Mendengar nama Pulau Nusakambangan yang berada di Cilacap,
barangkali kita akan membayangkan sebuah pulau berisi penjara bagi narapidana kelas berat. Dengan pengamanan ketat dan tempatnya yang terisolir,
mustahil bagi para narapidana untuk kabur dari tempat itu. Di balik
kegaharannya sebagai pulau penjara, di pulau itu tersembunyi dua benteng renta
tinggalan Belanda. Bagaimana kisahnya ?
|
Peta bagian timur Pulau Nusakambangan pada tahun 1944. Pada tahun 1840an, Belanda mendirikan dua benteng di bagian ini yang pada peta tersebut ditandai dengan "Fort Banjoenjapa" dan "Fort Karangbolong" (sumber : maps.library.leiden.edu)
|
|
Letak benteng Karangbolong (d) dan benteng Klingker (c) dalam peta 'Algemeen plan der positie van Tjilatjap.' yang digambar oleh Sersan Coppers (sumber : nationaalarchief.nl). |
Debur ombak mengguncang perahu yang saya tumpangi saat baru saja
bertolak dari Pantai Teluk Penyu. Semilir angin laut mengiringi perjalanan saya
menuju pulau yang kadang disamakan dengan pulau Alcatraz. Sembari perahu menyusuri
perairan Cilacap, seketika ingatan saya pun bergerak ke masa PD II, ketika
konvoy kapal-kapal Sekutu satu persatu dikirim ke dasar laut oleh
pesawat-pesawat Jepang yang menyerbu kota pelabuhan itu pada bulan Maret 1942 (Remmelink,
2918; 492). Bangkai-bangkai kapal itu mungkin masih terbaring di bawah riak
gelombang perairan yang sedang saya seberangi ini. Tak hanya menenggelamkan
kapal, pesawat-pesawat Jepang juga menghujam kota Cilacap dengan bom,
menghancurkan beberapa bangunan penting seperti stasiun dan societeit. Jika pernah menonton film Pearl Harbour, mungkin seperti itulah kondisi Cilacap kala itu. |
Kondisi Benteng Karangbolong pada tahun 1900an (sumber : collectie.wereldculten.nl) |
Pulau Nusakambangan, pulau yang hendak saya sambangi sedari dulu
dikenal sebagai pulau bui. Pulau tersebut menyimpan suatu kisah tersendiri. Di
masa silam, pulau itu masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Selama
bertahun-tahun, pantai putihnya hampir tidak tersentuh oleh kapal manapun.
Bahkan saat para navigator Eropa mulai mengarungi lautan Nusantara, keberadaan
Nusakambangan masih belum sempat dijamah oleh mereka. Peta-peta navigator masih
menyebut pulau itu sebagai Parte Incognita Da Java, Bagian Jawa yang Tak
Diketahui. Persinggungan Nusakambangan dengan peradaban luar dimulai saat
Kolonial Belanda mendengar kabar ada kapal berbendara Inggris yang mendarat di
Nusakambangan. Belanda yang saat itu masih memandang Inggris sebagai rival di
lautan merasa gusar. Sebagai tindak lanjut kabar itu, mereka mengirim tim
penjelajah yang dipimpin Paulusz. Ia kemudian membuat laporan bahwa pulau itu
cocok untuk dibangunkan benteng. Kendati demikian, sampai VOC bubar tahun 1799,
tidak ada satupun benteng yang sempat dibangun di sana. |
Foto udara bagian timur Pulau Nusakambangan. Terlihat menara kecil yang merupakan mercusuar Cimiring (sumber : collectie.wereldculten.nl) |
Kawasan perairan Cilacap kembali mendapat perhatian pada pertengahan
abad ke-19, saat pemerintah kolonial Belanda melihat potensi Cilacap sebagai
pelabuhan di pantai selatan Jawa. Cilacap yang berada di muara Sungai Donan
yang lebar dan dalam tersebut memiliki perlindungan alam yang cukup
mengesankan. Terlebih di selatannya, terbentang Pulau Nusakambangan yang
memberikan perlindungan dari ombak besar Samudera Hindia. Belanda kemudian
menganggap penting untuk memastikan kehadiran mereka di Cilacap sebelum tempat
itu ditempati oleh bangsa lain. Bagi mereka, pelabuhan itu bisa membuka potensi
perekonomian Jawa Tengah bagian selatan yang selama ini masih belum tergarap. Selain
untuk kepentingan ekonomi, dari segi kepentingan strategi pertahanan nasional,
pelabuhan itu dapat dijadikan sebagai titik pengungsian bilamana pulau Jawa
diserang musuh. Saat itu, memang ada kekhawatiran di benak pemerintah kolonial
bahwa akan terjadi perang yang muncul secara tidak terduga. Hal ini memaksa
Belanda beserta koloninya untuk mempersiapkan diri melakukan perlawanan
terhadap musuh dari luar seperti yang terjadi saat invasi Inggris ke Jawa tahun
1811. Oleh karena itu, timbul suatu gagasan untuk menyediakan sarana pertahanan
yang tangguh untuk Cilacap (Brakell, 1863 ; 267). |
Benteng Karangbolong.
|
Sekitar tahun 1840an, pemerintah kolonial mulai lebih serius menggarap
pertahanan Cilacap. Pada bagian ujung tanjung yang berada di selatan Cilacap, mereka berencana
mendirikan benteng kolosal yang dillengkapi dengan meriam-meriam berkaliber besar. Sejumlah
kapal perang juga ditempatkan sedemikian rupa di selat Nusakambangan yang
menjadi pintu perairan Cilacap. Namun berdasarkan pengamatan oleh Von Gagern,
ahli pertahanan yang didatangkan Belanda pada tahun 1844, upaya pertahanan tersebut
akan berakhir sia-sia karena musuh akan menduduki pulau tersebut terlebih dahulu dan menjadikannya sebagai pangkalan persiapan sebelum penyerangan ke daratan utama. Berdasarkan masukan dari Von Gagern, maka pada tahun 1846 didirikan benteng
di ujung di timur pulau.
Benteng tersebut kemudian dikenal sebagai benteng Karangbolong
karena letaknya dekat dengan pantai Karangbolong (Kielstra, 1879; 39).
|
Sketsa benteng pos benteng Karangbolong karya J.H.W. Clercq tahun 1840an. (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl) |
|
Fort Karangbolong dalam peta pelayaran tahun 1885 (Sumber : Peta "Zeegat van Tjilatjap"). |
Sedianya, Benteng Karangbolong akan diperkuat dengan enam pucuk meriam kaliber 24 cm. Namun tidak ada satupun pucuk meriam yang tiba di benteng Karangbolong. Rupanya meriam tersebut sebelum dibawa ke Karangbolong, meriam diuji terlebih dahulu di Desa Babakan, Cilacap untuk mengetahui kekuatannya. Biaya pengangkutan meriam tersebut cukup besar, yakni mencapai 25.000 gulden dan karena situasi keuangan sedang tidak memungkinkan, maka meriam tersebut tetap ada di sana. Seiring waktu tidak diketahui nasib selanjutnya dari meriam-meriam tersebut (De Locomotief, 13 Mei 1949). Benteng Karangbolong akhirnya lebih berfungsi sebagai pos pengamatan tanpa persenjataan. Pada 12 Juni 1856, sejumlah ahli geografi tinggal di benteng untuk melaksanakan tugas pengukuran triangulasi dengan dibantu pengamatan astronomis. Lokasinya memang cukup sempurna untuk pengamatan astronomis karena berhadapan dengan lautan lepas sehingga terhindar dari polusi cahaya (Nederlandsche Staatcourant, 3 Desember 1856).
|
Bekas lubang meriam. |
Perahu akhirnya menepi di tepi pantai yang sepi. Dari pantai,
perjalanan ditempuh melalui jalan setapak yang dipenuhi pecahan batu karang. Di ujung jalan,
sebuah bangunan dengan pintu melengkung menyambut kedatangan saya. Tanaman liar
tampak merambat di sekujur dinding tuanya. Memasuki bagian dalam, bangunan itu
memiliki ruangan dengan langit-langit setengah melingkar. Pada mulanya, saya
menyangka jika bangunan itu adalah benteng Karangbolong. Rupanya prasangka tersebut
salah. Bangunan tadi ternyata hanyalah pintu gerbang benteng Karangbolong.
Untuk menuju bagian utama benteng Karangbolong, saya masih harus berjalan lagi,
melewati beberapa tanjakan dan jurang yang cukup dalam. Akhirnya
sampailah di bagian utama dari benteng Karangbolong yang berdiri menjulang di
puncak sebuah bukit dan dari sana perairan Cilacap terlihat begitu jelas. Saya selanjutnya menuruni semacam parit untuk masuk ke dalam benteng. Dengan
cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela kecilnya, saya mendapati
keanehan ruangan ini; jarak langit-langit dengan lantai terlampau tinggi dan
ada semacam bekas pintu yang tidak menyentuh lantai dasar. Saya akhirnya
menyadari jika ternyata benteng Karangbolong sejatinya memiliki dua lantai.
Tampaknya lantai pada tingkat kedua terbuat dari kayu, menyisakan jejak bekas
umpak. Karena bahannya dari kayu maka tak heran bagian tersebut sudah hilang.
|
Pintu masuk ke area benteng.
|
|
Tampak luar benteng dengan bekas pintu masuknya. |
Dari bentuknya, benteng
Karangbolong merupakan jenis benteng Model 1811, jenis yang terbilang
langka di Indonesia. Nama lainnya adalah Napoleon Tower karena teknologi
pertahanan tersebut dibuat atas perintah Napoleon Bonaparte, sang penakluk
legendaris dari Perancis. Napoléon sebagai ahli strategi militer memang ulung di daratan
tetapi payah dalam perang lautan. Hal tersebut terbukti saat ia dikalahkan oleh
Inggris dalam pertempuran laut di Trafalgar pada 1805 dan ambisinya untuk
menaklukan Inggris akhirnya terhenti. Semenjak pertempuran tersebut, kekuatan
angkatan laut Perancis tidak bisa dipulihkan seperti sedia kala. Karena
angkatan laut Perancis sudah hancur lebur, maka wilayah pesisir Perancis
terbuka untuk diserang sehingga Napoleon memerintahkan
supaya di sepanjang garis pantai Perancis dilindungi dengan benteng pada tahun
1811. Insinyur zeni Perancis lalu memilih bentuk benteng yang bersumber dari menara pertahanan rancangan
insinyur Mareschal pada tahun 1740 di Agde, Prancis selatan. Model yang dibuat
oleh insinyur Perancis tersebut rupanya ada kemiripan dengan benteng pesisir
rancangan Vauban yang dibangun pada masa pemerintahan Louis XIV (Lepage, 2010 ; 163). |
Gambar potongan model benteng Napoleon Tower (sumber : French Fortifications 1715-1815 ; An Ilustrated History) |
Hal yang membedakan model Napoleon Tower dengan model
benteng dari era sebelumnya adalah bagian-bagian benteng seperti tempat tinggal
tentara, komandan, gudang makanan, gudang amunisi, dan sumur dijadikan dalam
satu bangunan bata berbentuk persegi. Bagian paling atas merupakan ruang
terbuka yang digunakan sebagai tempat pengamatan dan emplasemen meriam yang
biasanya terdiri dari empat buah. Untuk perlindungan tambahan, benteng
dikelilingi parit dan dilengkapi dengan jembatan gantung. Model tersebut lalu
ditetapkan sebagai standar benteng pantai sepanjang kekuasaan Napoleon. Sedianya
akan dibangun sekitar 160 benteng, namun karena sudah di ambang kekalahan dan
biaya pembangunannya cukup mahal, maka pekerjaan pembangunan yang berlangsung
dari tahun 1812 hingga 1814 hanya menghasilkan 12 benteng. Meskipun kekuasaan Napoleon jatuh, model benteng Napoleon Tower
masih terus dikembangkan dan akhirnya model Creneles Model 1846 adalah hasil
pengembangan tingkat lanjut dari model benteng Napoleon Tower.Meskipun benteng Karangbolong dibuat meniru model Napoleon
Tower, sejumlah penyesuaian yang dibuat oleh Belanda. Penyesuaian tersebut
antara lain dengan meletakan meriam di dalam ruangan benteng sehingga awak yang
mengoperasikannya akan terlindungi dari tembakan meriam dari luar sedangkan bagian
pucuk digunakan sebagai pos pengamatan. Ruang tinggal tentara kemudian
dipindahkan ke ruang bawah tanah yang digali di dalam batuan gunung. Benteng Karangbolong mendapat julukan "Gibraltar Kecil" karena benteng memiliki lokasi yang strategis di dekat pantai dan dibangun di atas gunung batu ('dAlmeida 1864 : 239). Sekitar 75
personel ditempatkan di Karangbolong. Untuk memudahkan pergerakan, benteng
Karangbolong dilengkapi dengan terowongan yang menjurus ke pantai sehingga
tentara dapat langsung menuju ke sana jika musuh melakukan pendaratan di dekat
pantai (Brakell, 1863; 271). |
Pintu masuk ke ruang bawah tanah.
|
|
Dinding pelindung di depan pintu masuk. |
|
Ruang jaga. |
Saya selanjutnya menuruni sebuah terowongan yang menjerumuskan
saya ke bagian bawah benteng. Sialnya, terowongan tersebut tidak dilengkapi
dengan penerangan yang memadai sehingga saya menuruni terowongan gelap tersebut
dengan hati-hati dan hanya mengandalkan kerlip senter hp. Walau gelap, udara
sepanjang terowongan terasa sejuk karena lorong ini dilengkapi dengan lubang
udara. Terowongan itu kemudian berkelok ke kiri. Di dekat kelokan, terdapat
sebuah ruang bawah tanah yang dahulu digunakan sebagai tempat tinggal tentara.
Ruangan tersebut dilengkapi dengan saluran udara yang menembus tanah hingga ke
atas. Undakan terowongan tersebut kemudian membawa saya ke bagian bawah benteng
Karangbolong yang memiliki jalinan ruang bawah tanah dipakai sebagai tempat
tinggal tentara, ruang komando, dapur, gudang makanan, dan amunisi. |
Ruang bawah tanah. Sumber udara dan pencahayaan berasal dari sumuran di atas. |
Sungguh
luar biasa, walau usianya sudah seratus tahun lebih namun langi-langit ruangan
itu belum memperlihatkan tanda-tanda akan runtuh. Bangunan yang lama kosong dan
kondisinya gelap lagi lembab akhirnya menjadi rumah yang nyaman untuk ribuan kelelawar.
Mereka bergelantungan di langit-langit sebuah ruang bawah tanah, meninggalkan
timbunan kotoran yang baunya jelas kurang sedap. Entah sudah berapa lama mereka
menjadi penghuni benteng. Benteng Karangbolong ternyata bukan satu-satunya
benteng peninggalan kolonial di Nusakambangan. Di sebelah barat pulau
Nusakambangan, Benteng Klingker dengan keunikanya sedang menunggu untuk
dijelajahi. |
Tampak luar Benteng Klingker. |
|
Benteng Klingker atau dulu dikenal sebagai Fort Banjoe Njapa dalam peta pelayaran tahun 1885(Sumber : Peta "Zeegat van Tjilatjap"). |
Tak ada jalan darat yang menghubungkan Benteng Klingker dengan
Benteng Karangbolong, sehingga perjalanan ditempuh menggunakan perahu. Dari
pantai tempat perahu mendarat, perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki
sebagaimana perjalanan pada benteng sebelumnya. Perjalanan dari pantai ke
lokasi benteng Klingker ditempuh cukup singkat dibandingkan perjalanan benteng
sebelumnya. Sesampainya di ujung jalan, saya
mendapati bangunan kuno yang tak lain adalah Benteng Klingker. Kala memandang
benteng itu untuk pertama kalinya, rasa iba terbit di hati saya. Benteng itu
tampak berdiri sebatang kara di tengah rimba Nusakambangan yang liar. Akar
tanaman tumbuh di sekujur dindingnya yang tersusun dari batu bata, membuat
benteng itu nyaris ditelan oleh alam. Namun hal itulah yang membuat benteng ini
tampak eksotis di mata saya. |
Bekas tangga. |
Setelah mendirikan benteng Karangbolong di ujung pulau, Belanda
mendirikan benteng kedua yang lokasinya di sebelah barat pada tahun 1852.
Benteng tersebut berada di medan yang datar. Fort Banjoenjapa, demikianlah dulu
Belanda menamakan benteng kedua itu (Kielstra, 1879; 39). Nama benteng Klingker
adalah sebutan masyarakat sekitar karena bentuknya yang melingkar. Cukup unik
mengingat kebanyakan benteng-benteng yang pernah saya sambangi berbentuk
persegi. Benteng berbentuk lingkaran dalam istilah ilmu perbentengan disebut Martello
Tower. Tatkala Perancis mengembangkan model Napoleon Tower, maka
Inggris selaku musuh utama Perancis juga berupaya meningkatkan teknologi
perbentengan mereka dan menghasilkan model benteng Martelo Tower. Model
tersebut oleh Inggris disebarluaskan pada berbagai belahan imperiumnya selama
abad ke-19 (Lepage, 2010 ; 166). |
Potongan model benteng Martello Tower (sumber :French Fortifications 1715-1815 ; An Ilustrated History). |
|
Gambar benteng Fort Frederic di Kingston, Kanada yang merupakan model benteng Martello Tower yang masih utu (sumber :French Fortifications 1715-1815 ; An Ilustrated History). |
Model Martello Tower memiliki konsep yang sama dengan Napoleon Tower.
Pembedanya terletak pada bentuknya yang bundar. Ilham bentuk bundar yang
menjadi ciri khas Martello Tower berasal dari benteng menara bundar yang
didirikan oleh bangsa Genoa di Pulau Corsica, Perancis pada abad ke-16 M.
Menara tersebut dibangun untuk melindungi desa-desa di pantai Corsica dari
ancaman perompak Afrika Utara. Sewaktu Inggris menyerbu Pulau Corsica pada masa
Revolusi Perancis, Inggris yang mengerahkan armada kapal termutakhirnya gagal
merebut salah satu benteng bundar bernama Mortella yang hanya dipertahankan
oleh 38 orang saja. Inggris rupanya terkesan dengan keunggulan benteng
sederhana ini sehingga desainnya ditiru oleh insinyur zeni Inggris sebagai
acuan. Adapun munculnya nama Martello Tower adalah kesalahan ejaan dari
"Mortella" menjadi "Martello".
|
Bagian dalam Benteng Klingker. |
Benteng ‘Martello Tower’ pertama dibangun Inggris dengan terburu-buru pada 1803, ketika Napoléon hendak menyerang Inggris. Ditinjau dari
segi geografis, Inggris adalah negara pulau sehingga rentan diserang oleh musuh
dari lautan. Maka dari itu, sejumlah benteng model Martello Tower dibangun
Inggris sepanjang abad ke-19 untuk melindungi lini pertahanan pantai Inggris dan titik-titik
strategis di jajahan kolonial Inggris di seluruh dunia. Ada sekitar 140 unit benteng
yang dibangun Inggris. Sebagian besar berada di sepanjang pantai selatan
Inggris dan Kepulauan Channel. Lainnya dibangun jauh di beberapa koloni Inggris
seperti Australia, Kanada, Irlandia, Minorca, Afrika Selatan dan Sri Lanka. Model
benteng Martello tower buatan Inggris rerata memiliki ukuran tinggi 12 m
dan terdiri dari dua lantai. Biasanya diisi dengan garnisun yang terdiri dari
satu perwira dan 15 hingga 25 orang. Model sejenis akhirnya ditiru oleh
bangsa lainnya seperti bangsa Belanda yang menghadirkan model benteng tersebut di Pulau Cipir, Kepulauan Seribu dan tentunya di Pulau
Nusakambangan yang kini menjadi benteng Klingker.
|
Struktur atap lengkung. |
Bentuk benteng Klingker yang bundar dan dinding tebalnya yang tersusun dari
pasangan bata yang kokoh membuatnya cukup mampu menahan hantaman tembakan
meriam. Sementara di puncak atapnya terdapat ruang tembak terbuka yang dapat
diperkuat kira-kira satu meriam berat. Karena bentuknya yang melingkar, maka
meriam dapat diarahkan ke segala penjuru. Inilah keunggulan benteng Martello
Tower dibandingkan benteng biasa yang sudut tembak meriamnya terbatas. Selain
di puncak atap, adanya bekas celah meriam menunjukan bahwa meriam benteng
Klingker juga ditempatkan di dalam benteng. Bagian dalam benteng terdapat
beberapa ruangan seperti ruang tinggal tentara, ruang komandan, gudang makanan
dan amunisi. Untuk menyerang benteng ini, satu-satunya jalan hanya dengan
menyerbu langsung dari pantai (Brakell, 1863 ; 271). |
Seorang prajurit Belanda yang sedang mengecek salah satu meriam di Benteng Karangbolong yang baru saja dirusak. Meriam tersebut adalah penambahan pada tahun 1940an (sumber : media-kitlv.nl). |
Pada tahun 1891, militer Belanda meninggalkan Nusakambangan karena keberadaan benteng-benteng tua seperti Karangbolong dan Klingker dinilai sudah usah dalam menghadap peperangan modern (Haagsche Courant 15 Oktober 1898). Meskipun Pulau
Nusakambangan dipandang sudah tidak penting dari segi militer, pulau tersebut
masih ada kegunaannya bagi Belanda. Alamnya yang masih liar dan jauh dari
permukiman membuat pulau itu ideal sebagai pulau tahanan. Sekitar tahun 1905, perkebunan
kakao dibuka di sana dan pekerjanya diambil dari narapidana. Meskipun tampaknya
mustahil untuk kabur dari pulau tersebut, Belanda membangun penjara di sana
sehingga boleh dikatakan bila penjara tersebut seperti penjara di dalam penjara.
Karena ditetapkan sebagai pulau penjara, maka penduduk yang tinggal di sana
akhirnya dipindahkan (De Preanger Bode, 9 September 1908). Hingga sekarang, Pulau Nusakambangan masih kondang sebagai pulau
para pesakitan dengan hotel prodeonya yang memiliki tingkat pengamanan tinggi. Sekalipun
memiliki reputasi seram sebagai pulau bui, namun Pulau Nusakambangan menyimpan
keanekaragaman hayati seperti bunga Wikayakusuma yang menjadi tanaman khas pulau
itu. Sejak tanggal 24 Juli 1923, bagian timur pulau tersebut ditetapkan sebagai
cagar alam "Nusakambangan Timur" oleh pemerintah kolonial (Dammerman, 1924 ; 21). Di dalam cagar alam
itulah Benteng Karangbolong dan Benteng Klingker berada. Kedua benteng yang
dahulu berdiri angkuh mengawasi perairan Cilacap, kini merana dalam
kesendiriannya di sebuah pulau yang sunyi. Seandainya Benteng Karangbolong dan
Benteng Klingker mampu berbicara, mungkin hanya ada satu pertanyaan yang akan
saya tanyakan pada benteng ini, “Sampai kapan kalian akan mampu berdiri ? “
Referensi
'dAlmeida, William Barrintgon. 1864. Life in Java Vol. 2. London : Publisher Hurst & BlackettDammerman, K.W. 1924. Overzicht der Nederl. – Indische Natuurmonunementen.
Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbesherming.
Kielstra, E.B. 1879. De Grondslagen der Verdediging van Java. Padang.
Lepage, Jeand Dennis. 2010. French Fortifications 1715-1815 ; An
Ilustrated History. Jefferson : MacFarland & Company, Inc.,
Publishers.
Remmelink, Willem. 2018. The Operation of The Navy in The Ducth
East Indies and the Bay of Bengal. Leiden : Leiden University Press.
Van Brakell, Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch
Indie. Amsterdam : P.N. van Kampen.
Nederlandsche Staatcourant, 3 Desember 1856
De Preanger Bode, 9 September 1908
De Locomotief, 13 Mei 1949