Inilah
Kaliurang, suatu tempat wisata di kaki Gunung Merapi yang kondang akan kesejukan dan
keindahannya yang menarik pelancong baik dari dalam atau luar negeri. Kaliurang
sebagai tempat untuk bertamasya bukanlah barang baru. Lama sejak masa kolonial,
para keluarga Belanda, Tionghoa kaya, hingga kaum ningrat Jawa menyambanginya sebagai
tempat melepas penat di kala senggang. Bagaimanakah riwayat Kaliurang sebagai tempat tetitrah ? |
Pemandangan Kaliurang pada tahun 1940 dilihat dari bukit Turgo. (Sumber : data.collectienederland.nl) |
|
Foto yang memperlihatkan pemandangan Kaliurang. Pemandangan Gunung Merapi yang ada di belakang tampaknya adalah hasil penyuntingan (sumber : media-kitlv.nl). |
Untuk
orang-orang Eropa yang baru menapakan kaki di daerah khatulistiwa, gangguan
utama yang mereka hadapi setiap harinya tidak hanya berasal serangan dari penduduk lokal,
melainkan iklim yang panas nan lembab apalagi kantong-kantong permukiman mereka
terletak di kota pesisir. Jadi urusan memperluas imperium seringkali kalah
berarti dibanding apa yang disebut sebagai “keletihan tropis”. Orang Eropa yang lama
hidup di daerah beriklim dingin tentu tak terbiasa dengan iklim panas tropis. Gerah
sudah barang tentu dan itu menjadi tekanan batin yang mendera mereka kala
menunaikan tugas di tanah jajahan. Maka tiada pilihan lain selain menyingkir ke
wilayah dataran tinggi di pedalaman, dimana di sana mereka akhirnya menemukan
kesejukan layaknya kampung halaman di Eropa. Tempat ini oleh mereka dijadikan sebagai tempat pelarian dari keriuhan
serta hawa panas kota pesisir yang menjemukan, menyesakkan, dan memuakan. Dari situlah lahir tempat tetirah di musim panas bagi orang-orang Eropa
yang terletak di pegunungan atau lazim disebut station hill. Di Asia, Station
hill paling banyak berada di India, dimana orang-orang Inggris di Delhi
membangun station hill di Simla yang
terletak di kaki pegunungan Himalaya. Jika orang-orang di Eropa berpesiar ke
kota tepi laut untuk merasakan hangatnya cahaya mentari, maka orang-orang Eropa
di Asia beranjangsana ke station hill untuk
menghirup udara jernih pegunungan (Spencer dan Thomas, 1948; 639-640).
|
Suasana Kaliurang tahun 1920an dilhat dari Hotel Kaliurang. Terlihat bangunan dari pesanggrahan Ngeksigondo (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl) |
|
Pemandangan Kaliurang pada 1940. (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)) |
Kebiasaan
membangun station hill juga diikuti oleh orang Belanda yang dulu menjajah
Nusantara. Di Hindia-Belanda, terdapat 23 station
hill, dimana sebagian besar terdapat di pulau Jawa. Gill (1995) menjelaskan, walau kebutuhan akan tempat
tetirah yang sehat dan sejuk sudah ada sejak awal abad 19, namun perhatian
serius pada tempat tetirah di pegunungan yang dekat dengan kota di mana mereka
bekerja baru dimulai pada pergantian abad 19 ke abad 20. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda berhasil meneguhkan kekuasaanya di daerah pedalaman
Jawa dan mendirikan beberapa pusat pemerintahan. Masing-masing kota yang menjadi pusat pemerintahan
kolonial memiliki station hill seperti Batavia dengan Bogor, Semarang dengan Ungaran, dan Bandung dengan
Lembang. Berbeda dengan orang-orang Inggris di India yang hanya mendatangi station hill saat musim panas saja,
orang-orang Belanda mendatangi station
hill setiap saat. Bagi orang Belanda, station hill memiliki nilai lebih karena mereka akhirnya bisa
merasakan indahnya pesona pegunungan yang selama ini tak bisa mereka jumpai di
negeri Belanda, negeri sonder pegunungan.
|
Pemandangan Kaliurang pada 1940 dilihat dari bukit Mejing dengan bungalow yang ditempatkan di tanah berteras (sumber : Djocja-Solo) |
Salah
satu station hill di Jawa adalah
Kaliurang. Terletak di kaki Gunung Merapi yang masih aktif, Kaliurang asalnya
adalah bagian dari tanah apanage atau
tanah sewa milik Pangeran Puger, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono II. Pada era
Sultan Hamengkubuwono VII, kepengelolaanya diserahkan pada saudaranya, Pangeran
Adipati Mangkubumi. Tanah itupun dimanfaatkan sebagai perkebunan nila namun
karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vorstenlanden membuat kegiatan perkebunan itu terhenti. Oleh Boschwezen Dienst (Dinas Perhutanan), lahan terbengkalai tersebut
direboisasi dan disahkan sebagai hutan lindung untuk penyangga kawasan di
bawahnya. Tepat di tengah hutan lindung itulah Kaliurang berada. Karena berada
di ketinggian 880 mdpl, hawa di sana cukup sejuk dan sudah lama orang terkesan
dengan keindahan alamnya. Pembesar-pembesar keraton seperti Pangeran Adipati
Mangkubumi telah membangun pesanggrahan pribadi beserta pemandian di Telaga Keputren. Kerabat,
teman, serta tak ketinggalan Sultan dan Residen Yogyakarta acap berpelesiran ke pesanggrahan itu. Sepeninggal Pangeran Adipati Mangkubumi, pesanggrahan
tersebut menjadi milik anaknya, Pangeran Suriadi dan Raden Ayu Mangoendjojo
yang saat itu adalah istri bupati Sleman (Dingemans, 1925 : 40).
|
Peta Kaliurang pada 1925. Bungalow-bungalow yang dibangun di bawah tahun 1925 berada di sebelah barat, sementara bungalow baru dibangun di sebelah timur (sumber : maps.library.leiden.edu) |
|
Persebaran bangunan lama di Kaliurang. Keterangan : A. Wisma Kaliurang ; B. Pesanggrahan Ngeksigondo ; C. Pesanggrahan Hargopeni ; D. Wisma van Resink ; E. Hostel Vogels ; F. Villa lainnya.
|
Orang-orang
Belanda yang mula-mula menjadikan Kaliurang sebagai tempat tetirah adala para
pakar geologi yang sedang menyelidiki Gunung Merapi. Terpikat dengan keindahan
alam dan hawa sejuknya, mereka meminta kepada residen agar Kaliurang bisa
dijadikan sebagai tempat wisata. Pada tahun 1919, sejumlah orang Belanda mengajukan izin kepada residen Canne dan ia menyetujui rencana Kaliurang untuk disewa sebagai tempat tetirah. Pengganti Residen Canne, Residen Jonquiere menetapkan beberapa petak lahan di Kaliurang sebagai Vrijdomein atau tanah bebas. Itu artinya pemerintah kolonial dapat mengambil alih rencana pembagian lahan. Sebagai prasarana pendukung,
maka pada 1923 jalan menuju Kaliurang diperbaiki oleh Dienst Sultanaatwerken. Lalu dibuka layanan bus dari Yogyakarta ke
Kaliurang (Dingemans, 1925 ; 42-45). |
Salah satu villa di Kaliurang. Villa tersebut saat ini menjadi Wisma Gajah Mada (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl) |
Kendati letaknya berdekatan dengan Gunung Merapi yang masih aktif dan dapat meletus sewaktu-waktu, sungguhpun demikian orang-orang Belanda di Yogyakarta dengan percaya dirinya masih memilih Kaliurang sebagai tempat tetirah. Untuk menghindari dampak yang tidak diinginkan, peneliti dari Vulkanologische Afdeeling van den Opsporingsdienst (Jawatan Penyelidikan bagian Vulkanologi) pada tahun 1932 ditugaskan untuk menyelidiki dampak letusan Merapi terhadap Kaliurang. Hasil penyelidikan menunjukan bahwa Kaliurang relatif aman dari terjangan letusan (Algemeene Handelsblad voor Ned. Indie, 1 Januari 1932). Dari sini terlihat betapa berhati-hatinya Belanda dalam memilih lokasi station hill di kepulauan yang sarat dengan gunung berapi aktif. Jadi selain faktor kesejukan dan kedekatan jarak, faktor keselamatan juga diperhitungkan. Walau demikian, banyak bungalow yang hancur sewaktu erupsi Merapi 1994.
|
Beberapa bungalow tinggalan Belanda di Kaliurang. |
|
Vogel Hostel. Dibangun pada 1926 dan pernah menjadi milik Patih Danurejo VII. |
Sebagai
tempat tetirah, tuindorp
Kaliurang memiliki lebih dari selusin bungalow atau villa peristirahatan yang dibikin
dengan selera ala Eropa. Ukuran bangunan mungil, dinding dilapisi oleh
batu kali tempelan atau kayu dan yang paling unik adalah adanya fitur cerobong
asap. Bungalow-bungalow itu menempati pekarangan yang dibuat berundak. Sementara tata jalan di
Kaliurang dirancang mengikuti lekuk kontur yang ada. Masing-masing bungalow memiliki arah pandang
yang berbeda-beda, namun kebanyakan dibuat menghadap ke dataran rendah. Bungalow-bungalow tersebut dibiayai oleh kesultanan dan rancangannya dibuat oleh biro arsitek Sitsen en Louzada. Setelah jadi, bungalow tersebut diperuntukan bagi bangsawan keraton sebagai tempat pesanggarahan tapi beberapa bungalow tersebut ada juga yang dijual kepada orang Eropa atau orang Tionghoa kaya. Bila ada kesempatan, mereka akan menyempatkan diri berlibur ke bungalow masing-masing. Selain, ada pula bungalow yang disewakan untuk umum. Kira-kira ada 12 bungalow yang sudah dibangun pada tahun 1925 (Dingemans, 1925-41).
|
Taman Pesanggrahan Ngeksigondo sekitar tahun 1937 (sumber : data.collectienederland,nl) |
|
Pesanggrahan Ngeksigondo milik Kasultanan. |
|
Pendapa di bagian depan pesanggrahan untuk tempat memainkan musik. |
|
Pesanggrahan Hargopeni, bungalow milik Pakualaman. |
Di
antara beberapa pesanggrahan di Kaliurang, yang paling bersejarah adalah
pesanggrahan Ngeksigondo. Pesanggrahan tersebut mulanya adalah bungalow milik
seorang Belanda yang kemudian pada 1927, bungalow tersebut dibeli oleh Sultan Hamengkubuwono VIII untuk
menjadi pesanggrahan keluarga Sultan ketika berada di Kaliurang. Oleh Sultan, di
pekarangan bungalow tersebut ditambahkan paviliun sebagai tempat memainkan
gamelan dan tari tradisional Jawa. Selain pesanggarahan milik Kasultanan, ada juga pesanggrahan milik Pakualaman yang disebut sebagai pesanggrahan Hargopeni. Kedua pesanggrahan tersebut saat ini masih terpelihara meski jarang dikunjungi oleh keluarga Kasultanan maupun Pakualaman.
|
Anak-anak asuh dari Pro Juventute yang sedang berkemah di Wilhelmina Kamp Kaliurang selama dua minggu pada tahun 1937 (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl). |
|
Kolam renang Tlogo Nirmolo yang dibangun oleh biro Sitsen en Louzada. Saat ini berubah menjadi tempat parkir (sumber : media-kitlv.nl). |
|
Lapangan tenis dari zaman Belanda. |
|
Lapangan tenis yang dahulu lokasinya berada di Taman Kaliurang yang sekarang (sumber : data.collectienederland.nl) |
Berkembangnya Kaliurang rupanya tidak lepas dari bergeliatnya sektor pariwisata sebagai imbas dari kemakmuran perekonomian Hindia-Belanda dan juga sebagai alternatif sumber pendapatan pemerintah. Pada tahun 1908, dibentuk Vereneeging voor Toeristen-Verkerker yang bertujuan untuk memajukan pariwisata di Hindia-Belanda. Beraneka tempat yang sekiranya eksotis diperkenalkan VTV kepada para wisatawan mancanegara. Kaliurang tentu saja menjadi bagian dari tempat wisaya yang disuguhkan oleh VTV sebagai tempat wisata alam yang tenang nan damai. Sejumlah promosi juga dilakukan oleh komunitas pegiat pariwisata lokal, "Jogja Vooruit". Saat beranjangsana di Kaliurang, pengunjung dapat mencecap beragam hiburan yang disodorkan di sana mulai dari lapangan tenis, kolam renang, hotel, restoran, hingga taman seraya menikmati kesegaran udara Gunung Merapi. Kaliurang
juga memiliki bumi perkemahan bernama Wilhelminakamp
yang dirintis oleh lembaga Rotary Club dan diresmikan pada 7
September 1930 oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Bumi perkemahan
pemuda pertama di Hindia-Belanda tersebut memiliki asrama yang sederhana
namun bersih. Fasilitasnya terbilang lengkap seperti lapangan
olaharaga, ruang bermain, ruang makan, dapur, gudang tenda dan gudang
kayu bakar (Bataviasch
Nieuwsblad 21 November 1932). Untuk menunjang kegiatan pariwisata, secara bertahap dibangun sarana penunjang seperti jaringan listrik, saluran pipa air bersih, telepon, dan layanan pos. Selain itu, jalan Yogyakarta menuju Kaliurang juga diperbaiki dan layanan transportasi bus dibuka. Pada tahun 1938, pihak kesultanan bahkan mulai memikirkan rencana perluasan dan penataan kawasan wisata Kaliurang. Berkaitan dengan hal tersebut, kesultanan lalu meminta saran dari arsitek dan ahli tata kota terkenal saat itu, Ir. Thomas Karsten untuk penataan kawasan Kaliurang.
|
Hotel Kalioerang yang kini menjadi Wisma Kaliurang (sumber : media-kitlv.nl) |
|
Iklan lama hotel Kaliurang. |
Di antaranya yang paling kondang adalah Hotel Kalioerang yang dibuka pada 1931 oleh tuan Lahmeijer, seorang pengusaha berdarah Jerman. Inilah hotel pertama di Kaliurang yang memakai penerangan lampu listrik, dimana penerangan Kaliurang saat itu masih mengandalkan lampu minyak. Bangunan beratap limas dengan kubah kecil di puncaknya ini menjadi jujugan orang-orang Eropa kala bertandang ke Kaliurang untuk mencari makan dan minum serta tempat menginap bagi mereka yang tidak memiliki villa di Kaliurang. Fasilitas yang ada di Hotel Kalioerang meliputi lapangan tenis dan kolam renang. Di samping sebagai tempat menginap, Hotel Kalioerang juga menjalankan peran sebagai kantor pos. Pada
tahun 1948, Kaliurang menjadi sorotan utama media di Belanda dan
Indonesia karena Kaliurang menjadi tempat digelarnya perundingan oleh
PBB sebagai upaya menengahi perselisihan antara Republik Indonesia
dengan Belanda yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda I.
Pemerintah Republik Indonesia menawarkan Kaliurang sebagai tempat
perundingan karena selain dekat dengan Yogyakarta yang saat itu
berstatus sebagai ibukota RI, Kaliurang juga memiliki beberapa
bungalow dan hotel yang kemudian disiapkan oleh pemerintah republik
untuk tempat menginap dan pertemuan delegasi Committee of Good
Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia) atau lebih
dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) yang berasal dari Belgia,
Australia, dan Amerika Serikat. Saat itu, beberapa pejabat pemerintah
Republik Indonesia juga memiliki rumah-rumah peristirahatan pribadi
sehingga mereka dapat mengikuti jalannya perundingan dari dekat.
Hawa
Kaliurang yang sejuk juga diharapkan mampu mendinginkan suasana perundingan
yang bisa memanas sewaktu-waktu.
|
Presiden Sukarno dan rombongan saat berjalan-jalan di Kaliurang saat Perundingan KTN (sumber : Koleksi Perpustakaan Nasional) |
|
Suasana perundingan yang berlangsung di Hotel Kaliurang. (Sumber : Koleksi Perpustakaan Nasional) |
Jalannya perundingan Kaliurang tidak
terjadi hanya dalam sehari. Dalam sehari bisa hanya ada satu
pertemuan yang berlangsung tidak lebih dari lima belas menit saja.
Kadang-kadang juga bisa berlangsung hingga beberapa jam. Jika hari
itu sedang senggang, anggota delegasi menghabiskan
waktunya dengan berenang atau berjalan santai di pagi hari. Kemudian
disusul dengan makan siang dan tidur siang singkat. Sorenya, mereka
bermain tenis atau sekedar bercengkerama di teras hotel. Memasuki
malam hari, delegasi dihibur dengan permainan musik gamelan dan
tarian yang disediakan oleh Kesultanan. Sayangnya
suasana perundingan yang tampak santai tersebut tidak berumur panjang manakala Belanda melancarkan
Agresi Militer Kedua di Yogyakarta yang menagakibatkan
rombongan delegasi tersebut harus kembali ke Yogyakarta (Limburgsch Dagsblad, 29 Desember 1948).
Referensi
Andani, Angelica Hedy. 2011. "Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di Kaliurang". Skripsi. Yogykarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Dingemans,
L.F. 1925. Gegevens over Djocjakarta.
Magelang : Firma Maresch.
Gill, Ronald.G. 1994. De
Indische Stad op Java en Madoera. Delft : Publikatieburo
Bouwkunde, Faculteit der Bouwkunde, Technische Universiteit Delft.
Spencer, J. E. dan Thomas, W. L. 1948. “The Hill Stations
and Summer Resorts of the Orient” dalam Geographical
Review, Vol. 38, No. 4 (Oct., 1948), hlmn 637-651. American Geographical
Society.
Wahyu
Prakosa dan Agus Suparman. 2013. “Karakteristik Rumah Peristirahatan Kolonial
Belanda di Kaliurang” dalam Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra,
Arsitektur & Teknik Sipil) Vol. 5 Oktober 2013, Bandung, 8-9 Oktober 2013.
De Locomotief, 12 Januari 1926.
De Locomotief, 12 September 1927.
Limburgsch Dagsblad, 29 Desember 1948