Lokasi Kedungjati yang terletak di Kecamatan Kedungjati dan Kaliceret yang terletak di Kecamatan Tanggungharjo. Kedua wilayah ini terletak di sebelah barat Kabupaten Grobogan. |
Hembusan angin tiba-tiba menerpa hamparan pohon yang bernama Latin Tectona grandis itu. Lengangnya jalanan seketika pecah oleh gemerisik guguran daun kering yang berserakan di sepanjang jalan. Demikianlah suasana yang saya rasakan selama perjalanan ke Kedungjati. Dengan jarangnya permukiman, wilayah itu seakan dikelilingi oleh tanah kosong tak bertuan. Setibanya di Kedungjati, segera saya melawat ke satu tapak kolonial paling
menonjol di sana yang tak lain ialah Stasiun Kedungjati. Saya dibuat terpana
ketika melihat kemegahan stasiun itu. Bagi saya, stasiun itu terlampau agung untuk ukuran Kedungjati yang jumlah penduduknya relatif sedikit. Dengan atap baja selebar 14,65 meter, bangunan
itu terlihat kontras di tengah pepohonan jati. Atap baja tersebut melingkupi bangunan-bangunan kecil untuk kantor dan ruang tunggu penumpang yang diapit
oleh dua jalur kereta. Tatanannya hampir serupa dengan Stasiun Ambarawa dan Stasiun
Purwosari.
Bagian dalam Stasiun Kedungjati dulu dan sekarang. Pada foto yang lama, terlihat poster-poster iklan yang menempel di dinding dan lampu-lampu kuno yang menggantung di atap peron.
|
Ruang tunggu. |
Tampak luar ruang tunggu penumpang kelas satu Stasiun Kedungjati. |
Bagian dalam ruang tunggu penumpang kelas satu. |
Stasiun Kedungjati sesudah selesai dibangun (sumber : media-kitlv.nl). |
Riwayat stasiun Kedungjati memiliki sangkut paut dengan
pembangunan jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden (wilayah yang
melingkupi karesidenan Surakarta dan Yogyakarta) yang pekerjaan fisiknya dimulai
sejak Juni 1864. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij maskapai swasta
yang mendapat konsesi jalur kereta Semarang-Vorstelanden mengerjakan jalur
tersebut dan pelaksanaanya diawasi oleh insinyur J. P. De Bordes. Salah satu
titik yang dilewati oleh jalur kereta tersebut adalah Kedungjati yang kala itu
merupakan daerah penghasil kayu jati, sumberdaya yang jelas dibutuhkan sekali
oleh perusahaan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij untuk
membikin bantalan rel dan bahan bakar mesin uap. Pembangunan jalur kereta pada
petak Tanggung dan Kedungjati menghadapi kendala karena pembangunanannya yang
berlangsung di tengah musim hujan menyebabkan longsornya sejumlah ruas jalur
dan harus diperbaiki berulangkali. Sementara itu, proses pembangunan bangunan stasiun
Kedungjati ternyata sudah berlangsung sejak Mei 1867, kira-kira empat bulan
sebelum jalur kereta Semarang-Tanggung resmi beroperasi pada 10 Agustus 1867 (Java Bode, 1 Mei 1867). Pada
bulan Oktober 1867, bangunan stasiun Kedungjati sudah sepenuhnya selesai
dikerjakan (Java Bode, 25
Oktober 1867).
Lokomotif tiba untuk pertama kalinya di stasiun Kedungjati pada
pertengahan Juni 1868 meskipun saat itu masih berupa uji coba. Stasiun
Kedungjati baru dibuka untuk umum pada 18 Juli 1868. Rupanya atas desakan Menteri Fransen van
den Putte, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij juga membuat jalur percabangan
kereta ke arah Ambarawa dari Kedungjati yang dibuka pada 21 Mei 1873 (Reitsma, 1928:
119). Dengan demikian, Stasiun Kedungjati menjadi stasiun percabangan yang ramai sekalipun letaknya terpencil dan tidak
banyak penduduk tinggal di sekitarnya. Dibukanya jalur kereta itu memberi kemudahan untuk pengangkutan kayu jati serta berdampak baik pada kondisi jalan biasa
Purwodadi-Kedungjati lantaran sebelum ada kereta gelondongan kayu jati masih diangkut dengan gerobak-gerobak sapi secara berlebih sehingga meremukan banyak jalan yang waktu itu masih berupa tanah. Tampilan
bangunan Stasiun Kedungjati awalnya jauh berbeda dari yang terlihat sekarang.
Bangunan kantornya berlantai dua dan pinggiran atapnya diberi dekorasi dari
kayu ulin. Di sebelahnya, terdapat bangunan tanpa dinding beratapkan seng galvanis
untuk ruang tunggu penumpang kelas 3. Pada tahun 1907, Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappij mengganti bangunan lama stasiun Kedungjati dengan
bangunan baru yang lebih besar dan indah (De
Locomotief, 6 Juni 1907).
Bagian peron selatan yang atap kanopinya baru dibangun pada tahun 1925. Di sinilah penumpang yang hendak ke Ambarawa menunggu kereta. Tahun 1970a, jalur kereta Kedungjati-Ambarawa ditutup. |
Imbas dari pembukaan jalur kereta ini sungguh luar biasa. Kedungjati yang semula terpencil, kini bangkit dan begeliat menjadi titik keramaian karena stasiun itu merupakan stasiun persimpangan jalur kereta dari Semarang ke Surabaya, Vorstenlanden, dan Ambarawa yang sibuk. Di stasiun ini, penumpang yang hendak ke Ambarawa harus turun berganti kereta. Kehadiran jalur kereta ini juga mendukung arus perdagangan masyarakat sekitar hingga sebuah pasar muncul di dekat stasiun. Pasalnya dengan kereta api, orang lebih mudah berpergian karena cepat dan dapat mengangkut banyak barang dagangan serta tak perlu khawati dihadang penyamun di tengah jalan. Stasiun inipun menjadi bandar penghubung Kedungjati yang dikelilingi oleh lautan hutan jati dengan tempat lain. Sayapun membayangkan, andai stasiun ini tak pernah dibangun, Kedungjati selamanya akan menjadi wilayah yang terpencil. Sayang, kejayaan Stasiun Kedungjati mulai pudar setelah jalur kereta Kedungjati-Ambarawa ditutup pada paruh 1970an.
Kamar kecil stasiun. |
Di bawah sinar matahari dan udara Kedungjati yang panas dan terik, saya lakukan penyusuran
di sekitar stasiun. Stasiun Kedungjati dilengkapi dengan bangunan pendukung
seperti gudang dan depo kereta (hancur dijarah tahun 1997). Lantaran para pegawai stasiun harus berurusan dengan
kereta setiap harinya, maka tempat tinggal mereka didirikan tidak jauh dari
stasiun. Rumah-rumah pegawai kereta itu didirikan pada tahun 1907 dengan gaya arsitektur ala
villa-villa di lembah Alpen, sehingga walaupun ukurannya kecil namun bangunan
itu terlihat cantik. Menariknya, baik stasiun, gudang dan rumah pegawai,
materialnya terbuat dari batu-bata. Padahal Kedungjati sendiri bukanlah wilayah
penghasil batu-bata karena tanahnya berkapur. Sehingga saya mengasumsikan bahwa
batu-bata itu didatangkan dari tempat lain menggunakan kereta.
Rumah pegawai stasiun di sebelah utara stasiun. Terlihat lisplang bergerigi di beranda depan. Bangunan ini terdiri dari dua rumah yang berdampingan dalam satu atap. |
Rumah dinas stasiun Kedungjati dengan atap tipe jerkinhead roof. Seperti halnya stasiun Kedungjati, dekorasi ekspose bata terlihat menonjol di setiap sudut dinding. |
Selain tapak sejarah
perkeretaapian, Kedungjati juga menyimpan tapak sejarah kegiatan perambahan kayu jati di
masa lampau. Cerita bermula ketika permintaan kayu jati semakin meningkat
dengan diberlakukannya Tanam Paksa di Hindia-Belanda dari tahun 1830. Pemberlakuan
sistem tersebut berdampak pada meningkatnya kebutuhan kayu jati karena kayu
jati menjadi bahan baku utama untuk konstruksi pabrik gula, gudang kopi, tempat
pengeringan tembakau dan rumah-rumah pegawai kolonial. Masuknya mesin uap kian
meningkatkan permintaan kayu jati, sehingga untuk mengendalikan perambahan
hutan jati, maka pemerintah kolonial membuat undang-undang kehutanan tahun
1865. Agar pengelolaan hutan jati lebih maksimal, maka pemerintah kolonial
mendatangkan dua ahli hutan dari Jerman pada tahun 1849. Pada tahun 1873,
W.Buurman memperkenalkan sistem taungnya, dimana penduduk yang
tinggal di tengah hutan jati diperbolehkan menanam tanaman lain seperti padi,
jagung atau tembakau dengan hasil panen menjadi hak milik mereka. Sistem ini
rupanya memiliki persamaan dengan sistem yang diterapkan oleh Inggris di Burma
dan India. Sejak tahun 1897, seluruh industri kayu jati di Pulau Jawa berada di
bawah pengelolaan Dienst van het Boswezen atau Dinas Kehutanan
(Peluso, 1991; 72).
Rumah kayu yang cukup besar yang kini menjadi TK Tunas Rimba. |
Rumah kayu yang sekarang menjadi kantor Komando Pengendalian Kebakaran Hutan BKPH Padas. |
Rumah kayu lainnya. |
Untuk mendukung kegiatan
eksplotiasi kayu jati, dibangunlah jaringan jalan untuk memperlancar pemindahan
gelondongan kayu jati dari tempat dia ditebang ke tempat penggegrajian kayu.
Berbagai rumah kayu juga dibangun untuk tempat tinggal kepala pengelola hutan
jati dan pejabat lainnya seperti beberapa rumah panggung kayu yang saya jumpai
di Kedungjati. Para pejabat kehutanan Belanda pada zaman dahulu memiliki banyak
tugas yang berkaitan dengan kehutanan, misalnya menentukan pohon mana yang sudah pantas untuk ditebang, menanam kembali dan merawat pohon,
mengawasi para blandhong (tukang penebang pohon) serta memerangi praktik pencurian kayu.
Dari Kedungjati, saya
bertandang ke Kaliceret yang terletak 4,5 kilometer ke utara dari Kedungjati.
Secara administratif, Kaliceret berada di Desa Mrisi, Kecamatan Tanggungharjo,
Grobogan. Bentang lahan Kaliceret sebagaimana Kedungjati dikelilingi oleh hutan
jati ditambah dengan sawah tegalan.
Peta Kedungjati pada tahun 1905. Perhatikan terdapat 2 jalur kereta yang terlihat pada peta ini. Jalur di sebelah utara merupakan jalur Semarang - Surakarta. Sementara jalur yang mengarah ke selatan merupakan jalur Kedungjati-Ambarawa (sumber : maps.library.leiden.edu).
|
GKJTU Kaliceret di jalan Salatiga-Gubug. Hampir semua konstruksi bangunan ini terbuat dari kayu. |
Tapak kolonial paling
kentara di Kaliceret ialah sebuah gereja kuno yang kini sintas sebagai GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara) Kaliceret. Terletak di pinggir Jalan Salatiga-Gubung, ia
diperkirakan dibangun antara tahun 1904-1927. Apabila dibandingkan dengan
gereja-gereja di kota besar, gereja itu amatlah bersahaja. Lihatlah seluruh
material bangunan gereja yang terbuat dari kayu membuatnya tampak menyatu
dengan alam sekitar. Gereja itu
peninggalan dari sebuah pos zending yang dirintis oleh badan penyebaran agama
Kristen bernama Salatiga Zending. Sekalipun menyandang nama Salatiga, namun
kegiatan mereka tidak terbatas di kota Salatiga saja, namun juga melingkupi wilayah
yang terbentang dari Tegal hingga Bojonegoro. Pionir
dari Salatiga Zending adalah istri perwira angkatan darat KNIL bernama Ny. Le Joile yang dirintisinya sedari tahun 1853 (De
Locomotief, 25 Maret 1934). Pada tahun 1882, Salatiga Zending mengutus Boer
untuk menyebarkan agama Kristen di Kaliceret. Selain dua rumah tangga, hampir semua penduduk Desa Kaliceret akhirnya menganut agama Kristen. Mereka sudah ikut
kebaktian meski setiap hari Minggu mesti berjalan kaki selama tiga jam menuju
gereja terdekat. Boer ternyata juga mengampu jemaat yang ada di Tempurung, sekitar enam
kilometer dari Kaliceret. Boer akhirnya kewalahan apalagi setelah ia menderita
sakit parah selama dua tahun (Geiilustreerd zendingsblad, Mei 1883). Akhirnya
Boer memohon bantuan kepada Neukirchener Mission yang berbasis di Jerman untuk
dikirimkan tenaga yang akan membantu Boer mengampu jemaat di Jawa. Neukirchen Mission akhirnya mengirim R.J. Horstman
beserta istrinya ke Jawa pada 14 Juni 1884. Horstman pada mulanya menetap di Wonorejo. Selanjutnya Horstman pindah ke Kaliceret pada tahun 1885 untuk membantu pekerjaan Boer di Kaliceret hingga Oktober 1886 (Hajer, 1908 : 17-20).
Peta Kaliceret pada tahun 1905. Lokasi pos zending ditandai dengan keterangan zendingstation pada peta ini. |
Dalam rentang waktu sepuluh tahun, beberapa penginjil tiba di pos zending tersebut seperti Zimmerbeutel yang tiba di Kaliceret pada tahun 1889, Kamp yang tiba tahun 1891 dan disusul Kuhnen pada tahun 1894. Dalam perjalanannya, zending Jerman tersebut sempat berselisih dengan penduduk pribumi Kristen. Sumber ketegangan yang terjadi pada tahun 1897 tersebut muasalnya dari ditolaknya permintaan penduduk yang hendak meminjam hewan ternak kepada zending tersebut untuk membajak ladang. Alasan para zending tersebut menolak permintaan penduduk adalah karena mereka memandang kegiatan pertanian di Kaliceret tidak memberi hasil yang begitu memuaskan. Penduduk sempat mengancam akan mengusir ketiga zending Jerman tersebut meskipun tampaknya tidak dilakukan karena mereka masih bergantung pada layanan pengobatan yang ditawarkan oleh ketiga zending tersebut (Hajer, 1908 : 28).
Kaliceret dahulu
terdapat balai pengobatan yang menumpang di salah satu rumah zending. Layanan
kesehatan merupakan salah satu pendekatan yang diusahakan oleh banyak zending
di berbagai tempat untuk memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk pribumi. Zending
memang tidak memaksa pasiennya untuk menganut agama Kristen baik sesudah atau
sebelum diobati. Namun seringkali pasien yang setelah sembuh akhirnya memutuskan
sendiri untuk menerima ajaran Kristen. Pasien pertama di Kaliceret diketahui
bernama Sadipah. Setelah sembuh ia mengabdi sebagai perawat di balai pengobatan
di Kaliceret karena saat itu belum ada perawat dari Eropa (Nederlandsch Zending
Jaarboekje 1907, 41-43).
Pendeta Bansemer (baju hitam) dan Heintze (baju putih) bersama anak-anak sekolah Kaliceret. |
Murid-murid dan guru sekolah Kaliceret. Di belakang tampak beranda depan rumah pendeta yang kini menjadi SD Kristen Kaliceret. |
Selain melalui
layanan kesehatan, zending juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan dalam
rangka penyebaran agama Kristen. Kaliceret setidaknya sudah memiliki sekolah
yang dibuka sewaktu Boer masih berada di Kaliceret. Awalnya hanya ada 12 anak
didik. Lambat laun jumlah anak didik bertambah hingga 50 anak. Kaliceret juga
memiliki sekolah perempuan yang dirintis oleh istri Kuhnen, Karoline Auguste
Alwine Bulten. Kuhnen meninggalkan Kaliceret tak lama setelah istrinya
meninggal pada tahun 1899. Posisinya kemudian diganti oleh H. Kabelitz pada
tahun 1902. Pada masa Kabelitz, balai pengobatan yang awalnya menumpang di
sebuah rumah sederhana menjelma menjadi rumah sakit yang semakin berkembang
setelah mendapat bantuan subsidi dari pemerintah kolonial pada tahun 1907 (Het
nieuws v.d. Dag voor N.I, 7 Februari 1907). Masyarakat luar Kaliceret yang
semula datang ke sini untuk berobat, akhirnya menjadi penganut agama Kristen dan
bermukim di sana sehingga jumlah umat yang semakin banyak. Pada masa Kabelitz
pula, Kaliceret yang selama ini menderita kekurangan air mulai dibangunkan
saluran air pada tahun 1911 sehingga dapat mengairi ladang dan sumber air untuk
penduduk yang terus bertambah. Kabelitz melayani sebagai pendeta di Kaliceret
sampai tahun 1925 dan setelah itu kembali ke Eropa selama dua tahun.
Sepulangnya dari Eropa, Kabelitz sedianya akan kembali mengurus jemaatnya di
Kaliceret. Namun karena alasan kesehatan yang menurun, Kabelitz ditempatkan di
Ungaran sampai ia meninggal di sana pada 4 Desember 1929 (Algemeene Handelsblad 6 Desember 1929).
Persis di sebelah utara
gereja itu, saya menyaksikan sebuah bangunan tua yang bentuknya seperti
rumah panggung. Ketika saya hendak melihat lebih dekat bangunan yang kini
menjadi SD Kristen Kaliceret itu, di beranda depan saya disambut oleh seorang
pria yang saya kira sebagai kepala sekolah. “Rumah ini dahulu ditempati oleh
pendeta dari Jerman”, jawab pria tadi yang ternyata bekerja sebagai penjaga
sekolah itu. Pendeta dari Jerman yang dimaksud bapak tadi tak lain ialah
Pendeta Kuhnen atau Kabelitz. “Dari dibangun sampai sekarang kayunya gak pernah
diganti mas karena yang dipakai kayu jati kualitas bagus” sambungnya.
Bangunan GKJKaliceret. Seiring dengan bertambahnya jemaat, maka dibangun gedung gereja lain di sisi timur jalan. |
Pada hari Minggu 8 Desember 1935, Kaliceret yang mengasuh jemaat di Tempurung, Karanggeneng, Klampok, dan Kalicilik secara resmi dikukuhkan sebaga jemaat mandiri, terpisah dari Salatiga Zending. Pengukuhan ini ditandai dengan sebuah kebaktikan yang dipimpin secara langsung oleh direktur Salatiga Zending, G. van der Veen dan pendeta Josaphat Siswadarma ditunjuk sebagai ketua jemaat (De Locomotief, 5 Desember 1935). Dari sini, dapat dilihat betapa pentingnya Kaliceret sebagai pusat penyebaran agama Kristen di Grobogan dan sekitarnya.
Makam istri pertama pendeta C.R. Kuhnen. |
Sekian penelusuran saya pada tapak-tapak kolonial di Kedungjati dan Kaliceret. Setidaknya
saya dapat menyimpulkan, bahwa keberadaan peninggalan kolonial tak hanya
terpusat di pusat-pusat kota saja. Nyatanya di wilayah yang terpencil seperti
Kedungjati dan Kaliceret, dapat dijumpai peninggalan kolonial yang menyimpan
sejarah dan tidak kalah menarik. Semoga keberadaan bangunan ini dapat
dilestarikan dengan baik…
Referensi
Balai Pelestarian Cagar
Budaya Jawa Tengah. 2013. Laporan Inventarisasi Cagar Budaya Tak
Bergerak Kabupaten Grobogan. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa
Tengah.
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis & Militer Belanda, Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Hajer,F.W. 1908. Overzicht
van het ontstaan en de ontwikkeling der Salatiga-Zending. Utrecht
: Firma J. Bokma HZN.
Peluso, Nancy Lee. 1991.
The History of State Fores Management in Colonial Java dalam jurnal Forest
& Conservation History. Vol 35. No. 2 April 1991. Oxford
University Press.
Rietsma, S.A. 1928. Korte Geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramwegen. Weltevreden : G.Kolff & Co.
Geiilustreerd zendingsblad, Mei 1883
Java Bode, 1 Mei 1867
Java Bode, 25 Oktober 1867
De Locomotief, 6 Juni 1907
De Locomotief, 25 Maret 1934
De Locomotief, 5 Desember 1935
Het nieuws v.d. Dag voor N.I, 7 Februari 1907
Nederlandsch Zending Jaarboekje 1907, 41-43
https://www.indischekamparchieven.nl/en/search
mivast=963&mizig=276&miadt=968&miaet=14&micode=kampen&minr=1397413&milang=en&misort=unittitle%7Casc&mizk_alle=Kaliceret&miview=ika2