Kartasura, sebuah kota
kecil yang masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sekalipun kecil,
kota ini amatlah ramai karena ia berada di titik strategis yakni di pertemuaan
jalan raya Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta. Dalam literatur sejarah,
Kartasura merupaka bekas ibukota era Kerajaan Mataram Islam dengan sisa peninggalan
berupa sepenggal tembok bekas keraton Kartasura. Tak hanya itu saja, di
Kartasura masih ada peninggalan sejarah lain dari era yang berbeda, yaitu PG
Gembongan atau kadang disebut pula PG Kartasura. Inilah kisah dari sebuah
pabrik gula yang kini terlupakan….
|
Bangunan PG Gembongan terlihat dari luar. |
Pabrik itu berdiri di
bawah bayang-bayang cerobong asap yang sudah lama tak mengepulkan asap. Dari
jalan raya Kartasura-Surakarta, cerobong itu masih tampak menjulang tinggi kendati ketinggianya telah dilampaui oleh sebuah apartemen baru di sebelah
selatannya. Selama ini, saya hanya dapat mengagumi kemegahan pabrik yang
terselubung oleh pagar tinggi dari luar. Namun siang itu, saya dan Mas Benu,
kawan saya dari Boyolali, akan mencoba untuk menguak isi dari bekas pabrik gula
yang sekian lama ditinggalkan itu…
|
Letak PG Gembongan pada peta tahun 1925 (sumber : maps.library.leiden.edu). |
Gerbang depan pabrik
itu masih terkunci rapat dari luar, tanda tak ada seorangpun di dalamnya. Mas
Benu pun lekas mengeluarkan telepon genggamnya, menghubungi seseorang. “
Segera ke sini ya pak, sudah kami tunggu di depan pagar”, pintanya lewat
telepon genggam. Tak lama kemudian, sosok yang ditunggu pun tiba. “ Silahkan
masuk mas, montornya parkir di dalam saja”, sambut Pak Widodo, juru jaga dari pabrik tua nan kosong itu. “ Saya tunggu di sini ya. Silahkan kalau mau keliling “, ujar Pak
Widodo tanpa banyak kata. Dan akhirnya kamipun segera mengeksplorasi jengkal demi jengkal dari PG
Gembongan…
|
Detail fasad art deco pada bangunan PG Gembongan. |
Sekalipun temboknya terlihat mulai menua, pancaran keindahan gedung PG Gembongan masih begitu terasa.
Sentuhan langgam arsitektur Art Deco benar-benar terwujudkan begitu baik dalam rupa fasad bangunan
pabrik yang memainkan garis vertikal tegak lurus nan lugas. Sebuah sengkalan
berbunyi “1920” terpampang di dinding luarnya. Namun, sengkalan itu bukanlah
penanda tahun berdirinya pabrik ini, melainkan penanda tahun pabrik itu bermetamorfosis menjadi gaya Art Deco yang sedang populer di masanya. Tujuannya untuk memberi citra modern pada PG Gembongan. Lalu kapankah sebenarnya PG Gembongan ini berdiri ?
|
Kondisi PG Gembongan pada masa sekarang dilihat dari citra satelit. Keteangan : 1. Kompleks pabrik ; 2. Rumah dinas yang masih tersisa ; 3. Bekas emplasemen lori. |
Sejauh ini, saya belum
menemukan literatur yang menyebutkan dengan pasti kapan PG Gembongan berdiri.
Namun sebuah foto hitam-putih nampaknya bisa memberikan secercah titik terang
dari sejarah pabrik gula yang masih gelap ini. Pada foto tersebut, terlihat
para pegawai pabrik yang sedang berpose begitu kikuknya di depan sebuah pos
penimbang tebu. Di kejauhan, menjulang tinggi cerobong PG Gembongan. Tepat di
puncak cerobong, secara sama-samar terlihat sebuah tulisan “ Kartasoera 1899 “. Dari sengkalan yang terpampang pada cerobong itulah, dapat dipastikan bahwa PG tersebut telah berdiri di tahun
1899. Sayangnya, sengkalan tersebut sudah tak nampak lagi wujudnya. Menurut Lijst
van Ondernemingen van Nederlandsch Indie , PG Gembongan dikuasai oleh
sebuah maskapai perkebunan bernama Kartasoera Cultuur Maatschappij ( Anonim,
1914 ; 206 ).
|
PG Gembongan ketika baru saja dibuka. Terlihat para pegawai berdarah Eropa ( kanan ) dan pribumi ( kiri ) yang sedang berpose. Ketika PG Gembongan baru dibangun, bentuk dan ukuran bangunan lebih sederhana daripada sekarang. ( sumber : troppenmuseum.nl ).
|
|
Bangunan penimbang tebu. Tebu yang akan diproses terlebih dahulu ditimbang di sini. Di kejauhan menjulang cerobong PG Gembongan dengan angka tahun 1899 yang terlihat samar ( sumber : troppenmuseum.nl ).
|
Sebelum kami menyambangi
bangunan utama pabrik itu, kami terlebih dahulu berjalan menuju ke bagian barat
pabrik, tempat dimana gudang-gudang PG Gembongan berada. Gudang-gudang panjang
itu masih terlihat asli dengan tembok tebalnya. Di bawah tiang-tiang penopang
yang masih kokoh itulah, dulu ditimbun berkarung-karung gula sebelum diedarkan ke penjuru negeri. Namun di sana, yang kami jumpai hanyalah lantai berdebu
dan sampah yang berserakan di lantai.
|
Bagian dalam bangunan gudang yang ditopang oleh pilar-pilar berbentuk kotak. |
Ia berdiri memanjang di
ujung barat kompleks pabrik ini dengan sengkalan berbunyi “1928” di bagian tembok luarnya yang
menegaskan betapa tuanya gedung itu. Itulah bekas bangunan depo lokomotif yang sedang
kami sambangi. Depo itu dulunya merupakan tempat untuk menyimpan dan merawat
lokomotif kecil yang dipakai menarik rangkaian gerbong berisi tebu. Menariknya,
salah satu lokomotif PG Gembongan sudah ada yang memakai mesin diesel,
teknologi yang terbilang canggih di kala itu. Sayang, lokomotif-lokomotif itu
kini tak diketahui lagi rimbanya. Lokomotif-lokomotif kecil yang dulu pernah
mengisi bagian dalam bangunan ini, saat ini telah tergantikan dengan tumpukan
gulungan kertas..
|
Emplasemen lori PG Gembongan. Tampak lokomotif diesel yang berada di tengah emplasemen ( sumber : troppenmuseum.nl ). |
|
Tampak luar bangunan bekas remise atau depo lori PG Gembongan. Terlihat angka tahun 1918 di bagian atas. |
|
Kondisi bagian dalam bekas remise. |
Di antara eks depo dan
bangunan utama, tersempil sebuah bangunan baru. Pabrik ini memang telah beberapa
kali berpindah kepemilikan. Setelah kemerdekaan, pabrik yang semula dikuasai
oleh perusahaan Belanda, dinasionalisasi oleh pemerintah dan asetnya menjadi
milik PTPN. Kompleks pabrik ini kemudian dipecah menjadi dua, yakni sebagian
milik PTPN dan sebagian diserahkan ke ABRI. Tahun 1968, PTPN menjual pabrik ini
kepada PT Karep Bojonegoro. Singkat cerita, setelah berulangkali berpindah
tangan, bangunan tersebut kini menjadi milik PT. Sinar Grafindo. Namun kabar
terakhir menyebutkan kalau bangunan ini telah memiliki pemilik baru. Walaupun
telah beberapa kali berganti kepemilikan, nasib pabrik gula ini tetap tak
berubah. Ia tetap tak mampu bangkit kembali meraih kejayaanya seperti dulu…
|
Bagian yang dahulu menjadi akses masuk utama PG Gembongan |
|
Relief berwujud gilingan tebu yang terdapat di atas pintu masuk PG Gembongan. |
Sinar matahari menerobos
ke dalam lewat jendela kaca yang tinggi, memberi seberkas pencahayaan untuk
ruangan pabrik yang agak gelap itu. Saya kira, di dalam pabrik ini masih bisa dijumpai
berbagai mesin uap kuno yang dulu digunakan untuk menggiling tebu dan
mengolahnya menjadi gula. Tapi ternyata tidak. Di dalam sini, apa yang kami
temukan hanyalah mesin-mesin pengemas tembakau yang sudah berdebu dan teronggok
di sembarang tempat begitu saja. Seketika itu pula, kami berdua pun hanya bisa
tertegun menatap kosongnya ruangan pabrik yang langit-langitnya amat tinggi ini. Mesin-mesin pabrik gula Gembongan telah lama hilang, pasalnya di tahun 1968, pabrik ini berpindah tangan dari PTPN
ke PT Krebet Baru. Pemilik baru menganggap mesin-mesin itu sudah tiada gunanya lagi karena bangunan pabrik akan dialihkan menjadi gudang penyimpanan tembakau.
|
Bagian dalam PG Gembongan. Tampak dudukan cerobong PG. |
Suara seng yang nyaris
lepas seperti suara petir sesekali terdengar di dalam pabrik yang sunyi itu. Dinding
pabrik amatlah tinggi, sehingga udara di dalam pabrik ini tak begitu panas.
Memang demikian harusnya karena jika tidak, orang bisa pingsan kepanasan akibat
tak tahan dengan panasnya hawa dalam pabrik yang ditimbulkan oleh mesin-mesin
uap. Ketika saya mendongak, saya melihat langit-langit yang masih terbuat dari
anyaman bambu yang telah lapuk. Banyak anyaman bambu tersebut yang sudah jatuh
dan menimpa mesin-mesin di bawahnya.
|
Bagian dalam PG Gembongan. Terlihat langit-langit dari anyaman bambu yang mulai ambrol. Meski terlantar, tapi aura kejayaan PG ini masih sedikit terasa hingga sekarang. |
|
Lantai tegel lama yang sudah ditimbun. |
Lantai pabrik ini
rupanya terdiri dari dua lapis, lapis pertama terbuat dari tegel abu-abu yang
polos, tegel dari tahun 1950an. Di bawah lapisan tadi, terdapat tegel kuning
yang diimpor dari Belanda. Ketika saya membalikan tegel kuning itu, saya
melihat merk tegel “ Alfred Regout & Co.” yang pabriknya
ada di kota Maastricht, Belanda. Dua lapis tegel tadi seolah memberi pesan bahwa
perjalanan PG Gembongan telah melalui dua masa, yakni masa kolonial dan masa kemerdekaan.
|
Sumuran kecil di bagian sisi timur pabrik. |
Kami selanjutnya menjajaki
bangunan yang terdapat di sisi timur pabrik. Butuh usaha keras untuk menuju ke
sana karena kami harus menerobos lebatnya tanaman liar yang telah tumbuh di
mana-mana. Usaha kami masih belum selesai karena untuk masuk ke dalam bangunan,
kami harus menggapai undak-undakan yang tinggi. Sampai di sini, apa yang kami
temukan hanyalah sebuah ruangan yang kosong melompong. Atap bangunan ini sudah
hilang. Kuda-kuda kayu yang sudah mulai lapuk dan atap bangunan ini
sewaktu-waktu bisa ambruk. Beberapa tanaman paku liar tumbuh subur pada salah satu
ruangan sehingga merubah ruangan itu seperti sebuah hutan purba. Di sini, kami
menemukan semacam kotak sumuran kecil. Sumuran ini begitu kecil sehingga saya
yang tubuhnya kecil pun tidak dapat masuk ke dalam. Di bawah sumuran ini,
terdapat semacam terowongan kecil yang bisa jadi digunakan untuk saluran irigasi.
|
Tampak luar bangunan kantor. |
Dari bangunan tadi, kami
menuju bekas bangunan kantor yang terdapat di selatan pabrik. Kondisi di situ
ternyata jauh lebih kotor dan gelap daripada bangunan pabrik yang kami sambangi
tadi. Tak diketahui sejak kapan kantor ini sudah ditinggalkan. Beberapa bekas
dinding tripleks untuk tambahan ruangan baru masih terlihat di sini. Tak ada
hal lain yang kami temukan di sini selain kekosongan.
|
Cerobong PG Gembongan dilihat dari sebelah timur. |
Setelah berjelajah ria
mengelilingi eks PG Gembongan, kami sejenak menghilangkan letih di tempat
dimana Pak Widodo biasa beristirahat. Dengannya, kami berbincang tentang banyak
hal, termasuk ketika bangunan eks PG Gembongan diguncang gempa tahun 2006 silam.
“Tahun 2006, seluruh bangunan baru di sekitar pabrik luluh lantak akibat gempa
“, tutur Pak Widodo. “ Namun herannya saya, pabrik ini cuma bergoyang saja
ketika gempa, nyaris tak ada satupun yang rusak selain seng yang jatuh
berguguran ke bawah”, jelas Pak Widodo dengan perasaan takjub ketika ia
mengingat kembali pengalaman itu.
Sembari mengobrol, saya
berandai-andai jika seandainya bangunan ini dapat dipakai untuk keperluan lain,
misalnya menjadi gedung serbaguna yang dapat disewakan untuk berbagai acara
seperti resepsi pernikahan, pameran, pertunjukan seni, atau menjadi lapangan
olahraga indoor. Dengan demikian, bangunan PG ini dapat dilestarikan lebih baik
serta bermanfaat banyak untuk masyarakat sekitar dan juga memberi keuntungan
bagi pemiliknya. Fisik bangunan PG ini sebenarnya masih bagus, namun sayangnya
bangunan PG sebagus ini hanya disia-siakan menjadi sekedar sebuah gudang.
“ Oh ya, apakah mas
berdua sudah lihat bekas bungker di dalam PG ini ?”, tanya pak Widodo. “
Hah, bungker ? belum pak. Memangnya ada di mana itu pak ? ”, saya malah
bertanya balik dengan perasaan kaget. “ Ayo mas, saya tunjukan”, ajaknya. Kami pun
lantas mengikutinya, menuju bekas lokasi bunker yang dimaksud. “ Dulu di sini
ada bungker atau semacam ruang bawah tanah. Lumayan besar mas ukurannya, saya
saja bisa masuk ke dalam” jabar Pak Widodo sembari menunjuk perkiraan lokasi bungker
yang pernah ia masuki. “ Namun setelah tahu kalau di sini ada bungker, pemilik
yang baru minta ditutup biar tidak dieksploitasi oleh orang luar”, sambungnya. Bekas bungker itu memang
masih ada, tapi pintu masuknya telah ditutup dengan begitu rapi sehingga sukar
untuk mengenalinya kembali. Namun jangan bayangkan bila bungker-bungker tadi dipakai
untuk menyimpan barang berharga atau sebagai ruang tahanan. Tidak demikian. Bungker-bungker
tadi sesungguhnya merupakan rongga yang berfungsi untuk menyerap panas dari perut
bumi sehingga hawa di dalam ruangan tidak terlalu panas. Yah, di mana detail
lokasi bungker tadi berada tidak akan saya tunjukan di tulisan ini. Biarlah bungker
itu bersemayam dengan tenang bersama pabrik ini.
|
Bekas rumah dinas PG Gembongan yang masih tersisa. |
Setelah berpamitan
dengan Pak Widodo, kami melangkah keluar, menyusuri sebuah jalan yang dulu
sejajar dengan sebuah jalur kereta besar dari arah Surakarta yang kemudian
mengarah ke pabrik. Di masa lalu, hampir setiap pabrik gula sudah terintegrasi
dengan jalur kereta di dekatnya, sehingga gula yang sudah dikarungkan dapat
langsung dibawa ke pasaran luar.
Di dekat PG Gembongan,
dulu terdapat beberapa rumah bergaya Indis yang berdiri di sepanjang jalan
masuk pabrik dan di sebelah barat pabrik. Rumah itu ditempati oleh para pegawai
beserta keluarganya. Ia ditempatkan dekat dengan pabrik guna mengurangi waktu
perjalanan para pegawai dari tempat tinggal ke tempat kerja sehingga biaya perjalanan dapat dikurangi.
Dalam warta Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indische tanggal 8 November 1909, lingkungan PG Gembongan sempat digemparkan dengan aksi perampokan yang menimpa salah satu pegawai yang tinggal di dekat pabrik. Kejadian bermula di
malam tanggal 2 November 1909, sekitar jam setengah satu malam. Sebuah rumah
yang ditempati pegawai pabrik berdarah Tionghoa bernama Ang Ing Gwan, disatroni
oleh perampok berjumlah 5 orang. Kelima perampok ini semuanya berdarah Jawa.
Dengan membawa senjata berupa pistol revolver dan golok, perampok ini berhasil
menyandera tuan rumah dan memaksa dia untuk menunjukan tempat barang
berharganya disimpan. Mengetahui telah terjadi perampokan, istri si tuan rumah
bergegas keluar untuk mencari bantuan. Nahas, lengan si istri tuan rumah yang
malang tadi terkena sabetan golok. Kemudian, anak perempuan
si tuan rumah yang masih berusia 10 tahun tiba-tiba menyerahkan celengan berisi 40 f kepada perampok untuk membebaskan ayahnya. Setelah dibebaskan,
si tuan rumah bergegas ke kamar tidurnya untuk mengambil pistol revolver
miliknya. Menyadari hal tersebut, perampok tadi melepaskan beberapa tembakan.
Dor !! Tembakan pertama meletus dari pistol salah satu perampok, namun tembakan
tersebut meleset. Bagaikan film laga, terjadilah aksi
tembak-menembak. Timah-timah panas menembus badan beberapa perampok. Kerasnya suara adu tembak tadi memecah kesunyian malam dan membangunkan pegawai pabrik lain. Mereka pun penasaran, berhamburan keluar rumah dan segera menghampiri asal kegaduhan tadi.
Menyadari massa semakin banyak, gerombolan perampok tadi akhirnya lari tunggang
langgang meninggalkan korbannya. Istri tuan rumah yang terluka segera dibawa ke
Surakarta untuk mendapat pertolongan. Sayang, rumah tempat dimana drama adu
tembak tadi terjadi sepertinya sudah tak ada lagi. Hampir semua bangunan rumah
pegawai PG Gembongan sudah rata dengan tanah, menjelma menjadi bangunan baru.
Hanya tiga rumah saja yang masih terlihat utuh.
Di penghujung penjelajahan, kami kembali lagi ke
pabrik, menatap sekali lagi penggalan warisan PG Gembongan yang nyaris termakan
oleh zaman itu. Pabrik tua dengan tembok usangnya itu, sesungguhnya merupakan
cerminan dari ironi industri gula di Indonesia dewasa ini. Kemegahan bangunan
tua pabrik ini seolah memperlihatkan betapa digdayanya industri gula di masa
lalu. Namun melihat kondisi pabrik saat ini yang telah kosong, ia seolah
menunjukan realita nasib industri gula dalam negeri yang kini terpuruk.
Referensi
Anonim. 1914. Lijst
van Ondernemingen van Nederlandsch Indie. Batavia : Landsdrukkerij