Sabtu, 14 Mei 2016

Menyelami Purworejo, Kota Kecil Calon Ibukota Darurat Hindia-Belanda yang Terlupakan

Apa yang menjadikan kota Purworejo dijuluki sebagai kota pensiun ? Entahlah. Saya yang lahir dan tumbuh di kota itu sampai sekarang tidak tahu asal muasal julukan tadi. Namun ketika berjalan mengelilingi kota kecil ini, julukan kota pensiun ada benarnya juga. Jalanan yang lengang dengan pohon-pohon asam besar di kanan-kirinya dan segudang bangunan tua peninggalan masa Belanda yang masih utuh tampaknya menjadi sebuah perpaduan yang bagus untuk para pensiunan yang ingin menghabiskan masa tuanya. Pada tulisan Jejak Kolonial kali ini, saya akan memandu berkeliling kota Purworejo, menggali sekilas kejayaan masa lampau Purworejo lewat peninggalan-peninggalan yang bertaburan di berbagai penjuru kota kecil ini. Tulisan saya kali ini akan saya dedikasikan untuk kota Purworejo tercinta……
Persebaran bangunan kolonial yang ada di Purworejo. Keterangan ; A : Alun-alun Purworejo, B : Masjid Agung Purworejo, C : Pendapa Kabupaten Purworejo, D : GPIB Purworejo, E : Eks rumah Residen Bagelen, F : Kompleks militer, G : Eks kompleks HKS Purworejo, H : Kerkhof Purworejo, I : Gereja Santa Perawan Maria, J : Stasiun Purworejo, K : Pecinan Purworejo, L : Kampung Afrikan
Saya kini berdiri di tengah alun-alun Purworejo, sebuah ruang terbuka yang terletak di tengah kota Purworejo. Alun-alun itu dikepung dengan bangunan-bangunan penting seperti kediaman bupati dan residen, masjid, gereja, kantor pos, kantor pengadilan, dan penjara. Dengan ukuran sebesar 250 m x 250 m, ia menjadi alun-alun kota tradisional terluas di Jawa yang pernah dibangun. Dalam konsep tatanan kota tradisional Jawa, alun-alun menjadi komponen utama sebuah kota. Di sinilah berbagai upacara penting dihelat, rakyat berkumpul dalam sukacita perayaan dan juga sebagai tempat beranjangsana. Sepasang pohon beringin ditanam di tengah alun-alun sebagai bentuk legitimasi bahwa seorang bupati tak hanya sebagai seorang penguasa wilayah saja, namun juga merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Dalam sejarahnya, alun-alun tersebut menjadi tempat rapat umum yang dihadiri oleh Bung Tomo pada 24 Mei 1948. Di sisi utara alun-alun, dapat dijumpai dua buah paseban, tempat para tamu bupati dulu singgah sebelum diperkenankan menghadap ke bupati. Di kejauhan, saya dapat melihat sedikit puncak perbukitan Menoreh, dimana lembah-lembahnya dulu menjadi palagan utama Perang Jawa yang dahsyat. Kota Purworejo modern yang dikenal saat ini, sesungguhnya bercikal di atas abu perang itu.
Suasana alun-alun Purworejo tempo dulu. Di kejauhan tampak rumah Residen yang kini menjadi kantor bupati Purworejo.
Waktu sejenak mundur kembali ke belakang, yakni saat Perang Jawa yang berkecamuk dari tahun 1825 hingga 1830. Perang yang banyak menelan biaya itu merupakan titik puncak kekecewaan Pangeran Diponegoro terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang kian hari semakin mencampuri urusan dalam Kraton Yogyakarta. Perang sengit yang mempertemukan Pangeran Diponegoro dan pemerintah kolonial Belanda itu berlarut cukup lama karena Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjalankan perang gerilya yang berhasil membuat militer Belanda kelimpungan. Menghadapi gaya perlawanan seperti itu, Jenderal Frans David Cochius menerapkan siasat benteng stelseldimana militer Belanda mendirikan beberapa benteng dan markas semi permanen pada lokasi yang dianggap dapat mempersempit ruang gerak pengikut Pangeran Diponegoro. Benteng tersebut tak hanya berfungsi sebagai tempat perlindungan belaka, namun juga sebagai pangkalan militer, tempat serangan disusun. Salah satu lokasi yang dipilih adalah Kedungkebo yang berada di pinggiran sisi barat Sungai Bogowonto. Lokasi tersebut dipilih karena berhadapan dengan palagan pertempuran Pangeran Diponegoro dengan Belanda yang terbentang dari Sungai Progo di timur hingga Sungai Bogowonto di barat. Pada tahun 1828, militer Belanda menempatkan kolonel Jan Baptiste Cleerens di Kedungkebo sebagai komandan area Bagelen timur.
Peta kota Purworejo pada tahun 1875 (sumber : media-kitlv.nl)
Peta kota Purworejo pada tahun 1905 (sumber : maps.library.leiden.edu).
Tertangkapnya Pangeran Diponegoro di Magelang pada tahun 1830 menjadi tanda berakhirnya Perang Jawa. Sesudah perang, Kasunanan Surakarta menyerahkan wilayah Madiun, Kediri, Banyumas, dan Bagelen kepada Belanda sebagai pampasan perang. Gubernur Jenderal Van den Bosch, melalui besluit tanggal 18 Desember 1830 mengumumkan Bagelen dijadikan sebagai karesidenan yang mencakup wilayah seperti Tanggung (Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Remo Jatinegara (Karanganyar), Kutowinangun (Kebumen), Ledok (Wonosobo), dan Ambal dengan. Setelah Karesidenan Bagelen diresmikan, pemerintah kolonial mengutus Pieter Herbert Baron van Lawick van Pabst ke Brengkelan untuk membentuk pemerintahan kolonial di sana. Nama Brengkelan yang dirasa kurang patut untuk sebuah hoofdplaats atau pusat pemerintahan akhirnya diganti dengan nama Purworejo yang berarti “Awal dari Kemakmuran” (Carey, 2017; 199-200).
Alun-alun Purworejo.
Paseban tempat para tamu bupati menunggu sebelum diizinkan untuk bertemu.
Bangkitnya Purworejo paska Perang Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa bupati perdana Purworejo, Cokrojoyo atau Cokronegoro I, mantan abdi dalem Kasunanan Surakarta yang di masa muda pernah satu seperguruan dengan Pangeran Diponegoro. Karena dia merupakan abdi Kasunanan Surakarta yang dimana pada waktu itu terikat perjanjian dengan Belanda, maka dengan berat hati dia bergabung dengan pihak kolonial melawan Diponegoro sebagai bentuk baktinya kepada Kasunanan Surakarta. Meskipun dia berada di pihak kolonial, beliau tidak pernah berhadapan secara langsung dengan Pangeran Diponegoro dan lebih memilih untuk menghindar karena dia merasa masih satu saudara seperguruan dengan Pangeran Diponegoro. Setelah perang usai, pemerintah kolonial mengangkat Cokronegoro I yang saat itu menjabat Bupati Brengkelan, sebagai bupati pertama Purworejo pada tanggal 9 Juni 1830 dengan diberi gelar Cokronegoro I. Menariknya, berbeda dari kebanyakan bupati saat itu yang memiliki darah biru, Cokronegoro berasal dari keluarga priyayi desa. Karena latar belakangnya itulah kecakapan ia dalam memimpin sempat diragukan Gubernur Jenderal. Namun akhirnya Cokronegoro I berhasil membuktikan bahwa ia adalah administrator yang cakap. Jauh lebih cakap dari pejabat kolonial sendiri lantaran ia sendiri pernah memiliki pengalaman sebagai abdi dalem di Kasunanan. Dalam mengatur pemerintahan ia tak sendiri karena ia dibantu pula oleh administrator Jawa kawakan dari Blora, Tumenggung Ario Suronegoro (Carey. 2017; 204-206).
Masjid Agung Purworejo sekarang dan dulu.
Berbagai bangunan peninggalan Bupati Cokronegoro I dapat ditemukan di sekitar alun-alun. Berada di sebelah barat alun-alun ialah Masjid Agung Purworejo. Berdasarkan prasasti yang terpampang di atas pintu masuk ruang shalat utama, masjid ini didirikan tahun 1834. Layaknya masjid-masjid tua di Jawa, masjid itu memilliki atap tajug tumpang tiga dengan hiasan mustaka yang bertengger di puncak. Konstruksi masjid ditopang oleh empat tiang sokoguru atau tiang utama dengan umpak yang diambil dari bekas Yoni peninggalan masa klasik. 12 tiang soko rowo membantu konstruksi di dalamnya. Arsitektur masjid tradisional seperti masjid ini sudah semakin jarang ditemukan pada alun-alun di Jawa. Rata-rata bangunan masjid lain sudah dirombak menjadi modern dengan atap berbentuk kubah ala Timur Tengah. Sementara itu, di bagian serambi depan terdapat sebuah bedhug berukuran raksaksa yang dikenal sebagai Bedug Agung Pendhowo. Pembuatan bedhug ini bersamaan dengan pembangunan masjid ini. Menariknya, bedhug ini dibuat dengan kayu jati utuh tanpa sambungan.
Saluran air Kedung Putri.
Pintu air saluran Kedungputri di Trirejo.
Di belakang masjid itu, mengalir sebuah saluran air Kedung Putri yang membelah kota Purworejo. Kehebatan Cokronegoro dan trahnya tak hanya di bidang administrasi saja. Namun juga di bidang infrastruktur. Infrasturktur saat itu menjadi bidang yang sangat diutamakan oleh Cokronegoro karena saat itu wilayah Purworejo adalah wilayah terpencil yang saking terpencilnya oleh Kolonel Cleerens disebut ‘buiten het wereld’, di luar dunia. Ditambah pertanian di Bagelen saat itu sempat terpuruk akibat perang. Maka pada 1832, Cokronegoro menggagas pembangunan saluran air yang airnya diambil dari sungai Penungkulan. Proyek raksaksa itu dikerjakan selama satu setengah tahun  dengan tenaga sebanyak 5.000 orang. Pembangunan saluran air itu kemudian dilanjutkan oleh para penerus Cokronegoro I. Mereka sadar jika kekuatan ekonomi utama Purworejo adalah pertanian. Dampak pembangunan saluran air itu sangat dirasakan oleh para petani Purworejo sampai hari ini. Sejarawan Robert van Niel menyebut jumlah lahan yang dibuka di Karesidenan Bagelen meningkat 220 persen, jauh lebih unggul dibandingkan Karesidenan Cirebon, Surabaya, atau Tegal (Carey, 2017; 209-214). Pada tahun 1871, debit air saluran air Kedungputri ditingkatkan dengan menambahkan pintu air baru rancangan Insinyur Pet yang airnya disadap dari sungai Bogowonto. Pada saat yang bersamaan, saluran air Kedungputri diperlebar dan ditambahkan bendung pelimpah. Kemudian jembatan yang ada di kota  juga ikut diperbesar. Pada tahun 1896, jaringan irigasi Kedungputri diperluas dengan biaya 39.309 gulden. Selama perluasan, pekerja sering menemukan batu-batu cadas besar yang hanya bisa disingkirkan dengan alat peledak sehingga pengeluaran proyek bertambah sebesar 16.664 gulden. Seluruh proses perluasan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1904 (Verslag B.O.W 1907).
Pendopo Kabupaten Purworejo dulu (1930an) dan kini (2016). Tidak ada yang berubah selain bendera yang berkibar di depan pendhopo. Jika dulu bendera triwarna Belanda, kini bendera Merah Putih yang berkibar di depan pendhopo.
Bagian dalam pendopo.
Di sebelah utara alun-alun, berdiri kediaman resmi dari bupati Purworejo. Setelah diangkat menjadi bupati, tindakan pertama yang Cokronegoro lakukan adalah menggabungkan dua kota kuno, yakni Brengkelan dan Kedungkebo (Oteng Suherman, 2013; 38-39). Kediamannya yang semula berada di Brengkelan (kini jadi Hotel Suronegaran), dipindah ke utara alun-alun. Gedung kediamannya purna dibangun tahun 1833 dan seterusnya dihuni oleh para bupati Purworejo. Gedung sengaja dibangun menghadap ke arah selatan karena dalam konsep kosmologi Jawa, di selatan terdapat samudera Hindia yang dipercaya menjadi kediaman Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk tidak membelakangi Keraton Surakarta yang dihormati oleh Cokronegoro. Bangunan pendapa merupakan bentuk arsitektur khas Jawa yang dasarnya berupa konstruksi atap yang ditopang oleh kolom-kolom dengan tata letak berbentuk persegi atau persegi panjang. Keempat sisi pendapa terbuka, tidak memiliki dinding. Sebagai simbol aristokrat Jawa, langit-langit dan kolom pendapa diberi hiasan. Dalam arsitektur tradisional Jawa, pendopo adalah bagian rumah yang bersifat publik untuk menerima tamu, penyelenggaraan upacara penting, dan pagelaran pertunjukan seni. Menurut buku harian Cokronegoro I yang dihibahkan pada Bernhard von Sachsen Weimar, bupati sering mengadakan perjamuan dengan hidangan daging banteng, rusa, babi hutan, ayam hutan, dan merak yang diburu penduduk sekitar untuk santapan tamu bupati (Carey, 2017;158). Sementara kediaman bupati yang bersifat privat berada di belakang pendopo dan dirancang dalam arsitektur Indis. Bangunan rumah bupati Purworejo sempat mengalami kerusakan pada tahun 1878 dan baru dipugar pada 1892 dengan bantuan dari Burgerlijke Openbare Werken. Pemugaran tersebut menghabiskan biaya sebanyak 80.740 gulden.
Kediaman Residen yang kini beralih menjadi kantor bupati. Masih tetap menjadi pusat kuasa pemerintahan Purworejo.
Sebagai upaya pemerintah kolonial untuk menundukkan kuasa pemerintah pribumi, di sekitar alun-alun terdapat bangunan-bangunan penting milik pemerintah kolonial. Yang terpenting tentu saja kediaman sang residen Bagelen, pusat kuasa pemerintah kolonial di Bagelen. Bangunan berlanggam Indisch Empire Style ini memiliki kolom-kolom besar di beranda depannya yang dimaksudkan sebagai bentuk kekuasaan mereka dihadapan orang-orang pribumi. Bangunan yang didirikan sekitar pertengahan abad ke 19 ini dibuat menghadap ke arah utara, tempat tinggal bupati, sebagai perlambang adanya pengawasan dari pemerintah kolonial terhadap segala aktivitas di kediaman bupati, sehingga dapat dikatakan ada nuansa politis pada pemilihan lokasi kediaman residen. Dengan sedikit perubahan pada bagian wajah, bangunan itu masih menjadi pusat kekuasaan di Purworejo, kali ini sebagai kantor bupati Purworejo. Entah bagaimana perasaan residen seandainya ia hidup kembali dan melihat bendera Merah Putih berkibar di depan kediamannya. Pada tahun 1901, setelah kota Purworejo kehilangan statusnya sebagai ibukota akibat Karesidenan Bagelen dilebur dengan Karesidenan Kedu, maka bangunan tadi turun statusnya menjadi kediaman asisten residen. Walaupun Purworejo tak lagi menjadi kota penting namun pembangunan berbagai fasilitas masih terus dilanjutkan oleh pemerintah kolonial…
GPIB Purworejo.
Bagian dalam GPIB Purworejo.
Terletak di sebelah timur alun-alun, GPIB Purworejo adalah gereja yang masih mempertahankan bentuk lamanya. Sentuhan langgam neo-gotik begitu kentara dengan jendela-jendela kaca berbentuk jarum. Itulah Indische Kerk, tempat ibadah yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Ambon penganut Kristen Protestan. Gereja yang diresmikan pada pertengahan abad ke-19 itu aslinya memiliki menara lonceng beratap tajug, lalu atap menara itu diubah menjadi kubah. Gereja tersebut merupakan bagian dari Indische Kerk, gereja yang berada di bawah kendali pemerintah kolonial. Saat itu, gereja tersebut adalah satu-satunya gereja di Karesidenan Bagelen. Tugas utama pendeta Indische Kerk adalah pemberian layanan rohani untuk sejumlah kecil penduduk Eropa atau orang Ambon di Purworejo yang didatangkan sebagai pasukan KNIL. Ini menjadi penjelasan mengapa ukuran bangunan gereja relatif kecil. Saat jumlah orang Jawa yang masuk agama Kristen semakin banyak berkat peran Kyai Sadrach, maka timbulah ketegangan karena daya tampung gereja yang kecil tidak bisa menerima jemaat dan di saat yang sama orang-orang Belanda kurang senang dengan membanjirnya kaum pribumi di gereja mereka (Guilot, 2020: 159).
Foto udara garnisun Kedungkebo pada tahun 1920an (sumber ; media-kitlv.nl)
Pintu masuk garnisun Kedungkebo.
Dari alun-alun, saya kemudian berjalan menyusuri jalan Urip Sumoharjo. Nama jalan itu diambil dari nama jenderal pendiri BKR, organisasi cikal bakal TNI, yang lahir di kota ini. Kota ini memang banyak melahirkan para petinggi di jajaran militer, mulai dari Jend. Urip Sumoharjo, Ahmad Yani, hingga Sarwo Eddhie Wibowo. Banyaknya orang Purworejo yang terjun ke kancah militer barangkali dilatari oleh peran kota ini sebagai kota garnisun di masa lampau. Sesudah Perang Jawa berakhir, markas militer Belanda di Kedungkebo tetap dipertahankan sebagai upaya pasifikasi wilayah Bagelen mengingat masih ada sisa-sisa pengikut Pangeran Diponegoro yang dapat mengganggu kedudukan Belanda sewaktu-waktu. Garnisun atau tangsi Kedungkebo kemudian menjadi markas 3 kompi dari Batalyon ke-8 KNIL. Semasa pendudukan Jepang, Jepang memakai tangsi-tangsi itu untuk menampung tawanan Eropa. Sejak tahun 1949, tangsi-tangsi tinggalan Belanda diserahkan kepada TNI dan kini ditempati oleh Batalyon Kostrad 412. Kehidupan militer cukup merasuk ke dalam sendi kebudayaan Purworejo. Misalnya adalah kesenian tari Dolalak yang busananya ada kemiripan dengan seragam tentara Belanda pada abad ke-19.


Rumah-rumah tua di sepanjang jalan Urip Sumoharjo, Purworejo (depan gedung DPRD) yang dahulunya ditempati oleh para opsir militer berpangkat kapten.
Salah satu rumah tua di jalan Sapta Marga yang dahulu digunakan untuk bintara.
Foto rumah perwira militer di Purworejo pada tahun 1923. Sumber : Indie
Kesejahteraan perwira di negeri jajahan diperhatikan begitu baik oleh pemerintah. Salah satu upayanya adalah dengan menyediakan hunian untuk para perwira militer beserta keluarganya sehingga mereka tidak perlu kesulitan saat mencari tempat tinggal yang layak. Pada tahun 1914, militer Belanda menambahkan beberapa sarana militer baru di Purworejo seperti barak baru untuk 3 kompi tambahan, rumah dinas perwira dan bintara, serta rumah sakit militer. Rangkaian pembangunan tersebut selesai pada tahun 1917 (Bataviasch Nieuwsblad, 8 April 1916). Rumah-rumah perwira tersebut dibangun mengikuti ukuran dan tata letak yang sudah ditetapkan persyaratannya. Maka dari itu seringkali akan dijumpai bentuk rumah-rumah perwira yang serupa di tempat yang berbeda. Rumah-rumah perwira terbagi dalam beberapa tingkatan sesuai kepangkatan militer. Penataan rumahnya mengikuti dengan rumah di Hindia Belanda yang umum saat itu, yakni membagi rumah menjadi dua bangunan, yakni bangunan induk dan bangunan penyerta. Bangunan induk berisi kamar untuk tempat tinggal dan ruang keluarga. Sementara bangunan penyerta dibangun terpisah dari bangunan induk dan terdiri dari gudang, ruang cuci, dapur, kamar mandi, kamar privat (toilet), kamar pembantu, kandang kuda, dan garasi kereta kuda. Terkadang untuk yang tingkatnya lebih tinggi disertai dengan paviliun tamu di bagian depan. Guna penghematan, rumah tinggal letnan dan kapten kadang dibuat dalam bentuk kopel, yakni satu bangunan terdiri dari dua rumah (Roijen, 1903: 129-130). 
Rumah sakit DKT Purworejo.
Saya berbelok ke Jalan Panca Marga. Di seberang deretan bangunan kopel tua, terdapat sebuah rumah sakit militer yang kini menjadi RS DKT. Sebagaimana kota garnisun, di kota Purworejo dapat ditemukan rumah sakit yang sejatinya dikhususkan untuk kepentingan militer. Kendati ia diperuntukan untuk kalangan militer, namun di masa kolonial, rumah sakit menjadi jujugan orang Eropa dan pribumi papan atas karena pelayanannya dianggap memuaskan. Oleh karena itulah rumah sakit ini pada tahun 1919 tidak diperkenankan menerima pasien dari luar kalangan militer kecuali rumah sakit zending sudah penuh. Beberapa saat sesudah kemerdekaan, rumah sakit ini sempat menjadi kamp internir untuk orang-orang Eropa.
Tangsi Kedungkebo pada tahun 1870an (sumber ; media-kitlv.nl)
Sisa blokchuis.
Di belakang rumah sakit tersebut, terdapat bekas sarana pertahanan yang dikenal sebagai blockhuis atau rumah kubu yang sekarang ditempati oleh Detasemen Perbekalan. Pada bagian atas pintu masuk, tertera angka tahun 1833 yang merujuk pada tahun selesainya bangunan itu dibuat. Keberadaan blockhuis tersebut berkaitan dengan strategi pertahanan pulau Jawa yang dibuat oleh Komisaris Jenderal J. van den Bosch dan kepala divisi zeni militer, Kolonel C. van Der Wicjk, untuk melindungi pulau Jawa dari serangan luar. Strategi tersebut dibuat karena situasi dalam negeri Belanda sedang kacau akibat Revolusi Belgia tahun 1830. Belanda khawatir bila kekacauan tersebut dimanfaatkan oleh bangsa Eropa lain untuk mencaplok tanah jajahannya. Belajar dari kegagalan Belanda dalam membendung serangan Inggris di Jawa pada 1811, selain mendirikan pertahanan di pesisir utara, mereka juga mendirikan pertahanan di pedalaman. Dengan jaringan sarana pertahanan tersebut, maka pasukan dapat ditarik ke benteng yang ada pedalaman seandainya wilayah pesisir utara jatuh ke tangan musuh dan dari benteng tersebut Belanda dapat melancarkan serangan balik terhadap musuh (Van Brakell, 1863; 294)Pada tahun 1844, militer Belanda secara rahasia mengutus Mayor Jenderal Friedrich Balduin Von Gagern untuk meninjau pertahanan yang dibuat oleh Van den Bosch dan C. Van der Wijck. Dari hasil peninjauannya, Von Gagern memberi usulan bahwa seandainya musuh mengancam Batavia, maka pemerintah kolonial hendaknya memindahkan pemerintahannya di Purworejo untuk sementara waktu (Kielstra, 1879; 32). Usulan Von Gagern ini didasarkan dengan berbagai pertimbangan, antara lain iklimnya yang cukup sehat, terdapat blockhuis dan garnisun militer yang dapat dikembangkan sebagai sarana pertahanan, lokasinya yang strategis serta posisinya yang berada jauh di pesisir selatan sehingga kecil kemungkinan musuh menjangkau sampai sini. Purworejo juga lumayan dekat dengan Cilacap  yang rencananya akan digunakan sebagai titik evakuasi jika Purworejo sudah terancam (Gill. R. Ronald, 1990; 151). Dengan demikian, maka Purworejo akan menjadi national redoubt atau ibukota darurat pemerintah Hindia-Belanda. Jika kedudukan pemerintah kolonial sudah terdesak, maka Purworejo akan menjadi titik pertahanan terakhir di Jawa. Dari kota kecil inilah roda pemerintahan kolonial Hindia-Belanda akan dijalankan sampai keadaan mereda. Sebagai persiapan, maka dibangun sebuah gedung yang nantinya dipakai sebagai kantor pemerintahan jika seandainya pemerintahan Hindia-Belanda betul-betul jadi dievakuasi ke Kedung Kebo. Selama masa damai, gedung tersebut dijadikan sebagai pupillenschool, yakni sekolah untuk anak-anak serdadu Belanda. Sepanjang abad ke-19, wilayah Pulau Jawa ternyata relatif damai, tidak ada pemberontakan besar dari dalam pulau maupun serangan bangsa asing lain dari luar. Maka dari itu, untuk menghemat biaya pemeliharaan yang besar, maka beberapa sarana benteng diratakan atau dialihfungsikan untuk keperluan lain seperti blockhuis Kedungkebo yang dialihfungsikan sebagai rumah sakit militer. Sementara itu, rencana Purworejo untuk menjadi ibukota darurat akhirnya dibatalkan dengan keputusan pemerintah tahun 1873.
Bekas kantin militer yang kondisinya rusak parah.
Dari Jalan Panca Marga, saya menyeberang ke Jalan Ksatrian. Jalan ini merupakan akses utama ke kompleks Yonif 412, sebuah kompleks militer yang menempati bekas tangsi militer Belanda. Di depan kompleks itu, terdapat sebuah gerbang besar dengan sengkalan 1918 yang terpampang di atas pintu masuk. Tentara dengan seragam hijau loreng berjaga di depan pintu masuk, tanda bahwa kompleks itu tidak dapat sembarangan dimasuki orang. Di ujung Jalan Ksatrian, terdapat sebuah bangunan tua dengan kondisi yang memprihatinkan. Itulah bekas kantin militer. Di tengah kehidupan tangsi yang monoton dan suntuk, kantin militer serasa menjadi surga tersendiri. Di tempat itulah, para serdadu Belanda mencari kesenangan sesudah latihan atau bertugas. Di sana, mereka dapat menonton pertunjukan sandiwara, film, atau memesan minuman keras yang telah diatur porsinya. Di sini masih bisa ditemukan bekas sebuah ruang proyektor, lalu ruang penonton dengan lantai berundak agar penonton di belakang tidak terhalang oleh penonton di depannya, dan panggung untuk memutar film atau untuk menampilkan pertunjukan sandiwara. Sebelum rusak, bangunan ini digunakan sebagai Balai Prajurit dan warga sekitar sering menggunakan bangunan ini untuk kegiatan masyarakat.
SMA N 7 Purworejo,dulu Hoogere Kweekschool Poerworedjo.
Berikutnya, saya kembali ke Jalan Urip Sumoharjo. Persis di seberang barat kompleks militer, terdapat sebuah kompleks sekolah peninggalan Belanda yang kini ditempati SMA N 7 Purworejo. Sekolah yang dulu bernama Hoogere Kweekschool Poerworedjo itu hanya satu dari sekian sekolah yang dibuka oleh Belanda di beberapa sudut kota Purworejo ( ulasan lebih lengkap tentang HKS Purworejo dapat dibaca di " HKS Purworejo, Tetenger Pendidikan Guru di Indonesia " ). Hoogere Kweekschool Purworejo adalah sekolah yang sangat kondang di masanya. Ia bisa disejajarkan dengan Tehnicshe Hoogeschool (kini ITB) di Bandung. Bedanya Hoogere Kweekschool Purworejo melahirkan para guru-guru yang berjasa di dunia pendidikan. Tak mengherankan jika Purworejo disebut sebagai kota pusat pendidikan. Keberadaan institusi pendidikan di Purworejo sejatinya sudah hadir bahkan sejak kota itu dibangun. Kala itu, sebuah sekolah dibuka di kompleks tangsi Kedungkebo untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dari keluarga serdadu Belanda yang masih aktif atau yang sudah pensiun. Perkembangan pendidikan di Purworejo kian pesat setelah politik etis diterapkan di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, ditandai dengan semakin banyak sekolah yang dibuka di Purworejo, baik yang dibuka oleh pemerintah maupun dari lembaga zending Kristen dan misi Katolik. Sekolah-sekolah itu antara lain Inlandsche School (SD N 1 Purworejo), Chr. Hollandsch. Javaansche School (SMP N 4 Purworejo), Hollandsch Inlandsche School (SMP N 1 Purworejo), Hollandsch Chineese School (SMP Widhodo), dan Lageree Europesche School (SMP N 2 Purworejo). Di sekolah-sekolah itulah orang Belanda atau pribumi yang mampu menyekolahkan putra-putri mereka.
SMP N 2 Purworejo, dulu Lageree Europesche School.
SMP N 1 Purworejo, dulu Hollandsch Inlandschool.
SMP N 4 Purworejo, dulu Chr. Hollandsch Javaansche School.
SD N 1 Purworejo, dulu Inlandsche School. Di dalam SD ini terdapat sebuah ruang kelas yang bangku-bangkunya masih asli dari zaman dahulu.
Dari kompleks SMA N 7 Purworejo, saya menyusuri Jalan Mayjend. Sutoyo yang dinaungi oleh rindangnya pohon-pohon asam tua yang sudah menjulang sedari zaman Belanda, menjadikan jalanan kota Purworejo terasa sejuk dan teduh di mata orang Eropa. Seorang pengelana Eropa bernama Becking dalam tulisan berjudul Eene Beschrijving van Poerworedjo en Omstreken yang diterbitkan dalam majalah Indie menyebutkan bahwa Purworejo "memiliki jalan jalan yang lebar, dipayungi oleh pohon asam dan kenari yang tua". Tidak heran jika mereka menyanjung Purworejo sebagai tempat terbersih dan terindah di selatan pulau Jawa. Salah satu dari mereka, Van Gelder, yang pernah mengunjungi Purworejo di tahun 1893, menulis :

Tempat yang memiliki jumlah penduduk sekitar 12.000 jiwa ini merupakan salah satu tempat terbersih di Jawa. Sisi kanan dan kiri jalan ditanam dengan pohon asam. Rumah bupati dan residen merupakan sebuah bangunan yang indah ” (Gill. G. Ronald, 1990; 216).
Pohon asam tua yang masih berdiri tegak di tengah kota Purworejo. Pohon-pohon inilah yang membuat para pengelana Eropa terpikat dan memuji Purworejo sebagai tempat terbersih di Jawa.
Di sepanjang jalan itu, berdiri beberapa bangunan bergaya kolonial yang dahulu digunakan sebagai kantor-kantor ambtenar atau pamong pemerintah kolonial seperti Waterstaat Kantoor (Kantor BKSDA), Irrigatie Kantor (Dinas Pengairan), Landraadgebouw (Museum Tosan Aji) dan Djaksaakantoor (Satlantas Purworejo,eks Polres Purworejo). Beruntung, beberapa bangunan ini wujud aslinya masih terlihat sampai sekarang. Apabila berbelok ke Jalan Makam Kerkhof, di ujung jalan itu terdapat permakaman yang menjadi tempat peristirahatan terakhir orang-orang Belanda. Di permakaman itu masih dapat dilihat makam-makam Belanda yang sayangnya banyak yang kondisinya rusak ( ulasan lebih lengkap tentang kerkhof Purworejo dapat dibaca di " Pusara Tua nan Renta di Kerkhof Purworejo " ).
Kantor Pos Purworejo.
Kantor BKSDA, dahulu adalah kantor Waterstaat.
Rumah dinas controleur Purworejo.
Rumah yang cukup besar di jalan Mayjen. Sutoyo yang kini menjadi kantor Badan Kepegawaian Daerah. Rumah ini dahulu dihuni oleh insinyur pengairan Belanda.
Kantor Inspektorat, dulunya adalah kantor Irragatie-Dienst.

Satlantas Purworejo, dulu Djaksakantoor atau kantor jaksa.
EKs Museum Tosan Aji, dulu Landraadgebouw atau pengadilan. Di sinilah dahulu pelaku kejahatan disidang dan dijatuhi hukuman untuk selanjutnya dimasukan ke penjara yang berada di depan gedung ini.
Gapura Kerkhof Purworejo.
Di tengah kota Purworejo, tengara bangunan kolonial lain berupa stasiun masih ada meski sekarang tidak dipakai lagi. (ulasan lebih lengkap mengenai stasiun ini dapat dibaca pada Membongkar Ingatan di Stasiun Purworejo )
Stasiun Purworejo.
Selain rumah sakit milik militer, di Purworejo masih ada satu rumah sakit lagi yang dirintis oleh seorang zending bernama Dr. J. C. Flach. Tanggal 15 Februari 1918, rumah sakit zending resmi dibuka untuk pasien dari masyarakat umum. Untuk menunjang pelayanannya, rumah sakit zending dilengkapi mobil ambulan yang membantu sekali saat Purworejo dilanda epidemi kolera pada bulan Juni 1918 (Pol, 1992;264) Rumah sakit ini memiliki beberapa poliklinik pembantu di Bener, Loano, Kaliboto, Cangkrep, Krendetan, dan Kemanukan. Pendanaan rumah sakit zending selain disokong oleh lembaga zending juga dibantu oleh PG Jenar. Hari ini, rumah sakit zending itu dikelola oleh pemerintah daerah dan berubah nama menjadi RSU Dr. Tjitrowardojo. Bagian depan rumah sakit ini memang sudah banyak yang berubah, namun beberapa bangsal masih menggunakan bangunan lama. Di samping rumah sakit ini juga terdapat sebuah rumah tua yang dahulu menjadi rumah dinas untuk dokter.
Pasar Baledono tempo doeloe.
Jantung perekenomian Purworejo di masa lalu hingga sekarang terletak di pasar Baledono. Di pasar itulah, masyarakat Purworejo dari berbagai penjuru berkumpul untuk mengais rezeki agar dapur di rumah bisa mengepul. Beraneka barang didagangkan di pasar itu. Di pertengahan tahun 2013, si jago merah melalap habis pasar itu. Tahun ini (2017) bangunan pasar akan dibangun kembali dengan ukuran yang lebih besar dari sebelumnya. Di sekitar pasar, dapat dijumpai deretan bangunan ruko bergaya Tionghoa (ulasan lebih lengkap mengenai Pecinan Purworejo dapat dibaca di sini " Menyusuri Warisan Budaya Tionghoa di Purworejo" 

Pejagalan hewan yang terletak di ujung jalan Jagalan, Baledono, Purworejo. Sampai sekarang masih difungsikan sebagai rumah potong hewan.
Pabrik Es Purworejo yang sudah berdiri sejak tahun 1886.
Guna memenuhi permintaan daging masyarakat Purworejo di zaman dahulu, sebuah abbatoir atau pejagalan hewan resmi milik pemerintah kolonial dibangun di daerah Jagalan, Baledono. Lokasi pejagalan dibangun di dekat kali Kedungputri untuk memudahkan pembuangan bagian hewan yang tidak dikonsumsi seperti darah.

Gedung bioskop pada tahun 1930an. Bioskop ini sekarang menjadi Gedung Kesenian Sarwo Edhie Wibowo, di perempatan jalan Pemuda dan Jalan Urip Sumaharjo. Meski bioskop ini sudah beralih rupa, namun pohon di depan bioskop masih ada hingga sekarang.
Sarana hiburan di Puworejo pada masa kolonial terbilang cukup untuk sebuah kota yang lewat jam 6 malam sudah sepi. Becking menyebutkan ada sebuah soceiteit, tempat orang-orang Eropa menghabiskan waktu senggangnya dengan bermain bilyar, kartu, minum-minum, berdansa, berkumpul dengan orang Eropa lain atau mendengarkan musik tonil. Soceitet tersebut mulai berdiri sejak tahun 1878. Societeit yang kini sudah hilang dan menjadi gedung DPRD Purworejo itu juga mengelola gelanggang permainan bowling dan lapangan tenis. Tenis merupakan jenis olahraga yang digemari oleh kalangan elit Belanda. Selain tenis, para ambtenaar atau pegawai kolonial dapat mengikuti klub sepakbola, klub membaca, klub renan, dan klub berburu. Di Purworejo dulu juga pernah ada tiga buah bioskop yang dahulu oleh seorang Tionghoa. Salah satu bioskop di kemudian hari bioskop itu menjadi bioskop Bagelen sebelum akhirnya dibongkar menjadi Gedung Kesenian Sarwo Edhi Wibowo. Selain bioskop tadi, masih ada bioskop lain di kota ini, yakni bioskop Pusaka yang kini menjadi pasar swalayan Jodo dan bioskop di Jalan Buntu.
Berbagai gardu listrik yang tersebar di beberapa penjuruGardu listrik ini berfungsi sebagai transformator penurun tegangan listrik dari tingkat tinggi ke tingkat yang aman bagi keperluan rumah tangga.
Bekas pembangkit listrik di daerah Baledono Selis.
Masuknya jaringan listrik di Purworejo pada awal tahun 1926 menjadi penanda kota Purworejo memasuki peradaban dunia modern. Sebelum adanya jaringan listrik, para pengusaha atau tamu di Purworejo mengeluhkan betapa gelapnya kota itu, dimana satu-satunya penerangan umum berasal dari lampu gas yang ada di persimpangan jalan, kelip lampu minyak atau bahkan dari cahaya rembulan. Listrik sejatinya sudah masuk pada tahun 1916 namun saat itu hanya diperuntukan bagi kompleks HKS Purworejo. Pemasangan jaringan listrik untuk umum di Purworejo dimulai dengan pembangunan PLTA di Baledono oleh perusahaan swasta N.V. Poerworedjo Electreitbedrijf. Namun perusahaan tersebut dinilai tidak memenuhi kelayakan teknis sehingga pembangunan PLTA dilalihkan kepada Algemeene Netherlandsch Indische Electreit Mij. (ANIEM). Akhirnya pada 9 Januari 1926, pembangkit listrik di Purworejo yang ditunggu oleh banyak resmi beroperasi. Pejabat sipil dan militer di Purworejo hadir di stasiun pembangkit listrik yang ada di Baledono Selis seperti Residen Kedu Van der Jagt, asisten residen Purworejo Putman Cramer, dan kepala ANIEM Yogyakarta Keuzekamp. Setelah sambutan, dilakuan pemutaran engkol mesin turbin oleh istri bupati Kutoarjo. Untuk pertama kalinya, Purworejo diterangi dengan nyala lampu listrik. Bangunan pembangkit dirancang oleh biro bangunan Sitsen en LouzadaAir untuk PLTA disadap dari saluran Kedungputri yang berikutnya dialirkan melalui pipa-pipa besi besar buatan pabrik kosntruksi Bakker dari Surabaya. Aliran air akan menggerakan mesin turbin bikinan pabrik Escher Wyss dari Swiss. Sementara dinamo serta perangkat lainnya dibuat oleh Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft dari Berlin. Saat debit air menyusut selama musim kemarau, listrik dihasilkan dari mesin diesel. Listrik dari pembangkit lalu dialirkan ke rumah-rumah orang Belanda setelah dikurangi tegangannya oleh gardu-gardu yang tersebar di dekat kantong permukiman orang Belanda. Selain untuk keperluan rumah tangga, listrik tersebut juga menyalakan lampu-lampu di sepanjang jalan Purworejo-Kutoarjo. Dengan jaringan listrik itu, maka orang-orang Belanda di Purworejo dapat menikmati terangnya cahaya lampu listrik di malam hari. Sangat disayangkan bahwa pencahayaan lampu hanya dapat menerangi sepanjang jalan raya utama, dengan kata lain beberapa ruas jalan masih gelap gulita dan orang pribumi yang tinggal di kampung harus berpuas dengan kelap temaram lampu minyak (De Locomotief, 11 Januari 1926). PLTA di Baledono tersebut akhirnya dihancurkan pada zaman Jepang dan hanya tinggal pondasi saja.
Sumber mata air Kalinongko.
Kamar mesin pompa air di Mranti. Di bagian atas pintu masuk terdapat inskripsi "1925" yang menunjukan tahun pembangunan bangunan tersebut.
Untuk mencukupi kebutuhan air bersih sehari-hari, jaringan air keran diperkenalkan  di Purworejo pada tahun 1920an. Air memang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia, namun tidak semua air layak untuk diminum. Sebelum jaringan air keran masuk, masyarakat pada zaman dahulu masih mengandalkan sumur terbuka sebagai sumber air. Seringkali air dari sumber-sumber tersebut didapati dalam keadaan keruh dan bau. Belum lagi dengan kandungan zat kimia dan bakteri berbahaya yang mencemari air. Pada zaman dahulu, penyakit-penyakit yang berakhir menjadi wabah seringkali ditimbulkan dari konsumsi air tercemar mulai dari disentri, tifus, hingga kolera. Oleh karena itu, pemerintah kolonial menugaskan pengawas Westhoeve, insinyur Adriaanse, dan juru gambar Raden Seboel untuk merancang jaringan air keran yang diharapkan mampu menyediakan kebutuhan air bersih di Purworejo. Proyek tersebut menelan biaya sebesar 390.000 gulden dan sebagian biayanya diperoleh melalui pinjaman dari "Het Pensionfonds" dan "Netherlandsch Indische Lijfrente Maatschappij". Proses pembangunan dimulai sejak bulan September 1925, namun perencanaanya sudah dilakukan jauh hari sebelumnya, yakni sejak awal tahun 1920. Sumber air baku untuk jaringan air keran tersebut disadap dari mata air di desa Kalinongko. Proses pembangunan dimulai dari pembangunan pipa saluran induk, stasiun mesin pompa, dan reservoir. Sekitar bulan Februari 1926, sudah ada 400 rumah tangga di Purworejo yang telah berlangganan air keran. Setelah semua pembangunan diselesaikan, maka diadakan upacara peresmian di halaman depan stasiun mesin pompa di Mranti pada 3 Juli 1926. Dalam kesempatan tersebut, pejabat-pejabat kolonial dari berbagai tingkat diundang seperti residen Kedu, Mr. Van der Jagt, kontrolir Purworejo Mr. Bitter yang mewakili asisten residen, kepala PG Jenar, Mr. Bosch, dan komandan militer Purworejo, Mayor Lucardie. Tidak ketinggalan pula Mr. Westhoeve, Ir, Adriaanse, dan Raden Seboel yang menjadi tokoh penting dalam pembuatan jaringan air keran di Purworejo. Pembukaan keran pancuran air di halaman depan stasiun mesin pompa oleh Mr. Van der Jagt menjadi tanda dibukanya jaringan air keran di Purworejo. Para tamu undangan lalu diajak untuk menengok ke dalam stasiun mesin pompa. Di dalam stasiun mesin pompa tersebut, terdapat dua mesin pompa yang dipasok oleh Lindeteves-Stokvis. Satu mesin sebagai mesin pompa utama dan satu mesin pompa lainnya sebagai mesin cadangan bila mesin utama mengalami gangguan. Mesin tersebut digerakan oleh mesin listrik bertenaga 45 tenaga kuda. Upacara tersebut dilanjutkan dengan slametan yang diikuti oleh masyarakat Jawa dan Tionghoa. Sementara orang-orang Eropa menggelar pesta kecil di Sosieteit (De Locomotief, 5 Juli 1926). Sayangnya penyediaan sarana air minum di masa itu belum merata karena baru memenuhi kebutuhan lapisan masyarakat yang mampu membayar biaya langganan. Sementara masyarakat lainnya masih menggunakan air sumur dangkal, air sungai dan sejenisnya yang tentu saja tidak terjamin kebersihannya.
Sebuah rumah lama di jalan Jenderal Sudriman, dekat perempatan Koplak. Rumah bergaya Indis ini dahulu dihuni oleh Van Frassen, seorang direktur perkebunan. Tidak ada perubahan sama sekali pada bangunan ini selain teras depan yang ditutup untuk menambah ruangan. Bangunan ini sekarang menjadi kantor GKJ klasis Purworejo. Sebelumnya rumah in menjadi SMK Widhodo.
Rumah-rumah kuno di Purworejo.
Tersebar di setiap sudut kota, dapat ditemukan berbagai rumah-rumah tua dengan bentuk yang beragam. Nasibnya juga beragam. Ada yang masih terawat baik dan ada juga yang nyaris rubuh ditelan usia.

Dari begitu banyaknya peninggalan masa kolonial di kota Purworejo, dapat disimpulkan bahwa ternyata kota Purworejo di masa lalu termasuk sebuah kota yang luar biasa penting, yakni sebagai pusat pemerintahan, pusat penyebaran agama, dan pusat pendidikan. Maka wajarlah jika pemerintah kolonial nyaris menjadikan Purworejo sebagai ibukota darurat Hindia-Belanda. Daya tarik kota ini juga mendapat pujian oleh para pengelana Eropa yang pernah singgah di sini. Sayang kegemilangan Purworejo sebagai salah satu kota terbersih dan teratur di Jawa harus pensiun ketika memasuki masa modern, saat dimana secara licik pemerintah kolonial menggulingkan bupati Cokronegoro IV yang berjasa bagi rakyat Purworejo karena ia terlalu dekat dengan pergerakan nasional. Kebesaran kota Purworejo di masa lampau akhirnya telah selesai, maka wajarlah jika kota ini menyandang sebagai kota pensiun. Selama bertahun-tahun, Purworejo hanyalah terpinggirkan dalam sejarah nasional dan semakin menyedihkan jika mengetahui kalau kota ini adalah salah satu kota paling miskin di Jawa. Namun apakah pensiun berarti harus berhenti berkarya ? Epilog Profesor Peter Carey dalam bukunya Sisi Lain Diponegoro, Historiografi Perang Jawa sekiranya bisa menjadi renungan. Menurutnya, dengan keistimewaan Purworejo di masa lampau, akankah keistimewaan itu akan dibiarkan saja sehingga Purworejo menjadi kota yang datar-datar saja atau dikembangkan sebagai sebuah destinasi sejarah yang luar biasa ? Semua tergantung dari kebijakan pemerintah dan dukungan masyarkat…


Referensi
Carey, Peter. 2017. Sisi Lain Diponegoro ; Babad Kedungkebo da Historiografi Perang Jawa. Jakarta; Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Gill, Ronal. G. 1990. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft : TU Delft.

Guilot, C. 2020. Kiai Sadrach : Riwayat Kristenisasi di Jawa. Mata Bangsa.

Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Kielstra, E.B. 1879. "De Grondslagen der Verediging van Java".

Musadad. 2001. "Dari Pemukiman Benteng Ke Kota Administrasi ( Tataruang Kota Purworejo Tahun 1831-1930 ) ". Tesis. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

---------, 2002, " Arsitektur dan Fungsi Stasiun Kereta Api bagi Perkembangan Kota Purworejo Tahun 1901-1930 ". Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. 

Radix Penadi. 2000. Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad ke XIX. Lembaga Study dan Pegembangan Sosial Budaya.

Roijen. 1903. Handleiding bij het onderwijs in de Indische militaire bouwkunde. Breda : De Koninklijke Militairer Academie.

Pol.D. 1922. Onze Zendingvelden, Midden Java ten Zuiden, Utrecht ; Zendingstudie-Raad.


R. G. B. de Vaynes van Brakell, 1863, De Verediging van Nederlandsch Indie; Gevolgd door eene Proeve van een Stelsel van Verdediging voor Onze Bezittingen in den Indischen Archipel, Amsterdam : P.N. Van Kampen.

Suherman, Oteng dan Supriyo. 2013. Kiprah RAA Cokronegoro I Membangun Kabupaten Purworejo. Purworejo : Pustara Srirono.


Bataviaasch Nieuwsblad, 8 April 1916

De Locomotief, 11 Januari 1926.


De Locomotief, 5 Juli 1926.


Verslag Burgerljike Openbare Werken 1907.

39 komentar:

  1. Koreksi nama jalan di dekat rumah sakit DKT bukan panca marga tapi marga cakra

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas koreksinya,nanti saya akan betulkan

      Hapus
    2. Sekarang jalan samping DKT jadi sapta marga. Bukan marga cakra lagi

      Hapus
  2. Menarik banget. Sudah lama ingin tahu seperti apa bangunan tua yang masih tersisa di Purworejo, dna ternyata ada buanyakkk banget. Fix bisa seharian atau malah lebih untuk mengeksplorasi kota kecil tapi besar sejarahnya ini. Nice share bro ^_^

    BalasHapus
  3. WIH...baru tau kalau Purworejo punya sejarah cukup erat dengan hindia-belanda, salam dari Banjarnegara

    BalasHapus
  4. purworejo banyak sekali peninggalan kolonial.cuma pemerintahnya sepertinya kurang memperhatikan nilaisejarahnya contoh nya yg di jl urip sumoharjo banyak rumah dinas yang rusak seharusnya di jaga kelestariannya,dlu waktu kecil kantin 412 juga masih bagus sering digunakan warga plaosan untuk acara2 pertemuan sekarang malah runtuh tanpa ada perawatan sungguh disayangkan...salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Plaosan dulu Ada Kamar Bola, setelah itu menjadi SMA N Purworejo
      Setelah itu dirobohkan oleh orang2 yg tdk tahu sejarah, dan sekarang menjadi Gedung DPRD.

      Hapus
  5. Blog yang sangat bagus...
    Kebetulan saya juga suka mengamati rumah, bangunan dan tata kota eks jaman kolonial..
    Sukses selalu dan ditunggu tulisan2 berikutnya...

    BalasHapus
  6. petilasan tentara gurkha kok belum ada, pada perang dunia I kota ini dipersiapkan sebagai tempat persembunyian ratu dan raja kerajaan belanda juga belum diceriterakan. tambahin dong

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk soal itu, saya butuh referensi tertulis terlebih dahulu. Jika referensi tertulis sudah ketemu baru saya tambahkan. Terima kasih

      Hapus
  7. jadi terpikir untuk main ke purworejo city

    BalasHapus
  8. Info yg paling komprehensif di antara blog purworejo kuno lain mas sampai ke peruntukan bangunan indische huis pada jaman kolonial.
    Silahkan menambahkan foto2 mas di wikipedia purworejo versi indo n versi bhs inggrisnya :)

    BalasHapus
  9. sungguh sangan mengesankan tempat leluhurku MBAH CITRO pangen juru tengah

    BalasHapus
  10. wah...gedung smp-smaku masuk dalam daftar bgedung kuno (smp-sma widhodho). sayang sebagai gedung kuno kedua sgedung itu sudah mengalami perombakan yg seharusnya tidak boleh. di gedung smp, bagian depan ditambahi gedung tingkat. di gedung sma, degung utama sekarang sudah ditembok bagian berandanya padahal dulu saat aku masih sekolah beranda itu cukup luas.

    BalasHapus
  11. Kebanyakan gedung-gedung tua yang tidak terawat - bahkan sampai runtuh - merupakan rumah dinas militer yang memang di luar kewenangan pemerintahan sipil.
    Jadi teringat mendiang bapak yang sempat bertutur, menirukan ucapan seorang pejabat militer (jenderal) di Jakarta yang mengatakan bahwa tidak satu jengkal pun tanah milik TNI yang akan dijual / diserahkan ke pihak lain.

    BalasHapus
  12. WauooOW ! masa kecilku di kota tercinta Purworejo Kedu.
    Ortu dulu tahun 40an rumah di Jl. Kesatrian no 1.
    Sekolahku di SR /SD Negeri 10 Kontroliran, 1 gedung dengan SR / SD Negri 1, belakang Gereja GPIB Alun-alun. Dan lanjut ke SMPN 3 / Sekarang SMPN 4, sebelah gedung bioskup Bagelen. di SMP cuma sampai klas 2, terus kembali sekolah di SMP Kristen Solo, lanjut ke SMK Kanisius di Semarang.
    Meski asli Solo, tapi ada banyak banget kenangan yang takkan terlupakan.
    Sampai sekarang saya masih sering ke Purworejo, masih ada mbakayu kandung tinggal di Kapelmen, Romo Ibu juga di makamkan di Kerkhof Purworejo. Makanan favorit, 'geblek' sambel pecel, klanthing, gethuk dan dawet ireng. Kapan-kapan mau nostalgi mancing di Kali Bogowonto.
    Terima kasih sudah berbagi kenangan kota Purworejo.
    Salam.
    Cinta Renjana (67thn) Penulis. usia pensiun tinggal di Salatiga.

    BalasHapus
  13. Sebagai pelengkap dokumentasi saya mengapresiasi isi blog ini. Namun kadang terlintas juga rasa haru dan 'nyeri di dalam kedalaman hati', sebab bangunan jejak kolonial itu berdiri di atas derita panjang rakyat pribumi (baca : pahlawan2 tak dikenal dan tak tercatat), yang menjadi korban / tumbal kala gugur sebagai pasukan - pendukung Pangeran Diponegoro kala melawan kelicikan kolonialisme Belanda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kolonialisme jelas meninggalkan luka yg begitu dalam, tapi jangan salahkan Bangunan nya. ia hanya benda mati, yg harus dilawan adalah sikap ketidakadilan dan kesewenangan. Bagi saya, bangunan2 itu justru adalah bentuk perjuangan kita bagaimana perjuangan kita merebut bangunan yg semula milik penjajah, bisa menjadi milik bangsa Indonesia. Salam

      Hapus
  14. Salam kenal mas.. Saya Rizky asal Jakarta, asal usul buyut desa Bener Purworedjo.
    Saya ada artikel mengenai jejak kolonial yang lain http://www.sama.id/2018/06/13/memang-pemerintahan-belanda-ada-di-indonesia-tidak-yang-ada-perusahaan/, dan menurut saya sebagai reverensi yg bagus untuk dapat lebih mengenal peranan wilayah Purworedjo khususnya desa Bagelen selain sejarah yg lain yg sudah ada. Semoga mas dpat membantu mendapatkan lebih banyak lagi tambahan reverensi mengebai sejarah Purworedjo.

    Salam

    BalasHapus
  15. Bagus sekali tulisan sejarah ini. Pemerintah sendiri malah mungkin tidak menghargai sejarah besar Purworejo. Terbukti sudah banyak gedung peninggalan jaman Hindia Belanda yg tidak kita sadari sebelumnya telah rusak dan hilang. SD negeri Doplang sekolahku dulu juga bangunan peninggalan jaman Hindia Belanda dengan bangku-bangku khas dari kayu jati gede-gede, meja dan bangku jadi satu, sekarang sudah hilang tidak membekas. Kepada masyarakat dan pemerintah Purworejo saya menyarankan untuk memelihara dan mengembangkan, memperbaiki gedung dan tempat bersejarah yang dapat dijadikan dan dikembangkan sebagai obyek obyek wisata bersejarah. Mungkin bisa lebih besar dan lebih luas dari wisata lawing sewunya Semarang atau Kota Tua-nya Jakarta. Gaasan ini mudah-mudahan di dengar dan di wujudkan oleh departemen pariwisata Purworejo yang miskin akan obyek wisata dan dapat dijadikan pemasukan pajak dan pendapatan masyarakat sekitar. Tolong bantu buat semuanya untuk menyampaikan hal ini kepada Pemerintah Purworejo. Semoga jaya Purworejo dengan obyek wisata barunya. Terimakasih

    BalasHapus
  16. Terima kasih untuk sejarah kota Purworejo ini. Saya sangat tertarik karena ayah saya lahir di kota ini. Menurut ayah, kakeknya orang Belanda, marga Valentijn dulu rumahnya besar sekali di depan alun-alun dekat Kantor Pos. Kira-kira yang mana ya rumah tersebut? terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru membalas. Bisa jadi rumah tersebut lokasinya berada di SD Maria yang sekarang.

      Hapus
    2. terima kasih sekali. tgl. 29 saya ke pekuburan Giri Laya di Magelang dimana buyut saya di makamkan (setelah dipindahkan oleh PemKot Magelang dari Kerkhof Magelang). Sayang saya hrs segera balik ke Jakarta. Saya akan mencari waktu untuk ke Purworejo dan menginap beberapa hari di sana untuk menyusuri kota ini.
      SEKALI LAGI TERIMA KASIH. Tetap info saya apabila ada info baru. Salam hormat.

      Hapus
  17. Saya tinggal di Gedung kantor Klasis Purworejo karena Ayah saya bekerja di situ. Bnyk hal "menarik" yg saya alami selama lebih dari 10 tahun tinggal di gedung kuno itu. Awalnya saya hanya tau kalau dulunya gedung ini adlh bekas sebuah sekolah kejuruan.
    Intinya, saya mulai tertarik mencari tau sejarah rumah saya (sekarang ini) dan merasa beruntung akhirnya menemukan artikel Bapak yg menyebutkan bahwa dulunya dihuni oleh Tn. Van Fressen.
    Kalau boleh saya bertanya, apakah bapak juga punya informasi tentang tahun pembangunan gedung ini? dan lbh banyak keterangan tentang Tn. Van Fressen?

    BalasHapus
  18. Jika berkenan sudi kiranya mengulas informasi riwayat/biografi bupati periode ke 5 dan 6, benarkah pernah terjadi huru hara/kisruh/kemelut keluarga? Dan dimana para mantan bupati tersebut dimakamkan, saya sangat tertarik memdalaminya, terimakasih

    BalasHapus
  19. Sayang tidak ada foto terminal bus dan pos polisi perempatan bri. Juga foto tugu jamnya serta lampu bangjo gantung.

    BalasHapus
  20. artikel yang menarik! kalau ada waktu boleh kunjungi website saya di mutiara group kami menjual rumah dengan kualitas tinggi di Purworejo

    BalasHapus
  21. Yuk Coba Keberuntunganmu Setiap Hari... Join Disini Sekarang Kumpulan Berbagai Macam Permainan Taruhan Online Terbaik di Indonesia, Kunjungi Website Kami Di Klik Disini dan Dapatkan Bonus Terbaru 8X 9X 10X win klik disini untuk mendapatkan akun Sabung Ayam anda dan Bonus Berlimpah.

    BalasHapus
  22. Salam kenal, saya tonny tirtamulia, 68 thn pensiunan swasta kini tinggal di Cempaka Putih Jakarta. Apakah anda bersedia posting foto2 bangunan kolonial di kolom "Bangunan kolonial kota2 Indonesia asuhan mas Bintoro Hoepoedio di Facebook? Terima kasih. Alamat Facebook saya Tonny Tirtamulia

    BalasHapus
  23. Baru baca blog ini 6 Januari 2022 …. Istri saya asal Purworejo, di Pangen Juru Tengah. Ada foto sekolah dia di blog ini (SMP 4). Nanti kalo mudik lagi ke Purworejo coba susuri lagi jalan-jalan dan tempat-tempat yang kesebut di blog ini

    BalasHapus
  24. Salam hormat dan rasa bangga untukmu Lengkong sudah memberi kenangan berharga banyak orang dimasanya.

    BalasHapus
  25. Keren infonya mas ... lanjutkan...

    BalasHapus
  26. Tolong di bhs, komplek makam di blkg masjid agung purworejo nggeh pak, . Sejarah, catatan, foto, atau apa pun,

    Matur nuwun

    BalasHapus
  27. Ya Allah ..rindu segala2nya ..d rindukan sahabat dr kecil..sampai beliau tiada ..ndang balio ..ayo jak aku dolan2 koyo mbiyen kae ..aq rung sempet mulih wes d tinggal adoh sing wes ra bakal iso ktemu neh .. Al-fatihah buat sahabat kecilku ..njuk nanges to nyong dadine😭😭

    BalasHapus
  28. Senang baca blog ini mengenai kota Almarhum Bapakku yang dimakamkan di belakng mesjid Agung, aku masih teratur ke Purworejo meski hanya pulang hari , kota yang tenang dan tenteram

    BalasHapus