan benteng kecil yang terletak di selatan kantor Polsek Banyumas. Benteng tersebut dibangun saat Perang Jawa (1825-1830) sedang berlangsung. Kegagalan yang dialami di berbagai tempat membuat militer Belanda untuk menerapkan strategi baru yang dikenal sebagai bentengstelsel. Dalam strategi itu, militer Belanda mendirikan sejumlah benteng-benteng kecil di sepanjang jalur strategis termasuk di Banyumas. Bekas tempat berdirinya benteng di Banyumas itu kemudian dikenal sebagai Betenglemah karena awalnya benteng tersebut terbuat dari lemah yang dalam bahasa Indonesia berarti tanah (De Algemeen Handelsblad, 11 Oktober 1926). Saat Dr. P. Bleeker singgah di Banyumas pada tahun 1846, benteng tersebut sudah diperkuat dengan batu dan dua bastion. Kemungkinan benteng tersebut diperkuat sesudah Perang Jawa karena militer Belanda saat itu sedang menyiapkan strategi pertahanan Pulau Jawa untuk menahan serbuan bangsa asing. Benteng itu ditempati oleh 1 perwira infanteri, 13 tentara Eropa, dan 45 tentara pribumi (Bleeker, 1850;94). Benteng tersebut kemungkinan lenyap sewaktu banjir besar Sungai Serayu pada tahun 1861 sehingga jejaknya tidak bisa ditemui lagi. Pada tahun 1926, di Bentenglemah masih ada satu meriam yang tertinggal di bekas benteng tersebut. Selain benteng, sarana pertahanan dan keamanan Banyumas adalah
markas untuk pasukan Jayeng-sekar, pasukan keamanan yang ditugaskan untuk
menjaga keamanan. Kota Banyumas pada tahun 1846 memiliki 26 pasukan Jayeng-sekar. Tujuan pembentukan Jayeng-sekar adalah untuk menyerap pengangguran
dari anak-anak elit pribumi yang tidak tertampung dalam birokrasi kolonial dan
mengisi kekurangan tenaga keamanan. Mereka diberi pelatihan militer, senjata,
dan kuda. Mereka inilah yang menjadi cikal dari satuan kepolisian di masa kolonial.
Institusi keamanan kemudian digantikan dengan detasemen velpolitie atau polisi lapangan yang menempati markas di tenggara
kota (Verslag BOW 1921-1924)
|
Bekas kediaman Residen Banyumas yang kini menjadi SMK N 1 Banyumas (sumber : tropenmuseum.nl). |
|
Kompleks rumah sakit Julianna pada tahun 1948 (sumber :friesfotoarchief.nl). |
Sebuah
jalan sepanjang 1.5 km yang membentang lurus bagai pedang menghubungkan
permukiman pribumi dengan pusat pemerintahan kolonial di selatan, tepatnya di
daerah Kejawar. Di sini, terdapat secuplik rumah residen beserta bangunan
perkantoran pemerintah kolonial di dekatnya. Bila melihat foto lama, bangunan
rumah residen memiliki gaya arsitektur Indis NeoKlassik, sebuah gaya arsitektur
yang banyak dipakai oleh para pembesar-pembesar Belanda. Penempatannya yang
diletakan di selatan dan menghadap persis ke arah rumah bupati tampaknya
disengaja dengan maksud untuk mengimbangi kekuasaan bupati, karena bagaimanapun
juga, bupati adalah bawahan dari residen. Bangunan ini sekarang sudah hilang,
berganti menjadi SMK N 1 Banyumas dan tinggal menyisakan struktur bagian
bawahnya saja. Pada masa Agresi Militer Belanda, bangunan ini diduduki tentara
Belanda dan dijadikan markas. Di sekitar rumah residen, terdapat beberapa
bangunan penting seperti kantor Waterstaat (dinas pengairan) dan kompleks
rumah sakit Julianna pada 1925.
|
Sungai Serayu.
|
|
Lukisan karya Raden Saleh tentang sebuah banjir besar di Jawa. Besar kemungkinan bila lukisan ini terilahmi dari peristiwa banjir besar Banyumas pada tahun 1861 (sumber : commons.wikimedia ). |
“Gunung Slamet nan
Agung, tampak jauh di sana, bagai sumber kemakmuran serta kencana, indah murni
alam semesta, Tepi Sungai Serayu, sungai pujaan bapak tani, penghibur hati
rindu”
Sepenggal lirik lagu “Di
Tepi Sungai Serayu” kiranya menggambarkan betapa melegendanya sungai ini.
Berbicara tentang kota Banyumas memang tak bisa lepas dari Sungai Serayu yang
membatasi bagian utara dan timur kota ini. Lembutnya aliran Sungai Serayu
selain membawa anugerah, kadangkalanya ia juga mendatangkan musibah. Bulan
Februari tahun 1861 menjadi saat dimana air Sungai Serayu meluap dan nyaris
membenamkan kota Banyumas (Gill, 1994;241). Peristiwa petaka tersebut dikenal
dengan nama Blabur Banyumas. Kala itu, penduduk segera mengungsi ke perbukitan
di selatan dan di dalam kota hanya ada petugas keamanan. Ketika air bah kian
membubung tinggi, mereka berlarian masuk ke dalam kompleks kabupaten. Suatu
cerita rakyat menyebutkan bahwa pada saat terjadi banjir, pendapa Si Panji
lepas dari pondasinya dan terapung-apung. Lalu ketika air mulai surut, pendapa
tersebut kembali lagi ke tempat asalnya. Kedahsyatan persitiwa tersebut
dikenang dalam bentuk prasasti peringatan di beberapa bangunan yang ditempel
menyesuaikan ketinggian air ketika banjir terjadi.
|
Foto para pegawai Binenlandsch Bestuur Banyumas di beranda depan rumah residen Banyumas. Foto ini memperlihatkan para Inlandsch Bestuur atau pegawai pribumi yang berdiri di sebelah kiri dan para Europesche Bestuur atau pegawai Eropa yang berdiri di sebelah kanan (sumber : troppenmuseum.nl) |
Geliat Banyumas mulai
berkurang sejak masuknya jalur kereta api. Transportasi kereta api sebenarnya
sudah masuk di wilayah Karesidenan Banyumas sejak dibukanya jalur kereta
Yogyakarta-Cilacap pada 1887 oleh Staaspoorwegen. Namun perusahaan
kereta negara itu masih memandang kota Banyumas belum terlalu penting untuk dihubungkan
dengan kereta api. Demikian pula saat Serajode Daal Stoomtram Maatschappij membuka
jalur kereta pada tahun 1900 tidak lantas membuat Banyumas tersambung dengan lintasan
kereta meskipun ada peluang untuk menyambung kota itu lewat Patikraja atau
Sokaraja (De Preanger Bode 31 Desember 1917). Keadaan geografi kota
Banyumas yang terkepung oleh perbukitan terjal menyulitkannya untuk dibangunkan
jalur kereta ke arah kota Banyumas. Ketimbang membuka biaya lebih untuk
membabat dan membelah perbukitan, pemerintah kolonial lebih memilih untuk
menggeser jalur kereta jauh ke barat kota Banyumas. Pengguna kereta biasanya
akan turun atau naik di Stasiun Notog atau Maos. Banyumas akhirnya menjadi
satu-satunya ibukota Karesidenan di Jawa yang tidak memiliki stasiun. Pamor
Banyumas kian meredup semenjak adanya jalur kereta api Cirebon-Kroya pada 1918
yang sekali lagi tidak melewati Banyumas. Di saat yang sama, keberadaan jalur
kereta tersebut juga mengurangi peranan Sungai Serayu sebagai sarana
transportasi utama. Alhasil, walau sudah mempunyai fasilitas yang cukup memadai
seperti jalan, listrik, dan air ledeng, kota Banyumas lebih terbelakang
dibanding ibukota karesidenan lain (Widyakirana, 2000;36).
|
Kompleks kabupaten Banyumas pada tahun 1948. Tampak bekas pondasi pendapa Si Panji (sumber : freisfotoarchief.nl). |
Pada tahun 1919, bergulir suatu wacana mengenai apakah ibukota karesidenan Banyumas akan tetap bertahan di Banyumas atau dipindahkan ke Purwokerto. Wacana tersebut muncul
karena beberapa pihak menilai Banyumas sebagai ibukota karesidenan jauh tertinggal dibandingkan tempat
lain. Pihak yang pro pemindahan ke Purwokerto menilai bahwa kota Purwokerto
memiliki infrastruktur yang tidak dimiliki Banyumas, yakni jalur kereta api dan
keberadaan jalur tersebut dapat mendongkrak perekonomian. Sementara pihak yang
kontra dengan wacana pemindahan menilai bahwa Banyumas memiliki tata kota yang lebih
berwibawa sebagai ibukota karesidenan. Di samping itu, pemindahan tersebut akan
memakan banyak biaya (De Locomtief, 3 Mei 1926). Dengan berjalannya waktu,
rupanya terjadi krisis ekonomi pada tahun 1930an. Untuk menghemat anggaran,
pemerintah kolonial meninjau sejumlah onderdistrik, distrik, atau kabupaten yang
sekiranya perlu dihapus atau dilebur. Salah satu kabupaten yang dilebur adalah
Kabupaten Purwokerto dengan Kabupaten Banyumas pada 1935. Bersamaan dengan
peleburan tersebut, muncul usulan penutupan beberapa fasilitas seperti sekolah
dan rumah sakit yang ada di Banyumas karena keadaan Banyumas saat itu hampir
seperti kota mati seperti yang diberitakan De Locomotief tanggal 4 April 1935. Akhirnya
pemerintah kolonial memutuskan untuk memindahkan kedudukan pemerintahannya ke
Purwokerto, meninggalkan kota Banyumas yang secara turun temurun menjadi tempat
kedudukan bupati Banyumas. Pemindahan ibukota didahului dengan boyongan pendapa
Si Panji yang dianggap sakral bagi rakyat Banyumas pada bulan Januari 1937.
Bupati Banyumas saat itu, R.M. Gandasubrata akhirnya pindah ke Purwokerto pada
5 Maret 1937, sehari sebelum pesta pernikahan Putri Julianna dengan Pangeran
Bernhard. Sementara itu, residen Belanda masih berkedudukan di kota Banyumas sampai tahun 1939, menunggu kediaman resmi residen di Purwokerto tuntas dibangun. Berakhir
sudahlah peran Banyumas sebagai ibukota pemerintahan. Selepas dari perannya
sebagai ibukota pemerintahan, kejayaan kota Banyumas memudar dan menjadi kota
tertinggal (Widyakirana, 2000; 38-39).
|
Peta kota Banyumas pada tahun 1920an.
|
Namun ketertinggalan itulah yang membuat pakar sejarah tata kota, Ronald. G Gill memberi perhatian cukup dalam untuk mantan ibukota karesidenan ini. Dalam bukunya yang membahas dinamika kota-kota di Jawa dan Madura, De Indische Stad op Java en Madoera, Gill menyebutkan bahwa Banyumas adalah wujud tata kota tradisional Jawa yang masih terpelihara dengan baik bahkan bila dibanding Yogyakarta atau Surakarta. Tata kota Banyumas benar-benar masih murni dan antik, belum ada sentuhan tata kota kolonial modern yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek pendatang dari Eropa seperti Kotabaru di Yogyakarta dan Villapark di Surakarta. Namun lihatlah Banyumas, tak ada kawasan sejenis itu di sini. Satu-satunya penyusupan Eropa hanyalah rumah Residen dan itupun letaknya jauh di selatan kota, tidak mengganggu tata letak bangunan yang dibangun sebelum kekuasaan pemerintah kolonial. Maka dari itulah, Gill menggolongkan Banyumas ke dalam jenis kota Oud Indische Stad, Kota Indis Lama (Gill, 1994;246). Kota Oud Indische Stad adalah kota yang memadukan unsur kota tradisional Jawa dengan kota kolonial. Jenis kota Oud Indische Stad muncul sesudah pemerintahan kolonial memberlakuan tanam paksa pada tahun 1830an. Untuk mendukung kegiatan eksploitasi, pemerintah kolonial menempatkan pegawai-pegawai kolonial di kota-kota yang sudah lama menjadi kedudukan penguasa lokal. Ciri dari kota ini ditandai dengan adanya kediaman bupati dan residen yang letaknya terpisah (Gill, 1994; 79).
Demikianlah kisah
tentang kota Banyumas, kota yang dibesarkan oleh masa lalunya. Dibandingkan
ibukota karesidenan lain di Jawa, Banyumas terbilang merana karena keadaan alam
sekitar yang kurang menguntungkan sehingga ia berakhir menjadi kota yang
senyap. Namun suasana inilah yang menjadikan tata kotanya sintas
melintas masa serta melindungi bangunan-bangunan bersejarah nan berharga di
dalamnya. Sayangnya tidak semuanya bisa diselamatkan. Andai semakin banyak
bangunan tersebut yang menghilang, maka nasib kota tua di tepi Sungai Serayu
ini akan berakhir menjadi sebuah kota kecil tak bernilai tinggi.
Referensi :
Gill, Ronald. G.
1994. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft : Publikatieburo
Bouwkunde, Faculteit der Bouwkunde, Technische Universiteit Delft.
Handinoto.2012. Arsitektur
dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Lombard, Denys.
2018. Nusa Jawa, Silang Budaya 1 : Batas-batas Pembaratan. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.
Bleeker, P. 1850. “Fragmenten
eener Reis over Java” dalam Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 12, Batavia ; Lands Drukkerij
Widyakirana. 2000. “Pola
Tata Ruang Kota Banyumas Abad XVIII-Awal Abad XX”. Skripsi.
Yogyakarta : Fakutlas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.
Winoto, Soerjo. 1919. "Regentswoning" dalam Nederlandsch Indie Oud en Nieuw Vol. 004 Afdeeling 005.
Verslag Burgerlijke Openbare Werken 1921-1926.