Rabu, 25 Desember 2024

Stasiun Cirebon, Ketika Kereta Negara Menembus Kota Udang

Suasana udara Cirebon terasa begitu panas menyengat. Matahari seakan mendekati ubun-ubun hingga peluh membanjiri kepala. Dengan usianya yang lebih dari seabad, bisa dibayangkan sudah berapa lama menerpa dinding putihnya. Stasiun Cirebon adalah salah satu dari sekian banyak stasiun dari zaman Belanda yang memiliki bentuk yang khas. Selain arsitekturnya yang khas, stasiun ini juga menjadi salah satu saksi bisu pembangunan jalur kereta Batavia-Cirebon yang perjalanannya cukup berliku. Bagaimanakah kisahnya ?

Kota Cirebon dalam peta jalur perkeretaapian Semarang Cheribon Stoomtram Mij. tahun 1913. Jalur eksploitasi SCS ditandai dengan garis merah dan jalur eksploitasi Staatspoorwegen ditandai dengan garis hitam. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Untuk mengetahui sejarah Stasiun Cirebon, marilah kita sejenak menarik mundur agak sedikit jauh ke belakang, kira-kira pada tahun 1871. Saat itu, pemerintah kolonial mulai membahas rencana untuk membangun jalur kereta api yang akan menghubungkan bagian barat dan timur Pulau Jawa (Rietsma, 1912 : 2). Sekalipun jalur kereta api di Jawa sudah mulai dibangun pada tahun 1864, namun sejak saat belum ada lagi pihak yang berminat untuk membangun jalur kereta di tempat lain. Terlebih setelah melihat kinerja operator kereta api satu-satunya saat itu, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, menderita kerugian cukup besar pada tahun-tahun pertamanya. Di sisi lain, pemerintah kolonial juga memiliki kepentingan terhadap keberadaan angkutan kereta api karena adanya angkutan tersebut akan memudahkan proses pengangkutan hasil bumi. Jika pihak swasta belum bisa diandalkan, maka pemerintah kolonial yang akan turun tangan sendiri dalam pembangunan jalur kereta api melalui Staaspoorwegen.

Emplasemen Stasiun Cirebon dalam peta tahun 1913. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Pemerintah kolonial membentuk suatu tim ahli yang terdiri dari Kool, Henket, De Bordes, Van Kappen, Mullemeister, dan d’Aulnis de Bourrouiil. Pada dasarnya, mereka mendukung rencana pemerintah kolonial untuk membangun jalur kereta yang akan menjalin Jawa dari timur ke barat. Pertanyaan selanjutnya adalah rute manakah yang akan dipilih, apakah lewat rute selatan atau utara ? Sebagian besar rupanya lebih mendukung pembangunan jalur kereta via selatan, yakni lewat Batavia-Buitezorg-Bandung-Yogyakarta-Solo. Mereka beralasan bahwa di Pantura sudah ada jalan raya pos Daendels yang dinilai sudah cukup untuk angkutan darat sehingga tidak perlu dibuatkan jalur kereta. Prioritas pembangunan jalur kereta akhirnya diutamakan untuk melewati Batavia-Bogor-Bandung-Yogyakarta. Meskipun demikian, gagasan jalur kereta Pantura via Depok-Karawang-Cirebon-Semarang tidak dilupakan begitu saja (Rietsma, 1912 : 2). 

Stasiun Cirebon sekitar tahun 1914. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Tampilan bangunan stasiun milik Semarang Cheribon Stoomtram Mij yang lebih sederhana dibanding Stasiun Cirebon milik Staaspoorwegen. Bangunan ini kini menjadi Stasiun Cirebon Prujakan.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Kendati pembuatan jalur kereta di Pantura Jawa belum mendapat perhatian, namun sudah ada pihak-pihak yang tertarik untuk menggarap jalur tersebut setelah perusahaan kereta swasta NISM mulai dapat memperoleh keuntungan. Misalnya P.F.W Pels dan B.V. de Jong yang mengajukan konsesi jalur kereta dari Anyer hingga Semarang walau mereka tiba-tiba memilih mundur karena besarnya modal yang dikeluarkan untuk mewujudkan rencana tersebut. Pada tahun 1882, konsesi pembangunan jalur kereta Cirebon-Semarang jatuh kepada Ruyl dan Van Daalen meskipun mereka tidak langsung segera menggarapnya. Selanjutnya pada 1 Oktober 1883, konsesi jalur kereta Batavia-Bekasi diberikan kepada H.J. Meertens dan perusahaan Tiedeman en Van Kerchem yang disertai pembentukan Bataavia Ooster Spoorweg Mij. (BOS) untuk mengoperasikan jalur tersebut. Perusahaan tersebut berhasil membuka jalur kereta Batavia-Bekasi pada 31 Maret 1887 sebagai cikal jalur kereta di Pantura. Perusahaan tersebut tentu hendak meneruskan jalurnya hingga ke Cirebon. Hal tersebut terlihat dari upaya BOS untuk menambah jaringan kereta ke Kedunggede yang dibuka pada 21 Juni 1891. Sayangnya BOS sendiri rupanya belum bisa melanjutkan pembangunannya sampai ke Cirebon karena terganjal persoalan jaminan bunga  dari pemerintah sehingga untuk sementara waktu belum ada kereta yang akan sampai di Cirebon (Rietsma, 1912 : 3-4).



Dokumentasi Stasiun Cirebon dalam buku peringatan 50 tahun Staatspoorwegen.

Stasiun Cirebon pada tahun 1930-an. Terlihat mobil-mobil taksi di depan stasiun yang sedang menunggu penumpang.(Sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Pada 1893, Menteri Kolonial, W.K. Baron van Dedem merancang Algemeen Spoorwegplan voor Java atau Rencana Umum Kereta Api untuk JawaDalam rencana tersebut, jalur kereta Kedunggede-Cirebon ditetapkan sebagai jalur trem lebar 1067 mm. Tujuannya supaya rangkaian kereta milik SS dapat melintasi jalur tersebut karena SS menggunakan lebar rel yang sama dengan lebar kereta trem milik maskapai swasta (Rietsma, 1912: 12). Pemerintah mulai serius menggarap jalur kereta di Pantura dengan dibelinya BOS pada 1898. Pembangunan jalur kereta Pantura yang semula hanya sampai di Karawang diteruskan ke arah Bandung pada tahun 1900 dan mulai beroperasi pada 1902. Kendati kereta Staaspoorwegen belum menjangkau Cirebon, namun kereta api berhasil menembus Cirebon setelah dibukanya jalur kereta Cirebon-Sindanglaut pada 1 Mei 1897. Jalur kereta tersebut merupakan bagian dari jaringan kereta milik perusahaan swasta Samarang-Cheribon Stoomtram Mij. Perusahaan tersebut bahkan meneruskan pembangunannya hingga ke Kadipaten mengingat di sana terdapat sejumlah pabrik gula. Jalur kereta sendiri Cirebon-Kadipaten dibuka pada 29 Desember 1901 (Anonim, 1907 : 43).

Stasiun Cirebon pada tahun 1914 dilihat dari sisi peron.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Emplasemen Stasiun Cirebon pada tahun 1914. Terlihat bantalan kereta yang dipersiapkan untuk pembangunan jalur kereta Cirebon-Kroya.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Berselang enam tahun sesudah dibukanya jalur Cirebon-Kadipaten, Staaspoorwegen telah menyelesaikan draft rancangan jalur kereta Cikampek-Cirebon. Pembangunannya disahkan secara legal lewat Staatsblad No. 477 tanggal 14 Juli 1909. Selama pelaksanaan, insinyur  J. van der Waerden mengawasi proyek jalur kereta sepanjang 137 km tersebut. Pada bulan Mei 1912, pembangunan jalur kereta Cikampek-Cirebon mengalami kemajuan yang pesat dan pekerjaan yang tersisa tinggal pemasangan peralatan perkeretapian di stasiun. Rasa pesimis dari pihak-pihak yang menganggap jalur tersebut baru dapat beroperasi pada 1 Agustus 1912 akhirnya terhapus. (Het Nieuws van den dag Voor N.I. 2 September 1912). 


Fasad bangunan Stasiun Cirebon. Pada bagian tulisan "Cirebon", dahulu terdapat tulisan "Kaartjes" dan "Bagatie".

Mari sejenak kita membayangkan diri kita kembali pada tanggal 2 Juni 1912, ketika kereta yang membawa Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg dan pengiringnya tiba di Stasiun Cirebon sekitar pukul sepuluh pagi. Di peron tersebut, telah menunggu sejumlah tokoh penting Cirebon seperti Residen Cirebon, Van Den Moore, Bupati Indramayu, Bupati Cirebon, Kapitan-kapitan Tionghoa, pejabat-pejabat sipil, perwakilan dari Samarang-Cheribon Stoomtram Mij, dan pengusaha-pengusaha swasta di Cirebon. Kereta tersebut dengan kecepatan pelan meneruskan perjalanannya ke pelabuhan dan baru kembali ke stasiun Cirebon pada tengah hari. Jamuan makan siang diadakan di stasiun, dimana tamu undangan menikmati hidangan dari Batavia Stam en Weijns. Mereka duduk di meja panjang, dihiasi dengan mewah, dan Gubernur Jenderal menempati kursi kehormatan di ujung meja. Sementara itu, pertunjukan wayang digelar di area stasiun dari jam sepuluh hingga dua belas siang. Selain wayang, masih ada sejumlah permainan dan tidak ketinggalan pula upacara slametan yang selalu diadakan setiap kegiatan peresemian-peresmian. Rangkaian upacara dan kemeriahan tersebut adalah penanda dibukanya jalur Cirebon-Cikampek yang mulai beroperasi keesokan harinya pada 3 Juni 1912. Meskipun jalur Cikampek-Cirebon sudah beroperasi, bangunan Stasiun Cirebon masih belum seutuhnya selesai. Pembangunan Stasiun Cirebon setidaknya baru selesai sekitar bulan Agustus (De expres 21 Mei 1912).

Plafon stasiun Cirebon.
Kaca patri stasiun Cirebon.

Dari mulai beroperasi hingga hari ini, arsitektur Stasiun Cirebon masih membuat orang terkesima dengan gaya bangunannya yang tampil elegan dan menjadi salah satu permata arsitektur kota Cirebon. Bangunan Stasiun Cirebon merupakan karya arsitektur yang patut untuk diapresiasi.  Sosok yang bertanggungjawab dalam rancangan stasiun Cirebon adalah P.A.J. Moojen. Pada masanya, ia adalah salah satu arsitek yang berusaha membuat pembaharuan arsitektur di Hindia-Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tampilan bangunan Stasiun Cirebon seakaan berusaha melepaskan diri dari pengaruh arsitektur stasiun-stasiun milik SS di tempat lainnya yang cenderung mengikuti gaya arsitektur neoklasik. Sekitar awal abad ke-20, arsitek-arsitek di Eropa memulai pembaharuan dalam arsitektur, salah satunya adalah Berlage dan semangat Berlage diteruskan oleh Moojen di Hindia-Belanda. Dalam perancangan Stasiun Cirebon, Moojen dibantu arsitek lainnya bernama George Elenbaas (Bataviaasch nieuwsblad, 18 April 1912). Sejumlah kelengkapan perkeretaapian juga didirikan di sekitar Stasiun Cirebon seperti depo, turntable atau meja pemutar lokomotif, dan perumahan pegawai stasiun.


Perbandingan interior Stasiun Cirebon dulu dan sekarang.

Pembangunan jalur Cirebon-Kroya masih diteruskan oleh Staatspoorwegen. Jalur Cirebon-Margasari dibuka pada 1 Juli 1916 dan Cirebon akhirnya tersambung dengan Kroya pada 1 Januari 1917 dengan dibukanya jalur Margasari-Patuguran. Mulai saat itu, terciptalah jalur kereta yang berkesinambungan antara Cirebon dan kota-kota lain yang dilewati oleh jalur SS seperti Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, hingga Surabaya. Selain Cirebon, kota-kota lain di sepanjang pantura Jawa Tengah seperti Tegal, Pekalongan, hingga Semarang juga diuntungkan dengan jalur tersebut karena jalur kereta yang melewati kota tersebut secara otomatis juga tersambung dengan jalur kereta menuju ibukota Hindia-Belanda dan kota-kota lain di Jawa bagian barat meskipun penumpang harus berganti kereta terlebih dahulu di Cirebon sebelum meneruskan perjalanannya. Kereta malam saat itu belum ada sehingga penumpang kereta yang transit di Cirebon harus mencari penginapan. Mengingat jauhnya jarak Stasiun Cirebon yang baru dengan pusat kota Cirebon, maka Hotel Wilhelmina memindahkan hotelnya dekat Stasiun Cirebon pada 1 Mei 1914, yang mulanya hotel tersebut berlokasi di utara alun-alun. Harapannya adalah para penumpang tidak perlu berjalan jauh jika ingin mencari penginapan. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 14 April 1914)


Peron Stasiun Cirebon.

Stasiun Cirebon menjadi tempat turunnya tamu-tamu penting yang melakukan kunjungan kenegaraan di Cirebon. Sejumlah Landvoogd atau Gubernur Jenderal Hindia-Belanda menjadikan stasiun ini sebagai tempat pemberhentian saat berkunjung ke Cirebon dan di stasiun ini juga mereka menaiki kereta untuk kembali ke Batavia atau melanjutkan perjalanan ke tempat lainnya. Sewaktu Perundingan Linggarjati diadakan pada tahun 1946, Presiden Soekarno turun di stasiun ini sebelum beliau meneruskan perjalanan ke Desa Linggarjati yang berada di kaki Gunung Ciremai untuk mengikuti jalannya perundingan (De waarheid 11 November 1946). Hingga hari ini, deru suara kereta masih menggema di Stasiun Cirebon. Sekalipun mungkin sudah tidak ada lagi tamu-tamu penting yang turun di sini, namun stasiun ini akan tetap terasa penting perannya untuk Cirebon.

Referensi

Anonim. 1907.Gedenkboek Samengesteld Ter Gelegenheid Van Het Vijf en twintig-jarig Bestaan Der Samarang Joana Maatschappij. 'S-Gravenhage : Kon. Ned. Boek- En Kunsthandel Van M.M. Couvee

Rietsma, S.E. 1912. Bij Opening Cheribon Tjikampek Lijn. Soerabaiasch Handelsblad.

Bataviaasch nieuwsblad, 18 April 1912

De expres 21 Mei 1912

De waarheid 11 November 1946

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 14 April 1914