Kalender
hari itu menunjukan hari Senin, tanggal 17 Juni 1929. Susana tenang pagi itu
terpecah oleh deru iring-iringan kendaraan yang membawa rombongan pembesar
Kasultanan Yogyakarta beserta ambtenar kolonial Belanda yang berangkat
meninggalkan Yogyakarta dan menyusuri jalan ke arah Gamping, sebuah desa yang
dulu dikenal memiliki bukit kapur. Kemeriahan tampak di sepanjang jalan menuju
ke Gamping. Namun kemeriahan tersebut hanya dilewati begitu saja karena segala
kemeriahan itu bukanlah tujuan utama rombongan tadi. Kesemarakan sesungguhnya
ada di desa Klangon, dimana di sana terentang sebuah jembatan logam yang baru
saja selesai dibuat dan sedang menunggu untuk diresmikan. Inilah kisah tentang
jembatan yang tidak hanya sebagai penghubung dua wilayah semata, namun juga
bukti pencapaian ilmu dan terobosan teknologi rekayasa bangunan di masa silam dalam
mengatasi rintangan alam.
|
Foto lama Jembatan Gubernur Jasper atau kini dikenal sebagai jembatan Bantar (sumber ; KITLV) |
|
Kondisi saat ini Jembatan Bantar atau dulu bernama Gouverneur Jasperbrug. |
Sungai
Progo adalah sungai yang berhulu dari lereng Gunung Sundoro-Sumbing dan
bermuara di pesisir selatan Jawa. Sungai sepanjang 140 km itu juga menjadi
batas alami antara Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul dan Sleman. Sebelum
jembatan itu dibuka, belum ada sarana jembatan permanen di atas
Sungai Progo selain jembatan kereta milik Staatspoorwegen di Sentolo dan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij di Brosot. Gagasan untuk
membangun jembatan baru di atas Sungai Progo mulai terlintas sejak tahun 1912.
Residen Yogyakarta saat itu, Liefrink berencana untuk membangun
jembatan baru di dekat Sentolo karena ia merasa jika keberadaan Sungai Progo mengucilkan Kulon Progo dengan wilayah lain di timurnya. Untuk melintasi sungai, penduduk mengandalkan jasa rakit penyeberangan yang disediakan oleh masyarakat
setempat (Athoillah, 59; 2021). Saat Sungai Progo meluap di musim hujan, kegiatan penyeberangan lumpuh seketika. Hal ini akhirnya turut berpengaruh terhadap
ketahanan pangan lokal karena pasokan beras untuk masyarakat Kulon Progo sebagian besar
masih didatangkan dari wilayah timur. Faktor lain yang memicu gagasan pembangunan jembatan baru di Sungai
Progo ialah mulai banyaknya pengguna kendaraan mobil pribadi pada awal abad
ke-20.
|
Penampakan jembatan pada tahun 1930an. (Sumber : beeldbank.nimh.nl) |
Pemerintah kolonial memang sudah membenahi sejumlah jalan dan jembatan di Jawa untuk memperlancar arus lalu lintas kendaraan pribadi sehingga terbentuk
simpul perhubungan yang solid. Meskipun demikian, masih ada sejumlah simpul yang masih
terputus. Salah satunya adalah Purworejo dengan Yogyakarta.
Bila orang melakukan perjalanan kendaraan dari Jawa Barat ke Yogyakarta atau
sebaliknya, mereka biasanya akan menempuh lewat Magelang yang memutar
lebih jauh. Alternatif lainnya bagi pengguna mobil adalah dengan menggunakan jembatan N.I.S di
Srandakan, dimana mobil akan dipindahkan ke gerbong dan dibawa dari satu sisi sungai ke sisi lainnya (De Locomotief, 19 Agustus 1931). Hal ini tentu
merepotkan karena selain tidak praktis, pengguna juga harus mengeluarkan uang
untuk membayar jasa penyeberangan. Berpangkal dari berbagai masalah itu, Residen
Leifrink akhirnya menggagas sebuah ide untuk mendirikan jembatan baru yang
dapat membantu masyarakat melintasi Sungai Progo setiap saat tanpa mengeluarkan
biaya sehingga memperlancar hubungan antar kota di Jawa. |
Sebelum adanya jembatan, kegiatan penyeberangan sungai mengandalkan perahu tambatan. |
|
Jembatan kereta N.I.S di Brosot yang menjadi salah satu andalan penyebrangan Sungai Progo (sumber : KITLV). |
Sesudah
Residen Liefrink mencetuskan ide untuk membangun jembatan baru, dibuatlah
desain awal dan anggaran pembangunan yang diperkirakan mencapai 156.000 gulden. Anggaran itu rencananya akan didapatkan dari
pemerintah kolonial dan Kesultanan Yogyakarta. Tanggung jawab perencanaan
teknis pembangunan jembatan dipikul oleh Ir. Verhoog, kepala Departemen Pengelolaan
Air di Burgerlijek Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum). Ir. Verhoog secara
hati-hati menentukan
bentuk konstruksi seperti apa yang akan digunakan untuk jembatan di atas Sungai Progo itu menginat sejumlah jembatan menjadi korban derasnya arus Sungai Progo. Contoh pertama adalah jembatan kereta api
milik Staatspoorwegen yang sempat runtuh akibat tergerus aliran banjir
padahal jembatan tersebut baru saja selesai dibangun. Kejadian serupa juga menimpa jembatan yang
menghubungkan jalan Muntilan - Borobudur yang rusak diterjang banjir pada tahun 1905. Pada tahun 1915, dilakukan paparan rancangan awal jembatan di hadapan kepala
Burgerlijke Openbare Werken. Sesudah melalui berbagai revisi, rancangan final
jembatan akhirnya selesai pada tahun 1916 dengan biaya pembangunan sebesar
250.000 gulden. Biaya pembangunan setengahnya akan ditanggung oleh pemerintah
kolonial dan sisanya oleh Kesultanan Yogyakarta. Sayangnya pembangunan
jembatan tidak dapat dilaksanakan saat itu juga karena tingginya harga besi di pasaran sebagai dampak dari masih berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa (Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929).
|
Tiang baja tempat untuk menambatkan kabel utama. |
|
Kabel gantung. |
Rencana pembangunan
jembatan baru itu akhirnya kembali bergulir sesudah Perang Dunia I berakhir namun harga besi di pasaran sudah terlanjur meroket. Hal ini akhirnya mendorong untuk dilakukan perubahan total desain
jembatan. Perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah lalu lintas
kendaraan di Jawa. Perubahan rancangan menyebabkan biaya konstruksi membengkak menjadi 415.900 gulden, hampir dua kali lipat dari biaya semula. Hal ini rupanya memberatkan pihak Kesultanan karena terbatasnya anggaran Kesultanan untuk menanggung setengah dari biaya baru tersebut. Setelah disepakati bahwa biaya yang
ditanggung Kesultanan masih tetap seperti rencana semula, barulah kesultanan
setuju untuk memberi bantuan uang. Meskipun demikian, pembangunan jembatan
masih tertunda karena keadaan keuangan pemerintah kolonial juga masih sama
sulitnya. Baru pada akhir tahun 1925 proyek pembangunan jembatan tersebut bisa
diteruskan lagi. Beberapa pegawai BOW lalu berkantor di Wates
supaya lebih mengawasi jalannya proyek (Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929).
|
Bagian bawah jembatan. |
|
Pondasi jembatan. |
Pembangunan
jembatan diawali dengan pembuatan kepala jembatan dan pilar penopangnya. Bagian
tersebut dikerjakan oleh Nederlandsche Aannemingsmaatschappij (Nedam) dan berlangsung
dari
Agustus 1926 hingga Oktober 1927. Pilar itu nantinya akan menjadi tempat bertumpunya rangka besi yang akan menyangga kabrel jembatan. Baja-baja yang akan digunakan sebagai konstruksi bentang jembatan itu dibuat oleh pabrik “Werkspoor” di Utrecht. Pembuatan baja itu sempat tersendat
sehubungan adanya aksi pemogokan buruh di sana. Material yang dipesan baru tiba pada April 1928. Material besi tersebut diturunkan
di Cilacap dan selanjutnya diangkut dengan kereta Staatspoorwegen menuju
Stasiun Sentolo dan Sedayu. Dari stasiun, material besi tersebut dibawa menuju
lokasi proyek dengan lori-lori milik PG Sedayu. Proses pemasangan bentang
jembatan dimulai pada Agustus 1928. Proses tersebut dikerjakan oleh tenaga yang didatangkan dari Tegal dan dipandu oleh kepala pengawas Van der Geugten
serta aristek Veer dari B.O.W. Rangka baja lalu dipasang di atas pilar jembatan disusul dengan penambatan 12 kabel pada kerangka. Setelah
kerangka besi terpasang, struktur kabel utama yang akan menyangga bantalan jembatan
direntangkan dan ditambatkan di atas tiang-tiang besi itu. Proses tersebut tidak menggunakan perancah melainkan dengan kereta gantung supaya tidak terganggu oleh banjir Sungai Progo ketika musim penghujan. Sesudah itu, satu
persatu bantalan jembatan digelantungkan pada struktur kabel hingga akhirnya
membentuk suatu bentang jembatan yang utuh (Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929). Pada
mulanya ada 12 kabel utama yang ditambatkan pada jembatan dan beberapa tahun berikutnya ditambahkan 6 kabel.
|
Suasana peresmian jembatan Bantar yang saat itu diresmikan dengan nama Gouverneur Jasperbrug (sumber : KITLV). |
|
Gubernur Jasper, namanya digunakan untuk nama jembatan baru di Kulon Progo.
|
Seluruh
tahapan pembangunan jembatan dilalui dengan lancar dan jembatan tersebut siap
untuk digunakan. Tanggal 17 Juni 1929 dipilih sebagai tanggal peresmian.
Upacara peresmian dipersiapkan dengan matang. Supaya lebih meriah, diadakan
hiburan pasar malam dan komedi putar. Tenda-tenda untuk tempat pesta didirikan.
Sementara sore hari sebelum hari H, diadakan upacara penanaman kepala kerbau.
Kemeriahan itu kemudian menular di desa-desa sepanjang jalan antara Klangon dan
Yogyakarta. Gerbang-gerbang hias dan gelaran pasar rakyat meramaikan hajatan
itu. Tidak ketinggalan pula hiburan pentas wayang kulit dan tari tayub yang
digelar pada malam hari. Hari yang ditunggu kemudian tiba. Setelah melalui
perjalanan menyusuri jalan Yogyakarta-Klangon yang kondisinya
masih sempit dan belum rata, akhirnya sampailah rombongan tersebut di Desa
Klangon. Mereka disambut dengan segala kemeriahan yang diadakan di sana.
Sekitar empat ratus orang diundang dalam hajatan besar itu. Selain dari
Kesultanan dan Pakualaman, bupati Purworejo dan Kutoarjo
serta bupati-bupati daerah sekitarnya juga turut diundang dalam kesempatan itu. Dalam kesempatan yang sama, jembatan itu
kemudian diberi nama Gouverneur Jasperbrug. Nama tersebut diambil dari
nama Gubernur Belanda untuk wilayah Yogyakarta saat itu, Jasper. Adapun biaya pembangunan jembatan
menelan uang sebanyak 455.000 gulden, jumlah yang terbilang besar pada saat
itu.
|
Jembatan Bantar dilihat dari utara. |
Ditinjau
dari konstruksinya, Gouverneur Jasperbrug adalah jenis jembatan gantung
yang masih langka di Hindia-Belanda. Rancangannya dibuat oleh insinyur
Jorgensen West. Jenis jembatan gantung dipilih karena jika menggunakan
kontruksi jembatan yang biasa, maka akan banyak kolom yang harus dibuat dengan
kondisi sungai yang lebar. Sementara itu Sungai Progo dikenal dengan arusnya
yang cukup deras terutama saat musim hujan. Jembatan kereta lama yang ada di
utaranya adalah salah satu korban dari keganasan Sungai Progo. Dengan
penggunaan konstruksi jembatan gantung, jumlah kolom yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit. Jembatan Goueverneur Jasperbrug memiliki rentang panjang
180 m dan berdiri di atas kolom beton bertulang yang menjulang setinggi 13 m
dari atas permukaan air. Di atas kolom beton itu, terdapat tiang-tiang besi setinggi
10 m dan di sana ditambatkan sejumlah kabel-kabel gantung. Untuk mengakomodir
efek pemuaian di siang hari, maka di dasar tiang tersebut terdapat roller.
Kabel yang merentangi jembatan kemudian ditambatkan di bagian kepala jembatan. Konstruksi ini boleh dikatakan sama sekali baru
di Hindia-Belanda karena kabel jembatan gantung pada umumnya ditambatkan pada anchorage
atau struktur penahan yang dibuat terpisah dari jembatan (De Locomotief 17 Juni 1929).
|
Bentuk asli jembatan Bantar sebelum penambahan kabel. |
|
Kondisi jembatan Bantar saat ini yang sudah tidak bisa dilintasi oleh kendaraan. |
Kehadiran
Gouverneur Jasperbrug akhirnya tidak hanya melepaskan keterkucilan Kulon Progo dengan wilayah di timurnya, namun juga memudahkan hubungan
wilayah di Jawa Tengah bagian selatan. Mengingat perannya yang begitu strategis
sebagai penghubung antar wilayah, maka tidak mengherankan saat terjadi Agresi
Militer Belanda jembatan tersebut dijadikan pos militer oleh Belanda. Oleh
karena itu, para pasukan Republik Indonesia beberapa kali menyerang jembatan
ini. Seiring waktu, nama Gouverneur Jasperbrug akhirnya lekang dari
ingatan masyarakat dan jembatan itu lebih dikenal sebagai Jembatan Bantar
karena letaknya dekat dengan Dusun Bantar. Pada zaman dahulu, jembatan masih bisa
dilintasi oleh dua kendaraan. Namun seiring kian banyaknya kendaraan yang
melintas dan bobot kendaraan yang semakin besar, maka dibuatlah jembatan penyeberangan
baru yang ada di selatan jembatan Gouverneur Jasperbrug. Jembatan ini
kemudian dijadikan sebagai monument sejarah yang diresmikan pada 1 Maret 1995
oleh Ketua Umum Paguyuban Wehkreise
(Daerah Perlawanan) III Yogyakarta, Jendral TNI (purn). Soesilo Soedarman.
|
Jembatan beling karya Prof. Bijlaard. |
Dari Jembatan Bantar, jika pandangan dialihkan ke utara kita
dapat melihat konstruksi dua jembatan kereta, satu jembatan memakai batang
pilar penyangga yang ada di tengah sungai dan satunya lagi tidak memakai
konstruksi sejenis. Jembatan tanpa batang pilar penyangga yang masih tampak perkasa itu adalah hasil
rancangan dari Prof. Ir. P.P. Bijlaard. Jembatan kereta yang dikenal sebagai jembatan Beling itu dibuat sebagai pengganti jembatan kereta lama yang selesai dibangun pada 6
Juli 1887 oleh Staatspoorwegen (Bataviaasch Nieuwsblad 11 Juni 1887). Jembatan itu menjadi bagian dari jalur kereta
jurusan Yogyakarta-Purwokerto yang dikelola oleh maskapai kereta itu. Dari waktu ke waktu, derasnya arus Sungai Progo menyebabkan
bagian pilar penyangga tergerus sehingga konstruksi jembatan dinilai tidak
mampu menahan beban kereta yang melintas. Oleh karena itu, Staaspoorwegen memutuskan
untuk membuat jembatan kereta yang baru. Biaya pembangunan jembatan baru
tersebut mulanya ditaksir menghabiskan dana sebesar 360.000 gulden (Het Nieuws
van den dag 18 Januari 1930).
|
Jembatan kereta lama yang dibuat tahun 1887 (sumber : KITLV). |
|
Tampak jembatan dilihat dari bantaran timur. |
|
Gambar rancangan jembatan kereta baru buatan Prof. P.P. Bijlaard (sumber : Vrije Uitbouw) |
|
Detail sambungan rangka dengan kepala jembatan (sumber : Vrije Uitbouw). |
Pada proyek tersebut, Staatspoorwegen melibatkan insinyur P.P. Bijlaard dari Technische Hoogeschool Bandung sebagai perancang. Dengan perhitungan yang seksama, Bijlaard membuat rancangan
jembatan yang baru dikenal dalam keilmuan rekayasa jembatan saat itu dan boleh
dikatakan adalah yang pertama di dunia saat itu. Bijlaard mengklaim
rancangannya dapat menekan biaya pembangunan jembatan menjadi sepertiga dari
perkiraan semula. Meskipun tidak lazim, Staaspoorwegen tetap menerima
rancangan yang dibuat oleh Bijlaard. Pada bulan Mei tahun 1930, proses gambar
rancangan jembatan mulai dibuat Bijlaard dengan dibantu oleh dua belas juru
gambar pribumi. Gambar rancangan pondasi dan rangka selesai dibuat bulan
Oktober tahun 1930.
|
Bagian kepala jembatan sisi barat yang sudah selesai (sumber : KITLV). |
|
Proses pembuatan rangka di pabrik baja Koninklijke Nederlandsche Machinefabriek v/h EH Begemann (sumber : Vrije Uitbouw) |
|
Proses pemasangan rangka. |
|
Proses pemasangan rangka dengan bantuan perancah sementara(sumber : Vrije Uitbouw). |
|
Pembangunan jembatan yang sudah hampir mencapai tahap akhir (sumber : Vrije Uitbouw). |
|
Nama pabrik pembuat rangka jembatan. |
Berselang dua tahun sesudah pembukaan jembatan Gouverneur
Jasperburg, Staatspoorwegen memulai proses pembangunan jembatan kereta
baru dari bagian abutmen atau kepala jembatan.
Pada abutmen sisi barat, bagian itu terbuat dari beton yang diperkuat dengan
tulangan dari rel tua. Proses pembangunan abutment berlangsung di bawah
pengawasan Ir. A.J.H.L. Rosenquist dari Dienst van Constructie en
Bruggenbouw (Dinas Konstruksi dan Bangunan Jembatan). Bagian tersebut
selesai dibangun pada tahun 1931. Sementara itu, rangka-rangka baja untuk
jembatan dibuat oleh Koninklijke
Nederlandsche Machinefabriek v/h EH Begemann yang menerima kontrak pada awal
tahun 1931. Kira-kira setahun berikutnya, pesanan baja jembatan telah sampai di
Hindia-Belanda. Dari sisi abutment barat, rangka jembatan dirakit satu persatu
sampai sisi timur. Saat rangka jembatan sudah mencapai tengah sungai, sebuah
perancah tambahan dibuat untuk menopang bagian tengah jembatan untuk sementara
waktu sampai proses perakitan menyentuh bagian abutment timur. Tahap perakitan tersebut diawasi oleh Ir. W.
P. C. Hennequin (Bijlaard, 1933; 31-46).
|
Gambar tahap perakitan rangka jembatan Beling (sumber : Vrije Uitbouw). |
Jembatan melewati proses uji coba
terlebih dahulu pada 16 Februari 1933 sebelum dinyatakan aman untuk dilewati
kereta api. Uji coba dilakukan dengan menggunakan 2 lokomotif terberat kereta
ekspres dan gerbong barang yang dimuati pemberat. Uji coba pertama dilakukan
dengan menempatkan kedua lokomotif dalam posisi diam di atas jembatan. Rangkaian
uji coba berikutnya adalah dengan menggerakan lokomotif melewati jembatan
dengan kecepatan laju berturut-turut 10, 20, dan 30 km/jam. Terakhir adalah
dengan melakukan pengereman kereta di jembatan. Uji coba yang berlangsung dari
pukul 7 pagi hingga pukul 2 siang disaksikan oleh Prof. Bijlaard (perancang
jembatan), Ir. J.J. H. Rissink (Dinas Konstruksi dan Bangunan Jembatan SS) B.
Zuidema (pengawas pembangunan), dan Ir. J. van Wely (Burgerlijke Openbare
Werken) (Algemeene Handelsblad 20 Februari 1933).
|
Tahap uji coba jembatan (sumber : Vrije Uitbouw) |
|
Suasana pembukaan kembali Jembatan Beling pada tahun 1951.
|
|
Jembatan Beling saat ini. |
Selain menekan biaya pembangunan, rancangan yang dibuat oleh
Bijlaard itu mampu berdiri kokoh dan menumpu beban besar tanpa menggunakan kolom penopang di tengah meskipun
konstruksi jembatan cukup panjang. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan
jembatan kereta baru yang bersanding di sebelahnya yang masih memakai kolom
penopang. Bijlaard sengaja menghilangkan kolom penopang di tengah jembatan
selain untuk mengurangi biaya, juga untuk menghindari resiko kolom tersebut
rusak akibat terjangan banjir Sungai Progo. Atas terobosan yang ia buat, Bijlaard
lantas diganjir bonus sebesar 10.000 gulden oleh pemerintah kolonial (Algemeene Handelsblad 14
November 1931). Jembatan kereta tersebut sempat mengalami kerusakan pada masa
Agresi Militer Belanda Kedua. Pemerintah Republik Indonesia kemudian
memperbaiki jembatan tersebut. Butuh
waktu sepuluh bulan lamanya untuk memperbaiki jembatan tersebut dan uang
sebesar 500.000 rupiah digelontorkan untuk memperbaikinya. Pada 17 Juni 1951,
jembatan tersebut dapat beroperasi penuh kembali (Algemeene Indishce Dagblad 18 Juni 1951).
Sumber :
Athoillah, Ahmad. 2021. Desa Mawa Cerita ; Sejarah Desa dan Kota di Kulon Progo. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Bijlaard, P.P. 1933. De Vrije Uitbouw. Bandung : Druk N.V. Boekhandel en Drukkerij Visser & Co.
Algemeene Handelsblad 14 November 1931
Algemeene Handelsblad 20 Februari 1933
Algemeene Indishce Dagblad 18 Juni 1951
Bataviaasch Nieuwsblad 11 Juni 1887
De Locomotief 17 Juni 1929
De Locomotief 19 Agustus 1931
Het Nieuws van den dag 18 Januari 1930
Soerabaiasch Handelsblad 17 Juni 1929