Kamis, 27 April 2017

Benteng Willem I Ambarawa, Hikayat Benteng Tua di Tepi Rawa

Salah satu peninggalan sejarah yang kondang di Ambarawa, selain Stasiun Ambarawa adalah Benteng Willem I, sebuah benteng tua yang terletak di tepian Rawa Pening. Benteng itu dibangun pada pertengahan abad ke-19, sebagai upaya pemerintah kolonial Belanda menangkal serbuan bangsa asing ke Hindia-Belanda. Seperti apakah kisah selanjutnya dari benteng yang namanya diambil dari nama Raja Belanda itu ?
Peta Ambarawa tahun 1905 yang menunjukan lokasi Benteng Willem I dan lingkungan sekitarnya yang sudah sedemian berkembang berkat jalur kereta (Sumber : maps.library.leiden.edu.)
Sebuah jalan setapak kecil yang terletak di samping RSUD Ambarawa mengantarkan saya ke area benteng yang dikelilingi oleh persawahan itu. Berlatar pemandangan Gunung Telomoyo yang begitu permai, benteng itu ingin bertutur tentang sebuah kisah. Sembari melangkah menyusuri setiap sudut benteng, saya mencoba untuk mendengarkan kisahnya.
Rencana Benteng Willem I yang dibuat pada tahun 1830an. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa bagian dalam rencana tersebut tidak jadi dibangun atau mengalami perubahan (sumber : nationaalarchief.nl)

Pendirian benteng itu sesungguhnya masih ada sangkut paut dengan bergolaknya Revolusi Belgia di Eropa pada tahun 1830. Wilayah Belgia yang dikenal sekarang, kala itu masih berada di bawah naungan kerajaan Belanda yang meraih kemerdekaan dari Spanyol tahun 1581. Sebagian besar penduduk Belgia masih setia sebagai penganut Katolik, kontras dengan mayoritas penduduk Belanda yang telah berpindah menjadi penganut Kristen Protestan. Wilayah Belgia yang menjadi basis revolusi Industri segera menjadi rebutan Belanda, Perancis, dan Austria (Simon, 1983 ; 83-86). Berakar dari perbedaan agama dan ekonomi, Belgia yang dibantu bangsa lain berusaha memisahkan diri dari kendali Kerajaan Belanda pada 1830. Maka terjadilah apa yang dikenal sejarah sebagai Revolusi Belgia. Begitulah benteng ini memulai kisahnya.
Raja Willem I ( 1772 -1843 ) yang namanya diabadikan menjadi nama Benteng di Ambarawa. Pemerintahannya diwarnai dengan Revolusi Belgia. (sumber : wikipedia).
Selanjutnya, benteng itu menuturkan bahwa pemerintah kerajaaan Belanda risau bila pergolakan yang terjadi di Eropa akan meluas ke Jawa dan perisitiwa jatuhnya Pulau Jawa ke pangkuan bangsa Eropa lain seperti yang terjadi pada invasi Inggris pada tahun 1811 akan terulang kembali. Guna mengamankan kuasa tanah kolonial berharga mereka dari bangsa asing lain yang lebih kuat, maka Kerajaan Belanda lantas menitahkan Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk mempersiapkan strategi yang dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap serangan musuh yang akan merebut Pulau Jawa. Van den Bosch, veteran Perang Jawa yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1830, menyadari bahwa pertahanan pulau Jawa selama ini masih kurang mumpuni sehingga Belanda gagal membendung serangan Inggris beberapa tahun sebelumnya. Titah tersebut rupanya menjadi tekanan tersendiri bagi Van den Bosch karena pemerintah kolonial di Jawa saat itu sedang dihadapi masalah keuangan. Akibat Perang Jawa yang bergolak lima tahun sebelum Van den Bosch menjabat sebagai Gubernur Jenderal, kas keuangan pemerintah terkuras habis dan tentunya itu adalah hal buruk bagi pemerintahan yang ingin mengukuhkan kekuasaanya. Namun bagaimanapun juga Van den Bosch harus melaksanakan tugas yang sudah diberikan kepadanya. Van den Bosch lalu menyusun suatu strategi dengan membagi pertahanan Pulau Jawa menjadi beberapa lapis. Lapis pertama adalah wilayah pesisir utara tempat musuh bakal mendaratkan pasukannya. Lapis kedua adalah wilayah pedalaman Jawa bagian tengah. Seandainya pertahanan lapis pertama jatuh, seluruh pasukan akan mundur ke lapis ini. Jika pada lapis kedua musuh gagal dihalau, barulah seluruh kekuatan ditarik ke wilayah pesisir selatan yang menjadi lapis pertahanan terakhir dan jalur pelarian jika situasi sudah mendesak. Untuk lapis kedua, Sungai Tuntang ditetapkan sebagai garis pertahanan pedalaman di Jawa bagian tengah. Sungai tersebut berhulu di Rawa Pening yang dikelilingi oleh lembah nan luas.
Benteng Willem I pada peta tahun 1845 (sumber : media-kitlv.nl)
Lembah tersebut memiliki kedudukan strategis karena berada di persimpangan jalan yang mempertemukan tiga jalan utama yang menghubungkan Semarang, Kedu, dan Surakarta (Van Brakell, 1863;327). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka lembah Ambarawa perlu dilengkapi dengan benteng baru untuk menutup pergerakan musuh yang menuju ke pedalaman. Ambarawa tersebut memiliki kedudukan paling penting di antara tempat lain di Jawa sebab ia akan menjadi titik kumpul pasukan seumpama seluruh wilayah pesisir telah diduduki musuh dan dari sini mereka dapat melancarkan serangan balik (Kielstra, 1879;23-24). Para insinyur zeni Belanda kemudian memilih sebuah lahan terbuka di selatan Ambarawa sebagai lokasi benteng. Posisinya memang lebih rendah dari dataran sekitar sehingga mudah untuk diincar. Meskipun demikian, tempat tersebut menawarkan keuntungan tersendiri karena dapat melindungi tiga sisi pertahanan, yakni jalan menuju Kedu, jalan menuju Surakarta, dan persimpangan kedua jalan tersebut. Mengingat posisinya yang terbuka dan lebih rendah maka, dibuatlah benteng tambahan yang lebih kecil di sekitar benteng utama, yakni dua benteng di Tuntang untuk menjaga sungai Tuntang, satu benteng di desa Candidukuh di selatan Rawa Pening, dan satu benteng di Jambu untuk mengawasi jalan menuju Kedu. Selain itu, dibangun jalan militer baru yang akan terbentang dari jalan pos dekat Bawen, kemudian melintas di dekat timur benteng hingga Banyubiru (Van Brakell, 1863;326).

Sebuah lukisan yang menggambarkan panorama Gunung Andon dan Telomoyo. Di kejauhan terlihat Benteng Willem dengan Tanggul yang masih mengelilingi benteng. ( sumber : troppenmuseum.nl ).
Foto udara benteng Willem. Parit dan dinding tanah sudah diratakan (sumber : Forts in Indonesia).
Sejak tahun 1833, berbagai keperluan disiapkan dengan matang dan terencana untuk mewujudkan proyek ambisius ini. Perkampungan pekerja, barak prajurit, bengkel, dan barak dengan daya tampung 4.500 pekerja didirikan di dekat benteng. Tenaga yang terlibat dalam proyek itu antara lain insinyur zeni ahli perbentengan, penjaga, dan 3.000 kuli lokal serta beberapa tahanan yang menjalankan hukuman kerja paksa membangun benteng. Komandan zeni milter Belanda, kolonel Van der Wick, ditugaskan untuk mengawasi jalannya pembangunan.  Selama proses persiapan pembangunan, sempat terjadi insiden berupa angin puyuh yang memporak-porandakan tangsi pekerja dan selanjutnya memicu kebakaran besar karena percikan api dari dapur umum menjalar ke barak infanteri (Algemeen Handelsblad, 15 April 1835). Selain insiden kebakaran, pembangunan benteng sempat terhalang oleh keterbatasan moda pengangkutan saat itu sehingga material seperti kayu dan batu kapur yang masih didatangkan dari tempat lain terlambat datang sesuai rencana. Supaya menghemat waktu, maka di dekat benteng didirikan sejumlah tungku pembakaran untuk pembuatan batu-bata. Pada tanggal 18 Juni 1838, Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eereens melakukan upacara peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan (Javasche Courant, 23 Juni 1838). Sekalipun belum tuntas pekerjaan seluruhnya, benteng ini sudah mulai ditempati prajurit pada tahun 1844. Untuk mempercepat proses pembangunannya yang tinggal membuat dinding tanahnya saja, maka pada tahun 1848 serdadu KNIL pribumi dilibatkan dalam pembangunannya meskipun di sela pekerjaan masih diharuskan latihan militer empat kali setahun selama satu bulan. Sebagai benteng paling penting, maka benteng tersebut diberi nama yang sama dengan nama raja yang memerintah Belanda saat itu, Willem I (Utrechtsche courant, 25 Desember 1837). Nama tersebut dipilih sendiri oleh Pangeran Frederik Hendrik yang mengunjungi ke Pulau Jawa  pada tahun 1837 atas undangan Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eereens. Pangeran Frederik Hendrik adalah satu-satunya anggota keluarga kerajaan Belanda yang pernah mengunjungi koloni Hindia-Belanda (De Locomotief, 24 Desember 1880). Keseluruhan benteng akhirnya purna dibangun tahun 1850 sehingga butuh waktu 27 tahun lamanya untuk mendirikannya. Sayangnya karena anggaran sudah menipis, maka sarana pertahanan tambahan di sekitar Benteng Willem I tidak jadi dibangun.

Angka tahun pembangunan casemate.
Pintu gerbang utama benteng.
Sambil berjalan menuju benteng, pandangan saya melihat sebuah bangunan bata berlantai dua yang berdiri di tengah sawah. Ia seolah ingin menjelaskan perihal teknologi yang dipakai pada benteng ini untuk menghadang musuh yang datang dari berbaga sisi. Sebagai benteng yang memiliki kedudukan paling utama dalam strategi pertahanan pulau Jawa, Benteng Willem I merupakan puncak dari arsitektur perbentengan Belanda di Nusantara. Benteng Willem I walau dibangun pada abad ke-19, sejatinya ia masih menerapkan teknologi benteng abad-17 yang diciptakan oleh insinyur zeni Perancis, Le Preste de Vauban. Teknologi tersebut pada dasarnya menekankan adanya sistem pertahanan luar yang mampu berdiri sendiri, sehingga apabila pertahanan luar diserang tidak berpengaruh langsung pada pertahanan dalam benteng. Benteng Willem I dikelilingi oleh gundukan tanah. Material tanah dipilih karena sifatnya yang lentur mampu meredam hantaman peluru meriam.  Gundukan tanah itu memiliki dua lapis, lapis depan dan lapis belakang. Lapis belakang memiliki ukuran yang lebih tinggi dibanding lapis belakang. Di antara lapisan tersebut terdapat parit berair. Pertahanan kian diperkuat dengan tambahan delapan casemate yang berada di delapan penjuru benteng.
Bekas casemate yang dahulu terlindungi oleh gundukan tanah dan bagian dalam salah satu casemate.
Casemate adalah kubu pertahanan tertutup yang di dalamnya berisi meriam dengan lubang tembak yang menghadap ke arah luar benteng. Kebaradaan casemate dimaksudkan untuk memberi perlindungan awak yang mengoperasikan meriam saat terjadi pertempuran. Bangunan-bangunan casemate itu memiliki inskripsi berisi angka yang menunjukan tahun mulai dan selesainya bangunan tersebut. Tahun yang tertera pada setiap bangunan berbeda-beda. Paling tua dibangun tahun 1834 dan paling muda dibangun tahun 1847. Dari inskripsi tersebut dapat diketahui bahwa bangunan casemate dibangun tidak dalam waktu yang bersamaan tapi secara bertahap. Rentang penyelesaiannya berkisar antara 5 hingga 9 tahun. Selain casemate, benteng ini memiliki gatehouse atau rumah gerbang utama benteng yang diletakan di sebelah timur, menghadap ke jalan lingkar Ambarawa yang sekarang. Pintu masuk tersebut dahulu dilengkapi dengan jembatan angkat untuk menghambat musuh. Gatehouse juga menjadi markas satuan provost atau polisi militer yang bertugas untuk menjaga keamanan di dalam benteng. Selain pertahan buatan, Benteng Willem I diperkuat pertahanan alami berupa Danau Rawapening yang terhampar di timur benteng. Dengan pertahanannya yang berlapis-lapis, benteng tersebut diklaim mampu membendung segala serangan dari berbagai sisi dan tidak ada satupun tentara musuh yang mampu menembusnya.
Foto benteng Willem tahun 1947 ( sumber : gahetna.nl ).
Bagian benteng yang dipakai penjara. Foto tahun 1940an. (Sumber : media-kitlv.nl)
Benteng ini selanjutnya bercerita bagaimana ia mulai berkurang kegarangannya. Sekalipun dengan pertahanan yang sungguh tangguh, prajurit yang berdiam di sini akhirnya harus menyingkir dari benteng ini. Bukan musuh bersenjata kuat yang membuat mereka tersingkir, melainkan oleh rentetan gempa bumi yang pernah mengguncang Ambarawa tahun 1865 dan 1872. Gempa bumi tersebut menyebabkan konstruksi benteng pada bagian lantai satu dinilai sudah tidak aman lagi untuk ditinggal sehingga sebagian prajurit dipindahkan ke barak di luar benteng. Prajurit yang masih tinggal di dalam benteng adalah prajurit dari kesatuan zeni yang tinggal di bagian lantai dua. Bagian ini langit-langitnya dirasa terlalu rendah dan alhasil, ruangan menjadi terasa pengap dan tentu terasa gerah untuk ukuran orang Eropa yang tidak biasa dengan iklim panas. Kondisi diperparah dengan lingkungan sekitar benteng yang tidak sehat. Meskipun berada di dataran tinggi, keberadaan parit berair yang ada di sekitar benteng ternyata menjadi sarang nyamuk yang membawa penyakit malaria dan parit tersebut mengeluarkan bau tidak sedap. Karena banyak tentara yang terkena penyakit, maka satuan Zeni yang semula tinggal di benteng Ambarawa dipindahkan ke Malang pada tahun 1893. Sesudah tentara zeni menyingkir dari dari benteng, benteng Willem I dihuni oleh korps infanteri orang Afrika (Java Bode, 26 September 1893). Mereka hanya tinggal satu bulan di dalam benteng dan benteng ditinggalkan dalam keadaan kosong. 
Denah barak untuk barak untuk 4 kompi infanteri (sumber :nationaalarchief.nl)
Perlahan Benteng Willem I mulai kehilangan perannya sebagai sarana pertahanan seperti yang direncakan semula. Situasi politik Belanda saat itu mulai damai dengan negara Eropa dan tidak ada pemberontakan yang berarti di Jawa sehingga tidak ada ancaman yang perlu ditakutkan. Pada saat yang sama, pesatnya perkembangan teknologi pertahanan membuat pertahanan benteng segera menjadi usang. Pada saat benteng Willem I dibangun, tembakan artileri dari arah perbukitan belum mampu menjangkau benteng. Namun semuanya berubah semenjak ditemukannya teknologi meriam Armstrong pada pertengahan tahun 1850an Berbeda dengan meriam bikinan era sebelumnya, meriam Armstrong memiliki laras yang bagian dalamnya dibuat berulir sehingga tembakan lebih akurat dengan daya jangkau yang lebih jauh. Apabila musuh menempatkan meriam-meriam berteknologi mutakhir itu di perbukitan di sekeliling Ambarawa, maka benteng itu tidak akan berdaya menghadapi serangan bombardir meriam. Berhadapan dengan teknologi seperti itu, maka tanggul tanah dan parit yang melindungi benteng menjadi tidak berguna lagi. Sekitar akhir tahun 1890an, parit dan tanggul tanah yang mengelilingi benteng diratakan. Setelah cukup lama dalam keadaan kosong, separo benteng diubah menjadi penjara pada tahun 1926. Untuk kepentingan tersebut, maka deretan bangunan rumah dinas kapten di dalam benteng dibongkar dan diganti menjadi tembok penjara 
(Algemeen Handelsblad, 3 April 1930). Penjara tersebut menampung tahanan sebanyak 500-600 orang. Pemerintah kolonial menjadikan penjara tersebut sebagai penjara untuk tahanan politik yang membangkang terhadap kekuasaan pemerintah kolonial (De Locomotief, 28 Agustus 1926).
Pintu masuk barak sisi utara.
Sudut Benteng Willem I.
Jembatan kayu di dalam benteng.
Batu-bata merah yang menyusun konstruksi benteng.
Saya kemudian berjalan menyusuri beceknya tanah benteng yang tampaknya baru saja diguyur hujan. Di hadapan saya sekarang, terbentang sebuah jembatan yang menghubungkan bagian utara dan selatan benteng. Kayu-kayu jembatan itu sudah mulai lapuk sehingga sudah tidak bisa dilalui lagi. Aura kekunoan benteng ini terasa begitu kentara. Lihatlah deretan lengkungan yang menopang konstruksi benteng itu. Ia dibuat ketika teknologi beton bertulang belum ditemukan, sehingga tumpuan beban hanya bergantung pada tebalnya dinding bangunan itu sendiri. Supaya beban di atasnya sanggup ditopang, maka digunakanlah sebuah teknik kuno warisan bangsa Romawi yang dikenal sebagai teknik lengkung, dimana batu-bata dibuat agak mirip baji sehingga ketika ditata menghasilkan bentuk setengah lingkaran. Dengan teknik lengkung, ia mampu kokoh berdiri hingga hari ini meskipun tidak memakai tulangan besi.
Bekas barak untuk tentara berpangkat letnan.
Beranda terbuka pada bagian lantai dua.
Tandon air untuk menampung air dari sumur bor.
Bekas gudang mesiu.
Bagian dalam Benteng Willem I terdiri dari bangunan barak, rumah sakit, istal dan rumah perwira (Bleeker, 1850 : 258). Berdasarkan angka tahun yang terdapat pada salah satu bangunan, pembangunan bangunan-bangunan dibuat dari rentang tahun 1835-1843. Empat barak ditata menjadi bentuk persegi empat jika dilihat dari atas. Separo bangunan saat ini digunakan sebagai penjara. Ada juga yang ditempati oleh keluarga pegawai penjara. Sayangnya sebagian besar bangunan barak dalam keadaan terlantar. Dari bekas barak itu, setidaknya saya mendapat cerita dari benteng ini, bagaimana kehidupan keluarga para tentara di masa kolonial. Pada penghujung tahun 1848, penghuni benteng mencapai 4000 orang, terdiri dari 60 perwira, 2000 bintara dan serdadu, 1100 istri dan anak yang tinggal bersama, dan 370 pelayan (Bleeker, 1850 : 259). Menyadur catatan Philibert Dabry De Thiersant, seorang diplomat Perancis, prajurit militer Hindia-Belanda atau KNIL “diizinkan membawa istri dan anak keluarga, kecuali di saat perang“. Di dalam barak yang luas dan ramai itu, “mereka makan, menyiapkan makanan, dan membersihkan barak bersama“. Tempat tidur diatur sesuai kompi pasukan yang ada. Masing-masing prajurit memiliki tempat tidur yang tinggi dilengkapi kelambu, mebel sederhana dan kelengkapan lain (untuk personel Eropa disediakan selimut katun tebal dan personel bumiputra disediakan sarung yang dicap khusus agar tidak tertukar). Supaya gerak-gerik tentara Bumiputera mudah diawasi, sejumlah bintara Eropa tinggal di dalam barak kompi Bumiputera (Santosa, 2016; 141-142). Setiap tentara dijatah dengan daging segar roti, beras, garam, dan merica yang pembagiannya tidak ada perbedaan antara tentara Eropa dengan Bumiputera, kecuali bagi daging babi yang tidak diberikan untuk yang beragam Islam. Sementara pasokan air minum diperoleh dari sumur bor di dalam benteng dan sebagiannya diambil dari sungai terdekat. Air sumur meski dapat diminum jarang dikonsumsi karena dianggap sudah tercemat banyak zat asing.
Bagian dalam benteng (sumber :collectie.troppenmuseum.nl)
Letnan S.W. Albreda dan istrinya di beranda depan rumahnya. Terlihat pot-pot tanaman yang tertata rapi di halaman depan rumah ( sumber : media-kitlv.nl ).
Bekas bangunan rumah tinggal komandan benteng.
Puing bangunan rumah perwira bergaya Indis.
Ketika melangkah ke arah penjara yang ada di selatan benteng, entah mengapa saya merasa aura militer benteng ini hidup kembali, apalagi ketika melihat petugas berseragam yang sedang berjaga di pintu masuk penjara. Tembok tinggi yang berdiri melintang di tengah-tengah benteng memisahkan pengunjung luar dengan kelamnya dunia penjara. Di hadapan tembok penjara itu, berdiri lima buah bangunan berlanggam Indis Klasik dengan pilar-pilar Yunaninya yang bertengger di beranda depan. Dari lima rumah itu, dua bangunan kini hanya menyisakan puing dindingnya saja. Dibangun pada tahun 1838, rumah-rumah itu dulunya dihuni oleh perwira. Seorang dokter militer bernama Bleeker sempat menyinggahi Ambarawa pada tahun 1850an dan ia menanggapi kehidupan di dalam benteng saat itu. Menurut ukuran orang Eropa, kehidupan perwira lebih beradab dibandingkan anak buahnya karena para perwira tersebut umumnya membawa keluarganya ikut serta dari Eropa ke Ambarawa. Sementara itu, para serdadu baik Eropa maupun pribumi yang masih bujangan justru menunjukan kelakukan bejat. Waktu senggang serdadu Eropa dihabiskan di kantin militer, mengeluhkan ketidaknyamanan hidup di tanah koloni yang jauh nan asing. Dengan sedikitnya perempuan Eropa saat itu, maka serdadu Eropa menyalurkan hasrat asmaranya dengan perempuan lokal. Mengingat mereka tidak menjalin hubungan secara sah, maka perempuan tersebut tidak diperkenankan tinggal bersama di dalam benteng sehingga di dekat benteng terdapat kampung yang dihuni oleh para perempuan tersebut (Bleeker, 1850 : 258). Anggota militer yang sudah menikah kehidupan pernikahannya juga tidak berakhir baik seperti pasangan suami-istri Rudolf MacLeod dan Margaretha Zelle yang ditempatkan di Ambarawa pada tahun 1895. Kelak, dunia mengenal Margaretha Zelle sebagai mata-mata dengan nama Mata Hari (Algemeen Handelsblad, 15 April 1835)Sementara itu para serdadu pribumi yang berasal dari suku Jawa, Madura, dan Bugis, tidak menyenangi ketatnya kehidupan militer. Untuk menghabiskan waktu luangnya, serdadu pribumi umumnya memilih bercengkerama di pasar atau menghisap candu. Mereka yang sudah berkeluarga akan membawa anak-istrinya tinggal di dalam benteng. Karena tidak cukup ruang di dalam benteng, maka anak-anak mereka tidur di kolong tempat tidur sehingga lahirlah istilah anak kolong yang merujuk pada anak serdadu (Bleeker, 1850; 262).
Bagian benteng yang terlantar.
Dari dalam benteng, saya menjajal untuk jalan kaki mengitari benteng ini. Benteng Willem I rupanya masih belum selesai bercerita. Kali ini, dengan raut sedih, ia bertutur kisah kelam di masa pendudukan Jepang. Kala itu, ia dipakai sebagai kamp tawanan perempuan dan anak-anak Eropa sejak Desember 1942. Setidaknya ada seribu orang yang ditahan di dalam benteng itu. Jatah ransum untuk mereka amat sedikit. Dalam dua kali sehari, yakni di pagi dan siang hari, mereka memasak jagung yang seringkali tidak matang dimasak. Malam harinya, mereka harus puas dengan nasi dan sayuran yang sedikit. Tiada air untuk mencuci, tapi untungnya, masih ada air untuk diminum.
Parade peserta pelatihan polisi pada tahun 1948 (sumber : gahetna.nl).
Dengan berapi-api, benteng ini kembali bertutur, kali ini di masa republik ini masih belia. Kala itu oleh para republikan dijadikan kamp tahanan orang Eropa dan tentara Jepang yang sudah menyerah. Tentara sekutu datang ke sini untuk mengevakuasi para tawanan itu dari benteng ini. Namun tanpa diduga, pemerintah Belanda membonceng mereka dan berusaha menegakan kembali kuasa mereka di negeri yang baru saja merdeka itu. Mula meletuslah pertempuran yang berjuluk Palagan Ambarawa itu. Tatkala pengepungan dilakukan oleh TKR (tentara Indonesia pada saat itu), segala serangan balik dilancarkan oleh sekutu. Pesawat Thunderbolt meraung di langit Ambarawa, menjatuhkan bom-bom ke tanah. Tembakan artileri bertubi-tubi menghujam bumi Ambarawa. Namun serangan itu gagal mematahkan perlawanan TKR sehingga pada bulan Desember, Sekutu bergegas mengevakuasi rombongan tawanan dan mundur kembali ke Semarang. Pada tahun 1948, benteng Willem I dipilih sebagai sekolah pelatihan polisi yang diadakan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Benteng Willem I dipilih karena ruangnya luas, memiliki akomodasi yang cukup untuk peserta dan pelatih (De Locomotief, 18 Agustus 1948). Setelah itu, pada tahun 1965 benteng ini dijadikan penjara bagi tahanan politik yang terlibat G-30 S/PKI. Selepas fungsinya sebagai penjara tapol 1965, benteng ini dijadikan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Ambarawa. Sebagian benteng yang tidak terpakai dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Begitulah benteng tua di tepi rawa itu menceritakan hikayatnya, sebuah hikayat yang menceritakan perjalanan sejarah sebuah bangsa, dari puncak masa kolonial, dimana pemerintah kolonial berupaya mengamankan Hindia-Belanda dari ancaman asing, berlanjut ke masa pendudukan Jepang, ketika orang-orang barat diperlakukan sebagai tawanan oleh orang timur yang dulu dipandang rendah, hingga awal kemerdekaan, ketika benteng ini menjadi saksi dari perjuangan anak bangsa yang mati-matian mempertahankan kemerdekaan negeri tercinta. Dahsyatnya kisah sejarah yang dituturkan benteng ini ternyata tidak sebanding dengan perlakuan yang diterimanya saat ini. Entah karena tiada biaya untuk mengurusnya atau ia dianggap sebagai peninggalan penjajah sehingga sengaja dibiarkan rusak termakan usia. Entah apakah benteng ini di kemudian hari masih sanggup bercerita atau tidak…

Referensi
Bleeker, P. 1850. "Fragmenten eener Reis over Java" dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. hlmn 245-254. Groningen : C.M Van Holhuis Hoitsema.
Kielstra, E.B. 1879. De Grondslagen der Verdediging van Java. Padang
Santosa, Iwan. 2016. KNIL, Perang Kolonial di Nusantara Dalam Catatan Perancis. Jakarta: Penerbit Kompas.
Tim Penyusun. 2012. Forts in Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Van Brakell, Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Amsterdam : P.N. van Kampen.
Algemeen Handelsblad, 15 April 1835
Utrechtsche courant, 25 Desember 1837
Javasche Courant, 23 Juni 1838
De Locomotief, 24 Desember 1880
Java Bode, 26 September 1893
Algemeen Handelsblad, 15 April 1835
De Locomotief, 28 Agustus 1926
De Locomotief, 18 Agustus 1948
https://www.indischekamparchieven.nl/

Sabtu, 22 April 2017

Remah-Remah Jejak Sejarah di Kutoarjo

Suatu siang di bulan September 2016, udara Kutoarjo terasa panas dan rasanya begitu menyengat di kulit. Kepala saya segera dibanjiri dengan peluh sehingga saya memutuskan berteduh di emperan Pendopo Kutoarjo. Dipayungi dengan atap pendopo berbentuk tajug, terlihat beberapa orang yang duduk berteduh untuk melepas rasa gerah. Mungkin mereka belum tahun jika pendopo tempat mereka berteduh dulunya adalah kediaman bupati Kutoarjo.

Persearan peninggalan bersejarah di Kutoarjo. Keterangan ; 1. Pendhopo Kutoarjo ; 2. Masjid Agung Kutoarjo ; 3. Rumah Patih ( sekarang kantor Kecamatan Kutoarjo ) ; 4. Rumah Kontrolir ; 5. Bekas rumah mayor Tionghoa ; 6. Stasiun Kutoarjo ;7. Rumah gaya Victorian ( sekarang Hotel Kencana ) ; 8. Jembatan Kali Jali.
Peta Kutoarjo tahun 1909. Tempat-tempat pejabat penting seperti Bupati ( Reg.= Regent ), Patih ( D = District ), dan Kontrolir ( C = Controloeur ) ditandai dengan tiang bendera Belanda. Di sebelah timur tampak Kali Jali yang menjadi batas alami kabupaten Purworejo dengan kabupaten Kutoarjo. (Sumber ; maps.library.leiden.edu).
Berbeda dengan masa sekarang, Kutoarjo di masa lampau adalah kabupaten yang berdiri sendiri, terpisah dengan Kabupaten Purworejo. Pada saat itu, Kabupaten Kutoarjo lebih dikenal dengan nama Kabupaten Semawung. Secara administratif, Kutoarjo berada di bawah Karesidenan Bagelen yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda pada 1830. Kabupaten Semawung membawahi beberapa distrik seperti Distrik Sucen, Distrik Madjier, Distrik Kendal, Distrik Paitan, Distrik Kiangkong, dan Distrik Pituruh. Bupati pertama Kutoarjo ialah Raden Tumenggung Sawunggaling dan awalnya berkedudukan di Semawung, kira-kira dua ratus meter ke selatan dari pusat Kutoarjo yang sekarang. Pada peta lama tahun 1857, masih tampak bahwa kedudukan Kabupaten Kutoarjo masih berada di Semawung.
Peta topografi tahun 1857 yang masih memperlihatkan kedudukan Kabupaten Kutarjo masih berada di Semawung.
Alun-alun Kutoarjo.
Ditinjau dari tata kotanya, Kutoarjo memperlihatkan unsur kota tradisional Jawa yang ditandai dengan alun-alun yang terletak di samping utara  jalan raya utama Purworejo – KebumenAlun-alun adalah lapangan berbentuk persegi yang pada bagian tengahnya ditanami dengan pohon beringin sebagai salah satu perwujudan dari nilai persatuan pemimpin dengan rakyatnya. Dalam tradisi Jawa, alun-alun diperlukan untuk menunjukan legitimasi kekuasaan seorang kepala daerah. Maka dari itu, saat kedudukan pemerintah kabupaten Kutoarjo dipindahkan oleh bupati Kutoarjo kedua R.M. Soerokosoemo dari Semawung Daleman ke Desa Senepo, maka R. M. Soerokoesomo juga membangun Kutoarjo dalam pola kota tradisional Jawa di tempat barunya. Sebagai pusat kota, berbagai perhelatan atau perayaan digelar di alun-alun. 
Pendhopo Kutoarjo, bekas kediaman bupati Kutoarjo yang kini menjadi rumah dinas wakil bupati Purworejo. Terlihat bentuk atapnya seperti masjid-masjid lama.
Berada di sebelah utara alun-alun, terdapat eks Kawedanan Kutoarjo yang menjadi salah satu bukti keberadaan kabupaten Kutoarjo di masa lalu. Meskipun bangunan tersebut lebih kondang sebagai kawedanan, namun aslinya bangunan tersebut adalah rumah tinggal bupati. Di masa lalu, bupati akan menempatkan kediamannya tidak jauh dari alun-alun. Letaknya bisa di sebelah utara atau selatan. Bangunan tersebut dibangun pada masa bupati R.A. Soerokoesomo dan disempurnakan bentuknya pada tahun 1899 dengan anggaran dari Burgerlijke Openbare Werken (Jawatan Pekerjaan Umum). Bagian terdepan dari bangunan eks rumah bupati Kutoarjo bangunan beratap tanpa dinding yang disebut pendapa. Atap besarnya menlingkupi ruang persegi terbuka yang menjadi tempat bupati menerima tamu, mengadakan rapat, resepsi pernikahan, dan lainnya. Pada bagian depan terdapat atap menjorok yang disebut tratag dan di sinilah kereta kuda atau mobil berhenti tepat di depan tangga sehingga saat keluar masuk orang tidak terganggu oleh hujan. Di bagian tengah pendapa ada empat tiang utama yang ukurannya paling besar dan memiliki lebih banyak dekorasi yang disebut saka guru. Berbeda dengan rumah pejabat Jawa yang pendoponya menggunakan atap Joglo, bangunan yang sekarang dipakai sebagai kediaman wakil bupati Purworejo ini menggunakan atap tajug yang umumnya dipakai pada bangunan masjid. Di belakang pendopo, terdapat bangunan utama yang menjadi ruang tinggal bupati dan keluarganya. Berbeda dari bangunan pendopo yang bercorak Jawa, bagian dalem terlihat begitu kental unsur Eropanya dengan pilar-pilar Yunani di beranda depannya.
Perpaduan budaya Jawa dan Eropa sangat terasa pada bekas rumah Bupati Kutoarjo seperti yang terlihat pada tiang saka guru pendhopo dan pilar-pilar Yunani di belakangnya.
Jabatan bupati sudah lama ada sebelum era kolonial. Istilah bupati kemungkinan berasal dari dua kata Sanskerta, bhumi (tanah) dan pati (tuan) yang dapat diartikan sebagai tuan tanah. Mereka saat itu bertindak sebagai kepala pemerintahan lokal yang menjadi bawahan seorang raja. Sesudah Perang Jawa, pemerintah kolonial semakin mencengkeram kota-kota pedalaman seperti Kutoarjo. Bersamaan dengan itu, pemerintah kolonial mulai menerapkan praktik sistem tanam wajib atau cultuurstelsel guna membuka potensi pedalaman Jawa secara maksimal sekaligus untuk membuktikan bahwa koloni Jawa dapat memberikan hasil bagi penjajah karena tiada faedahnya menguasai tempat yang tidak membuahkan keuntungan apapun bagi penguasanya. Penerapan cultuurstelsel terkendala dengan ketersediaan pegawai administrasi karena sedikit orang Belanda yang mau jauh-jauh bekerja di Jawa yang kondisi lingkungan dan budayanya masih sedikit diketahui pada saat itu. Selain itu, pemerintah kolonial juga telah belajar dari pengalaman bahwa pemaksaan ide asing terhadap suatu negeri seringkali menimbulkan gesekan dengan penduduk pribumi. Kepercayaan, adat istiadat, dan tradisi kaum pribumi akhirnya dibiarkan berkembang menurut kemampuan mereka. Dengan kata lain, orang-orang pribumi itu tidak bisa diperintah langsung oleh orang kulit putih dan sebagai gantinya pemerintah kolonial memasukan bupati ke dalam jajaran birokrasi sipil pemerintahan kolonial. Sebagai abdi pemerintah kolonial, mereka ditempatkan sebagai kepala pemerintahan penduduk Jawa dan dikerahkan untuk mengawasi penanaman, panen, dan pengangkutannya. Sebagai imbalannya, bupati menerima tunjangan gaji dari pemerintah. Mereka juga diperkenankan membuat simbol-simbol kebesaran. Pemerintah kolonial hanya membutuhkan sejumlah kecil pegawai Belanda untuk mengawasi kelancaran seluruh sistem (Lombard, 2018: 88). Berbeda dengan bupati di masa sekarang yang ditentukan oleh pemilihan umum, pada masa kolonial jabatan bupati ditentukan berdasarkan garis keturunan. Dapat disimpulkan bahwa bupati merupakan bentuk kelanjutan tradisi feodalisme Jawa yang kemudian dirangkul ke dalam sistem kolonialisme modern. Seperti yang diakui sarjana seni asal Amerikaa John C. Van Dycke, pemerintahan Belanda sukses membuktikan diri sebagai pemerintah kolonial paling berhasil di era modern dan pemerintah kolonial Inggris dan Amerika perlu belajar dari mereka (Rush, 2013: 212). Seiring dengan penghapusan Kabupaten Kutoarjo pada 1 Januari 1934 dan dilebur dengan Kabupaten Purworejo, maka Kutoarjo turun status menjadi ibukota kawedanan saja (Linck, 1935: 1). Meskipun jabatan bupati Kutoarjo sudah tidak ada lagi, bangunan kabupaten Kutoarjo masih berperan sebagai tempat tinggal pemimpin daerah meskipun hanya setingkat wedana. Oleh karena itu bangunan Kabupaten Kutoarjo lebih dikenal sebagai kawedanan.
Masjid Agung Kutoarjo pada tahun 1900an. Bandingkan dengan kondisinya sekarang.
Kantor Pengadilan Agama dan penghulu.
Seperti lazimnya kota-kota tradisional di Jawa, di sebelah barat alun-alun terdapat masjid. Masjid itu dibangun pada tahun 1860 oleh bupati R.A.A. Pringgoatmodjo. Lima belas tahun kemudian, oleh putra R.A.A. Pringgoatmodjo, R.A.A. Poerboatmodjo, masjid itu dipugar. Sayangnya bentuk masjid yang sekarang sudah tidak asli lagi. Atap masjid yang seharusnya berupa atap tumpang kini sudah menjelma menjadi atap kubah. Di dekat halaman pintu masuk masjid, terdapat bangunan lama yang dulu diperuntukan sebagai kantor pengadilan agama dan penghulu.
Rumah dengan tulisan 1918 di bagian depan.
Pendopo Kecamatan Kutoarjo, bekas rumah kediaman wedana.
Kutoarjo sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi di masa lampau memiliki beragam remah sejarah lainnya. Misalnya bangunan kediaman wedana Kutoarjo yang kini menjadi kantor Kecamatan Kutoarjo. Wedana atau districthoofd bertugas sebagai bawahan dari pegawai pemerintahan bupati. Sebagaimana bupati, wedana merupakan pembesar pribumi yang diangkat sebagai pegawai pemerintah jajahan dan diberi gaji. Hal ini mengakibatkan mereka tunduk pada ketentuan atasan yang tak lain adalah pemerintah kolonial Belanda seperti yang dijabarkan Djoko Soekiman dalam buku karangannya, “Kebudayaan Indis”. Mereka, kaum priyayi seperti wedana, disediakan rumah tinggal yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial. Walau ditentukan oleh pemerintah kolonial, namun bukan berarti pembangunannya sama sekali tidak melibatkan pekerja lokal (pribumi). Pemerintah kolonial membekali para pekerja lokal dengan ilmu seni bangun dari Barat. Selama pembangunan rumah-rumah pegawai kolonial seperti bupati, patih, residen, dan kontroleur, mereka diawasi insinyur dari Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) (Djoko Soekiman, 2014 ;160). Bangunan rumah wedana Kutoarjo sendiri dibangun tahun 1895 dengan biaya sebesar 4551 gulden. Kayu-kayu untuk bangunan pendoponya terbuat dari kayu jati yang ditebang dari hutan milik pemerintah (B.O.W, 1897; 38).
Saluran air Sudagaran/Kali Anyar, saluran air peninggalan Pangeran Poerboatmodjo.
Pintu air Selis Kutoarjo setelah selesai dibangun (sumber : De Ingeneur).
Sebuah kanal kecil mengalir di sepanjang sisi utara kota. Masyarakat setempat menyebutnya Kali Anyar. Saluran Kali Anyar merupakan bagian dari saluran air Sudagaran yang sudah ada terlebih dahulu. Mulai dibuat pada abad ke-19, saluran Sudagaran awalnya dibuat kepentingan irigasi sawah-sawah yang ada di wilayah selatan Kutoarjo. Mulut saluran tersebut berada di Semawung yang terletak di selatan Kutoarjo. Sebelum Kali Anyar dibangun, banjir yang disebabkan oleh meluapnya Kali Jali senantiasa menerjang Kutoarjo. Puncaknya terjadi pada 23 Februari 1861 ketika banjir besar setinggi 4,5 meter menggenangi Kutoarjo. Beberapa tempat tertimbun sedimen banjir setinggi satu meter. Untuk mencegah banjir, maka dibuatlah pintu bendung di mulut saluran sehingga saluran Sudagaran memiliki fungsi ganda sebagai saluran irigasi dan drainase banjir. Konsep sistem irigasi ganda tersebut ternyata menimbulkan konflik wilayah hulu dan hilir saluran. Saat pintu bendungan ditutup, maka wilyah di hulu di utara pintu mengalami banjir. Sebaliknya, apabila saluran air dibuka, maka wilayah hilir di selatan pintu yang dekat dengan saluran akan mengalami kebanjiran karena minimnya sarana drainasenya di sana. Keberatan dari penduduk di wilayah selatan dijawab dengan pembuatan pintu air baru pada 1878. Namun pembangunan tersebut menuai protes dari penduduk Kutoarjo karena dikhawatirkan aliran air banjir yang tertutup pintu akan menambah debit air banjir di wilayah tersebut. Konflik kepentingan tersebut akhirnya menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah karena biaya perawatan yang tinggi tidak diikuti dengan manfaatnya sebagai saluran air seperti yang dikehendaki.
Pintu Air Kali Anyar yang dikenal sebagai selis.
Saluran Kali Anyar adalah salah satu tinggalan yang dibuat oleh bupati Kutoarjo, Pangeran Poerboatmodjo. Beliau menjabat sebagai bupati Kutoarjo sejak 19 Oktober 1870 dan saat diangkat sebagai bupati usianya masih sangat belia, yakni 21 tahun. Beliau termasuk sosok yang sangat terpelajar. Pemanfaatan sumber daya alam, konservasi lingkungan, dan tata guna air adalah bidang ilmu yang ia pelajari, ilmu yang terbilang langka dipelajari oleh orang pribumi kala itu, sehingga boleh dibilang jika beliau adalah enviromentalis Indonesia pertama. Sebelum menjabat sebagai bupati, beliau bertugas di Dinas Topografi Karesidenan Bagelen dan mantri pengairan Bendungan Boro. Bersama residen Bagelen, beliau melawat ke Kalkuta, India untuk menimba ilmu pengairan dan irigasi dari para insinyur pengairan Inggris yang berhasil membendung sungai Gangga. Memahami bahwa sistem tata kelola air di daerahnya tidak bekerja sesuai rencana, maka Pangeran Poerboatmojo bersama B.O.W (Burgerlijke Openbare Werken), jawatan pemerintah kolonial yang bertanggung jawab dalam proyek pembuatan saluran air, memutuskan untuk melakukan pembenahan sistem tata kelola air di Kutoarjo. Ketika merencanakan proyek pembenahan saluran tersebut, B.O.W berupaya menampung semua masukan dari pihak yang tinggal di hulu maupun di hilir. B.O.W kemudian melakukan proyek penggalian saluran di pinggiran utara Kutoarjo. Di pertemuan saluran air dengan Sungai Jali, akan dibangun pintu air dengan material yang lebih kuat. Selain itu, B.O.W juga akan memisah saluran menjadi dua antara saluran drainase banjir dengan saluran banjir, sehingga di atas saluran banjir, terdapat akuaduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Dengan demikian, sistem saluran Sudagaran diharapkan dapat menyediakan air lebih banyak di sepanjang musim kemarau dan menyalurkan kelebihan air selama musim hujan. Proses penggalian saluran dimulai pada akhir tahun 1897 dan bagian pintu air dibangun selama musim kemarau tahun 1898 dan 1899. Sepanjang proses pembuatan pintu air, bagian pondasi dijaga tetap kering dengan pompa bertenaga manual. Material pondasinya terbuat dari batu gunung yang diambil dari bukit-bukit di sekitar proyek. Sementara bagian dinding terbuat dari beton yang dilapisi dengan batu alam yang diprofilkan. Pintu saluran terbuat dari besi yang dibuat oleh depo kereta api S.S. di Purworejo. Saluran air baru tersebut juga dilengkapi dengan jalan inspeksi, jembatan dan tangga yang dapat digunakan penduduk sekitar untuk mandi di saluran. Dengan dimensinya yang besar, banyak memotong lahan sawah serta saluran irigasi yang rumit, maka proyek senilai 96.940 gulden tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi B.O.W, terutama insinyur Grinwis Plaat yang merancang saluran tersebut. Hari ini, saluran air yang dibangun B.O.W  pada 1897 tersebut dikenal sebagai Kali Anyar.
Pangeran Poerbo Atmodjo
Upaya penangan banjir di Kutoarjo tak hanya berhenti sampai di situ, Pangeran Poerboatmojo juga turut menghijaukan kembali tanah perbukitan di sebelah utara Kutoarjo. Wilayah pantai selatan Kutoarjo juga turut dihijaukan dengan menanam pohon Nyamplung sehingga pantai menjadi teduh dan tidak tergerus angin (De Locomotief, 18 Oktober 1928). Pada 22 Juli 1912, sejumlah pegiat konservasi alam di Hindia-Belanda membentuk perkumpulan Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming. Tujuan utama perkumpulan tersebut adalah untuk meningkatkan upaya perlindungan alam Hindia-Belanda yang karena memiliki nilai ilmiah atau keindahan khusus perlu dilindungi di tempat asalnya dengan menetapkannya sebagai cagar alam. Dari sekian anggota awal perkumpulan, Pangeran Poerboatmodjo menjadi satu-satunya anggota yang berasal dari golongan pribumi (Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Oktober 1913). Atas pengabdiannya di bidang lingkungan, Pangeran Poerboatmodjo mendapat banyak penghargaan dari kerajaan Belanda seperti Ridderkruis der Orde van den Nederlandschen Leeuw,Officiers-kruis der Oranje Nassau-order. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masyarakat Kutoarjo berterima kasih kepada Pangeran Poerboatmodjo karena berkat jasanya, Kutoarjo terbebas dari banjir besar. Pemerintahan Pangeran Poerboatmodjo berjalan selama 45 tahun lamanya, menjadikannya sebagai bupati Kutoarjo terlama yang menjabat. Pada 2 Desember 1915, Pangeran Poerboatmodjo mengundurkan diri dari jabatan bupati dan digantikan oleh putranya, Raden Adipati Ario Poerbohadikoesoemo. Pangeran Poerboatmodjo meninggal pada tahun 1928.
Klinik Mardioesodo, sarana kesehatan masyarakat Kutoarjo tempo dulu.
Bupati terakhir Kutoarjo, R.A.A. Poerbohadikosoemo dan istrinya. (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Menghadap ke Kali Anyar, bangunan Puskesmas Kutoarjo menempati sebuah gedung tua yang bagian depannya terpampang tulisan "Mardioesodo". Gedung tersebut merupakan jejak dari bupati terakhir Kutoarjo, Raden Adipati Ario Poerbohadikoesoemo. Sebelum diangkat menjadi bupati pada 1915, beliau mengawali karinya sebagai mandor di perusahaan kereta api milik pemerintah, Staatspoor, pada usia 25 tahun. Beberapa tahun kemudian, beliau bergabung dengan korps birokrat sipil kolonial Binennlandsch Bestuur dan ditempatkan pertama kali di Distrik Pituruh dengan status magang. Kemudian beliau diangkat sebagai juru tulis oleh wedana Loano dan dipromosikan sebagai asisten wedana di Watumalang, lalu juru tulis bupati Purworejo, dan terakhir sebagai patih di Wonosobo. Sepanjang menjabat sebagai bupati Kutoarjo, Poerbohadikoesomo berupaya memajukan pertanian, peternakan dan industri tenun di Kutoarjo. Atas jasa-jasanya, Raden Tumenggung Poerbohadikoesoemo diberikan gelar adipati oleh pemerintah kolonial pada tahun 1926. R.A.A. Poerbahadikoesoemo meninggal pada 1 April 1933 pada usia 73 tahun. Permakamannya dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting untuk memberikan penghormatan terakhir seperti A.H. Neys, Gubernur Midden Java, Residen Kedu, Asisten Residen Puworejo, anggota Landraad, Bupati Kebumen, Magelang, Purworejo, Temanggung, Wonosobo, Batang, Demak, dan Nganjuk, perwakilan dari Pakualam, kepala perkebunan, pengusaha, ulama, dan kepala warga Tionghoa Kutoarjo (De Sumatra Post van Vrijdag 21 April 1933).
Pejagalan Hewan Kutoarjo.
Masih di sebelah utara Kutoarjo, di sana terdapat bangunan pejagalan hewan yang dibangun pada tahun 1929. Pejagalan tersebut didirikan oleh pemerintah kolonial untuk mempermudah pemeriksaan hasil penyembelihan. Di masa lalu, dimana ilmu kesehatan hewan masih belum berkembang pesat seperti sekarang, hewan-hewan yang sering dikonsumsi seperti sapi, kerbau, kambing, dan babi rentan terkena penyakit. Pemikiran orang saat itu adalah jika penyembelihan hewan dilakukan pada sembarang tempat, tentu orang tidak akan tahu apakah hewan yang disembelih itu sehat dan dagingnya layak dikonsumsi, sehingga penyakit hewan seperti anthrax dapat menular ke tubuh manusia. Untuk mencegah hal yang tidak-tidak, pemerintah kolonial mendirikan tempat khusus pejagalan hewan. Pejagalan ini diatur sedemikian rupa. Ada tempat untuk pemeriksaan hewan, tempat pengulitan, tempat membersihkan jeroan, tempat pembuangan bagian hewan yang tidak dikonsumsi, dan kantor untuk pengurus pejagalan. Tempat penyembelihan untuk hewan babi yang haram dikonsumi oleh umat Islam juga dipisahkan dari tempat penyembelihan lain. Letak pejagalan tersebut sengaja ditaruh tidak jauh dari saluran air agar mudah membersihkan isi perut hewan, membuang bagian yang tidak diperlukan seperti darah dan tempat para juru jagal membersihkan diri. Pada masa kolonial, pejagalan Kutoarjo sebenarnya termasuk pejagalan yang sudah ketinggalan zaman karena di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Malang, pejagalan hewan sudah dibangun dengan taraf lebih baik dan dilengkapi kamar pendingin atau freezer, laboratorium, penggunaan besi anti karat untuk penggantung, dan tersedia tempat khusus untuk mencuci perut hewan dengan air hangat yang mengalir, bukan dari saluran air kotor (Treffers, 1935: 8).
Bangunan bergaya Victorian yang saat ini menjadi Hotel Kencana.


Bagian dalam hotel.


Jalan Pangeran Diponegoro adalah jalan utama yang melintas di tengah kota Kutoarjo. Ia menghubungkan Kutoarjo dengan Purworejo di timur dan Kebumen di barat. Di sepanjang jalan itu masih berdiri beberapa bangunan kuno bekas seperti Hotel Kencana. Sayangnya penjaga hotel tidak mengetahui terlalu banyak sejarah hotel tersebut sehingga belum diketahui siapa pendiri dan kapan dibangunnya bangunan tersebut. Hal yang cukup menarik perhatian dari hotel ini adalah bagian dinding dalamnya dilapisi dengan keramik-keramik bermotif. Bangunan ini juga menggunakan banyak kaca patri bermotif gaya Art Nouveau sebagai hiasan jendela dan ambang pintu. Tidak ketinggalan tegel bermotif sesuluran mengalasi lantai bangunan ini.
Bekas kediaman asssitent resident/controleur Kutoarjo. Perbedaan rumah pejabat Belanda dengan pribumi adalah tiadanya pendopo di bagian depan rumah pejabat Belanda. Sebagai ganti pendopo adalah sebuah beranda di bagian depan.
Dengan masuknya pengaruh kolonial, maka kota tradisional Kutoarjo juga diselingi dengan sejumlah hunian pegawai Eropa yang berdiri menyusup pada tata kota yang sudah ada seperti remah sejarah berupa bangunan tua bekas rumah dinas asssitent resident/controleur KutoarjoPada masa kolonial, pemerintahan sipil dijalankan oleh Binnelandsch Bestuur yang membagi dua susunan pegawai. Pertama adalah Inlandsch Bestuur yang pegawainya diangkat dari elit pribumi setempat dengan bupati sebagai kepalanya. Kemudian yang kedua adalah Europesche Bestuur yang pegawainya terdiri dari orang-orang Belanda yang sudah menerima pendidikan birokrasi dan hukum. Dalam susunan birokrasi sipil Binnelandsch Bestuur, jabatan assitent resident berada di bagian Europesche Bestuur dan kedudukannya setingkat di bawah residen. Ia dipasangkan dengan bupati sebagai penasihat (Cribb dan Kahin, 2012 ; 67-68). Secara sekilas, bangunan rumah Controleur Kutoarjo bergaya arsitektur perpaduan Jawa dan Eropa atau sering disebut arsitektur Indis. Ciri arsitektur Indis bisa dilihat dari atapnya yang berbentuk atap kampung yang lebar seperti rumah-rumah Jawa, jendelanya tinggi besar dan ada beranda di bagian depan. Ukurannya yang besar seakan menunjukan keangkuhan penguasa kolonial di hadapan bangsa pribumi walaupun sesungguhnya tujuan rumah itu dibangun dalam ukuran sebesar itu supaya ruangan di dalam tidak terasa panas. Kendati demikian, mereka setidaknya masih memiliki rasa hormat pada bupati dengan tidak membangun rumah memunggungi kediaman bupati. Apabila rumah bupati dibangun menghadap ke selatan, mereka (orang Belanda) membangun rumah menghadap ke utara. John C. van Dyke menyebutkan kepercayaan, adat istiadat, dan tradisi kaum pribumi masih dihormati oleh penjajah karena tujuan penjajahan Belanda di sini bukanlah untuk mengubah kebudayaan, melainkan “hanya untuk menguras sumber daya alamnya” (Rush, 2013; 8). Pada awalnya, pemerintah kolonial memberi anggaran yang sangat sedikit untuk pembangunan rumah dinas asssitent resident. Dengan anggaran yang sedikit tersebut tentu tidak dapat terwujud sebuah rumah yang sepadan dengan gaya hidup para penguasa kolonial. Maka dari itu beberapa asssitent resident menyalahgunakan kekuasaanya dengan memaksa penduduk lokal untuk menyetor kayu yanga akan dipakai sebagai bahan bangunan tanpa diberi imbalan. Sementara uang dari pemerintah digunakan untuk membeli bahan bangunan dari Eropa. Kesewenangan para asssitent resident tersebut berakhir dengan dikeluarkannya Gouvernement Besluit 11 Januari 1854 yang mengatur ketentuan bahwa kebutuhan rumah tinggal asssitent resident akan disediakan langsung oleh pemerintah. Bangunan asssitent resident Kutoarjo yang sekarang merupakan hasil pendirian tahun 1895 dengan biaya pembangunan sebesar 15.277 gulden (B.O.W, 1897; 38). Seiring dengan dihapusnya Karesidenan Bagelen, maka rumah ini "turun" status menjadi rumah tinggal controleur, pegawai kolonial di bawah asisten residen.
Stasiun Kutoarjo pada masa sekarang. Sebelum dirombak banguann Stasiun Kutoarjo mirip sekali dengan Stasiun Purworejo.
Rumah-rumah tua di sekitar Stasiun Kutoarjo. Rumah-rumah ini dahulu dihuni oleh para pegawai Stasiun Kutoarjo.
Dari Jalan Pangeran Diponegoro, saya beringsut ke Stasiun Kutoarjo. Stasiun yang bangunan aslinya telah beralih rupa itu dibuka beriringan dengan pembukaan jalur kereta yang menghubungkan Yogyakarta-Cilacap pada 1887. Di sekitar stasiun masih terjumpai beberapa rumah tua yang dulu ditempati pegawai stasiun. Dibanding Stasiun Purworejo, Stasiun Kutoarjo jauh lebih ramai dan tak pernah tidur karena ia dilalui oleh jalur kereta dari Jakarta-Yogyakarta sehingga banyak kereta yang lewat Kutoarjo. Berbeda dengan Stasiun Purworejo yang terletak di ujung sehingga tidak semua kereta berhenti di Purworejo.
Para perempuan yang bekerja sebagai pemintal benang di sebuah pabrik benang di Kutoarjo. Dibandingkan Purworejo, perekonomian Kutoarjo jauh lebih maju. ( sumber ; media-kitlv.nl ).
Seorang perwira Belanda dan Indonesia yang sedang mengamati parade para prajurit TNI di sepanjang jalan yang kini menjadi Jalan M.T. Haryono. Di sebelah kiri tampak barisan rumah Tionhoa yang rusak. ( sumber : gahetna.nl )
Deretan bangunan berlanggam Tionghoa di sepanjang jalan M.T. Haryono.
Salah satu rumah lama di Kutoarjo yang memadukan budaya Tionghoa dan Eropa.
Kaki saya kemudian melangkah ke jalan M.T. Haryono, pecinannya Kutoarjo karena di sana masih banyak rumah-toko kuno bergaya Tionghoa Selatan. Kutoarjo, seperti arti namanya yang berarti "Kota yang Makmur" memang lebih semarak kehidupan perekonomian Kutoarjo dibanding Purworejo karena di sana tinggal pengrajin tenun dan barang pecah belah. Jika diibaratkan, Purworejo dan Kutoarjo mirip dengan kota Washington DC dan New York di Amerika Serikat dimana kota New York memiliki kehidupan perekonomian yang lebih ramai daripada ibukotanya, Washington DC. Roda perekonomian semakin bergeliat dengan dibangunnya jalur kereta Yogyakarta-Cilacap pada tahun 1887 oleh Staatspoorwegen, yang melewati Kutoarjo dan dibangun sebuah stasiun di sini (Anonim, 58). Konon komunitas Tionghoa di sini lebih lama eksis dibanding Purworejo. Mereka pun juga sangat aktif dalam dunia pendidikan golongan Tionghoa seperti usaha mereka dalam membangitkan kembali perkumpulan Hak Boe Tjong Hwee pada 1926 ( Liem, 1933;236 ).
Rumah besar milik Bapak Budi.
Pintu utama dengan ornamen yang menarik.
Bagian ruang depan.
Pintu dengan ornamen burung bangau.
Di salah satu sisi jalan itu, saya jatuh hati dengan sebuah rumah tua bergaya Tionghoa yang tampak berbeda dari yang lain. Berbeda dengan rumah lain yang nir hiasan, rumah itu begitu menawan dengan aneka hiasan seperti tiang dan teritisan yang berbalut sesuluran. Saya pun mencoba masuk ke dalam dan disambut baik oleh bapak Budi. Sebagaimana tampak luarnya, tampak dalam rumah itu juga masih terjaga baik. Saya pun menduga jika dulu mungkin rumah ini adalah tempat tinggal seorang kapitan Tionghoa. Dalam pengaturan masyarakat, pemerintah kolonial biasanya memberi gelar militer titular seperti mayor, letnan atau kapten pada seorang Tionghoa terpandang. Merekalah yang nantinya akan mengurus segala perkara yang menyangkut orang Tionghoa. Namun ada dugaan lain bahwa bangunan ini dipakai sebagai kantor untuk semacam perhimpunan Tionghoa di Kutoarjo. Bagi saya pribadi, rumah ini adalah salah satu remah sejarah Kutoarjo yang patut dijaga.


Makam Belanda Gunung Tugel.
Di lereng selatan perbukitan Gunung Tugel, terdapat gugusan permakaman Tionghoa dan Jawa. Selain makam orang Tionghoa dan Jawa, ada juga makam orang-orang Belanda. Kedudukannya ada di bagian paling ujung timur. Sebagaimana keberadaan makam-makam Belanda di Indonesia yang sudah terhanyut oleh gelombang zaman, makam Belanda di Gunung Tugel ini juga demikian nasibnya. Sekujur makam sudah tertutup oleh semak belukar dan kondisinya sudah hancur sehingga sulit untuk dikenali lagi siapa yang dimakamkan di situ. Sebongkah batu nisan atas nama I.F. Riesz yang tergeletak begitu saja di atas tanah menjadi satu-satunya petunjuk bahwa di tempat tersebut pernah menjadi area permakaman orang Belanda. Semasa hidupnya, I.F. Riesz dulunya menjabat sebagai administrateur atau manajer dari perkebunan nila yang dikelola oleh Nederlandsch Handel Maatschappij di Kutoarjo (De Locomotief, 29 Februari 1872). Selama era tanam baksa, salah satu jenis tanaman yang wajib ditanam oleh penduduk adalah nila. Komoditas nila digunakan untuk sumber pewarna pakaian. Di sekitar Kutoarjo terdapat tujuh pabrik pengolahan nila yakni di Kemiri, Djakrah, Kejawang, Klopogodo, Sedayu, Pucang, dan Bener. Pada tahun 1864, tanaman nila tidak lagi diwajibkan untuk ditanam penduduk. Sementara ketujuh pabrik nila yang ada di sekitar Kutoarjo akhirnya diambil alih oleh Nederlandsch Handel Maatschappij, perusahaan dagang yang tersohor dengan sebutan Kompeni Kecil karena perusahaan tersebut memiliki hak monopoli untuk membeli dan menjual hasil perkebunan. Untuk mengurus ketujuh pabrik itu, NHM menempatkan I.F. Riesz sebagai manajernya. Setelah Riesz meninggal, banyak pabrik nila tersebut yang gulung tikar karena nila tidak laku lagi di pasaran akibat adanya temuan pewarna sintetis yang harganya lebih murah.
Jembatan Kali Jali pada tahun 1930.

Jembatan Kali Jali pada masa sekarang.
Sebelum saya beranjak pergi dari Kutoarjo untuk kembali ke Purworejo, saya melewati remah sejarah terakhir. Remah terakhir itu adalah sebentang jembatan tua berbentuk busur yang masih tampak perkasa. Walau demikian, jembatan ini sudah pensiun sebagai jembatan penghubung utama karena kian ramai kendaraan yang melintas sehingga dikhawatirkan ia tidak sanggup memanggul beban.

Referensi :
Burgerlijke Openbare Werken. 1897. Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch Indie Over Het Jaar 1895. 'S Gravenhage ; Gebr. J. H. Van Langenhuysen.
Cribb, Robert dan Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok; Komunitas Bambu.

Treffers, Dr.W. 1935. "De Modernising Van Het Slachthuis voor Groot Vee en Geiten Te Cheribon" dalam Locale Techniek 4e Jaargang No.3 Mei 1935. Bandung.
Jhr. P.J. Boreel. 1901. "De Verbetering der Soedagaran Leiding" dalam De Ingeneur No. 35.
Linck, A.A.C. 1935. "Residentie Kedoe Bewogen Historie" dalam De Locomotief, Kedoe Nummer. 12 Agustus 1945.
Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya I : Batas-Batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Musadad. 2002. Arsitektur dan Fungsi Stasiun Kereta Api bagi Perkembangan Kota Purworejo Tahun 1901-1930. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Penadi, Radix . 2000. Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad ke XIX. Lembaga Study dan Pegembangan Sosial Budaya.
Pranoto, Agung. 2017. Kisah Tokoh Poerworedjo Djaman Doeloe : Pangeran Poerboatmodjo.
Rush. James. R. 2013. Jawa Tempo Doeloe ; 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985.  Depok : Komunitas Bambu.

Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Oktober 1913
De Locomotief, 18 Oktober 1928
De Sumatra Post van Vrijdag 21 April 1933