Di Klenteng Hok Tek
Tong, Parakan, saya menemui The Han Thong, pengurus klenteng Hok Tek Tong yang
telah mengabdi selama lebih dari dua puluh tahun, dengan maksud untuk menggali
lebih jauh sejarah kehadiran komuntias Tionghoa di Parakan. Sembari menyesap
asap tembaku dari pipa hisapnya, pria berjanggut panjang itu mulai menuturkan
sejarah kedatangan orang Tionghoa ke Parakan.
|
Peta Parakan pada tahun 1907. Perhatikan persebaran lokasi pemukiman Tionghoa ( arsir hitam ) yang memanjang dari jalan utama Wonosobo-Temanggun dan Parakan-Weleri. Selain tinggal di sepanjang jalan utama, pemukiman Tionghoa juga dapat ditemukan pada jalan-jalan kecil. Selain itu, amati pula bahwa jalan utama Parakan-Temanggung masih berada di sebelah timur dari jalan sekarang, lewat sebuah jembatan yang berada di belakang Restoran Sari Ayam sekarang
( sumber : maps.library.leiden.edu). |
|
Bekas rumah controleur Parakan. |
“Cerita ini saya dapatkan dari orang tua zaman dahulu“ buka The Han Tong. “Setahu mereka, orang-orang Tionghoa di Parakan merupakan para pelarian dari
Jana, sebuah desa kecil di Purworejo ”, tuturnya. “ Kala itu, sekitar abad
ke-18, para pemukim Tionghoa yang merupakan pelarian dari peristiwa Geger
Pecinan di Batavia, memilih tinggal di sana karena jauh dari jangkauan kompeni.
Di sana mereka hidup sukses dengan menjadi petani, pengrajin kain tenun dan
benang, namun entah apa alasannya, muncul bandit-bandit yang kerap membuat
resah penduduk Tionghoa. Lama kelamaan, mereka tidak betah dan memilih pindah
ke sini. “, papar The Han Tong sambil menyuguhkan saya secangkir kopi
Temanggung yang baru saja diseduhnya. The Han Tong melanjutkan, dari Jana, mereka
membawa Toapekongnya melalui Bruno dan Wonosobo. Setiba di Kertek, mereka
berpisah jalur. Ada yang Magelang, ada pula menuju Parakan. “Kemudian di kala
Perang Jawa pecah, orang-orang Tionghoa dari Kedu, Banyumas, dan Semarang
berbondong-bondong mengungsi ke Parakan “, ujarnya. Ya, Parakan sepertinya
memberikan harapan dan perlindungan bagi para pelarian ini…
|
Peta Parakan pada tahun 1940. Perhatikan akses jalan utama Parakan-Temanggung yang sudah dipindah ke lokasi sekarang yang berada kira-kira tiga ratus meter dari jalan sebelumnya ( sumber : maps.texas.lib.edu ).
|
Kurang lebih seperti
itulah sejarah kehadiran komunitas Tionghoa di Parakan yang masih
remang-remang, seremang altar utama kelenteng Hok Tek Tong. Selain cerita turun
temurun dan makam tertua di Gunung Manden yang bersengkalan 1821, tiada data
lain mengenai hal tersebut. Selain berbagi cerita ikhwal sejarah Parakan, The Han Thong juga bertutur seputar tradisi Tionghoa yang mungkin sudah banyak dilupakan orang. Salah satu yang menarik perhatian saya ialah tradisi siu-pan, yakni memberikan hadiah peti mati kepada orang tua yang telah berusia lebih dari 60 tahun. Mungkin bagi orang zaman sekarang, tindakan tersebut bakal dipandang sebagai hal yang kurang ajar karena dianggap mengharapkan orang tua agar cepat mati. Namun sebenarnya, kata peti mati dalam bahasa Tionghoa juga berarti papan panjang umur. Sehingga pemberian peti mati ini sesungguhnya merupakan doa agar orang tua diberi umur panjang.
|
Suasana jalanan di Parakan dengan Gunung Sumbing di kejauhan. |
Sayapun kemudian beranjak sebentar ke halaman
kelenteng yang terletak tepat di pertigaan jalan itu. Letaknya yang menghadap pertigaan diyakini dapat menangkal energi jahat. Dari halaman kelenteng, terlihat panorama
Gunung Sindoro yang menjulang begitu agungnya. Gunung itu,
bersama Gunung Sumbing, menganugerahi Parakan dengan hamparan endapan tanah
vulkanis yang subur. Kesuburan itu memikat orang-orang untuk bermukim di situ.
Situs Liyangan menjadi bukti bahwa manusia telah mengolah tanah di situ sejak
berabad-abad silam. Para pendatang Tionghoa yang berdiam di Parakan juga
mendapatkan berkah dari tanah subur tersebut. Mereka tanami tanah tersebut
dengan tembakau dan daun-daun tembakau itulah, mereka mencapai kemakmurannya di
sini. Bukti kemakmuran mereka terlihat dari megahnya rumah-rumah mereka yang
tersembunyi di balik pagar tembok tinggi yang salah satunya hendak saya sambangi.
|
Klenteng Hok Tek Tong dilihat dari dalam. Terlihat shi zi atau sepasang singa batu yang terdapat di muka klenteng. Hewan singa bukanlah hewan asli Tiongkok dan tampaknya hewan ini mulai dikenal di Tiongkok setelah adanya hubungan dagang antara negeri Tiongkok dengan bangsa-bangsa di Asia Barat.
|
Dari luar, kelenteng itu
amatlah kecil. Sekalipun kecil, ia memiliki arti sejarah yang besar karena ia
merupakan kelenteng tertua di Karesidenan Kedu. Ia diperkirakan dibangun tahun
1830. Letaknya sengaja dipilih menghadap pertigaan karena penduduk Tionghoa percaya bahwa Dewa Bumi akan melindungi mereka dari marabahaya. Lalu pada tahun 1844, oleh letnan Tionghoa Parakan bernama Lie Tiauw Pik,
kelenteng itu dipermegah. Orang-orang lokal rupanya juga terlibat dalam
pembangunannya. Di masa penjajahan Jepang, aktivitas kelenteng ini sempat
tiarap. Akhirnya kelenteng ini dapat bangkit kembali setelah Jepang angkat kaki
(sumber
: http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2545-hikayat-berdirinya-kelenteng-hok-tek-tong-parakan).
Halaman kelenteng itu
amatlah luas, tanda bahwa aktivitas kelenteng amatlah ramai dan padat di masa silam. Menurut
Ardian Cangianto (2013), kelenteng tak sekedar sebagai tempat peribadatan
saja, namun ia juga merupakan pusat segala kegiatan sosial masyarakat Tionghoa,
mulai dari tempat pertemuan, tempat belajar, rumah jompo, panti asuhan, hingga
pos pertahanan. Namun seiring dengan kehidupan masyarakat Tionghoa yang
mendapat perlakuan negatif di masa Orde Baru, aktivitas tersebut kini mulai
berkurang dan hanya aktivitas beribadah saja yang tampak menonjol.
Saya selanjutnya diantar
oleh The Han Tong ke sebuah rumah tua yang masyarakat sekitar
menyebutnya sebagai Rumah Gambiran. Disebut demikian karena rumah itu adalah bekas kediaman seorang saudagar gambir bernama Siek Oen Soei. Muasal usaha gambir Siek Oen Soei dapat ditelusuri dari moyangnya bernama Siek Hwie Soe, yang merantau dari Tiongkok ke Parakan pada tahun 1821. Di Parakan, ia bekerja membantu Loe Tjiat Djie dalam usaha buah gambir yang pada masa itu digunakan sebagai pewarna pakaian.
Majikannya kemudian mengangkat Siek Hwie Soe sebagai menantu dan Loe Tjiat Djie mewariskan bisnis gambirnya kepada Siek Hwie Soe. Lama di tanah rantau membuat Siek Hwie Soe rindu dengan kampung halaman sehingga ia mudik ke Tiongkok pada 1840an. Saat Siek Hwie Soe kembali lagi ke Parakan dan mengajak anggota keluarga yang lain untuk merantau bersamanya. Berkat kepiawaiannya, usaha gambir
ini berjalan mulus. Keluarga Siek lalu mendirikan sebuah firma bernama “Hoo Tong
Kiem Kie” dan sayap usahanya merentang hingga ke Semarang. Nama “Hoo Tong“ sendiri merujuk pada nama kampung asal leluhur keluarga Siek di negeri Tiongkok. Siek Hwie Soe meninggal pada 1882 dan firma tersebut dipecah menjadi dua, yakni "Hoo Tong Seng Kie" di Semarang yang dipegang oleh putra Siek Hwie Soe bernama Siek Tjin Lion dan "Hoo Tong Kiem Kie" di Parakan yang dipegang oleh Siek Tiauw Kie, keponakan Siek Hwie Soe. Siek Tiauw Kie memiliki beberapa istri dan dikaruniai tiga anak, Siek Kiem Tan, Siek Oen Soei,
dan Siek Kiem Ing. Sepeninggal Siek Tiauw Kie yang meninggal saat kepulangannya dari Tiongkok pada tahun 1890an, bisnis keluarga diteruskan oleh Siek Oen Soei semakin tumbuh besar dengan
terjunnya mereka ke perdagangan beras dan tembakau. Siek Oen Soei meninggal pada tahun 1948 dan Rumah Gambiran diwariskan kepada putranya, Siek Bien Bie. Mengingat kacaunya keamanan daerah pada awal kemerdekaan, maka keluarga Siek banyak yang pindah ke Batavia.
Ketika berjumpa pertama
kali dengan rumah itu segera saja dibuat terkesima dengan pesona
keindahan rumah itu. Hampir setiap sudutnya begitu memanjakan setiap mata yang memandangnya. Beranjak naik ke teras depan, sukma rumah itu masih
terlihat hidup sekalipun ia tak dihuni lagi. Di beranda depan, terdapat sebuah
kursi santai, tempat dimana sang saudagar melepas lelah sambil menyesap
tembakau. Melangkah masuk ke dalam rumah, saya menjumpai sebuah partisi kayu yang tepat
menghadap ke arah pintu utama. Partisi itu berfungsi sebagai pembatas antara
ruang depan yang bersifat publik dengan ruang belakang yang berifat privat. Di
depan partisi itu, pastilah dulunya ada sebuah altar leluhur. Sayapun
membayangkan ada sedikit nuansa spiritual ketika di atas meja leluhur itu
mengepul asap hio low yang aroma
khasnya menyebar ke seisi ruangan. Kini, foto-foto atau pai dari keluarga yang telah tiada telah berganti dengan patung kecil dewa-dewi Buddha setelah pada tahun 2006, rumah itu dibeli oleh sebuah
yayasan Buddha. Rumah itu kemudian direstorasi dan menjadi sebuah wihara
tetirah (Knapp, 2010; 191-192). Di belakang partisi itu,
saya menjumpai kamar tidur anggota keluarga utama dengan perabot kunonya. Beranjak ke belakang,
terdapat sebuah beranda yang menghadap ke sebuah ruang terbuka. Terlihat sebuah
meja batu yang dulu dipakai sebagai tempat bermain mahjong. Di samping kanan
dan kiri bangunan utama, terdapat bangunan yang akan menginap pendamping yang dahulu ditempati oleh anggota keluarga yang sudah menikah namun belum memiliki tempat
tinggal sendiri sehingga dapat dibayangkan betapa ramainya rumah ini di masa lalu. Selain untuk anggota keluarga, kamar-kamar di samping ini kadangkala diperuntukkan untuk tamu karena pada masa itu penginapan atau hotel masih belum dikenal di Parakan. Dalam pandangan Tionghoa, perbuatan memberi tumpangan untuk menginap merupakan perbuatan mulia.
Menariknya, di belakang
rumah ini, saya menemukan sebuah bangunan yang tampilannya sama sekali berbeda
dengan rumah yang tadi saya masuki. Apabila rumah sebelumnya bercorak Tiongkok, maka bagian ini justru lebih bercorak Indis.
Ketika saya masuk ke dalam rumah itu, saya serasa memasuki rumah seorang
pembesar Belanda ketimbang rumah seorang saudagar Tionghoa. Tatanan bagian
dalam rumah itu persis dengan tatanan sebuah rumah Indis; sebuah koridor di
tengah yang diapit oleh dua kamar di samping kanan-kirinya serta memiliki beranda
depan dan belakang yang ditopang oleh tiang. Rumah ini menghadap ke selatan dan pemandangan Gunung Sumbing dapat teramati dari sini. Untuk melindungi privasi si empunya rumah, maka terdapat tembok penghalang di depan bangunan ini. Menurut Knapp, rumah Indis di sisi
selatan ini diperkirakan sudah ada lebih dulu sebelum dibangun rumah Tionghoa di sisi utaranya. Ia sengaja dibangun dalam gaya Indis yang notabene merupakan
gaya yang banyak dijumpai pada rumah-rumah pembesar Belanda di Jawa sebagai
usaha pemilik rumah mengikuti trend kalangan elit Belanda. Tatkala Siek Oen
Soei pergi ke negeri leluhurnya di Tiongkok, jatidirinya sebagai seorang
Tionghoa menguat kembali. Di Parakan, Siek Oen Soei mendirikan
rumah di belakang rumah moyangnya dengan langgam yang serupa dengan rumah-rumah di negeri leluhurnya (Knapp, 2010 ; 194).
|
Beranda belakang rumah Indis. |
|
Beranda depan rumah Indis. |
|
Bagian dalam rumah Indis milik Sie Oen Soei. |
Setelah puas mengagumi
pesona rumah tadi, saya selanjutnya diajak oleh The Han Tong melihat sebuah
rumah tua yang bersanding dengan Rumah Gambiran. Dinding pagar yang tinggi
mengelilingi rumah itu, sehingga privasi di dalamnya menjadi terlindungi.
Sebuah gerbang kayu menjadi pintu penghubung rumah itu dengan dunia luar. The
Han Thong mengetuk pintu itu. Tak menunggu lama, pintu itupun kemudian
dibukakan dari dalam oleh seorang pemuda yang mempersilahkan kami untuk masuk
ke dalam. Betapa asri dan hijaunya halaman depan rumah itu. Namun mata saya
menangkap sesuatu yang janggal di halaman itu. Di halaman itu, saya melihat sebuah
bekas alat latihan kebugaran yang tampaknya sudah berusia tua. Sayapun bertanya
ke The Han Tong, “Itu dulu punya siapa koh ? “. “Oh, itu punyanya Louw Djing
Tie“, jawab The Han Tong.
|
Rumah milik bapak Go Kiem Yong, tempat dimana Louw Djing Tie menumpang tinggal. |
Rumah itu aslinya milik
keluarga bapak Go Kiem Yong. Tidak semewah Rumah Gambiran memang, namun kondisinya
sama terawatnya dengan Rumah Gambiran. Di dalam rumah itu, terlihat para
karyawan yang sedang sibuk membuat kue bolu. Di dalamnya juga terlihat
foto-foto keluarga dan seperangkat alat beladiri. Lalu siapakah sebenarnya Louw
Djieng Tie yang disebutkan oleh The Han Tong tadi ?
|
Potrait Louw Djieng Tie yang terpasang di dalam rumah. Louw Djieng Tie memiliki peran cukup besar dalam memperkenalkan seni bela diri kungfu di Indonsia. Meski sudah menjadi master, namun beliau tetap rendah hati. |
Louw Djieng Tie, nama
itu amatlah melegenda dalam sejarah perkungfuan di Indonesia. Ia lahir tahun 1855
di kota Haiting, Provinsi Hokkian, Tiongkok. Ketertarikannya beliau pada seni
bela diri kungfu muncul tatkala ia diselamatkan dari kejaran seorang biksu
jahat bernama Thi Tjeng oleh seorang tukang masak tahu. Setelah berguru ilmu
kungfu cukup lama, Louw Djieng Tie mendirikan perguruan sendiri di kota Hok
Ciu, Provinsi Hok Kian. Alkisah, pada suatu hari Louw Djieng Tie nyaris
membunuh seorang lawan dari kawannya, Lie Wan pada sebuah seleksi guru kungfu
yang diadakan oleh pemerintah setempat. Untuk menghindari hukuman berat, Louw
Djieng Tie memutuskan meninggalkan negeri Tiongkok.
|
Alat-alat yang pernah dipakai oleh Louw Djieng Tie dan murid-muridnya. yang masih terawat dengan baik Benda ini merupakan salah satu artefak sejarah per-kungfu-an di Indonesia. |
Batavia merupakan tempat
persinggahan pertamanya di Hindia-Belanda. Sayang, nasibnya di sana kurang
mujur. Singkat cerita, setelah mengadu nasib ke sana kemari, oleh kawannya, ia
diajak pindah ke Ambarawa. Di sini, Louw Djing Tie secara sembunyi mendirikan sebuah
perguruan kungfu karena mempelajari ilmu beladiri dilarang oleh
pemerintah pada masa itu. Louw Djieng Tie rupanya orang yang ringan tangan
terhadap siapapun. Pernah pada suatu hari, Louw Djieng Tie berhasil melumpuhkan
belasan serdadu Belanda yang sedang mengobrak-abrik toko milik warga pribumi. Akhirnya Louw Djieng Tie
memutuskan pindah ke Parakan, menumpang di rumah milik keluarga bapak
Go Kiem Yong, dan menghabiskan sisa hidupnya di sini dengan mengajarkan bela diri dan menjual obat. Pada suatu hari, ada seorang guru kungfu setempat bernama The
Soei yang juga tak kalah mahir dalam ilmu kungfu. Mendengar ada seorang jago kungfu baru di Parakan, The Soei ingin mengajukan tantangan adu ilmu kungfu
kepada Louw Djieng Tie. Untuk menghindari cidera keduanya, maka senjata tajam
diganti dengan kuas cina. Pertandingan berjalan cukup sengit dan Louw Djieng
Tie berhasil mendesak lawannya. Namun untuk menjaga harga diri The Soei, Louw
Djieng Tie sengaja mengalah. Pertandingan dinyatakan imbang dan Louw Djieng Tie
kian dihormati. Di usia senja, Louw Djieng Tie memiliki banyak murid.
Perguruan yang diampu olehnya semakin besar. Meskipun demikian, Louw
Djieng Tie tidak pernah bosan melatih muridnya hingga ia meninggal pada tahun
1921. Berkatnya, ilmu kungfu menjadi semakin dikenal di Indonesia. Untuk
mengenangnya, kisah perjalanan hidupnya diabadikan dalam buku “Garuda Mas dari
Cabang Siaouw Liem” yang ditulis oleh tetangganya, Tjiu Khing Soei. (sumber :
https://kebudayaantionghoa.wordpress.com). Begitulah kisah dari Louw Djieng
Tie, seorang legenda kungfu yang sukses mengantarkan nama Parakan terkenal di
dunia persilatan Indonesia dan rumah milik Bapak Go Kim Yong inilah saksi
bisunya.
|
Rumah kuno yang masih kental unsur arsitektur Tionghia. |
|
Rumah beraya Tionghoa lain yang juga tak luput dari aksi Vandalisme. |
|
Rumah bergaya Tionghoa di jalan Brigjen. Katamaso. |
|
Rumah-rumah yang sudah mendapat sentuhan gaya Indis. |
Di
rumah itu, saya berpisah dengan The Han Tong untuk melanjutkan perburuan
bangunan tua di Parakan. Ada bangunan yang saya jumpai nuansa Tionghoanya masih
kental. Ada pula bangunan yang mulai terpengaruh oleh kebudayaan Indis. Selagi
masih di Parakan, saya sejenak mampir ke bangunan Stasiun Parakan yang ada di
sebelah timur Kelenteng Hok Tek Tong. Stasiun ini merupakan ujung dari jalur
kereta Secang-Parakan yang mulai dioperasikan oleh perusahaan kereta Nederlandsch-Indische
Spoorweg Maatschappij yang dibuka 1 Juli 1907. Seorang pemborong Tionghoa
lokal bernama Ho Tjong An ditunjuk menjadi kontraktor pembangunan jalur tersebut. Jalur
yang bermula dari Secang ini melintasi wilayah yang subur dan pusat perdagangan
yang makmur seperi Kranggan dan Temangggung. Di ujung jalur, terletak Parakan
yang menjadi kantong permukiman Tionghoa yang penting di Karesidenan Kedu. Selain penumpang, gerbong-gerbong
kereta saban harinya turut mengangkut komoditas utama dari wilayah ini, yakni tembakau
dan beras. Gerbong-gerbong tersebut membawa barang dari luar seperti
garam, minyak tanah, dan berbagai bahan pangan lain. Saat hari pasaran tiba,
gerbong kereta akan dipadati pembeli dan penjual yang membawa aneka barang dagangan.
|
Bangunan Stasiun Parakan pada masa sekarang, saksi bisu sejarah perkeretapian di Parakan yang mulai memudar pesonanya. |
|
Stasiun Parakan di masa kolonial (sumber : media-kitlv.nl). |
Sekalipun Stasiun Parakan adalah ujung dari jalur
Secang-Parakan namun bentuk bangunan Stasiun Parakan seperti bangunan stasiun
terusan sehingga jalur kereta tersebut seolah terputus di Parakan. Pembangunan
jalur Secang-Parakan ternyata hanyalah sebagian dari rencana pengembangan jalur
kereta yang menghubungkan sejumlah tempati di wilayah selatan dan utara pulau Jawa.
Usaha untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan dengan rangkaian pembangunan
jalur baru seperti Secang-Parakan yang merupakan cabang dari jalur
Magelang-Ambarawa. Sedianya, dari Parakan pembangunan jalur kereta akan diteruskan
menuju Wonosobo dan Weleri sehingga hubungan kereta antara wilayah Karesidenan
Banyumas, Kedu, serta Semarang menjadi lebih singkat (Rietsma, 1925: 10). Kelak, jika jalur
kereta tersebut jadi dibangun, Stasiun Parakan akan menjadi sebuah stasiun
percabangan yang ramai seperti halnya Stasiun Secang. Oleh karena itulah, sebagai
persiapan, Stasiun Parakan memiliki emplasemen yang sangat lebar. Sayangnya
rencana pembangunan tersebut menguap begitu saja karena Perang Dunia II.
Alih-alih menjadi stasiun yang ramai, Stasiun Parakan kini menjadi stasiun tak
bernyawa dengan sampah yang berserakan di samping bangunan. Ketika saya
mengintip ke bagian bekas peron yang terlihat kumuh, saya kembali teringat
dengan cerita The Han Tong di kelenteng. Ia sendiri mengalami masa ketika
kereta uap masih singgah di stasiun itu untuk menaik turunkan penumpang. “Dulu,
waktu saya kecil, para penumpang gelap yang kerap naik di atas atap kereta,
ditembak dengan senapan angin berpuluru kapur oleh kepala stasiun. Ya, memang
tidak begitu membahaykan, tapi tetap saja sakit rasanya ketika kena“,
kenangnya…
|
Bekas jembatan kereta yang melintang di atas Kali Galeh. Tak ada satupun yang berani menjamah rangka bajanya. |
Demikianlah tulisan saya
di Jejak Kolonial edisi Parakan ini. Sekalipun namanya sebagai pecinan memang tidak
semahsyur Lasem atau Semarang, yatanya Parakan masih menyimpan cukup banyak
warisan budaya Tionghoa dengan cerita-cerita menarik di dalamnya. Sebagai pusat
penyebaran agama Islam di sekitar Temanggung dan juga sekaligus sebagai kantong
permukiman Tionghoa yang cukup ramai di kaki gunung Sindoro, kehidupan sosial
di Parakan berlangsung harmonis dalam kurun waktu yang cukup panjang. Di
Parakan seolah tiada isitilah pribumi ataupun pendatang karena semuanya adalah
saudara…
Referensi
Cangianto, Ardian. 2013.
Menghayati Kelenteng sebagai Ekspresi Masyarakat Tionghoa dalam web.budaya-tionghoa.net.
Knapp, G.Ronald.
2010. Chinese Houes of South East Asia ; The Ecletic Architecture of
Sojournes & Settlers. Vermont : Tuttle Publishing.
Pratiwo. 2010. Arsitektur
Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Rietsma. 1925. Indische Spoorweg Politiek Deel VIII. Weltevreden : Landsdrukkerij.
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2545-hikayat-berdirinya-kelenteng-hok-tek-tong-parakan
https://kebudayaantionghoa.wordpress.com/2009/07/18/louw-djing-tie/
Menarik!
BalasHapusHEBAT !
BalasHapusdi jalan bambu runcing dan di gang2 sempit di antaranya juga banyak rumah yg menarik, mungkin kelak bisa ditambahkan disini pak...
makasih
menarik
BalasHapusMenakjubkan.
BalasHapusYang rumah gambir itu bisa dikunjungi umum nggak ya mas, atau harus minta ijin dulu
BalasHapusRumah gambir tidak bisa dikunjungi untuk umum.
HapusSejuk indah damai..
BalasHapusKalau boleh tahu peta-peta tersebut didapatkan dimana ya? Saya ada membutuhkan peta tersebut untuk penelitian saya, tetapi sudah saya coba cari di leiden tidak ketemu seperti peta yang anda unggah. Terima kasih
BalasHapusIni pernah jadi lokasi syutinh film apanya dong 1983 dengan pemain eyang titik puspa
BalasHapusmenarik bangettt...pengen ke Parakan, ahh..
BalasHapus