Suatu siang di bulan
September 2016, udara Kutoarjo terasa panas dan rasanya begitu menyengat di
kulit. Kepala saya segera dibanjiri dengan peluh sehingga saya memutuskan
berteduh di emperan Pendopo Kutoarjo. Dipayungi dengan atap pendopo berbentuk
tajug, terlihat beberapa orang yang duduk berteduh untuk melepas rasa gerah.
Mungkin mereka belum tahun jika pendopo tempat mereka berteduh dulunya adalah
kediaman bupati Kutoarjo.
Persearan peninggalan bersejarah di Kutoarjo. Keterangan ; 1. Pendhopo Kutoarjo ; 2. Masjid Agung Kutoarjo ; 3. Rumah Patih ( sekarang kantor Kecamatan Kutoarjo ) ; 4. Rumah Kontrolir ; 5. Bekas rumah mayor Tionghoa ; 6. Stasiun Kutoarjo ;7. Rumah gaya Victorian ( sekarang Hotel Kencana ) ; 8. Jembatan Kali Jali. |
Peta Kutoarjo tahun 1909. Tempat-tempat pejabat penting seperti Bupati ( Reg.= Regent ), Patih ( D = District ), dan Kontrolir ( C = Controloeur ) ditandai dengan tiang bendera Belanda. Di sebelah timur tampak Kali Jali yang menjadi batas alami kabupaten Purworejo dengan kabupaten Kutoarjo. (Sumber ; maps.library.leiden.edu). |
Berbeda dengan masa sekarang, Kutoarjo di masa
lampau adalah kabupaten yang berdiri sendiri, terpisah dengan Kabupaten Purworejo.
Pada saat itu, Kabupaten Kutoarjo lebih dikenal dengan nama Kabupaten Semawung. Secara administratif, Kutoarjo berada di bawah Karesidenan Bagelen yang dibentuk
pemerintah kolonial Belanda pada 1830. Kabupaten Semawung membawahi beberapa
distrik seperti Distrik Sucen, Distrik Madjier, Distrik Kendal, Distrik Paitan,
Distrik Kiangkong, dan Distrik Pituruh. Bupati pertama Kutoarjo ialah Raden Tumenggung Sawunggaling dan awalnya berkedudukan di Semawung, kira-kira dua ratus meter ke selatan dari pusat Kutoarjo yang sekarang. Pada peta lama tahun 1857, masih tampak bahwa kedudukan Kabupaten Kutoarjo masih berada di Semawung.
Peta topografi tahun 1857 yang masih memperlihatkan kedudukan Kabupaten Kutarjo masih berada di Semawung. |
Ditinjau dari tata kotanya, Kutoarjo memperlihatkan unsur kota tradisional Jawa yang ditandai dengan alun-alun yang terletak di samping utara jalan raya utama Purworejo – Kebumen. Alun-alun adalah lapangan berbentuk persegi yang
pada bagian tengahnya ditanami dengan pohon beringin sebagai salah satu perwujudan dari nilai persatuan pemimpin dengan rakyatnya. Dalam tradisi Jawa, alun-alun diperlukan untuk menunjukan legitimasi kekuasaan seorang kepala daerah. Maka dari itu, saat kedudukan pemerintah kabupaten Kutoarjo dipindahkan oleh bupati Kutoarjo kedua R.M. Soerokosoemo dari Semawung Daleman ke Desa Senepo, maka R. M. Soerokoesomo juga membangun Kutoarjo dalam pola kota tradisional Jawa di tempat barunya. Sebagai pusat kota, berbagai perhelatan atau perayaan digelar di alun-alun.
Pendhopo Kutoarjo, bekas kediaman bupati Kutoarjo yang kini menjadi rumah dinas wakil bupati Purworejo. Terlihat bentuk atapnya seperti masjid-masjid lama. |
Berada di sebelah utara alun-alun, terdapat eks Kawedanan Kutoarjo yang menjadi salah satu bukti keberadaan kabupaten Kutoarjo di masa lalu. Meskipun bangunan tersebut lebih kondang sebagai kawedanan, namun aslinya bangunan tersebut adalah rumah tinggal bupati. Di masa lalu, bupati akan menempatkan kediamannya tidak jauh dari alun-alun. Letaknya bisa di sebelah utara atau selatan. Bangunan tersebut dibangun pada masa bupati R.A. Soerokoesomo dan disempurnakan bentuknya pada tahun 1899 dengan anggaran dari Burgerlijke Openbare Werken (Jawatan Pekerjaan Umum). Bagian terdepan dari bangunan eks rumah bupati Kutoarjo bangunan beratap tanpa dinding yang disebut pendapa. Atap besarnya menlingkupi ruang persegi terbuka yang menjadi tempat bupati menerima tamu, mengadakan rapat, resepsi pernikahan, dan lainnya. Pada bagian depan terdapat atap menjorok yang disebut tratag dan di sinilah kereta kuda atau mobil berhenti tepat di depan tangga sehingga saat keluar masuk orang tidak terganggu oleh hujan. Di bagian tengah pendapa ada empat tiang utama yang ukurannya paling besar dan memiliki lebih banyak dekorasi yang disebut saka guru. Berbeda dengan rumah pejabat Jawa yang pendoponya menggunakan atap Joglo, bangunan yang sekarang dipakai sebagai kediaman wakil bupati Purworejo ini menggunakan atap tajug yang umumnya dipakai pada bangunan masjid. Di belakang pendopo, terdapat bangunan utama yang menjadi ruang tinggal bupati dan keluarganya. Berbeda dari bangunan pendopo yang bercorak Jawa, bagian dalem terlihat begitu kental unsur Eropanya dengan pilar-pilar Yunani di beranda depannya.
Perpaduan budaya Jawa dan Eropa sangat terasa pada bekas rumah Bupati Kutoarjo seperti yang terlihat pada tiang saka guru pendhopo dan pilar-pilar Yunani di belakangnya. |
Jabatan bupati sudah lama ada sebelum era kolonial. Istilah bupati kemungkinan berasal dari dua kata Sanskerta, bhumi (tanah) dan pati (tuan) yang dapat diartikan sebagai tuan tanah. Mereka saat itu bertindak sebagai kepala pemerintahan lokal yang menjadi bawahan seorang raja. Sesudah Perang Jawa, pemerintah kolonial semakin mencengkeram kota-kota pedalaman seperti Kutoarjo. Bersamaan dengan itu, pemerintah kolonial mulai menerapkan praktik sistem tanam wajib atau cultuurstelsel guna membuka potensi pedalaman Jawa secara maksimal sekaligus untuk membuktikan bahwa koloni Jawa dapat memberikan hasil bagi penjajah karena tiada faedahnya menguasai tempat yang tidak membuahkan keuntungan apapun bagi penguasanya. Penerapan cultuurstelsel terkendala dengan ketersediaan pegawai administrasi karena sedikit orang Belanda yang mau jauh-jauh bekerja di Jawa yang kondisi lingkungan dan budayanya masih sedikit diketahui pada saat itu. Selain itu, pemerintah kolonial juga telah belajar dari pengalaman bahwa pemaksaan ide asing terhadap suatu negeri seringkali menimbulkan gesekan dengan penduduk pribumi. Kepercayaan, adat istiadat, dan tradisi kaum pribumi akhirnya dibiarkan berkembang menurut kemampuan mereka. Dengan kata lain, orang-orang pribumi itu tidak bisa diperintah langsung oleh orang kulit putih dan sebagai gantinya pemerintah kolonial memasukan bupati ke dalam jajaran
birokrasi sipil pemerintahan kolonial. Sebagai abdi pemerintah kolonial, mereka ditempatkan sebagai kepala
pemerintahan penduduk Jawa dan dikerahkan untuk mengawasi penanaman, panen, dan pengangkutannya. Sebagai imbalannya, bupati menerima tunjangan gaji dari pemerintah. Mereka juga diperkenankan membuat simbol-simbol kebesaran. Pemerintah kolonial hanya membutuhkan sejumlah kecil pegawai Belanda untuk mengawasi kelancaran seluruh sistem (Lombard, 2018: 88). Berbeda dengan bupati di masa sekarang yang ditentukan oleh pemilihan umum, pada masa kolonial jabatan bupati ditentukan berdasarkan garis keturunan. Dapat disimpulkan bahwa bupati merupakan bentuk kelanjutan tradisi feodalisme Jawa yang kemudian dirangkul ke dalam sistem kolonialisme modern. Seperti yang diakui sarjana seni asal Amerikaa John C. Van Dycke, pemerintahan Belanda sukses membuktikan diri sebagai pemerintah kolonial paling berhasil di era modern dan pemerintah kolonial Inggris dan Amerika perlu belajar dari mereka (Rush, 2013: 212). Seiring dengan penghapusan Kabupaten Kutoarjo pada 1 Januari 1934 dan dilebur dengan Kabupaten Purworejo, maka Kutoarjo turun status menjadi ibukota kawedanan saja (Linck, 1935: 1). Meskipun jabatan bupati Kutoarjo sudah tidak ada lagi, bangunan kabupaten Kutoarjo masih berperan sebagai tempat tinggal pemimpin daerah meskipun hanya setingkat wedana. Oleh karena itu bangunan Kabupaten Kutoarjo lebih dikenal sebagai kawedanan.
|
Kantor Pengadilan Agama dan penghulu.
|
Seperti lazimnya
kota-kota tradisional di Jawa, di sebelah barat alun-alun terdapat masjid.
Masjid itu dibangun pada tahun 1860 oleh bupati R.A.A. Pringgoatmodjo. Lima
belas tahun kemudian, oleh putra R.A.A. Pringgoatmodjo, R.A.A. Poerboatmodjo,
masjid itu dipugar. Sayangnya bentuk masjid yang sekarang sudah tidak asli
lagi. Atap masjid yang seharusnya berupa atap tumpang kini sudah menjelma
menjadi atap kubah. Di dekat halaman pintu masuk masjid, terdapat bangunan lama
yang dulu diperuntukan sebagai kantor pengadilan agama dan penghulu.
Rumah dengan tulisan 1918 di bagian depan. |
Pendopo Kecamatan Kutoarjo, bekas rumah kediaman wedana. |
Kutoarjo sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi di masa lampau memiliki beragam remah sejarah lainnya. Misalnya bangunan kediaman wedana Kutoarjo yang kini menjadi kantor Kecamatan Kutoarjo. Wedana atau districthoofd bertugas sebagai bawahan dari pegawai pemerintahan bupati. Sebagaimana bupati, wedana merupakan pembesar pribumi yang diangkat sebagai pegawai pemerintah jajahan dan
diberi gaji. Hal ini mengakibatkan mereka tunduk pada ketentuan atasan yang
tak lain adalah pemerintah kolonial Belanda seperti yang dijabarkan Djoko
Soekiman dalam buku karangannya, “Kebudayaan Indis”. Mereka, kaum priyayi
seperti wedana, disediakan rumah tinggal yang sudah ditentukan oleh pemerintah
kolonial. Walau ditentukan oleh pemerintah kolonial, namun bukan berarti
pembangunannya sama sekali tidak melibatkan pekerja lokal (pribumi). Pemerintah
kolonial membekali para pekerja lokal dengan ilmu seni bangun dari Barat.
Selama pembangunan rumah-rumah pegawai kolonial seperti bupati, patih, residen,
dan kontroleur, mereka diawasi insinyur dari Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) (Djoko Soekiman, 2014 ;160). Bangunan rumah wedana Kutoarjo sendiri dibangun tahun 1895 dengan biaya sebesar 4551 gulden. Kayu-kayu untuk bangunan pendoponya terbuat dari kayu jati yang ditebang dari hutan milik pemerintah (B.O.W, 1897; 38).
Saluran air Sudagaran/Kali Anyar, saluran air peninggalan Pangeran Poerboatmodjo. |
Sebuah
kanal kecil mengalir di sepanjang sisi utara kota. Masyarakat setempat
menyebutnya Kali Anyar. Saluran Kali Anyar merupakan bagian dari saluran air
Sudagaran yang sudah ada terlebih dahulu. Mulai dibuat pada abad ke-19, saluran
Sudagaran awalnya dibuat kepentingan irigasi sawah-sawah yang ada di wilayah
selatan Kutoarjo. Mulut saluran tersebut berada di Semawung yang terletak di
selatan Kutoarjo. Sebelum Kali Anyar dibangun, banjir yang
disebabkan oleh meluapnya Kali Jali senantiasa menerjang Kutoarjo. Puncaknya
terjadi pada 23 Februari 1861 ketika banjir besar setinggi 4,5 meter
menggenangi Kutoarjo. Beberapa tempat tertimbun sedimen banjir setinggi satu
meter. Untuk mencegah banjir, maka
dibuatlah pintu bendung di mulut saluran sehingga saluran Sudagaran memiliki fungsi ganda sebagai saluran irigasi dan drainase banjir. Konsep sistem irigasi ganda tersebut
ternyata menimbulkan konflik wilayah hulu dan hilir saluran. Saat pintu bendungan
ditutup, maka wilyah di hulu di utara pintu mengalami banjir. Sebaliknya,
apabila saluran air dibuka, maka wilayah hilir di selatan pintu yang dekat
dengan saluran akan mengalami kebanjiran karena minimnya sarana drainasenya di
sana. Keberatan dari penduduk di wilayah selatan dijawab dengan pembuatan pintu
air baru pada 1878. Namun pembangunan tersebut menuai protes dari penduduk Kutoarjo
karena dikhawatirkan aliran air banjir yang tertutup pintu akan menambah debit
air banjir di wilayah tersebut. Konflik kepentingan tersebut akhirnya menjadi
dilema tersendiri bagi pemerintah karena biaya perawatan yang tinggi tidak
diikuti dengan manfaatnya sebagai saluran air seperti yang dikehendaki.
Saluran Kali Anyar adalah salah satu tinggalan yang dibuat oleh bupati Kutoarjo, Pangeran Poerboatmodjo. Beliau menjabat sebagai bupati
Kutoarjo sejak 19 Oktober 1870 dan saat diangkat sebagai bupati usianya masih sangat belia, yakni 21 tahun. Beliau termasuk sosok
yang sangat terpelajar. Pemanfaatan sumber daya alam, konservasi lingkungan,
dan tata guna air adalah bidang ilmu yang ia pelajari, ilmu yang terbilang
langka dipelajari oleh orang pribumi kala itu, sehingga boleh dibilang jika
beliau adalah enviromentalis Indonesia pertama. Sebelum menjabat sebagai
bupati, beliau bertugas di Dinas Topografi Karesidenan Bagelen dan mantri pengairan Bendungan Boro. Bersama residen Bagelen, beliau melawat ke Kalkuta,
India untuk menimba ilmu pengairan dan irigasi dari para insinyur pengairan
Inggris yang berhasil membendung sungai Gangga. Memahami
bahwa sistem tata kelola air di daerahnya tidak bekerja sesuai rencana, maka Pangeran Poerboatmojo bersama B.O.W (Burgerlijke Openbare Werken),
jawatan pemerintah kolonial yang bertanggung jawab dalam proyek pembuatan
saluran air, memutuskan untuk melakukan
pembenahan sistem tata kelola air di Kutoarjo. Ketika merencanakan proyek pembenahan saluran tersebut, B.O.W berupaya menampung semua masukan dari pihak yang tinggal di hulu maupun di hilir. B.O.W
kemudian melakukan proyek penggalian saluran di pinggiran utara Kutoarjo. Di
pertemuan saluran air dengan Sungai Jali, akan dibangun pintu air dengan
material yang lebih kuat. Selain itu, B.O.W juga akan memisah saluran menjadi
dua antara saluran drainase banjir dengan saluran banjir, sehingga di atas
saluran banjir, terdapat akuaduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Dengan demikian, sistem saluran Sudagaran diharapkan dapat menyediakan air lebih banyak di sepanjang musim kemarau dan menyalurkan kelebihan air selama musim hujan. Proses penggalian saluran dimulai pada akhir tahun 1897 dan bagian pintu air dibangun selama musim kemarau tahun 1898 dan 1899. Sepanjang proses pembuatan pintu air, bagian pondasi dijaga tetap kering dengan pompa bertenaga manual. Material pondasinya terbuat dari batu gunung yang diambil dari bukit-bukit di sekitar proyek. Sementara bagian dinding terbuat dari beton yang dilapisi dengan batu alam yang diprofilkan. Pintu saluran terbuat dari besi yang dibuat oleh depo kereta api S.S. di Purworejo. Saluran air baru tersebut juga dilengkapi dengan jalan inspeksi, jembatan dan tangga yang dapat digunakan penduduk sekitar untuk mandi di saluran. Dengan dimensinya yang besar, banyak memotong lahan sawah serta saluran irigasi yang rumit, maka proyek senilai 96.940 gulden tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi B.O.W, terutama insinyur Grinwis Plaat yang merancang saluran tersebut. Hari ini, saluran air yang dibangun B.O.W pada 1897 tersebut dikenal sebagai Kali Anyar.
Upaya penangan banjir di Kutoarjo tak
hanya berhenti sampai di situ, Pangeran Poerboatmojo juga turut menghijaukan kembali tanah perbukitan di sebelah utara
Kutoarjo. Wilayah pantai selatan Kutoarjo juga turut dihijaukan dengan menanam
pohon Nyamplung sehingga pantai menjadi teduh dan tidak tergerus angin (De Locomotief, 18 Oktober 1928). Pada 22 Juli 1912, sejumlah pegiat konservasi alam di Hindia-Belanda membentuk perkumpulan Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming. Tujuan utama perkumpulan tersebut adalah untuk meningkatkan upaya perlindungan alam Hindia-Belanda yang karena memiliki nilai ilmiah atau keindahan khusus perlu dilindungi di tempat asalnya dengan menetapkannya sebagai cagar alam. Dari sekian anggota awal perkumpulan, Pangeran Poerboatmodjo menjadi satu-satunya anggota yang berasal dari golongan pribumi (Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Oktober 1913). Atas
pengabdiannya di bidang lingkungan, Pangeran Poerboatmodjo mendapat banyak
penghargaan dari kerajaan Belanda seperti Ridderkruis der Orde van den Nederlandschen Leeuw,Officiers-kruis der Oranje Nassau-order. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
masyarakat Kutoarjo berterima kasih kepada Pangeran Poerboatmodjo karena berkat
jasanya, Kutoarjo terbebas dari banjir besar. Pemerintahan Pangeran Poerboatmodjo berjalan selama 45 tahun lamanya, menjadikannya sebagai bupati Kutoarjo terlama yang menjabat. Pada 2 Desember 1915, Pangeran Poerboatmodjo mengundurkan diri dari jabatan bupati dan digantikan oleh putranya, Raden Adipati Ario Poerbohadikoesoemo. Pangeran Poerboatmodjo meninggal pada tahun 1928.
Klinik Mardioesodo, sarana kesehatan masyarakat Kutoarjo tempo dulu. |
Bupati terakhir Kutoarjo, R.A.A. Poerbohadikosoemo dan istrinya. (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl) |
Menghadap ke Kali Anyar, bangunan Puskesmas Kutoarjo menempati sebuah gedung tua yang bagian depannya terpampang tulisan "Mardioesodo". Gedung tersebut merupakan jejak dari bupati terakhir Kutoarjo, Raden Adipati Ario Poerbohadikoesoemo. Sebelum diangkat menjadi bupati pada 1915, beliau mengawali karinya sebagai mandor di perusahaan kereta api milik pemerintah, Staatspoor, pada usia 25 tahun. Beberapa tahun kemudian, beliau bergabung dengan korps birokrat sipil kolonial Binennlandsch Bestuur dan ditempatkan pertama kali di Distrik Pituruh dengan status magang. Kemudian beliau diangkat sebagai juru tulis oleh wedana Loano dan dipromosikan sebagai asisten wedana di Watumalang, lalu juru tulis bupati Purworejo, dan terakhir sebagai patih di Wonosobo. Sepanjang menjabat sebagai bupati Kutoarjo, Poerbohadikoesomo berupaya memajukan pertanian, peternakan dan industri tenun di Kutoarjo. Atas jasa-jasanya, Raden Tumenggung Poerbohadikoesoemo diberikan gelar adipati oleh pemerintah kolonial pada tahun 1926. R.A.A. Poerbahadikoesoemo meninggal pada 1 April 1933 pada usia 73 tahun. Permakamannya dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting untuk memberikan penghormatan terakhir seperti A.H. Neys, Gubernur Midden Java, Residen Kedu, Asisten Residen Puworejo, anggota Landraad, Bupati Kebumen, Magelang, Purworejo, Temanggung, Wonosobo, Batang, Demak, dan Nganjuk, perwakilan dari Pakualam, kepala perkebunan, pengusaha, ulama, dan kepala warga Tionghoa Kutoarjo (De Sumatra Post van Vrijdag 21 April 1933).
Pejagalan Hewan Kutoarjo.
|
Masih di sebelah utara Kutoarjo,
di sana terdapat bangunan pejagalan hewan yang dibangun pada tahun 1929.
Pejagalan tersebut didirikan oleh pemerintah kolonial untuk mempermudah
pemeriksaan hasil penyembelihan. Di masa lalu, dimana ilmu kesehatan hewan masih
belum berkembang pesat seperti sekarang, hewan-hewan yang sering dikonsumsi
seperti sapi, kerbau, kambing, dan babi rentan terkena penyakit. Pemikiran orang saat itu adalah jika penyembelihan hewan dilakukan pada sembarang tempat, tentu orang tidak akan tahu apakah hewan
yang disembelih itu sehat dan dagingnya layak dikonsumsi, sehingga penyakit hewan
seperti anthrax dapat menular ke tubuh manusia. Untuk mencegah
hal yang tidak-tidak, pemerintah kolonial mendirikan tempat khusus pejagalan
hewan. Pejagalan ini diatur sedemikian rupa. Ada tempat untuk pemeriksaan
hewan, tempat pengulitan, tempat membersihkan jeroan, tempat pembuangan bagian
hewan yang tidak dikonsumsi, dan kantor untuk pengurus pejagalan. Tempat
penyembelihan untuk hewan babi yang haram dikonsumi oleh umat Islam juga
dipisahkan dari tempat penyembelihan lain. Letak pejagalan tersebut sengaja
ditaruh tidak jauh dari saluran air agar mudah membersihkan isi perut hewan,
membuang bagian yang tidak diperlukan seperti darah dan tempat para juru jagal
membersihkan diri. Pada masa kolonial, pejagalan Kutoarjo sebenarnya termasuk
pejagalan yang sudah ketinggalan zaman karena di kota-kota besar seperti
Batavia, Semarang, dan Malang, pejagalan hewan sudah dibangun dengan taraf
lebih baik dan dilengkapi kamar pendingin atau freezer, laboratorium,
penggunaan besi anti karat untuk penggantung, dan tersedia tempat khusus untuk
mencuci perut hewan dengan air hangat yang mengalir, bukan dari saluran air
kotor (Treffers, 1935: 8).
Bangunan bergaya Victorian yang saat ini menjadi Hotel Kencana. |
Jalan Pangeran
Diponegoro adalah jalan utama yang melintas di tengah kota Kutoarjo. Ia
menghubungkan Kutoarjo dengan Purworejo di timur dan Kebumen di barat. Di
sepanjang jalan itu masih berdiri beberapa bangunan kuno bekas seperti Hotel Kencana. Sayangnya penjaga hotel tidak mengetahui terlalu banyak sejarah hotel tersebut sehingga belum diketahui siapa pendiri dan kapan dibangunnya bangunan tersebut. Hal yang cukup menarik perhatian dari hotel ini adalah bagian dinding dalamnya dilapisi dengan keramik-keramik bermotif. Bangunan ini juga menggunakan banyak kaca patri bermotif gaya Art Nouveau sebagai hiasan jendela dan ambang pintu. Tidak ketinggalan tegel bermotif sesuluran mengalasi lantai bangunan ini.
Bekas kediaman asssitent resident/controleur Kutoarjo. Perbedaan rumah pejabat Belanda dengan pribumi adalah tiadanya pendopo di bagian depan rumah pejabat Belanda. Sebagai ganti pendopo adalah sebuah beranda di bagian depan. |
Dengan masuknya pengaruh kolonial, maka kota tradisional Kutoarjo juga diselingi dengan sejumlah hunian pegawai Eropa yang berdiri menyusup pada tata kota yang sudah ada seperti remah sejarah berupa bangunan tua bekas rumah dinas asssitent resident/controleur Kutoarjo. Pada masa kolonial, pemerintahan sipil dijalankan oleh Binnelandsch Bestuur yang membagi dua susunan pegawai. Pertama adalah Inlandsch Bestuur yang pegawainya diangkat dari elit pribumi setempat dengan bupati sebagai kepalanya. Kemudian yang kedua adalah Europesche Bestuur yang pegawainya terdiri dari orang-orang Belanda yang sudah menerima pendidikan birokrasi dan hukum. Dalam susunan birokrasi sipil Binnelandsch Bestuur, jabatan assitent resident berada di bagian Europesche Bestuur dan kedudukannya setingkat di bawah residen. Ia dipasangkan dengan bupati sebagai penasihat (Cribb dan Kahin, 2012 ; 67-68). Secara sekilas, bangunan rumah Controleur Kutoarjo bergaya arsitektur perpaduan Jawa dan Eropa atau sering
disebut arsitektur Indis. Ciri arsitektur Indis bisa dilihat dari atapnya yang
berbentuk atap kampung yang lebar seperti rumah-rumah Jawa, jendelanya tinggi
besar dan ada beranda di bagian depan. Ukurannya yang besar seakan menunjukan
keangkuhan penguasa kolonial di hadapan bangsa pribumi walaupun sesungguhnya
tujuan rumah itu dibangun dalam ukuran sebesar itu supaya ruangan di dalam tidak
terasa panas. Kendati demikian, mereka setidaknya masih memiliki rasa hormat pada
bupati dengan tidak membangun rumah memunggungi kediaman bupati. Apabila rumah
bupati dibangun menghadap ke selatan, mereka (orang Belanda) membangun rumah
menghadap ke utara. John C. van Dyke menyebutkan kepercayaan, adat istiadat,
dan tradisi kaum pribumi masih dihormati oleh penjajah karena tujuan penjajahan
Belanda di sini bukanlah untuk mengubah kebudayaan, melainkan “hanya untuk menguras
sumber daya alamnya” (Rush, 2013; 8). Pada awalnya, pemerintah kolonial memberi anggaran yang sangat sedikit untuk pembangunan rumah dinas asssitent resident. Dengan anggaran yang sedikit tersebut tentu tidak dapat terwujud sebuah rumah yang sepadan dengan gaya hidup para penguasa kolonial. Maka dari itu beberapa asssitent resident menyalahgunakan kekuasaanya dengan memaksa penduduk lokal untuk menyetor kayu yanga akan dipakai sebagai bahan bangunan tanpa diberi imbalan. Sementara uang dari pemerintah digunakan untuk membeli bahan bangunan dari Eropa. Kesewenangan para asssitent resident tersebut berakhir dengan dikeluarkannya Gouvernement Besluit 11 Januari 1854 yang mengatur ketentuan bahwa kebutuhan rumah tinggal asssitent resident akan disediakan langsung oleh pemerintah. Bangunan asssitent resident Kutoarjo yang sekarang merupakan hasil pendirian tahun 1895 dengan biaya pembangunan sebesar 15.277 gulden (B.O.W, 1897; 38). Seiring dengan dihapusnya Karesidenan Bagelen, maka rumah ini "turun" status menjadi rumah tinggal controleur, pegawai kolonial di bawah asisten residen.
Stasiun Kutoarjo pada masa sekarang. Sebelum dirombak banguann Stasiun Kutoarjo mirip sekali dengan Stasiun Purworejo. |
Rumah-rumah tua di sekitar Stasiun Kutoarjo. Rumah-rumah ini dahulu dihuni oleh para pegawai Stasiun Kutoarjo. |
Para perempuan yang bekerja sebagai pemintal benang di sebuah pabrik benang di Kutoarjo. Dibandingkan Purworejo, perekonomian Kutoarjo jauh lebih maju. ( sumber ; media-kitlv.nl ). |
Deretan bangunan berlanggam Tionghoa di sepanjang jalan M.T. Haryono. |
Kaki saya kemudian
melangkah ke jalan M.T. Haryono, pecinannya Kutoarjo karena di sana masih
banyak rumah-toko kuno bergaya Tionghoa Selatan. Kutoarjo, seperti arti namanya yang berarti "Kota yang Makmur" memang lebih semarak kehidupan perekonomian Kutoarjo dibanding Purworejo karena di sana tinggal
pengrajin tenun dan barang pecah belah. Jika diibaratkan, Purworejo dan Kutoarjo mirip dengan kota Washington DC dan New York di Amerika Serikat dimana kota New York memiliki kehidupan perekonomian yang lebih ramai daripada ibukotanya, Washington DC. Roda perekonomian semakin bergeliat
dengan dibangunnya jalur kereta Yogyakarta-Cilacap pada tahun 1887 oleh Staatspoorwegen, yang
melewati Kutoarjo dan dibangun sebuah stasiun di sini (Anonim, 58). Konon
komunitas Tionghoa di sini lebih lama eksis dibanding Purworejo. Mereka pun
juga sangat aktif dalam dunia pendidikan golongan Tionghoa seperti usaha mereka
dalam membangitkan kembali perkumpulan Hak Boe Tjong Hwee pada 1926 ( Liem,
1933;236 ).
Rumah besar milik Bapak Budi. |
Pintu utama dengan ornamen yang menarik. |
Bagian ruang depan. |
Pintu dengan ornamen burung bangau. |
Di salah satu sisi jalan
itu, saya jatuh hati dengan sebuah rumah tua bergaya Tionghoa yang tampak
berbeda dari yang lain. Berbeda dengan rumah lain yang nir hiasan, rumah itu
begitu menawan dengan aneka hiasan seperti tiang dan teritisan yang berbalut sesuluran.
Saya pun mencoba masuk ke dalam dan disambut baik oleh bapak Budi.
Sebagaimana tampak luarnya, tampak dalam rumah itu juga masih terjaga baik. Saya
pun menduga jika dulu mungkin rumah ini adalah tempat tinggal seorang
kapitan Tionghoa. Dalam pengaturan masyarakat, pemerintah kolonial biasanya
memberi gelar militer titular seperti mayor, letnan atau kapten pada seorang
Tionghoa terpandang. Merekalah yang nantinya akan mengurus segala perkara yang
menyangkut orang Tionghoa. Namun ada dugaan lain bahwa bangunan ini dipakai sebagai kantor untuk semacam perhimpunan Tionghoa di Kutoarjo. Bagi saya pribadi, rumah ini adalah salah satu remah
sejarah Kutoarjo yang patut dijaga.
Makam Belanda Gunung Tugel. |
Jembatan Kali Jali pada tahun 1930. |
Jembatan Kali Jali pada masa sekarang.
|
Sebelum saya beranjak
pergi dari Kutoarjo untuk kembali ke Purworejo, saya melewati remah sejarah
terakhir. Remah terakhir itu adalah sebentang jembatan tua berbentuk busur yang
masih tampak perkasa. Walau demikian, jembatan ini sudah pensiun sebagai
jembatan penghubung utama karena kian ramai kendaraan yang melintas sehingga
dikhawatirkan ia tidak sanggup memanggul beban.
Referensi :
Burgerlijke Openbare Werken. 1897. Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch Indie Over Het Jaar 1895. 'S Gravenhage ; Gebr. J. H. Van Langenhuysen.
Cribb, Robert dan Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok; Komunitas Bambu.
Treffers, Dr.W. 1935. "De Modernising Van Het Slachthuis voor Groot Vee en Geiten Te Cheribon" dalam Locale Techniek 4e Jaargang No.3 Mei 1935. Bandung.
Cribb, Robert dan Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok; Komunitas Bambu.
Treffers, Dr.W. 1935. "De Modernising Van Het Slachthuis voor Groot Vee en Geiten Te Cheribon" dalam Locale Techniek 4e Jaargang No.3 Mei 1935. Bandung.
Jhr. P.J. Boreel. 1901. "De Verbetering der Soedagaran Leiding" dalam De Ingeneur No. 35.
Linck, A.A.C. 1935. "Residentie Kedoe Bewogen Historie" dalam De Locomotief, Kedoe Nummer. 12 Agustus 1945.
Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya I : Batas-Batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Musadad. 2002. Arsitektur dan Fungsi Stasiun Kereta Api bagi Perkembangan Kota Purworejo Tahun 1901-1930. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Penadi, Radix . 2000. Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad ke XIX. Lembaga Study dan Pegembangan Sosial Budaya.
Pranoto, Agung. 2017. Kisah Tokoh
Poerworedjo Djaman Doeloe : Pangeran Poerboatmodjo.
Rush. James. R. 2013. Jawa Tempo Doeloe ; 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985. Depok : Komunitas Bambu.
Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Oktober 1913
Rush. James. R. 2013. Jawa Tempo Doeloe ; 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985. Depok : Komunitas Bambu.
Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Oktober 1913
De Locomotief, 18 Oktober 1928
De Sumatra Post van Vrijdag 21 April 1933
Terima Kasih,sangat menarik.kebetulan konon kakek kami prawoto danusendjojo berasal dari pituruh.tabik.
BalasHapusPurworejo ada komunitas sejarahnya nggak ya,..
BalasHapusKutoarjo sudah ada komomitas budaya
HapusKomomitas sejarah jg dah ada lama...
HapusApa mas komunitasnya? Ada FB atau IGnya? Atau WAnya, mau tanya sejarah soal Patih Djojoprabongso kakak Mbah Soeromenggolo
Hapustrimaksih atas tayangan ini menambh wawasan bagi saya yg dilahirkan disini dan pergi meninggalknya untuk sebuah pekerjaan
BalasHapusKali jali nggon nggo dolanan gethek-gethek'an sell dhebog
BalasHapusdisebutkan Distrik Sucen adalah bagian dari Kutoarjo.
BalasHapuspadahal jika dilihat secara geografis, saat ini desa bernama Sucen lebih dekat ke Purworejo. Sucen merupakan sebuah desa bagian dari kecamatan Bayan, di seberang sungai Jali.
ataukah mungkin yg dimaksud adalah SUREN? karena posisinya tidak jauh dari Kiangkong.
mohon penjelasannya, trims
Untuk itu saya masih belum ketemu karena bisa jadi ada perubahan nama tempat di kemudian hari. Contoh dulu Kelurahan Kledung di Banyuurip yang dulunya satu dipecah jadi dua, yakni Kledung Kradenan dan Kledung Karangdalem.
HapusSucen dulu adalah wilayah kutoarjo di era Sawunggaling II . Setelah itu kawedanan Purwodadi di era pangeran Purboatmodjo jg ikut kutoarjo. Sistem pemerintahan kolonial dan peta suka berubah2
HapusLengkong sanggar ginaris kalau Kledung adalah pemekaran desa sama kayak desa2 lainnya misalny Grabag yg pecah jadi tiga desa
HapusKedua orang tua saya berasal dari Purworejo Kecamatan Sucen dan Kecamatan Bayan
HapusTerima kasih sekali informasi yang telah di berikan. Kedua orang tua saya berasal dari Kutoarjo dan sampai sekarang saya masih sering berkunjung ke kota kecil ini
BalasHapusSaya sudah sering melintasi Kutoarjo, dan pernah singgah bbrp kali termasuk Jum'at-an, sholat duhur dan ashar di Masjid Polsek Kutoarjo. Real time, mekintasi stasiun saya tiba-tiba tergerak mencari tahu ttg sejarah kota ini setelah melihat stasiun KA-nya yg menurutku lumayan besar. Saya yakin Kutoarjo pernah besar dan jaya di zamannya. Semoga peninggalan-peninggalan zaman kolonial ttp terjaga.
BalasHapusTerima kasih sudah berbagi.
Baca sejarah tempat ini ,serasa sebagai obat rindu saya,saya yang pernah besar disana ,di Klepu Bedug ,samping setasiun Kutoarjo
BalasHapuskakek saya berasal dari sini, namnya S.R. Kertowiranu
BalasHapusMbah Arief Hartono ya?
HapusSaya bertugas diKutoarjo sbg insan BPS. Membaca postingan ini memperkaya wawasan tentang Kutoarjo.. benar2 kecamatan yang menarik. Terima kasih sharingnya..
BalasHapusSaya bertugas diKutoarjo sbg insan BPS. Membaca postingan ini memperkaya wawasan tentang Kutoarjo.. benar2 kecamatan yang menarik. Terima kasih sharingnya..
BalasHapusSesuatu yang tulus biasanya bertahan lama...kira2 yang saya lihat pada sebuah/setiap bangunan jaman dahulu, misal seperti selis atau pintu air, umur bangunan dan mekaniknya sudah berpuluh tahun sampai sekarang masih berfungsi dengan baik...saya lahir dan besar di kota kecil ini tercinta
BalasHapusSejarah nya sebenarnya udah ada ditulis jauh dari artikel nya mas Lengkong ini, sangat disayangkan bila belum tau..
HapusMengetahui sejarah Kutoarjo
BalasHapusSaya dari kecamatan butuh .Purworejo..kecil di sana..lepas sekolah di kutoarjo.saya merantau ke Bekasi..setelah membaca artikel ini sungguh sangat bangga akan sejarahnya dulu..
BalasHapusGabung di grup Sejarah kutoarjo pak.. maka akan lebih paham lgi... Grup nya udah ada 10 tahun yg lalu.... Sebenarnya udah bnyk di blog jg FB... Tentang sejarah kutoarjo dari pertama kali bernama semawung, sejarah tentang pangeran Purboatmodjo jg udah lama di kupas 10 tahun yg lalu bahkan sebelum mas Lengkong membuat artikel ini..
HapusIzin kroscek mas Lengkong..
BalasHapusDi beritakan Dalam majalah "Het Niuews Van Den Dag" Voor nederlandsch-Indie terbit hari senin tanggal 3 April tahun 1933.
Bahwa R.A.A. Poerbohadikusumo Bupati Koetoardjo meninggal dunia hari Minggu tanggal 2 April tahun 1933.
Dan Gelar R.M Soerokusumo bukan R.A.
Serta kecamatan Kutoarjo bukan kantor kawedanan, dulu pendopo kecamatan Kutoarjo adalah Pendopo Kepatihan. Kantor kawedanan dan Pendopo kawedanan ya di bekas rumah Bupati Kutoarjo.
Terimakasih tulisannya sangat menambah wawasan. Kakek nenek saya berasal dari Kutoarjo. Nenek saya keturunan Indo-Belanda, saat ini usianya 85 tahun, beliau sering menangis ingin mencari tahu siapa orangtua kandungnya. Apakah grup sejarah Kutoarjo dapat membantu ya?
BalasHapusYuk Coba Keberuntunganmu Setiap Hari... Join Disini Sekarang Kumpulan Berbagai Macam Permainan Taruhan Online Terbaik di Indonesia, Kunjungi Website Kami Di Klik Disini dan Dapatkan Bonus Terbaru 8X 9X 10X win klik disini untuk mendapatkan akun Sabung Ayam anda dan Bonus Berlimpah.
BalasHapusMas Lengkong, baguss tulisannya. Aku yang anak Kutoarjo bahkn gak tau sejarah Kutoarjo yang sedetail ini. Komunitas sejarah Kutoarjo-Purworejo ada grup telegramnya gak Mas?
BalasHapusMantab lestarikan budaya Kutoarjo, dengan bangunan2 peninggalanya.
BalasHapusIzin menunggu jawaban, saya juga tertarik dengan sejarah Kutoarjo Mas
BalasHapusMenunggu nama komunitas sejarah di kutoarjo. Mau gabung
BalasHapusSaya termasuk generasi akhir kejayaan kutoarjo. Mohon informasi. Benarkah bupati Kadipaten Kutoarjo pertama putra pertama Bupati Pati (Pragolo)?
BalasHapusAnak saya punya Buyut dari Kutoarjo. Raden Mangunatmodjo
BalasHapusSaya lahir dan besar di Kutoarjo skrg merantau di Bekasi. Sangat mengapresiasi tulisan ini krn menambah wawasan sy ttg Sejarah Kutoarjo. Matur Nuwun
BalasHapusSaya jg ingin menelusuri trah leluhur saya.gimna caranya ya?konon katanya leluhur saya yg laki2 seorng glondong di daerah kalimeneng sangubanyu dan yg perempuan itu putri dr kyai imam pura.mohon ptnjuk adminπππ
BalasHapusObat kangen masa masa kecilku hidup di daerah Senepo Barat Kutoarjo, dr bayi sampai SMP, salam dr angkatan SD SMP Muhammadiyah th 1999,semoga temen2ku makmur jaya sentosa
BalasHapusTerima kasih atas artikelnya. Menambah wawasan saya. Saya tidak lahir di Kutoarjo, tapi kakek dan keluarga dari Snepo Timur. Tiap tahun masih ke Kutoarjo meski mbah sudah tidak ada.
BalasHapusWah ini bener2 menambah wawasan saya, almarhum ayah saya asli dari Kutoarjo tepatnya dari kelurahan Kemadu tapi merantau ke Palembang. Kalau ibu saya kelahiran Palembang tapi beliau ada keturunan dari daerah Pituruh. Saya terakhir ke Kemadu waktu kelas 6 SD. Semoga ada rezeki bisa pulang ke kampung halaman, rasanya kepingin eksplor Kutoarjo lebih dalam hehe
BalasHapusNenek saya dari desa ndilem , nama ayahnya Tumenggung prawirorejdo .. dan saya kehilangan obor ttg beliau , barangkali ada yg bs membantu .. terima ksh
BalasHapusBuku Riwayat Purworejo karya Radix Pernadi beli dimana ya min?
BalasHapus