Jumat, 08 Februari 2019

Gedung De Javasche Bank Kota, Sebuah Persembahan dari Bank Sentral Tertua di Asia.

Dari sekian banyaknya gedung tua di kawasan Kota Tua Jakarta, salah satu yang cukup memukau adalah gedung De Javaache Bank, bank sentral pertama di Hindia Belanda cikal dari Bank Indonesia sekarang. Kekokohan gedung ini mencerminkan kemakmuran De Javasche Bank sebagai penopang keuangan utama di tanah jajahan. Jejak Kolonial kali ini akan menceritakan dua kisah, yakni kisah tentang De Javasche Bank sebagai bank sentral Hindia-Belanda dan gedung De Javasche Bank Batavia yang menjadi kantor terbesar mereka.

Kenampakan kantor lama De Javasche Bank yang berada di sisi kanan sesudah jembatan. Bangunan tersebut dahulunya adalah rumah sakit dalam kota yang dibangun pada masa VOC (sumber : media-kitlv.nl).
Bila ditarik mundur ke belakang, sejarah dari De Javasche Bank jauh lebih panjang dibanding gedung kantornya yang saat ini menjadi Museum Bank Indonesia. Lembaran De Javasche Bank dimulai dari permulaan abad 19, dimana pemerintah kolonial saat itu sedang kesulitan dalam mengatur kebijakan moneter dan fiskal. Bersamaan dengan itu, pemerintah kolonial masih harus mendatangkan pasokan emas dan perak dari negeri Belanda, padahal kedua alat bayar tersebut sangat diperlukan untuk menutup defisit neraca perdagangan. Memang pada saat itu, perdagangan di Hindia-Belanda sedikit lesu setelah bubarnya VOC. Karena itulah berbagai kalangan baik di negeri Belanda maupun di tanah koloni mendesak pemerintah untuk membentuk suatu bank sirkulasi. Raja Belanda, Willem I akhirnya menuruti desakan tersebut dengan memberi kuasa kepada komisaris jenderal Du Bus de Gisignies untuk merundingkan pembentukan bank di Jawa. Untuk mempersiapkan modal bank sirkulasi, saham sebanyak 8.000 lembar dengan harga perlembarnya 500 gulden dilempar ke pasaran. Penjualan tidak berjalan mulus ; hanya 25 persen saham yang berhasil terjual, namun setidaknya angka penjualan dirasa sudah cukup untuk membuka dan menjalankan bank sirkulasi sehingga 24 Januari 1828, De Javasche Bank resmi didirikan (Kusuma, 2014 ; 11-14).
Gambar rancangan gedung baru De Javasche Bank 
(sumber : Ned.Indie Huis Oud en Nieuw).


Denah lantai dua
(sumber : Ned.Indie Huis Oud en Nieuw).
Walau sudah resmi berdiri, kegiatan De Javasche Bank belum sepenuhnya berjalan karena perangkat personalia dan kantor kerja belum dipersiapkan. Untuk perangkat personalia, ketika proses penjualan saham tengah berlangsung, sebenarnya sudah ada pilihan siapa yang akan menjadi pucuk tertinggi De Javasche Bank. Komisaris Jenderal Du Bus memilih ketua kantor pengadilan ngeri Semarang, C. De Haan sebagai presiden De Javasche Bank dan J.C. Smulders sebagai kepala sekretaris. Berikutnya, kursi direktur diduduki oleh tiga orang yang berasal dari kalangan usahawan, yakni O.M. Roberts, Ten Brink, dan A.J.L Ram. Mulanya ada keberatan dari ketiga direktur tersebut terkait dengan aturan kerja. Pertama adalah masalah gaji. Gaji sebesar 18.000 gulden per tahun rupanya dirasa lebih sedikit dibanding di tempat kerja asal. Setelah dinegosiasi, mereka diperbolehkan untuk merangkap jabatan. Kedua adalah terkait dengan jam kerja. Berdasarkan aturan, salah satu direktur setiap harinya harus berkantor dari pukul 10 pagi hingga 1 siang. Bagi ketiga direktur, hal tersebut mustahil dilakukan karena mereka masih ada kesibukan sebagai pemimpin perusahaan dagang. Keberatan tersebut ditanggapi dengan pemotongan jam kerja yang semula tiga jam menjadi satu jam. Sesudah urusan personalia dibereskan, De Javasche Bank lalu mencari gedung yang akan dipakai sebagai tempat kerja. 27 Maret 1828, De Javasche Bank mendapatkan gedung bekas rumah sakit dari zaman VOC, Binnen Hospitaal, sebagai kantor. Semenjak 8 April 1828, dimulailah kiprah De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi di Hindia-Belanda (Kusuma, 2014;17).
Proses pembangunan gedung De Javasche Bank 
(sumber : Ned.Indie Huis Oud en Nieuw).
Ketika baru berdiri, De Javasche Bank adalah bank swasta pertama di Hindia-Belanda. Peran De Javasche Bank saat itu belum bisa dikatakan sebagai bank sentral. Walau sudah mendapat hak khusus untuk mencetak dan mengedarkan uang perak, namun seringkali uang perak tersebut tidak kembali ke bank. Hal itu dikarenakan dunia usaha di Hindia-Belanda cenderung membelanjakan uangnya di dalam negeri. Selain itu, muncul perselisihan antara De Javasche Bank dengan pemerintah kolonial. Perselisihan ini timbul karena De Javasche Bank sendiri bukan murni badan usaha milik negara, melainkan perusahaan swasta yang berada di bawah kendali pemerintah. Karena itulah De Javasche Bank cenderung mendahulukan kepentingan para pengusaha dibanding kepentingan pemerintah. Seiring waktu terus mengalir, De Jaavasche Bank kian berkembang pesat. Kendati namanya De Javasche Bank; Bank Jawa, namun operasionalnya tak sebatas di Pulau Jawa saja. Semenjak tahun 1864, De Javasche Bank sudah melebarkan sayapnya hingga kota-kota di luar Pulau Jawa seperti Padang, Kutaraja, Balikpapan, dan Makassar.
Upacara peletakan batu pertama gedung baru De Javasche Bank 
(sumber : Ned.Indie Huis Oud en Nieuw).
Semakin berjaya De Javasche Bank, semakin berkembang pula kegiatan di kantor. Gedung lama bekas rumah sakit dari zaman kompeni mulai terasa kurang memadai. Oleh karena itulah pada paruh pertama abad 20, direksi De Javasche Bank berencana untuk membangun gedung kantor baru. Penggarapan gedung baru tersebut dipercayakan kepada Architects Bureau Ed. Cuypers en Hulswit. Biro arsitek ini baru dibentuk  tahun 1908 oleh duet arsitek asal Belanda, M.J. Hulswit dan E.H.G.H. Cuypers. Keduanya adalah arsitek profesional yang menimba ilmu arsitektur di perguruan tinggi dan orang-orang seperti mereka di Hindia-Belanda masih jarang. Dari sini dapat dilihat bahwa De Javaasche tak ingin asal-asalan dalam mendirikan gedung kantor baru mereka karena hal itu berkaitan pula dengan citra perusahaan, sehingga De Javasche Bank berani membayar mahal untuk jasa arsitek profesional. Pembangunan gedung baru De Javasche Bank diawali dengan upacara peletakan batu pertama pada 3 Oktober 1910. “Untuk itu kami menaruh kepercayaan kepada arsitek Cuypers dan Hulswit. Dan kami berharap bahwa bangunan ini akan menjadi maha karya yang dapat dibanggakan para arsitek bersangkutan”, pesan presiden De Javasche Bank saat itu, M.G. Vissering sewaktu memberi sambutan kepada arsitek Cuypers dan Hulswit. Batu pertama diletakan oleh putra M.G. Vissering, Simon Eyland Vessering, yang saat masih berusia delapan tahun (Kusuma, 2014;35).
Proses pembuatan pondasi gedung
(sumber : Ned.Indie Huis Oud en Nieuw).
Rencananya, keseluruhan gedung lama De Javasche Bank yang berbentuk dasar seperti huruf 'U' akan diganti dengan gedung baru. Pembangunan gedung dilakukan secara bertahap dan bagian gedung lama yang dirombak terlebih dahulu adalah sisi timur gedung yang menghadap  Binnennieuwpoortstraat (kini Jl. Pintu Besar Utara). Untuk tampak luar gedung De Javasche Bank, Cuypers dan Hulswit mengusung ekletisme, yakni suatu gerakan arsitektur yang berupaya memadukan berbagai unsur arsitektur yang berbeda. Pada gedung De Javasche Bank, gaya klasik-modern barat dipadukan dengan sedikit hiasan gaya Jawa Kuno yang membalut capital kolom. Hiasan tersebut buatan pematung Van den Bossche dan Crevels dari Amsterdam. Material bangunan ini didatangkan dari berbagai tempat. Ada yang berasal dari luar negeri seperti genteng yang merupakan buatan pabrik genteng di Amsterdam. Kemudian ada pula yang buatan lokal seperti batu bata yang dipasok dari pabrik bata di Batavia yang terkenal akan mutunya yang di atas rata-rata bata lain. Bahan lokal lainnya adalah sirtu untuk pondasi dan kayu jati untuk rangka atap, pintu, dan kusen jendela (Cuypers & Hulswit, 1913; 4-5). Untuk menambah kesan tinggi pada bangunan, sebuah menara ditambahkan di atap bagian tengah. Proses pembangunan gedung De Javasche Bank memakai teknologi yang sebelumnya tidak pernah diterapkan di Hindia-Belanda pada masa itu. Misalnya adalah mesin pancang yang dipakai untuk memasang tiga ratus tiang pancang. Teknologi baru lain yang jarang dipakai adalah pemakaian teknologi beton bertulang pada ruang khasanah. Bangunan baru De Javasche Bank memiliki dua tingkat, dimana tingkat pertama digunakan untuk khasanah atau ruang penyimpanan emas dan perak yang diberi pagar besi sebagai pengaman. Di bagian ini juga terdapat kamar kecil untuk pegawai. Ruangan untuk kegiatan perbankan sehari-hari seperti ruang pelayanan nasabah, ruang kasir, ruang pembukuan, dan ruang pencetakan nota bank menempati tingkat kedua. Pengunjung dari luar masuk ke dua pintu utama melalui undakan dari bahan granit Beiersch. Sementara itu bangunan lama bekas rumah sakit era kompeni masih disisakan untuk ruang kantor presiden, direksi, dan rapat. Setelah pembangunannya purna, kantor baru tersebut mulai ditempati pada 31 Maret 1913. Pihak De Javasche Bank tampak begitu puas dengan hasil biro arsitekur ini. Kemegahannya sepadan dengan kejayaan De Javasche Bank sebagai bank terbesar di Hindia-Belanda. Architects Bureau Ed. Cuypers en Hulswit berhasil mewujudkan pesan Vissering dan biro ini akhirnya dilibatkan dalam perancangan gedung-gedung kantor De Javasche Bank dikota lainnya (Kusuma, 2014;38).
Penampakan gedung De Javasche Bank sesudah selesai dibangun
(sumber : media-kitlv.nl).
Tahap perombakan berikutnya dilanjutkan pada tahun 1922. Keseluruhan bangunan lama yang ada di sisi utara, barat dan selatan diganti dengan bentuk menyesuaikan dengan bangunan yang dibuat tahun 1910. Menjelang seabad umur De Javaasche Bank, perombakan tersebut akhirnya selesai dan seluruh kegiatan menempati gedung baru. Tahap perombakan De Javasche Bank terakhir dilakukan pada tahun 1935. Kali ini, arsitek yang menangani adalah Thomas Nix yang juga bekerja pada Architects Bureau Ed. Cuypers en Hulswit. Sebelum memulai perombakan, terlebih dahulu Nix melakukan kajian pada bentuk bangunan lama. Dari hasil kajian Nix, bangunan akan diperlebar dan menara depan dihilangkan. Selain itu, pintu utama yang semula ada dua dikurangi menjadi satu. Karena itulah bila diperhatikan, tampilan gedung De Javaache Bank yang sekarang terlihat berbeda dengan gedung yang sering terlihat pada foto-foto lama. Perombakan ini melibatkan pemborong dari Hollandsch Beton Maatschappij (Fermont & Cuypers, 1937; 50).

Tampak depan De Javasche Bank sesudah perombakan tahun 1935  
(sumber : media-kitlv.nl ).

Denah gedung De Javasche Bank sesudah perombakan tahun 1935 (sumber : Locale Techniek 1937 ).
Pendudukan Jepang dari 1942 hingga 1945 merupakan tahun sulit bagi  perbankan di Hindia-Belanda. De Javasche Bank bersama bank-bank asing lain dilikuidasi dan secara resmi dibubarkan pada 20 Oktober 1942. Kegiatan perbankan lalu dijalankan oleh bank-bank milik Jepang yang sempat ditutup oleh pemerintah kolonial sebelum perang pecah. Nanpo Kaihatsu Ginko yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang menggantikan peran De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi selama pendudukan. Pegawai De Javasche Bank yang lama masih dipekerjakan kendati jumlah dan gajinya sudah dikurangi. Sementara pegawai De Javasche Bank yang lain ada yang ditawan oleh Jepang, salah satunya adalah Presiden De Javasche Bank Buttingha Witchers. Selama pendudukan Jepang, De Javasche Bank mengalami kerugian sebesar 115 juta gulden. Belum termasuk inventaris kantor yang hilang. Namun kerugian tersebut tidak membuat kegiatan perbankan De Javasche Bank lumpuh sesudah kemerdekaan karena ketika perang mualai memanas, De Javasche Bank bergegas mengungsikan emas-emasnya ke luar negeri dan emas tersebut nilainya naik sesudah perang. De Javasche Bank kembali lagi aktif sesudah kemerdekaan Republik Indonesia. Namun pada saat bersamaan, pemerintah RI juga sudah membentuk bank sirkulasi sendiri bernama Bank Negara Indonesia. Hingga perjanjian KMB pada tahun 1949, De Javasche Bank beroperasi di wilayah yang dikuasai oleh Nederlands Indie Civil Administrator NICA sementara Bank Negara Indonesia beroperasi di wilayah RI. Pada KMB, disepakati bahwa De Javasche Bank masih dipertahankan sebagai bank sirkulasi swasta yang melayani kepentingan pemerintah RI. Nasionaliasi De Javasche Bank pada 15 Desember 1951 dan penggantian namanya menjadi Bank Indonesia pada 1 Juli 1953 menjadi akhir dari lembaran sejarah De Javasche Bank sekaligus menjadi tonggak awal dari Bank Indonesia (Kusuma, 2014; 112).
Wajah gedung De Javasche Bank pada masa sekarang.
Bagian lobi.
Detail hiasan.
Mari menyelami keindahan dari gedung ini. Nuansa hall gedung De Javasche Bank terasa sungguh elegan. Pengunjung museum yang masuk akan dibuat jatuh hati pada pandangan pertama. Lantainya beralaskan ubin PC yang disusun dalam pola geometris dengan kombinasi warna merah, hitam, biru muda, kuning, hitam dan coklat. Ubin-ubin tersebut dipasok dari produsen tegel yang berbeda. Sementara dinding bawah dilapisi dengan keramik cokelat tembaga. Tiang-tiang granit menopang atap hall yang dibuat melengkung. Bentuknya sedikit mengingatkan dengan bentuk atap pada stasiun Jakarta Kota. Bagian hall diapit oleh bagian kas en wissel afdeeling atau ruang kas di sebelah kanan dan bagian effecten afdeeling atau bagian efek di sebelah kiri.
Hiasan kaca patri pada lobi.
Hiasan kaca patri di tangga naik beranda tengah.

Pantulan panil-panil kaca patri yang ada di atas pintu masuk memperelok bagian dalam hall. Selain untuk keindahan, kaca patri ini juga berguna untuk mengurangi pancaran cahaya yang menembus ke dalam mengingat gedung ini menghadap ke timur. Arsitek Hulswit dan Cuypers menghadirkan 314 kaca patri yang semuanya digarap oleh seniman kaca patri tersohor, Jan Schoten di studio Prinsenhof, Delft. Selain kaca patri di gedung De Javasche Bank, buah tangan terampilnya juga menghiasi gedung kantor Nederlandsch Indisch Maatschappij. Saat membawanya dari Amsterdam ke Batavia, pihak pembuat menjaganya dengan sangat hati-hati supaya kaca patri indah nan mahal tidak pecah atau rusak. Untungnya tidak ada kerusakan apapun setibanya di Batavia sehingga kemilau kaca patri tersebut masih terjaga sampai terpasang pada tempatnya. Panil kaca patri pada pintu utama ada 18 panil. Panil yang dibuat pada tahun 1935 ini menuturkan tentang geliat kehidupan pada masa itu. Kaca patri lain di gedung ini yang menarik perhatian adalah kaca patri di rongga tangga tengah. Kaca patri tersebut menampilkan sosok Dewa Hermes, dewa pelindung perdagangan dalam pantheon Yunani kuno (Cuypers & Hulswit, 1913;87).
Ruang kas en wissel-afdeeling.
Beranjak dari hall, pengunjung museum terlebih dahulu diarahkan ke ruang kas en wissel-afdeeling, ruangan dimana dahulu nasabah De Javasche Bank menyetor dan melakukan pembayaran secara tunai. Para nasabah mendapat pelayanan di dalam sebuah bilik yang sengaja dibuat untuk melindungi privasi dan keamanan transaksi. Agar di antara kasir tidak menyeleweng, diterapkan langkah pengamanan berlapis sehingga nasabah harus melalui tahapan pembayaran dan penerimaan setoran pada kasir yang berbeda. Sementara itu, ruang penghitungan dan kerja personel diberi sekat kayu untuk tidak memancing perhatian orang awam. Bagian ini menjadi bukti bahwa dahulu, De Javasche Bank selain sebagai bank sirkulasi juga menjalankan peran sebagai bank komersial. Peran tersebut masih dijalankan setelah De Javasche Bank dinasionaliasi menjadi Bank Indonesia hingga tahun 1968.


Ruang kerja pegawai
(sumber : Ned.Indie Huis Oud en Nieuw).
Sesudah ruang kas en wissel-afdeeling, pengunjung memasuki ruangan yang dulunya adalah ruang arsip. Hingga 1963, Bank Indonesia masih bermarkas di kantor peninggalan De Javasche Bank yang berada kawasan Kota Tua. Karena jauh dari pusat pemerintahan RI, Bank Indonesia membangun gedung kantor baru di Thamrin pada 1963. Setelah BI tidak menempati gedung ini, gedung ini sempat lama tidak dimanfaatkan hingga akhirnya disulap menjadi museum yang resmi dibuka pada 21 Juli 2009. Museum ini merupakan gagasan dari pihak Bank Indonesia untuk memberi pencerahan kepada masyarakat akan sejarah perjalanan bank sirkulasi di Indonesia dari masa kemasa. Pemanfaatan gedung ini sebagai museum juga merupakan langkah Bank Indonesia untuk melestarikan gedung yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya (Tim Penyusun Kompas, 2014 ; 74).
Ruang kerja presiden De Javasche Bank / Gubernur Bank Indonesia.


Ruang pertemuan direksi.
Menempati gedung sisi barat, terdapat ruang kerja presiden dan direksi yang baru dibuat pada tahun 1924. Presiden De Javasche Bank; diangkat oleh Gubernur Jenderal atas persetujuan raja, sehari-harinya bekerja di ruangan yang dindingnya berselimut dengan kayu yang diplitur. Lemari buku, gantungan, jas, meja kerja dan wastafel adalah perabot yang melengkapi ruangan tempat dimana segala kebijakan De Javasche Bank bermula ini. Di sebelah ruang presiden, terdapat ruang direksi yang memiliki interior yang serupa. Jumlah direksi dari tahun ke tahun selalu berubah mengikuti kebijakan. Orang-orang yang akan mengisi jajaran direksi De Javasche Bank ditentukan lewat ‘rapat umum pemegang saham berhak-suara’. Ruang kerja presiden dan direksi terhubung dengan ruang rapat kecil yang digunakan untuk ruang rapat berkala dan penyusunan Laporan Mingguan. Ketiga ruang ini sekarang menjadi ruang diorama kegiatan saat gedung ini dipakai sebagai kantor.
Ruang pertemuan besar atau ruang hijau.
Kaca patri di ruang pertemuan besar.
Jam bandul yang menempel di salah satu sisi dinding ruang pertemuan besar.
Dari sekian ruangang di gedung ini, yang paling menonjol mungkin adalah ruang rapat besar atau Ruang Hijau. Nama Ruang Hijau berasal dari keramik warna hijau yang menutupi dinding ruangan ini. Keramik-keramik tersebut diimpor dari Friesland, Belanda yang didatangkan oleh perusahaan Martin & Co. Bila diamati lebih dekat, motif keramik tersebut memiliki corak yang mirip dengan relief candi-candi kuno Jawa. Ruangan ini semakin diperindah dengan kaca-kaca patri yang menggambarkan ragam jenis sumberdaya alam yang menguntungkan pihak kolonial seperti lada, cengkeh, garam, karet, minyak tanah, timah, kopra, minyak sawit, tembakau, kina, candu, dan gula. Kaca-kaca patri ini seolah menandai kepercayaan diri bangsa Belanda yang berhasil meraih kemakmuran di tanah jajahan. Di salah satu sisi ruangan, tertanam sebuah jam bandul yang merupakan kado persembahan dari bank sentral kerajaan Belanda, Nederlandsch Bank kepada De Javasche Bank atas kiprahnya di tanah jajahan yang sudah menginjak usia seabad.
Beranda tengah.


Prasasti yang dibuat tahun 1922.
Halaman tengah gedung De Javasche Bank.

Sebongkah prasasti dari batu merah keabu-abuan terpajang di bagian beranda tengah. Prasasti ini dipasang pada perombakan tahun 1922. Tulisan pada prasasti ini memakai bahasa Latin dan bunyinya, “ SEDULLA PROPELLIT / COLUMENQUE PECUSQUE / MINISTRAT /ARGENT ARIA / ATQUE COMES “. Bila dialih-bahasakan artinya adalah, “Bank yang aktif mendirikan tiang-tiang dan menjunjung seni hias menjadi pelopor dan pendukung kesenian”. Prasasti ini seakan menyampaikan pesan bahwa di samping menjadi bank sentral, De Javasche Bank  berusaha meneguhkan diri sebagai patron seni di Hindia-Belanda yang ditegaskan lewat arsitektur bangunan kantornya yang selalu tampil menawan. Walau demikian, pada kenyataanya nasib rakyat di tanah jajahan tidak selalu seindah gedung-gedung yang dibangun mereka.
Ruang brankas.
Iklan brankas merk Lips Dordecht, brankas yang digunakan pada kantor De Javasche Bank.

Kini sampailah pada ruang paling penting dari gedung ini yaitu ruang khazanah, tempat penyimpanan emas dan surat-surat berharga. Emas dan uang yang menumpuk di dalam bank sirkulasi ini menjadi sasaran yang menggiurkan bagi para perampok. Benar saja, sebelum gedung kantor yang terlihat sekarang dibangun, De Javasche pernah disatroni peramok pada 22 November 1902. Pelakunya adalah Cornelius Marius Gentis dan Herman Gentis (Kusuma, 2014;51). Kendati perampokan berakhir dengan kegagalan, kejadian tersebut menjadi pelajaran berharga untuk De Javasche Bank dalam penjagaan pada aset-asetnya. Karena itulah pada pembangunan gedung baru, seluruh ruangan ini diselebungi dengan beton yang cukup tebal. Untuk tambahan pengamanan, ruang khanazah memiliki pintu besi berukuran besar yang dibuat oleh perusahaan Lips. Dordecht.

Demikian kisah dari gedung bank pendahulu bank Indonesia, De Javasche Bank. Keindahan dan kemegahan karya arsitektur bangunan De Javasche Bank merupakan salah satu upaya De Javasche Bank untuk mengabadikan pencapaian kemakmuran di tanah jajahan. Gedung ini memang adalah warisan penjajah namun bagaimanapun juga, ia telah menjadi bagian dari lembaran sejarah bangsa ini. Ucapan Sjafrudin Prawiranegara; Presiden De Javasch Bank dan Gubernur Bank Indonesia Pertama mungkin menjadi penutup yang tepat untuk tulisan ini. “Jika kita dapat menilai dan menghargai bank yang lama sebagaimana mestinya, bukan dengan perasaan benci atau sangsi, melainkan dengan pikiran tenang dan bersih serta bersedia menerima segala apa yang baik dari bank yang lama itu, maka mungkin Bank Indonesia akan menempuh sejarah yang lebih lama dan lebih jaya lagi daripada De Javasche Bank.

Referensi :
Cuypers & Hulswit. 1913. Het Nederlandsch Indie Huis Oud en Nieuw. Amsterdam : N.V. Drukkerij “De Nieuwe Tijd”.
Fermont-Cuypers. 1937. “De Javasche Bank en Andere Kantorgebouw te Batavia” dalam Locale Techniek No.2  Maret-April 1937. Batavia : N.V. Drukkerij G. Kolff & Co.
Kusuma, Erwien. 2014. Dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Tim Kreatif Kompas. 2014. Indonesia dalam Infografik. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.