Sebuah
kapal besar melintas di atas gelombang laut Cilacap, satu-satunya pelabuhan di pantai selatan Jawa. Di sanalah ia hendak bersauh sebentar sebelum kembali berlayar ke bandar lain. Di ujung selatan kota bandar itu, terdapat sebuah
benteng kuno peninggalan Belanda yang dengan tenang menyaksikan pergantian hari
demi hari. Di masa kolonial, ia menyambut kapal-kapal yang hendak bertandang di
Cilacap, di masa Perang Dunia Kedua, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika bom-bom
pesawat Jepang menghujam Cilacap, hari ini, ia menjadi salah satu daya tarik
wisata di Cilacap. Benteng itu kini dikenal dengan nama Benteng Pendem Cilacap…
|
Gambar rancang Benteng Pendem Cilacap yang dibuat tahun 1874 (Sumber : nationaalarchief.nl) |
Membicarakan
sejarah Benteng Pendem Cilacap tidak akan lepas dari mulai pentingnya
Cilacap sebagai pelabuhan sejak zaman kolonial. Secara geografis,
Cilacap dibatasi oleh laut lepas Samudera Hindia di sisi timur dan di
sebelah barat terdapat muara Sungai Donan yang lebar. Sementara di
seberang selatannya terdapat Pulau Nusakambangan yang meredam
gelombang besar Samudera Hindia sehingga menawarkan tempat berlabuh
yang aman. Perairannya cukup dalam sehingga kapal dengan sarat air 7
meter dapat memasukinya. Dengan keunggulan tersebut, Cilacap menjadi
pelabuhan alami terbaik di seluruh Pulau Jawa. Sayangnya Cilacap
berada di luar jalur perniagan karena kebanyakan kapal memilih
berlayar lewat laut utara Jawa yang perairannya relatif lebih tenang
dibandingkan laut selatan Jawa (Departement of Public Work. 1920 : 33). Dalam kurun waktu yang
cukup panjang, Cilacap menjadi daerah pinggiran yang karena tidak
memiliki nilai strategis. |
Peta Cilacap pada tahun 1800an. Letak Benteng Pendem Cilacap ditandai dalam huruf "a" (sumber : nationaalarchief.nl) |
Setelah
Perang Jawa usai, wilayah Bagelen dan Banyumas berada dalam kendali
langsung pemerintah kolonial. Pada saat yang sama, pemerintah
kolonial menerapkan kebijakan tanam paksa yang mengharuskan penduduk
untuk menanam tanaman yang sudah ditentukan. Bagelen dan Banyumas
keduanya jauh dari pelabuhan dagang yang ada di pesisir utara
sehingga ada hambatan untuk menyalurkan hasil bumi seperti gula,
minyak kelapa, tapioka, dan kopra keluar negeri. Satu-satunya
tempat yang memungkinkan di pesisir selatan sebagai pelabuhan adalah
Cilacap dan
akhirnya Belanda melirik
Cilacap
meskipun belum ada upaya serius untuk mempersiapkannya. Setelah perlawanan dari dalam Pulau Jawa dapat diredam paska Perang Jawa, pemerintah Hindia-Belanda mulai memperhitungkan ancaman serangan dari luar negeri karena tidak menutup kemungkinan adanya serangan dari bangsa asing lain seperti yang terjadi pada invasi Inggris ke Jawa tahun 1811. Kolonel Van der Wijck kemudian menerima tugas untuk menyusun strategi pertahanan Pulau Jawa. Salah satunya dengan memperkuat titik-titik yang sekiranya rawan diserang dari luar dengan benteng-benteng baru seperti Fort Prins Frederik di
Batavia, Fort Prins Oranje di Semarang, dan Fort Prins Hendrik di
Surabaya. Belakangan
Van
der Wijck turut menyadari pentingnya sebuah pelabuhan darurat untuk
jalur keluar terakhir yang akan menjadi penghubung antara Jawa dengan dunia
luar seandainya pantai utara Jawa sudah ditaklukan musuh. Awalnya,
pelabuhan Merak di Banten dipilih untuk menjalankan peran tersebut.
Namun dengan pengamatan lebih matang, Van der Wicjk
menyadari jika Cilacap lebih
sesuai sebagai pelabuhan darurat karena musuh akan memanfaatkan Cilacap sebagai
tempat pendaratan pasukan jika perairan Cilacap dibiarkan terbuka. Cilacap yang dilindungi oleh Pulau
Nusakambangan dan berada di mulut Sungai Donan yang lebar dan tenang memang sangat ideal untuk tempat pendaratan (Kielstra, 1879: 26).
|
Blockhouse, tempat tentara dapat menembakan senanpannya dengan aman. |
Pada
tahun 1844, militer Belanda mengundang ahli strategi Mayjend. F. B.
Von Gagern untuk meninjau pertahanan pulau Jawa yang sudah dibuat.
Kedatangan Von Gagern semakin memperkuat keyakinan jika Cilacap perlu
memiliki benteng. Menurut Von Gagern, satu-satunya tempat di pantai
selatan Jawa yang memungkinkan untuk pendaratan musuh hanyalah
Cilacap karena letaknya berada di garis
belakang. Seluruh rangkaian pertahanan Pulau Jawa yang sudah dibuat
akan berakhir sia-sia karena musuh justru akan melancarkan serangan
dari garis belakang yang tidak terjaga dengan baik. Selain itu,
kondisi perairan sekitar Cilacap tidak memungkinkan untuk dilakukan
penghadangan sehingga Cilacap dapat digunakan sebagai pelabuhan pelarian
dan penghubung komunikasi antara Jawa dengan dunia luar. Von Gagern
juga melihat potensi Cilacap untuk dijadikan sebagai pelabuhan armada
angkatan laut Belanda karena pelabuhan Batavia dan Surabaya sudah
mulai mengalami pendangkalan dan pada saat yang sama Belanda juga
belum menyiapkan pelabuhan baru yang lebih dalam. Begitu
berartinya Cilacap dalam
strategi militer Belanda
sehingga pemerintah kolonial bertekad untuk mempertahankan pintu
belakangnya yang penting ini. Menuruti himbauan Von Gagern, maka Belanda terlebih dahulu menyiapkan sarana
pertahanan di gerbang masuk Cilacap antara tahun 1846 dan 1852
sebelum
infrastruktur pelabuhan dibangun
(Kielstra 1879: 34).
|
Pintu masuk benteng. Benteng Pendem dahulu dilengkapi dengan jembatan angkat.
|
Awalnya
kapal-kapal
musuh diperkirakan
akan datang dari dua arah, yakni lewat Segara Anakan atau menyusuri
perairan di selatan Pulau Nusakambangan. Pada
perkembangan berikutnya, perairan
Segara Anakan rupanya memiliki endapan lumpur yang besar sehingga
musuh
diperkirakan akan menghindari jalur dari barat. Belanda
akhirnya
lebih condong untuk menempatkan benteng di sisi timur Cilacap. Dua
benteng untuk
pos pengamatan dibangun
di Nusakambangan; Karangbolong
dan Banyunyapa. Jika
armada musuh terdeteksi mendekati perairan, pasukan yang berjaga di
benteng tersebut dapat memperingatkan pasukan di Cilacap untuk segera
bersiaga. Armada musuh yang berusaha memasuki Cilacap akan dihadang dengan tembakan meriam yang berada di kedua benteng tersebut. Dua
benteng di Nusakambangan tersebut
juga
memiliki peran untuk mencegah
musuh
yang
dapat memanfaatkan
pantai
Nusakambangan yang ada di seberang Cilacap sebagai tempat
melancarkan tembakan meriam (Van Brakell, 1863 : 271-275).
Meriam-meriam saat itu sudah memiliki daya jangkau tembakan hingga 3
kilometer sementara jarak terjauh antara pantai
Cilacap
dengan Pantai Nusakambangan hanya 2,5 kilometer.
|
Gambar potongan Benteng Pendem. Terlihat sebagian struktur dipendam di dalam tanah. |
|
Parit dan dinding Benteng Pendem. Di bagian dinding tampak celah yang dipakai sebagai lubang tembak. |
Jika
armada musuh berhasil menerobos
tembakan
meriam dari dua benteng di Nusakambangan, armada musuh akan berhadapan dengan baterai
artileri pantai yang ditempatkan di ujung selatan Cilacap. Baterai
artileri adalah kumpulan banyak satuan meriam yang disatukan menjadi satu unit untuk mempermudah komando.
Baterai
artileri pantai yang ditempatkan di ujung selatan Cilacap tersebut terancam lebih mudah
direbut jika tidak dilindungi dan artileri
yang sudah direbut dapat digunakan oleh musuh untuk menyerang. Oleh
karena itu “Kustbaterij op de Landtong” atau “Baterai
Pantai di Tanjung”, nama asli dari Benteng Pendem Cilacap. Tidak seperti benteng-benteng lain di Jawa yang dinamakan secara resmi menurut tokoh kerajaan atau militer Belanda, benteng-benteng di Cilacap tidak mengalami perlakuan serupa. Rencana pembangunan Benteng Pendem Cilacap
sejatinya sudah
dipersiapkan pada tahun 1848 namun karena biaya pembangunannya yang mahal maka pembangunannya tertunda dan
berjalan lambat. Benteng
tersebut baru selesai dibangun sekitar tahun 1878 (Veth, 1882 : 415).
Benteng
Pendem Cilacap
adalah puncak teknologi pertahanan yang pernah dibangun Belanda di
Indonesia. Sebagai sebuah baterai
pantai,
moncong-moncong
meriam benteng
diarahkan
ke laut dan
dengan
meriam berkaliber 25 cm, benteng ini siap meladeni musuh yang hendak
mencoba mendarat di Cilacap. Satu meriam pantai setara kekuatannya
dengan tiga meriam kapal perang. Kuatnya pertahanan ini tentu
bertalian dengan pentingnya Cilacap sebagai
satu-satunya penghubung Pulau
jawa
dengan dunia luar jika suatu saat terjadi hal buruk di Jawa. Benteng
Pendem Cilacap dirancang sedemikian rupa untuk membendung
gempuran
meriam karena armada musuh pasti akan menghancurkan baterai pantai
terlebih dahulu sebelum mendaratkan pasukan dengan aman. Letak
Benteng Pendem menjadi keuntungan bagi pihak bertahan karena ketiga
sisinya merupakan laut dan tidak dapat dijangkau kapal besar karena
perairannya dangkal. Pertahanan Benteng Pendem diutamakan
pada sisi darat di sebelah utara dan dijaga oleh 1000 personel (Van Brakell, 1863: 273).
|
Barak prajurit yang dibangun tahun 1871. |
Di kala Benteng Pendem Cilacap masih utuh, benteng ini tampak
memiliki bentuk segilima apabila dipandang dari udara. Sisi utara
benteng ini sekarang disisihkan untuk menjadi area tangki minyak
Pertamina. Bagian tengah Benteng Pendem Cilacap merupakan lapangan
terbuka dan dikelilingi oleh ruang-ruang yang meliputi ruang penjara,
ruang akomodasi, gudang senjata, gudang amunisi, dan klinik. Saat
pembangunan Benteng Pendem, teknologi artileri terbaru bernama
explosive shells sedang dikembangkan. Explosive shells adalah semacam
proyektil meriam yang meledak begitu proyektil mengenai target
sehingga dinding bata tebal langsung roboh akibat ledakan. Sebagai
tanggapan dari teknologi explosive shells, para insinyur zeni
menyempurnakan benteng pertahanan dengan menutupi ruang-ruang benteng
dengan timbunan tanah tebal yang lebih efektif meredam tembakan
explosive shells. Parit diperdalam dan sisi-sisinya tidak lagi landai
tapi tegak lurus. Benteng Pendem diperkuat lagi dengan blockhouse
atau rumah tembak prajurit.
|
Lapangan di tengah benteng. |
|
Untuk kebutuhan air, benteng pendem dilengkapi sumur yang berada di dalam tembok benteng, sehingga kebutuhan air bersih tetap ada walau benteng pendem dikepung. |
Benteng Pendem Cilacap diperkuat oleh 1000 personel serdadu yang
dibekali dengan senapan standar infanteri buatan Belgia-Belanda karya
Edouard de Beaumont tahun 1871. Para prajurit benteng tinggal di
barak berupa 14 kamar tidur yang berderet memanjang. Pada salah satu
kamar, tertoreh sengkalan “1871”, tahun barak itu dibangun. Para
prajurit KNIL yang dulu bermarkas di sini mendapat fasilitas yang
berbeda. Untuk prajurit Eropa, mereka mendapat selimut katun tebal.
Sementara prajurit bumiputra diberi sarung yang diberi cap khusus
agar tidak tertukar (Rocher dan Santosa, 2016;14). Agar tidak terjadi
pemberontakan dari tentara bumiputra, kamar kompi serdadu Eropa
dibuat terpisah namun dalam jarak yang dekat.
Setelah Cilacap terhubung dengan jalur kereta pada tahun 1888, adanya kereta api memungkinkan tentara beserta artileri dapat dibawa dari tempat lain dalam waktu yang singkat sehingga tidak diperlukan lagi kedudukan permanen di Cilacap. Benteng Pendem Cilacap diakui bukan tempat yang sehat karena letak benteng yang berada di pesisir yang lembab menjadi kerajaan nyamuk-nyamuk Anopheles. Wabah malaria akhirnya merebak dan menjangkiti prajurit di dalam benteng. “Bukankah lebih baik kita menjadikan wabah tersebut sebagai sekutu kita ? Lebih baik biarkan benteng tersebut jatuh ke tangan musuh dan biarkan mereka tinggal di sana selama mungkin”, demikian tulisan dalam De Locomotief 18 Desember 1884. Siapa sangka jika pada akhirnya benteng tersebut ditaklukan bukan oleh armada musuh berkekuatan besar melainkan oleh serangga kecil bernama nyamuk. Militer Belanda lantas mengosongkan benteng maut tersebut dan memindahkan para tentara ke garnisun lain yang lebih sehat.
|
Ilustrasi bentuk meriam yang dahulu dipakai di Benteng Pendem Cilacap. Meriam yang dipakai adalah jenis fixed gun yang berat untuk dipakai dalam pertempuran mobile namun memiliki daya hantam yang kuat dan jarak tembak yang lebih jauh. (sumber : Osprey's American Civil War Fort ). |
Pada
tahun 1892, militer Belanda mengeluarkan strategi pertahanan terbaru
dengan
meningkatkan kekuatan dan mobilitas
tentara dan armada angkatan laut. Bangunan
benteng tidak lagi menjadi tumpuan utama pertahanan karena biaya
pemeliharaan dan pembangunannya sangat tinggi. Militer Belanda lebih
mengutamakan untuk mengembangkan garnisun dan pangkalan angkatan laut
(Mantel, 1930: 9). Meskipun
demikian Cilacap masih memiliki kedudukan yang
penting
sebagai pangkalan angkatan laut di Jawa Tengah karena pelabuhan
Cilacap
lebih
terlindung sehingga
kapal dapat bersandar
lebih
aman
dibandingkan Semarang yang terlalu terbuka dan ditambah Cilacap juga memiliki jalur kereta yang tersambung dengan jalur
kereta Staatspoorwegen yang sudah menghubungkan Jawa Barat dan Jawa
Timur sehingga untuk memastikan hubungan perkeretapian tidak
terganggu maka Cilacap tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Kendati
tidak menjadi pangkalan armada yang utama, Cilacap tetap menjadi
pangkalan armada yang berharga. Oleh karena itu, sarana pertahanan
yang sudah ada di Cilacap seperti Benteng Pendem
diperbarui pada
tahun 1913 dengan
teknologi pertahanan mutakhir berupa meriam turret yang dilindungi
oleh beton yang lebih kuat ketimbang bata (Van Gijn, 1913: 76-77).
|
Bekas tempat meriam yang ditambahkan pada tahun 1913. |
Saat terjadi Perang Dunia
Kedua, Cilacap menjadi pangkalan armada yang sangat penting letaknya
berada di pantai selatan yang jauh dari jangkauan armada Jepang dan
Cilacap dilengkapi sarana pengisian bahan bakar minyak dan batubara.
Pada Desember 1941, Belanda memindahkan sarana galangan kering
mengapung ke Cilacap. Sejumlah kapal perang Sekutu singgah di Cilacap
untuk mengisi bahan bakar dan memperbaiki kapal yang rusak. Benteng
Pendem sempat berjumpa dengan kapal perang berbendera Amerika
Serikat, USS Langley, kapal induk pertama yang dioperasikan oleh
Amerika Serikat. Perjumpaan tersebut adalah perjumpaan terakhir
karena kapal tersebut tenggelam di laut selatan Cilacap pada 27
Februari 1942. Perang semakin sengit sehingga Batalion Pantai dan
Pertahanan Udara 6 di bawah komando brigade Cilacap ditempatkan di
Benteng Pendem untuk mempertahankan Cilacap. Militer Belanda yang
bergabung dengan Sekutu saat itu sudah begitu lemah. Cilacap yang
digadang-gadang sebagai pelabuhan darurat tidak pernah menerima bala
bantuan dari luar karena negeri Belanda sudah dikuasai Jerman.
Cilacap akhirnya menunggu takdir untuk jatuh. Pada 5 Maret 1942,
Jepang melancarkan serangan udara ke Cilacap. Bom-bom yang dijatuhkan
dari udara oleh pesawat Mitsubishi G3M jelas tidak bisa dilawan oleh
benteng yang sarana pertahanan udaranya kurang memadai.
Sejumlah kapal yang bersandar behasil dirusak. Walau sudah diperkuat
kembali, pada akhirnya benteng itu gagal melindungi kota Cilacap dari
serangan Jepang yang lebih mutakhir persenjataanya. Akhirnya pada 8
Maret 1942, Detasemen Sakaguchi yang bergerak dari Jawa Timur
berhasil menguasai Cilacap dengan mudah (Remmelink, 2018: 401)
Referensi
Departement of Public Works. 1920. Netherland East India Harbours. Singapore: C.A. Riberio & Co.
Junearto, Wendy Fansiya. 2014. Fungsi Benteng Peninggalan Belanda di Kabupaten Cilacap :
Pendekatan Lokasional, Yogyakarta; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada,
Skripsi.
Kielstra, E. B. 1879. De Grondslagen der Verdediging van Java.
Mantel, P. G. 1930. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Breda : De Koninklijke Militaire Academie.
Van Gijn.1913.Rapport van de Staatscommisie voor de Verdediging van Nederlandsch Indie. 'S-Gravenghage : Js. Bootsma Electrische Drukkerij.
Rocher, Jean dan Iwan Santosa. 2016. KNIL ; Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Perancis. Jakarta; Penerbit Kompas.
Remmelink, Willem (ed). 2018. The Operations of the Navy in the Dutch East Indies and the Bay of Bengal. Leiden : Leiden University Press.
Tim Penyusun. 2012. Forts in Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Van Brakell, Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Amsterdam : P.N. Van Kampen.
Veth, P. J. 1882. Java, geographisch, ethnologisch, en Historich. Haarlem : De Erven F. Boh.
De Locomotief 18 Desember 1884