Selasa, 25 Desember 2018

Kupas Kota Banyumas, Kota Tua di Tepi Sungai Serayu

Belum banyak orang yang tahu bahwa Banyumas selain nama Karesidenan juga merupakan sebuah nama kota kecamatan dari bekas sebuah hoofdplaats atau ibukota pemerintahan di masa kolonial. Kehidupan di kota kecil ini memang tidak begitu gemerlap, malah bisa dikatakan hampir mati. Pusat keramaian hanya ada di sekitar pasar atau di alun-alunnya dan itupun tidak ramai sepanjang hari. Namun dibalik itu semua, Banyumas merupakan sebuah kota tua yang menarik untuk dikupas.
Letak kota Banyumas.
Sejarawan terkemuka asal Perancis, Dennys Lombard, menyebut Banyumas sebagai “Serambi Dunia Jawa” karena wilayah ini merupakan batas antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah-Timur yang keduanya memiliki kebudayaan berbeda. Secara geografis, Banyumas merupakan daerah yang sedikit mendapat kontak dari luar karena ia terkungkung oleh pegunungan terjal yang terbentang di sepanjang sisi utara dan selatan. Kedua pegunungan tersebut dipisahkan oleh lembah Sungai Serayu yang mengiris wilayah ini. Selain memberikan kesuburan, sungai Serayu juga menjadi sarana penunjang lalu lintas perdagangan sungai. Dari sini muncul beberapa simpul-simpul perdagangan yang kecil namun cukup sibuk seperti Banjarnegara, Wonosobo, Purbalingga, Purworkerto dan Banyumas (Lombard, 2018;38). Untuk simpul perdagangan yang disebutkan terakhir, ia menduduki posisi cukup penting karena ia menjadi pusat pemerintahan Mancanagari Kilen dari Kerajaan Mataram Islam. Kota Banyumas diperkirakan berdiri sekitar tahun 1582 dan didirikan oleh Jaka Kaiman dari wangsa Wirasaba. Wilayah tersebut lalu dicaplok oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 1830 sebagai pampasan Perang Jawa. Wilayah itupun lalu dipecah menjadi dua Karesidenan, yakni Bagelen dan Banyumas. Pemerintah kolonial menunjuk J.E. de Struler sebagai residen pertama di Banyumas. 
Alun-alun Banyumas sekitar awal abad 20 (Sumber : media-kitlv.nl)
Karesidenan Banyumas membawahi empat kabupaten, yaitu Banyumas, Ajibarang, Dayaluhur, dan Purbalingga. Kota Banyumas yang sudah lama menjadi tempat kedudukan bupati ditetapkan sebagai ibukota Karesidenan Banyumas. Pada saat kolonial mulai bercokol di Banyumas, Banyumas masih tertutup dari dunia luar karena keadaan alam sekitarnya yang dikelilingi bukit. Untuk membuka akses Banyumas, maka residen De Seriere pada tahun 1836 membangun kanal yang kemudian dinamakan Kali Yasa. Kanal tersebut menghubungkan antara Kali Serayu dengan pelabuhan Cilacap. Barang-barang dari luar negeri dibawa dari Cilacap dan kemudian dikumpulkan di Banyumas sebelum disebar. Sebaliknya, hasil-hasil bumi seperti nila, gula, teh dihimpun terlebih dahulu di Banyumas sebelum dibawa ke pasaran luar. Selain membangun jalur air, upaya menghubungkan Banyumas dengan dunia luar juga dilakukan membangun jalan darat dari Banyumas ke Selatan hingga Buntu. Meskipun sudah dibangun jalan, namun rupanya jalan tersebut kondisinya sangat buruk, dimana medannya tidak rata dan curam sehingga kereta kuda mengalami kesulitan saat melaluinya (Widyakirana, 2000;31).
Alun-alun Banyumas.
Banyumas adalah kota lama yang masih memperlihatkan corak tata kota tradisional Jawa yang ditunjukan dengan keberadaan alun-alun, yakni lapangan terbuka yang pada bagian tengahnya ditanami dengan sepasang pohon beringin. Alun-alun lebih dari lapangan terbuka saja. Ia adalah pelataran sakral yang melambangkan keserasaian antara langit yang dilambangkan dengan pohon beringin dan bumi yang dilambangkan dengan pasir halus (Handinoto, 2012;225). Pada saat tertentu seperi grebeg mulud, kepala wilayah bawahan bupati Banyumas berkumpul untuk menunjukan kesetiaannya. Perayaan-perayaan penting semisal hari perayaan naik tahtanya Ratu Belanda juga digelar di sini. Dahulu, tiap hari Sabtu atau Senin diadakan permainan sodoran, yakni semacam pertandingan di atas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul atau pertandingan macan secara ramai-ramai yang disebut rampogan macan.
Bangunan bekas kediaman bupati Banyumas. Kini menjadi kantor kecamatan Banyumas.

Sekelompok anggota militer Belanda berkumpul di depan bekas rumah bupati Banyumas pada tahun 1947. Tampak sisa lantai dari pendapa Si Panji (sumber : nationaalarchief.nl)

Terletak di sebelah utara alun-alun, terdapat kompleks yang disebut kabupaten. Berbeda di masa sekarang dimana sebutan kabupaten merujuk pada satuan wilayah di bawah provinsi, di masa lalu kabupaten juga menjadi sebutan untuk kediaman bupati. Pada era Jawa pra-kolonial, bupati adalah kepala daerah di wilayahnya sekaligus seorang abdi kepada raja yang lebih senior. Kekuasaan seorang bupati tidak dihitung dari seberapa luas wilayah yang dimilikinya, namun dari seberapa banyak rumah tangga atau cacah. Sebagai bentuk “penghormatan” terhadap masyarakat pribumi, pada masa kolonial kedudukan bupati masih dipelihara dengan memasukan mereka ke jajaran birokrasi kolonial. Para bupati diberi wewenang mengatur nasib rakyat kecil seperti halnya penguasa negeri, namun ketundukan mereka yang semula kepada raja Jawa kini ditujukan kepada Raja negeri Belanda. Gengsi sebelum era kolonial juga dijaga sebagai cara agar mereka bergantung kepada pemerintah kolonial. Dapat dikatakan bila mereka berada di perbatasan antara sebagai kepala negeri dan pamong pemerintah (Lombard, 2018;126-127). Gemerlapnya jabatan bupati dapat dilihat dari mewahnya kediaman mereka yang menjadi bagian utama dari tata kota kolonial. Banyumas, sebagaimana kota-kota lama di Jawa menempatkan kediaman penguasa sebagai inti kota. Bangunan ini didirikan pada masa Tumenggung Yudanegara yang memerintah sekitar tahun 1708-1743. Perombakan yang senantiasa dilakukan oleh penerusnya menjadikan sulit untuk mengetahui bentuk asli dari bangunan kabupaten Banyumas. Kini, bekas kediaman Bupati Banyumas dimanfaatkan sebagai kantor kecamatan Banyumas. Meskipun turun status, namun sisa keagungan Kabupaten Banyumas masih dipertahankan dengan baik.


Replika pendapa Si Panji.

Laksana miniatur keraton, bangunan yang menghadap ke selatan ini cukup besar dan halaman dalamnya luas mengingat besarnya jumlah anggota keluarga dan pekerja rumah tangga yang dipekerjakan. Kompleks kabupaten Banyumas dibatasi dengan tembok keliling yang bagian depannya terputus sebagai akses ke halaman rumah bupati. Di dalam kompleks itu terdapat bagian seperti pendapa, bangunan utama, kantor, paseban (tempat tamu menunggu sebelum diperkenankan bertemu bupati) dan di belakangnya terdapat taman yang dikelilingi tembok. Di depan bangunan ini terdapat pendapa yang kondang dengan nama pendapa Si Panji. Pendapa adalah barang yang harus dimiliki pada setiap rumah bupati di Jawa karena ia merupakan salah satu simbol kebesaran seorang penguasa Jawa. Bila pusat pemerintahan bupati berpindah, maka pendapa juga ikut diboyong ke tempat baru seperti yang terjadi dengan pendapa Si Panji, ketika pemerintah kolonial memindahkan ibukota Karesidenan ke Purwokerto pada 1932. Selama bertahun-tahun bekas bangunan kabupaten Banyumas tidak memiliki pendapa dan akhirnya dibangun pendapa baru yang bentuknya masih serupa dengan yang lama. Wujud pendapa Banyumas sangat unik karena tidak seperti pendapa di tempat lain yang berbentuk joglo, pendapa tersebut memiliki bentuk limasan yang lebih banyak dipakai untuk bangunan tempat ibadah. Di belakang pendapa terdapat bangunan utama yang sekilas bentuknya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa yang ditunjukan pada penggunaan dormer pada atap dan kolom-kolom Yunani. Dalam laporan perjalanan Dr. P. Bleeker yang singgah di Banyumas pada 1850, bangunan rumah bupati masih belum menampakan sentuhan arsitektur Eropa seperti yang terlihat sekarang (Bleeker, 1850;94). Bangunan rumah bupati yang terlihat sekarang merupakan hasil perombakan oleh Burgelijke Openbare Werken pada tahun 1891 (Verslag BOW, 1895). Sebagai bagian dari birokrat pemerintah, pemerintah kolonial melalui Burgerlijke Openbare Werken atau Dinas Pekerjaan Umum menanggung biaya dan bertanggung jawab terhadap urusan perombakan, pemeliharaan, dan perbaikan rumah tinggal bupati jika bupati menghendakinya (Winoto, 1919: 143).

Masjid Nur Sulaiman Banyumas.
Bagian dalam Masjid Nur Sulaiman.

Sebagai pusat kota di masa lalu, alun-alun Banyumas dikelilingi oleh bangunan penting. Salah satu bangunan yang cukup penting adalah masjid Nur Sulaiman yang terletak di sebelah barat alun-alun. Masjid ini masih mempertahankan gaya arsitektur masjid tradisional Jawa dengan ciri berupa atap tajug bertumpang tiga. Dari segi praktis, penempatan masjid yang berada di barat alun-alun akan mempermudah jalannya upacara keagamaan yang digelar bupati serta untuk memudahkan orang masuk ke dalam. Dahulu, di belakang masjid tersebut ada sebuah meriam yang aslinya berasal dari sebuah benteng kecil di bukit Gunung Binangun yang ada di barat kota. Benteng tersebut dibangun Belanda pada masa Perang Jawa untuk mengawasi jalan. Sekitar tahun 1886, meriam benteng tersebut dipindahkan ke belakang masjid atas perintah bupati Cakranegara. Hal yang menarik dari ibukota Karesidenan Banyumas ini adalah tidak dijumpainya bangunan gereja sebagaimana ibukota karesidenan di tempat lain. Hal ini disebabkan kecilnya jumlah orang Kristen di kota Banyumas, sehingga keberadaan gedung gereja yang besar tidak diperlukan.

Bangunan bekas Afdeeling Bank yang saat ini menjadi Puskesmas Banyumas.

Bangunan lama lain yang dapat dijumpai di Banyumas adalah bangunan Puskesmas Banyumas yang dahulunya adalah kantor bank perkreditan rakyat masa kolonial, Banjoemasche Bank. Bank tersebut didirikan tahun 1904 atas prakarsa Tj. Halbertsma yang saat itu menjabat sebagai Residen Banyumas. Pendirian Banjoemasche Bank bertujuan untuk memberikan bantuan pinjaman uang kepada penduduk pribumi untuk kegiatan produktif atau jika ada kebutuhan lain yang mendesak (De Locomotief 2 Mei 1904). Selama ini penduduk pribumi jika sedang membutuhkan uang terpaksa meminjam uang kepada lintah darat yang mematok bunga sangat tinggi. Di wilayah Karesidenan Banyumas sebenarnya sudah ada lembaga semacam Banjoemashe Bank, yakni Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden yang didirikan oleh Raden Aria Wirjaatmadja pada 16 Desember 1895. Bank yang ada di Purwokerto itu kemudian menjadi cikal dari Bank Rakyat Indonesia. Halbertsma rupanya tertarik dengan langkah yang dilakukan oleh Raden Aria Wirjaatmadja itu dan akhirnya ia mendirikan bank serupa di ibukota karesidenan di Banyumas. Bank sejenis di Banyumas itu awalnya akan diberi nama Banjoemasche Hulp- spaar- en landbouwbank. Namun karena dirasakan terlalu panjang dan lembaga sejenis tidak akan ada di Kabupaten Banyumas, maka nama bank itu disingkat menjadi Banjoemasche Bank saja. Susunan pengurus pada masa awal terdiri dari Halbertsma sebagai ketua, bupati Banyumas R.A. Ario Mertodiredjo sebagai wakil ketua, controleur E.R. van Lier sebagai sekretaris, Hoofdjaksa Raden Gondo Soebroto sebagai bendahara, dan asisten residen J.J. Meijer sebagai wakil bendahara. Bank yang masih sederhana itu awalnya bertempat di kantor hoofdjaksa. Tempat itu juga digunakan sebagai tempat penyimpanan uang dan kertas berharga. Modal awal bank sebesar 15.000 gulden. Untuk membiayai jasa akuntan, juru tulis, agen, dan peralatan kantor, Banjoemasche Bank mendapat subsidi sebesar 190 gulden perbulan dari pemerintah. Pada tahun 1914, Banjoemasche Bank menempati gedung kantor baru di dekat tikungan jalan raya Banyumas-Sokaraja. Selama keberadaanya, arus keuangan bank berjalan cukup baik karena peminjam dapat mengangsur cicilan dengan lancar (Algemeen Handelsblad voor Ned.Indie, 5-6 Februari 1929).

Bekas Hospitaal Banyumas.
Bekas Inlandsche school yang kni menjadi SMP N 1 Banyumas.
Bekas Europeesche school Banyumas yang saat ini menjadi SD N 1 Sudagaran.
Kantor Pos Banyumas.

Gedung Societeit Harmonie Banyumas. 

Selain masjid, di sekitar alun-alun terdapat bangunan-bangunan umum lainnya. Untuk sarana pendidikan, yang jejaknya masih ada antara lain Europeesche lagere School yang selesai dibangun tahun 1919 dan Hollandsch-Inlandsche School yang selesai dibangun tahun 1927. Kemudian untuk komunikasi ada kantor pos dan telegraf yang dibangun oleh Burgerlijke Openbare Werken pada tahun 1914. Selain itu, ada gedung societeit Harmonie yang dibuka pada tahun 1870 dan menjadi pusat kehidupan malam di Banyumas. Keanggotaan societeit tersebut selain penduduk Eropa yang tinggal di Banyumas juga mencakup pegawai pabrik gula yang berada di sekitar Banyumas. Pada tahun 1933, societeit tersebut ditutup karena jumlah anggota societeit terus merosot sehingga tidak ada pemasukan untuk biaya operasi harian. Merosotnya jumlah anggota societeit disebabkan oleh banyak pabrik gula yang tutup akibat krisis ekonomi sehingga banyak pegawai yang meninggalkan Banyumas (Algemeen Handelsblad, 6 Februari 1933).

Bekas kepatihan.

Bekas rumah orang Eropa di Jalan Pengadilan Lama.



Rumah-rumah di Jalan Pungkuran.

Rumah controleur Jan van Baal di Jalan Pengadilan Lama.
Bekas rumah seorang anggota Landraad.

Rumah keluarga C.P. du Cloux di Jalan Pengadilan Lama.
SD Kristen Banyumas di Jalan Onderan.
Rumah bergaya Indis Empire yang tidak terawat.

Banyumas memiliki beberapa kelompok permukiman, antara lain Kauman, Kepatihan, Kepangeranan, Pacinan, dan permukiman Eropa. Kawasan Kauman berada di sebelah barat Masjid Nur Sulaiman, sementara kepatihan dan kepangeranan berada di sekitar tempat tinggal patih dan pangeran. Pacinan atau tempat tinggal kelompok masyarakat Tionghoa berada di dekat Pasar Banyumas dan Sudagaran. Salah satu rumah bergaya Tionghoa di Sudagaran memperlihatkan serambi depan yang lumayan besar. Pada tahun 1850, jumlah penduduk Tionghoa di Banyumas sudah mencapai 200 jiwa. Dahulu selain beprofesi sebagai pedagang, orang-orang Tionghoa di Banyumas juga menjalankan usaha batik. Untuk memenuhi kebutuhan tempat ibadah, orang Tionghoa membangun klenteng yang bangunan aslinya sudah terbakar. Sementara itu, orang-orang Eropa tinggal di sepanjang Jalan Pengadilan Lama yang mengarah ke Sungai Serayu. Di sini terdapat bekas rumah seorang pejabat controleur bernama Jan van Baal. Banyak bangunan rumah, sisa permukiman tersebut yang berada di jalan atau sudut yang jarang dilalui banyak orang.


Bekas rumah dinas perwia Veldpolitie.

Dahulu, Banyumas pernah memiliki sarana pertahanan benteng kecil yang terletak di selatan kantor Polsek Banyumas. Benteng tersebut dibangun saat Perang Jawa (1825-1830) sedang berlangsung. Kegagalan yang dialami di berbagai tempat membuat militer Belanda untuk menerapkan strategi baru yang dikenal sebagai bentengstelsel. Dalam strategi itu, militer Belanda mendirikan sejumlah benteng-benteng kecil di sepanjang jalur strategis termasuk di Banyumas. Bekas tempat berdirinya benteng di Banyumas itu kemudian dikenal sebagai Betenglemah karena awalnya benteng tersebut terbuat dari lemah yang dalam bahasa Indonesia berarti tanah (De Algemeen Handelsblad, 11 Oktober 1926). Saat Dr. P. Bleeker singgah di Banyumas pada tahun 1846, benteng tersebut sudah diperkuat dengan batu dan dua bastion. Kemungkinan benteng tersebut diperkuat sesudah Perang Jawa karena militer Belanda saat itu sedang menyiapkan strategi pertahanan Pulau Jawa untuk menahan serbuan bangsa asing. Benteng itu ditempati oleh 1 perwira infanteri, 13 tentara Eropa, dan 45 tentara pribumi (Bleeker, 1850;94). Benteng tersebut kemungkinan lenyap sewaktu banjir besar Sungai Serayu pada tahun 1861 sehingga jejaknya tidak bisa ditemui lagi. Pada tahun 1926, di Bentenglemah masih ada satu meriam yang tertinggal di bekas benteng tersebut. Selain benteng, sarana  pertahanan dan keamanan Banyumas adalah markas untuk pasukan Jayeng-sekar, pasukan keamanan yang ditugaskan untuk menjaga keamanan. Kota Banyumas pada tahun 1846 memiliki 26 pasukan Jayeng-sekar. Tujuan pembentukan Jayeng-sekar adalah untuk menyerap pengangguran dari anak-anak elit pribumi yang tidak tertampung dalam birokrasi kolonial dan mengisi kekurangan tenaga keamanan. Mereka diberi pelatihan militer, senjata, dan kuda. Mereka inilah yang menjadi cikal dari satuan kepolisian di masa kolonial. Institusi keamanan kemudian digantikan dengan detasemen velpolitie atau polisi lapangan yang menempati markas di tenggara kota (Verslag BOW 1921-1924)

Bekas kediaman Residen Banyumas yang kini menjadi SMK N 1 Banyumas (sumber : tropenmuseum.nl).
Kompleks rumah sakit Julianna pada tahun 1948 (sumber :friesfotoarchief.nl).
Sebuah jalan sepanjang 1.5 km yang membentang lurus bagai pedang menghubungkan permukiman pribumi dengan pusat pemerintahan kolonial di selatan, tepatnya di daerah Kejawar. Di sini, terdapat secuplik rumah residen beserta bangunan perkantoran pemerintah kolonial di dekatnya. Bila melihat foto lama, bangunan rumah residen memiliki gaya arsitektur Indis NeoKlassik, sebuah gaya arsitektur yang banyak dipakai oleh para pembesar-pembesar Belanda. Penempatannya yang diletakan di selatan dan menghadap persis ke arah rumah bupati tampaknya disengaja dengan maksud untuk mengimbangi kekuasaan bupati, karena bagaimanapun juga, bupati adalah bawahan dari residen. Bangunan ini sekarang sudah hilang, berganti menjadi SMK N 1 Banyumas dan tinggal menyisakan struktur bagian bawahnya saja. Pada masa Agresi Militer Belanda, bangunan ini diduduki tentara Belanda dan dijadikan markas. Di sekitar rumah residen, terdapat beberapa bangunan penting seperti kantor Waterstaat (dinas pengairan) dan kompleks rumah sakit Julianna pada 1925.
Sungai Serayu.
Lukisan karya Raden Saleh tentang sebuah banjir besar di Jawa. Besar kemungkinan bila lukisan ini terilahmi dari peristiwa banjir besar Banyumas pada tahun 1861 (sumber : commons.wikimedia ).
Gunung Slamet nan Agung, tampak jauh di sana, bagai sumber kemakmuran serta kencana, indah murni alam semesta, Tepi Sungai Serayu, sungai pujaan bapak tani, penghibur hati rindu
Sepenggal lirik lagu “Di Tepi Sungai Serayu” kiranya menggambarkan betapa melegendanya sungai ini. Berbicara tentang kota Banyumas memang tak bisa lepas dari Sungai Serayu yang membatasi bagian utara dan timur kota ini. Lembutnya aliran Sungai Serayu selain membawa anugerah, kadangkalanya ia juga mendatangkan musibah. Bulan Februari tahun 1861 menjadi saat dimana air Sungai Serayu meluap dan nyaris membenamkan kota Banyumas (Gill, 1994;241). Peristiwa petaka tersebut dikenal dengan nama Blabur Banyumas. Kala itu, penduduk segera mengungsi ke perbukitan di selatan dan di dalam kota hanya ada petugas keamanan. Ketika air bah kian membubung tinggi, mereka berlarian masuk ke dalam kompleks kabupaten. Suatu cerita rakyat menyebutkan bahwa pada saat terjadi banjir, pendapa Si Panji lepas dari pondasinya dan terapung-apung. Lalu ketika air mulai surut, pendapa tersebut kembali lagi ke tempat asalnya. Kedahsyatan persitiwa tersebut dikenang dalam bentuk prasasti peringatan di beberapa bangunan yang ditempel menyesuaikan ketinggian air ketika banjir terjadi.
Foto para pegawai Binenlandsch Bestuur Banyumas di beranda depan rumah residen Banyumas. Foto ini memperlihatkan para Inlandsch Bestuur atau pegawai pribumi yang berdiri di sebelah kiri dan para Europesche Bestuur atau pegawai Eropa yang berdiri di sebelah kanan (sumber : troppenmuseum.nl)
Geliat Banyumas mulai berkurang sejak masuknya jalur kereta api. Transportasi kereta api sebenarnya sudah masuk di wilayah Karesidenan Banyumas sejak dibukanya jalur kereta Yogyakarta-Cilacap pada 1887 oleh Staaspoorwegen. Namun perusahaan kereta negara itu masih memandang kota Banyumas belum terlalu penting untuk dihubungkan dengan kereta api. Demikian pula saat Serajode Daal Stoomtram Maatschappij membuka jalur kereta pada tahun 1900 tidak lantas membuat Banyumas tersambung dengan lintasan kereta meskipun ada peluang untuk menyambung kota itu lewat Patikraja atau Sokaraja (De Preanger Bode 31 Desember 1917). Keadaan geografi kota Banyumas yang terkepung oleh perbukitan terjal menyulitkannya untuk dibangunkan jalur kereta ke arah kota Banyumas. Ketimbang membuka biaya lebih untuk membabat dan membelah perbukitan, pemerintah kolonial lebih memilih untuk menggeser jalur kereta jauh ke barat kota Banyumas. Pengguna kereta biasanya akan turun atau naik di Stasiun Notog atau Maos. Banyumas akhirnya menjadi satu-satunya ibukota Karesidenan di Jawa yang tidak memiliki stasiun. Pamor Banyumas kian meredup semenjak adanya jalur kereta api Cirebon-Kroya pada 1918 yang sekali lagi tidak melewati Banyumas. Di saat yang sama, keberadaan jalur kereta tersebut juga mengurangi peranan Sungai Serayu sebagai sarana transportasi utama. Alhasil, walau sudah mempunyai fasilitas yang cukup memadai seperti jalan, listrik, dan air ledeng, kota Banyumas lebih terbelakang dibanding ibukota karesidenan lain (Widyakirana, 2000;36).

Kompleks kabupaten Banyumas pada tahun 1948. Tampak bekas pondasi pendapa Si Panji (sumber : freisfotoarchief.nl).

Pada tahun 1919, bergulir suatu wacana mengenai apakah ibukota karesidenan Banyumas akan tetap bertahan di Banyumas atau dipindahkan ke Purwokerto. Wacana tersebut muncul karena beberapa pihak menilai Banyumas sebagai ibukota karesidenan jauh tertinggal dibandingkan tempat lain. Pihak yang pro pemindahan ke Purwokerto menilai bahwa kota Purwokerto memiliki infrastruktur yang tidak dimiliki Banyumas, yakni jalur kereta api dan keberadaan jalur tersebut dapat mendongkrak perekonomian. Sementara pihak yang kontra dengan wacana pemindahan menilai bahwa Banyumas memiliki tata kota yang lebih berwibawa sebagai ibukota karesidenan. Di samping itu, pemindahan tersebut akan memakan banyak biaya (De Locomtief, 3 Mei 1926). Dengan berjalannya waktu, rupanya terjadi krisis ekonomi pada tahun 1930an. Untuk menghemat anggaran, pemerintah kolonial meninjau sejumlah onderdistrik, distrik, atau kabupaten yang sekiranya perlu dihapus atau dilebur. Salah satu kabupaten yang dilebur adalah Kabupaten Purwokerto dengan Kabupaten Banyumas pada 1935. Bersamaan dengan peleburan tersebut, muncul usulan penutupan beberapa fasilitas seperti sekolah dan rumah sakit yang ada di Banyumas karena keadaan Banyumas saat itu hampir seperti kota mati seperti yang diberitakan De Locomotief tanggal 4 April 1935. Akhirnya pemerintah kolonial memutuskan untuk memindahkan kedudukan pemerintahannya ke Purwokerto, meninggalkan kota Banyumas yang secara turun temurun menjadi tempat kedudukan bupati Banyumas. Pemindahan ibukota didahului dengan boyongan pendapa Si Panji yang dianggap sakral bagi rakyat Banyumas pada bulan Januari 1937. Bupati Banyumas saat itu, R.M. Gandasubrata akhirnya pindah ke Purwokerto pada 5 Maret 1937, sehari sebelum pesta pernikahan Putri Julianna dengan Pangeran Bernhard. Sementara itu, residen Belanda masih berkedudukan di kota Banyumas sampai tahun 1939, menunggu kediaman resmi residen di Purwokerto tuntas dibangun. Berakhir sudahlah peran Banyumas sebagai ibukota pemerintahan. Selepas dari perannya sebagai ibukota pemerintahan, kejayaan kota Banyumas memudar dan menjadi kota tertinggal (Widyakirana, 2000; 38-39).

Peta kota Banyumas pada tahun 1920an.

Namun ketertinggalan itulah yang membuat pakar sejarah tata kota, Ronald. G Gill memberi perhatian cukup dalam untuk mantan ibukota karesidenan ini. Dalam bukunya yang membahas dinamika kota-kota di Jawa dan Madura, De Indische Stad op Java en Madoera, Gill menyebutkan bahwa Banyumas adalah wujud tata kota tradisional Jawa yang masih terpelihara dengan baik bahkan bila dibanding Yogyakarta atau Surakarta. Tata kota Banyumas benar-benar masih murni dan antik, belum ada sentuhan tata kota kolonial modern yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek pendatang dari Eropa seperti Kotabaru di Yogyakarta dan Villapark di Surakarta. Namun lihatlah Banyumas, tak ada kawasan sejenis itu di sini. Satu-satunya penyusupan Eropa hanyalah rumah Residen dan itupun letaknya jauh di selatan kota, tidak mengganggu tata letak bangunan yang dibangun sebelum kekuasaan pemerintah kolonial. Maka dari itulah, Gill menggolongkan Banyumas ke dalam jenis kota Oud Indische Stad, Kota Indis Lama (Gill, 1994;246). Kota Oud Indische Stad adalah kota yang memadukan unsur kota tradisional Jawa dengan kota kolonial. Jenis kota Oud Indische Stad muncul sesudah pemerintahan kolonial memberlakuan tanam paksa pada tahun 1830an. Untuk mendukung kegiatan eksploitasi, pemerintah kolonial menempatkan pegawai-pegawai kolonial di kota-kota yang sudah lama menjadi kedudukan penguasa lokal. Ciri dari kota ini ditandai dengan adanya kediaman bupati dan residen yang letaknya terpisah (Gill, 1994; 79).


Demikianlah kisah tentang kota Banyumas, kota yang dibesarkan oleh masa lalunya. Dibandingkan ibukota karesidenan lain di Jawa, Banyumas terbilang merana karena keadaan alam sekitar yang kurang menguntungkan sehingga ia berakhir menjadi kota yang senyap.  Namun suasana inilah yang menjadikan tata kotanya sintas melintas masa serta melindungi bangunan-bangunan bersejarah nan berharga di dalamnya. Sayangnya tidak semuanya bisa diselamatkan. Andai semakin banyak bangunan tersebut yang menghilang, maka nasib kota tua di tepi Sungai Serayu ini akan berakhir menjadi sebuah kota kecil tak bernilai tinggi.

Referensi :
Gill, Ronald. G. 1994. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft : Publikatieburo Bouwkunde, Faculteit der Bouwkunde, Technische Universiteit Delft.

Handinoto.2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa, Silang Budaya 1 : Batas-batas Pembaratan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Bleeker, P. 1850. “Fragmenten eener Reis over Java” dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12, Batavia ; Lands Drukkerij

Widyakirana. 2000. “Pola Tata Ruang Kota Banyumas Abad XVIII-Awal Abad XX”. Skripsi. Yogyakarta : Fakutlas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.

Winoto, Soerjo. 1919. "Regentswoning" dalam Nederlandsch Indie Oud en Nieuw Vol. 004 Afdeeling 005.

Verslag Burgerlijke Openbare Werken 1921-1926.

Selasa, 30 Oktober 2018

Kaliurang, Tempat Penjajah Bertetirah di Kaki Gunung Merapi

Inilah Kaliurang, suatu tempat wisata di kaki Gunung Merapi yang kondang akan kesejukan dan keindahannya yang menarik pelancong baik dari dalam atau luar negeri. Kaliurang sebagai tempat untuk bertamasya bukanlah barang baru. Lama sejak masa kolonial, para keluarga Belanda, Tionghoa kaya, hingga kaum ningrat Jawa menyambanginya sebagai tempat melepas penat di kala senggang. Bagaimanakah riwayat Kaliurang sebagai tempat tetitrah ?
Pemandangan Kaliurang pada tahun 1940 dilihat dari bukit Turgo.
(Sumber : data.collectienederland.nl)

Foto yang memperlihatkan pemandangan Kaliurang. Pemandangan Gunung Merapi yang ada di belakang tampaknya adalah hasil penyuntingan (sumber : media-kitlv.nl).
Untuk orang-orang Eropa yang baru menapakan kaki di daerah khatulistiwa, gangguan utama yang mereka hadapi setiap harinya tidak hanya berasal serangan dari penduduk lokal, melainkan iklim yang panas nan lembab apalagi kantong-kantong permukiman mereka terletak di kota pesisir. Jadi urusan memperluas imperium seringkali kalah berarti dibanding apa yang disebut sebagai “keletihan tropis”. Orang Eropa yang lama hidup di daerah beriklim dingin tentu tak terbiasa dengan iklim panas tropis. Gerah sudah barang tentu dan itu menjadi tekanan batin yang mendera mereka kala menunaikan tugas di tanah jajahan. Maka tiada pilihan lain selain menyingkir ke wilayah dataran tinggi di pedalaman, dimana di sana mereka akhirnya menemukan kesejukan layaknya kampung halaman di Eropa. Tempat ini oleh mereka dijadikan sebagai tempat pelarian dari keriuhan serta hawa panas kota pesisir yang menjemukan, menyesakkan, dan memuakan. Dari situlah lahir tempat tetirah di musim panas bagi orang-orang Eropa yang terletak di pegunungan atau lazim disebut station hill. Di Asia, Station hill paling banyak berada di India, dimana orang-orang Inggris di Delhi membangun station hill di Simla yang terletak di kaki pegunungan Himalaya. Jika orang-orang di Eropa berpesiar ke kota tepi laut untuk merasakan hangatnya cahaya mentari, maka orang-orang Eropa di Asia beranjangsana ke station hill untuk menghirup udara jernih pegunungan (Spencer dan Thomas, 1948; 639-640).
Suasana Kaliurang tahun 1920an dilhat dari Hotel Kaliurang. Terlihat bangunan dari pesanggrahan Ngeksigondo (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pemandangan Kaliurang pada 1940.
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl))
Kebiasaan membangun station hill  juga diikuti oleh orang Belanda yang dulu menjajah Nusantara. Di Hindia-Belanda, terdapat 23 station hill, dimana sebagian besar terdapat di pulau Jawa. Gill (1995)  menjelaskan, walau kebutuhan akan tempat tetirah yang sehat dan sejuk sudah ada sejak awal abad 19, namun perhatian serius pada tempat tetirah di pegunungan yang dekat dengan kota di mana mereka bekerja baru dimulai pada pergantian abad 19 ke abad 20. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda berhasil meneguhkan kekuasaanya di daerah pedalaman Jawa dan mendirikan beberapa pusat pemerintahan. Masing-masing kota yang menjadi pusat pemerintahan kolonial memiliki station hill seperti Batavia dengan Bogor, Semarang dengan Ungaran, dan Bandung dengan Lembang. Berbeda dengan orang-orang Inggris di India yang hanya mendatangi station hill saat musim panas saja, orang-orang Belanda mendatangi station hill setiap saat. Bagi orang Belanda, station hill memiliki nilai lebih karena mereka akhirnya bisa merasakan indahnya pesona pegunungan yang selama ini tak bisa mereka jumpai di negeri Belanda, negeri sonder pegunungan.
Pemandangan Kaliurang pada 1940 dilihat dari bukit Mejing dengan bungalow yang ditempatkan di tanah berteras (sumber : Djocja-Solo)
Salah satu station hill di Jawa adalah Kaliurang. Terletak di kaki Gunung Merapi yang masih aktif, Kaliurang asalnya adalah bagian dari tanah apanage atau tanah sewa milik Pangeran Puger, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono II. Pada era Sultan Hamengkubuwono VII, kepengelolaanya diserahkan pada saudaranya, Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah itupun dimanfaatkan sebagai perkebunan nila namun karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vorstenlanden membuat kegiatan perkebunan itu terhenti. Oleh Boschwezen Dienst (Dinas Perhutanan), lahan terbengkalai tersebut direboisasi dan disahkan sebagai hutan lindung untuk penyangga kawasan di bawahnya. Tepat di tengah hutan lindung itulah Kaliurang berada. Karena berada di ketinggian 880 mdpl, hawa di sana cukup sejuk dan sudah lama orang terkesan dengan keindahan alamnya. Pembesar-pembesar keraton seperti Pangeran Adipati Mangkubumi telah membangun pesanggrahan pribadi beserta pemandian di Telaga Keputren. Kerabat, teman, serta tak ketinggalan Sultan dan Residen Yogyakarta acap berpelesiran ke pesanggrahan itu. Sepeninggal Pangeran Adipati Mangkubumi, pesanggrahan tersebut menjadi milik anaknya, Pangeran Suriadi dan Raden Ayu Mangoendjojo yang saat itu adalah istri bupati Sleman (Dingemans, 1925 : 40).
Peta Kaliurang pada 1925. Bungalow-bungalow yang dibangun di bawah tahun 1925 berada di sebelah barat, sementara bungalow baru dibangun di sebelah timur (sumber : maps.library.leiden.edu)
Persebaran bangunan lama di Kaliurang. Keterangan : A. Wisma Kaliurang ; B. Pesanggrahan Ngeksigondo ; C. Pesanggrahan Hargopeni ; D. Wisma van Resink ; E. Hostel Vogels ; F. Villa lainnya.
Orang-orang Belanda yang mula-mula menjadikan Kaliurang sebagai tempat tetirah adala para pakar geologi yang sedang menyelidiki Gunung Merapi. Terpikat dengan keindahan alam dan hawa sejuknya, mereka meminta kepada residen agar Kaliurang bisa dijadikan sebagai tempat wisata. Pada tahun 1919, sejumlah orang Belanda mengajukan izin kepada residen Canne dan  ia menyetujui rencana Kaliurang untuk disewa sebagai tempat tetirah. Pengganti Residen Canne, Residen Jonquiere menetapkan beberapa petak lahan di Kaliurang sebagai Vrijdomein atau tanah bebas. Itu artinya pemerintah kolonial dapat mengambil alih rencana pembagian lahan. Sebagai prasarana pendukung, maka pada 1923 jalan menuju Kaliurang diperbaiki oleh Dienst Sultanaatwerken. Lalu dibuka layanan bus dari Yogyakarta ke Kaliurang (Dingemans, 1925 ; 42-45).  
Salah satu villa di Kaliurang. Villa tersebut saat ini menjadi Wisma Gajah Mada (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Kendati letaknya berdekatan dengan Gunung Merapi yang masih aktif dan dapat meletus sewaktu-waktu, sungguhpun demikian orang-orang Belanda di Yogyakarta dengan percaya dirinya masih memilih Kaliurang sebagai tempat tetirah. Untuk menghindari dampak yang tidak diinginkan, peneliti dari Vulkanologische Afdeeling van den Opsporingsdienst (Jawatan Penyelidikan bagian Vulkanologi) pada tahun 1932 ditugaskan untuk menyelidiki dampak letusan Merapi terhadap Kaliurang. Hasil penyelidikan menunjukan bahwa Kaliurang relatif aman dari terjangan letusan (Algemeene Handelsblad voor Ned. Indie, 1 Januari 1932). Dari sini terlihat betapa berhati-hatinya Belanda dalam memilih lokasi station hill di kepulauan yang sarat dengan gunung berapi aktifJadi selain faktor kesejukan dan kedekatan jarak, faktor keselamatan juga diperhitungkan. Walau demikian, banyak bungalow yang hancur sewaktu erupsi Merapi 1994. 
Beberapa bungalow tinggalan Belanda di Kaliurang.
Wisma Van Resink.
Vogel Hostel. Dibangun pada 1926 dan pernah menjadi milik Patih Danurejo VII.
Sebagai tempat tetirah, tuindorp Kaliurang memiliki lebih dari selusin bungalow atau villa peristirahatan yang dibikin dengan selera ala Eropa. Ukuran bangunan mungil, dinding dilapisi oleh batu kali tempelan atau kayu dan yang paling unik adalah adanya fitur cerobong asap. Bungalow-bungalow itu menempati pekarangan yang dibuat berundak. Sementara tata jalan di Kaliurang dirancang mengikuti lekuk kontur yang ada. Masing-masing bungalow memiliki arah pandang yang berbeda-beda, namun kebanyakan dibuat menghadap ke dataran rendah. Bungalow-bungalow tersebut dibiayai oleh kesultanan dan rancangannya dibuat oleh biro arsitek Sitsen en Louzada. Setelah jadi, bungalow tersebut diperuntukan bagi bangsawan keraton sebagai tempat pesanggarahan tapi beberapa bungalow tersebut ada juga yang  dijual kepada orang Eropa atau orang Tionghoa kaya. Bila ada kesempatan, mereka akan menyempatkan diri berlibur ke bungalow masing-masing. Selain, ada pula bungalow yang disewakan untuk umum. Kira-kira ada 12 bungalow yang sudah dibangun pada tahun 1925 (Dingemans, 1925-41).

Taman Pesanggrahan Ngeksigondo sekitar tahun 1937
(sumber : data.collectienederland,nl)
Pesanggrahan Ngeksigondo milik Kasultanan.

Pendapa di bagian depan pesanggrahan untuk tempat memainkan musik.
Pesanggrahan Hargopeni, bungalow milik Pakualaman.
Di antara beberapa pesanggrahan di Kaliurang, yang paling bersejarah adalah pesanggrahan Ngeksigondo. Pesanggrahan tersebut mulanya adalah bungalow milik seorang Belanda yang kemudian pada 1927, bungalow tersebut dibeli oleh Sultan Hamengkubuwono VIII untuk menjadi pesanggrahan keluarga Sultan ketika berada di Kaliurang. Oleh Sultan, di pekarangan bungalow tersebut ditambahkan paviliun sebagai tempat memainkan gamelan dan tari tradisional Jawa. Selain pesanggarahan milik Kasultanan, ada juga pesanggrahan milik Pakualaman yang disebut sebagai pesanggrahan Hargopeni. Kedua pesanggrahan tersebut saat ini masih terpelihara meski jarang dikunjungi oleh keluarga Kasultanan maupun Pakualaman. 
Anak-anak asuh dari Pro Juventute yang sedang berkemah di Wilhelmina Kamp Kaliurang selama dua minggu pada tahun 1937 (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Bekas kolam renang.

Kolam renang Tlogo Nirmolo yang dibangun oleh biro Sitsen en Louzada. Saat ini berubah menjadi tempat parkir (sumber : media-kitlv.nl).
Lapangan tenis dari zaman Belanda.
Lapangan tenis yang dahulu lokasinya berada di Taman Kaliurang yang sekarang
(sumber : data.collectienederland.nl)
Berkembangnya Kaliurang rupanya tidak lepas dari bergeliatnya sektor pariwisata sebagai imbas dari kemakmuran perekonomian Hindia-Belanda dan juga sebagai alternatif sumber pendapatan pemerintah. Pada tahun 1908, dibentuk Vereneeging voor Toeristen-Verkerker yang bertujuan untuk memajukan pariwisata di Hindia-Belanda. Beraneka tempat yang sekiranya eksotis diperkenalkan VTV kepada para wisatawan mancanegara. Kaliurang tentu saja menjadi bagian dari tempat wisaya yang disuguhkan oleh VTV sebagai tempat wisata alam yang tenang nan damai. Sejumlah promosi juga dilakukan oleh komunitas pegiat pariwisata lokal, "Jogja Vooruit". Saat beranjangsana di Kaliurang, pengunjung dapat mencecap beragam hiburan yang disodorkan di sana mulai dari lapangan tenis, kolam renang, hotel, restoran, hingga taman seraya menikmati kesegaran udara Gunung Merapi. Kaliurang juga memiliki bumi perkemahan bernama Wilhelminakamp yang dirintis oleh lembaga Rotary Club dan diresmikan pada 7 September 1930 oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Bumi perkemahan pemuda pertama di Hindia-Belanda tersebut memiliki asrama yang sederhana namun bersih. Fasilitasnya terbilang lengkap seperti lapangan olaharaga, ruang bermain, ruang makan, dapur, gudang tenda dan gudang kayu bakar (Bataviasch Nieuwsblad 21 November 1932). Untuk menunjang kegiatan pariwisata, secara bertahap dibangun sarana penunjang seperti jaringan listrik, saluran pipa air bersih, telepon, dan layanan pos. Selain itu, jalan Yogyakarta menuju Kaliurang juga diperbaiki dan layanan transportasi bus dibuka. Pada tahun 1938, pihak kesultanan bahkan mulai memikirkan rencana perluasan dan penataan kawasan wisata Kaliurang. Berkaitan dengan hal tersebut, kesultanan lalu meminta saran dari arsitek dan ahli tata kota terkenal saat itu, Ir. Thomas Karsten untuk penataan kawasan Kaliurang.
Hotel Kalioerang yang kini menjadi Wisma Kaliurang (sumber : media-kitlv.nl)
Iklan lama hotel Kaliurang.
Di antaranya yang paling kondang adalah Hotel Kalioerang yang dibuka pada 1931 oleh tuan Lahmeijer, seorang pengusaha berdarah Jerman. Inilah hotel pertama di Kaliurang yang memakai penerangan lampu listrik, dimana penerangan Kaliurang saat itu masih mengandalkan lampu minyak. Bangunan beratap limas dengan kubah kecil di puncaknya ini menjadi jujugan orang-orang Eropa kala bertandang ke Kaliurang untuk mencari makan dan minum serta tempat menginap bagi mereka yang tidak memiliki villa di Kaliurang. Fasilitas yang ada di Hotel Kalioerang meliputi lapangan tenis dan kolam renang. Di samping sebagai tempat menginap, Hotel Kalioerang juga menjalankan peran sebagai kantor pos. 
Pada tahun 1948, Kaliurang menjadi sorotan utama media di Belanda dan Indonesia karena Kaliurang menjadi tempat digelarnya perundingan oleh PBB sebagai upaya menengahi perselisihan antara Republik Indonesia dengan Belanda yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda I. Pemerintah Republik Indonesia menawarkan Kaliurang sebagai tempat perundingan karena selain dekat dengan Yogyakarta yang saat itu berstatus sebagai ibukota RI, Kaliurang juga memiliki beberapa bungalow dan hotel yang kemudian disiapkan oleh pemerintah republik untuk tempat menginap dan pertemuan delegasi Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia) atau lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) yang berasal dari Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Saat itu, beberapa pejabat pemerintah Republik Indonesia juga memiliki rumah-rumah peristirahatan pribadi sehingga mereka dapat mengikuti jalannya perundingan dari dekat. Hawa Kaliurang yang sejuk juga diharapkan mampu mendinginkan suasana perundingan yang bisa memanas sewaktu-waktu. 
Presiden Sukarno dan rombongan saat berjalan-jalan di Kaliurang saat Perundingan KTN (sumber : Koleksi Perpustakaan Nasional)
Suasana perundingan yang berlangsung di Hotel Kaliurang.
(Sumber : Koleksi Perpustakaan Nasional)
Jalannya perundingan Kaliurang tidak terjadi hanya dalam sehari. Dalam sehari bisa hanya ada satu pertemuan yang berlangsung tidak lebih dari lima belas menit saja. Kadang-kadang juga bisa berlangsung hingga beberapa jam. Jika hari itu sedang senggang, anggota delegasi menghabiskan waktunya dengan berenang atau berjalan santai di pagi hari. Kemudian disusul dengan makan siang dan tidur siang singkat. Sorenya, mereka bermain tenis atau sekedar bercengkerama di teras hotel. Memasuki malam hari, delegasi dihibur dengan permainan musik gamelan dan tarian yang disediakan oleh Kesultanan. Sayangnya suasana perundingan yang tampak santai tersebut tidak berumur panjang manakala Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua di Yogyakarta yang menagakibatkan rombongan delegasi tersebut harus kembali ke Yogyakarta (Limburgsch Dagsblad, 29 Desember 1948).

Referensi
Andani, Angelica Hedy. 2011. "Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di Kaliurang". Skripsi. Yogykarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Dingemans, L.F. 1925. Gegevens over Djocjakarta. Magelang : Firma Maresch.

Gill, Ronald.G. 1994. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft : Publikatieburo Bouwkunde, Faculteit der Bouwkunde, Technische Universiteit Delft.

Spencer, J. E.  dan Thomas, W. L. 1948. “The Hill Stations and Summer Resorts of the Orient” dalam Geographical Review, Vol. 38, No. 4 (Oct., 1948), hlmn 637-651. American Geographical Society.

Wahyu Prakosa dan Agus Suparman. 2013. “Karakteristik Rumah Peristirahatan Kolonial Belanda di Kaliurang” dalam Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil) Vol. 5 Oktober 2013, Bandung, 8-9 Oktober 2013.

De Locomotief, 12 Januari 1926.

De Locomotief, 12 September 1927.

Limburgsch Dagsblad, 29 Desember 1948