Di tengah keberadaan pasar modern yang semakin menjamur di
kota Surakarta, Pasar Gede yang melegenda
masih menunjukan keeksisannya. Bangunan pasar yang dirancang oleh arsitek
Thomas Karsten itu seolah berusaha melawan modernisasi di sekitarnya; walau ia sendiri
juga merupakan hasil modernisasi pada masanya. Inilah kisah tentang Pasar Gede
Suasana Pasar Gede sekitar tahun 1935 (sumber : Djocja Solo halaman 168). |
Sebelum melangkahkan kaki ke dalam pasar, saya dibuat terkesan
dengan pelayanan parkir pasar yang terdapat di jalan Jend. Urip Sumoharjo itu. Petugas parkir tak
hanya menjaga kendaraan saja, namun juga mengantarkan kendaraan ke tempat
parkir yang telah disediakan. Sistem parkir valet merupakan satu dari sekian
gebrakan yang dibuat oleh pemerintah kota Surakarta agar masyarakat mau belanja
di pasar tradisional. Di era sekarang, keberadaan pasar tradisional perlahan
mulai tergusur oleh pasar-pasar modern. Lingkungan pasar tradisional yang kumuh
dan semrawut menjadi alasan orang mulai enggan belanja di pasar tradisional.
Oleh karena itulah segala daya dan upaya dikeluarkan oleh pemerintah Surakarta
untuk menjaga agar pasar tradisional di Surakarta tetap sintas. Mulai dari
penataan lingkungan pasar hingga penyediaan jasa layanan parkir valet. Hasilnya
pun cukup memuaskan. Tak terlihat lagi pedagang yang tumpah ruah di tepi jalan
dan kendaraan pun diparkir tertib di tempatnya. Kemacetan di sekitar Pasar Gede
berkurang dan saya sendiri merasa nyaman berjalan menyusuri trotoar Pasar Gede.
Upaya mengangkat harkat pasar tradisional sejatinya sudah dilakukan jauh di
masa kolonial.
Peta kota Surakarta pada tahun 1821. Terlihat di tengah kawasan permukiman Tionghoa terdapat sebuah tanah lapang yang nantinya menjadi cikal dari Pasar Gede. |
Pasar Gede (69) pada peta kota Solo tahun 1946 (sumber : maps.library.leiden.edu). |
Menarik mundur ke belakang, Pasar Gede telah ada semenjak pemerintahan Pakubuwono VII. Sebelum menjadi pasar, tempat tersebut masih berupa tanah lapang yang dikelilingi oleh deretan rumah tinggal masyarakat golongan Tionghoa. Mereka tinggal di sana sehubungan adanya larangan bagi orang Tionghoa untuk tinggal di dalam tembok Keraton. Permukiman Tionghoa yang berada di seberang utara Kali Pepe tersebut lalu berkembang menjadi pusat perniagaan karena sebagian besar orang Tionghoa memiliki mata pencaharian sebagai pedagang dan mereka membuka usaha yang masih menyatu dengan rumah tinggal. Lantaran ramai, lahan kosong di tengah permukiman Tionghoa kemudian ditempati oleh pedagang lain dari berbagai penjuru. Lambat laun munculah pasar di sana Di kemudian hari
pasar itu dikenal sebagai Pasar Gede (Leushuis. Emile,2014;220). Lahan Pasar Gede awalnya adalah kepunyaan seorang kapitan Tionghoa bernama Be Kwat Koen sebelum berpindah tangan ke pemerintah pada tahun 1924 (De Locomotief, 13 Januari 1930).
Pasar Gede dipisahkan oleh seruas jalan penghubung antara Surakarta dengan Madiun. Sebagai jalan utama, jalan tersebut begitu ramai dengan hilir mudik orang dan berbagai kendaraan. Jalan tersebut kian padat dan kacau lalu lintasnya karena banyak orang menyeberang jalan untuk menuju ke bagian pasar yang lain. Keruwetan jalan tersebut menjadi alasan pemerintah kolonial menggandeng arsitek Thomas Karsten untuk menata kawasan tersebut. Salah satu upayanya adalah dengan mengganti jembatan lama dengan jembatan baru yang lebih lebar, menambah rambu-rambu dan pos lalu lintas, dan memperlebar jalan yang sudah ada. Pelebaran jalan tersebut rupanya berimbas dengan terpotongnya sebagian pasar sehingga beberapa pedagang kehilangan tempat berjualannya. Oleh sebab itu, Karsten juga diminta untuk merancang bangunan baru Pasar Gede yang dapat menampung pedagang lebih banyak dalam keadaan ruang sekitarnya yang sudah berubah. Dalam belantika arsitektur, Karsten tergolong arsitek dan perencana kota terpandang di masanya. Sebelum Pasar Gede, Karsten telah berkecimpung dalam proyek pendirian bangunan pasar seperti Pasar Johar dan Pasar Pedamaran (Karsten, 1938; 63). Pada bula April 1928, desain Pasar Gede karya Karsten dinilai terlebih dahulu oleh direktur Rijkswerken, Ziilmans dan insinyur penasihat Van der Veen. Kemudian rencana pelaksanaan proyek tersebut sudah dikaji bersama Residen Surakarta Van der Jagt dan bendahara BJF. Steinmetz. Proposal pembangunan pasar akhirnya disetujui oleh pemerintah. Selain Karsten, tokoh lain yang berperan dalam pendirian Pasar Gede adalah raja Surakarta, Pakubuwono X, yang tergolong raja berkekayaan melimpah namun
peduli dengan pembangunan kotanya. Salah satu bentuk kepeduliannya ialah dengan
memberikan sumbangan uang berjumlah besar untuk pendirian pasar baru tersebut (Purwadi, 2009; 195).
P. R.W van Geseller Verschuir ( tengah, memegang topi), dan Pakubuwono X (di bawah payung dengan selempang di depan dada) ketika hendak memotong pita tanda diresmikannya bangunan baru Pasar Gede (sumber : media-kitlv.nl). |
Pengerjaan Pasar Gede dimulai sejak bulan Januari 1929. Beton sejumlah 500 m3 untuk pondasi pasar dipasok dan dibuat oleh Hollandsche Betonmaatschappij. Sementara rangka besi bangunan dengan total berat mencapai 305 ton dibuat oleh pabrik baja Braat dari Surabaya. Penyelesaian bangunan sempat tertunda 1 bulan dari rencana semula karena adanya kendala dalam pasokan beton. Sembari pasar sedang dibangun, pedagang Pasar Gede dipindahkan ke pasar penampungan sehingga mereka masih dapat berjualan. Tanggal peresmian dipilihkan pada 13 Januari 1930 yang dipercaya sebagai "hari baik" menurut perhitungan Jawa. Hari peresmian yang ditunggupun tiba. Dengan gempita upacara yang dihadiri oleh
Pakubuwono X dan para pembesar di Surakarta, pasar itupun diresmikan meskipun bangunan pasar belum sepenuhnya tuntas. Nama lengkap pasar yang semula Pasar Gede Oprokan, diganti menjadi
Pasar Gede Hardjonagoro. Seperti nama yang melekat padanya; “Pasar Gede“ yang berarti “Pasar Besar“ (De Locomotief, 13 Januari 1930)
Siapapun yang akan masuk ke dalam pasar akan disambut dengan pintu masuk pasar yang megah dan tampak mencolok dengan atap
berbentuk Joglo nya. Wajah bangunan tersebut tidak hanya membuat bangunan pasar tampak monumental namun juga menjadi penghias kota Surakarta. Bentuknya sendiri sejatinya adalah wujud
pandangan seorang Karsten yang menaruh perhatian begitu besar pada budaya Jawa,
khususnya arsitektur. Walau ia memiliki latar keilmuan arsitektur barat, namun
ia begitu menghormati budaya Jawa. Karsten berpandangan bahwa sudah saatnya
arsitektur kolonial di Hindia Belanda mengacu pada budaya yang telah lama hidup
di masyarakat dan dilahirkan kembali dalam bentuk baru tanpa menghilangkan
unsur lama. Pandangannya ia tuangkan dengan memadukan unsur tradisional dan
modern pada beberapa rancangannya termasuk di antaranya Pasar Gede. Unsur
tradisional terlihat pada penggunaan atap berbentuk Joglo dan ditutup dengan
sirap. Sementara unsur modern dapat dilihat pada penggunaan material-material
modern seperti besi dan beton serta jendela-jendela kaca pada ruang kantor
pengelola pasar. Kedua unsur tadi menghasilkan sebuah harmoni antara arsitektur timur dengan barat yang serasi.
Keramaian pedagang dan pembeli di Pasar Gede. Dahulu, pasar di kota Surakarta yang setiap hari ramai hanyalah Pasar Gede saja. Sementara pasar-pasar lain hanya ramai pada hari pasaran tertentu saja.
|
Tanpa panjang lebar, sayapun beranjak masuk ke dalam pasar dan
kehadiran saya langsung disambut oleh Hiruk pikuk keramaian pasar. Para
pedagang tampak sibuk menjaga dan menawarkan daganganya. Pasar ini bukanlah
sekedar bangunan kuno belaka, Ia menjadi tempat ratusan orang mengais rezeki
untuk menyambung hidup. Pasar dalam kebudayaan Jawa tak hanya sebagai tempat mempertemukan
pedagang dengan pembeli. Ia juga merupakan bagian dari kosmologi Jawa yang
secara tata ruang memisahkan dunia profan dan suci. Itulah mengapa keraton
sebagai lambang dunia suci diletakan terpisah dari pasar sebagai lambang dunia
profan (Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, 2014;38).
Gambar irisan konstruksi Pasar Gede oleh Thomas Karsten (sumber : Locale Techniek Maret 1938, halaman 65). |
Bagian lantai dua pasar. |
Panggung tempat para pedagang berjualan.
|
Beragam aroma tercium oleh indra penciuman saya, dari harumnya
aneka bumbu dapur di lantai satu hingga bau amis daging yang menyeruak dari los
daging di lantai dua. Aneka barang dijual di pasar ini, mulai dari buah-buahan,
sayuran, alat rumah tangga, dan sandang. Pasar ini juga menyuguhkan ragam kuliner
yang barangkali sudah sulit dicari di tempat lain semisal Es Dawet Selasih.
Para pedagang dahulu berjualan di atas panggung-panggung beton yang sudah ada
sedari pasar ini berdiri. Karsten, arsitek perancang pasar ini tampaknya
menyadari kebiasaan para pedagang dan pembeli di pasar-pasar tradisional di
Jawa. Para pedagang biasanya menunggu para pembeli secara lesehan dan kebiasaan tersebut kadang menyulitkan pembeli karena mereka harus
membungkuk badan dahulu jika bertransaksi. Karsten lantas membuatkan panggung setinggi 75 cm, kira-kira setinggi pinggang
orang dewasa untuk tempat pedagang berjual. Dengan hal ini, maka pedagang masih bisa melanjutkan kebiasaan berjualan secara lesehan, namun pembeli tidak perlu repot membungkuk lagi. Sebuah pemecahan yang
cerdas dari Karsten.
Bukaan ventilasi pada bagian atap pasar.
|
Saya begitu larut dengan suasana pasar yang tak begitu pengap
walau cukup banyak pedagang dan pembeli yang berjejal di dalamnya. Pencahayaan
pasar inipun terasa cukup. Itu semua karena pasar ini memiliki sistem penghawaan dan pencahayaan yang
dirancang secara cemerlang oleh Karsten. Atap yang dibuat terbuka tak hanya berfungsi untuk memperlancar udara,
namun juga sebagai sumber cahaya alami. Dengan demikian, energi yang dibutuhkan
pasar ini jauh lebih sedikit. Berbeda jauh dengan pasar modern zaman sekarang
yang serba tertutup, mengandalkan AC sebagai sumber penghawaan yang tentunya
menghabiskan banyak energi. Selain memiliki penghawaan dan pencahayaan yang bagus, Pasar Gede dahulu juga pernah dilengkapi dengan saluran air yang diperoleh dari sumur artesis di seberang pasar. Air dari sumur dipompa dengan mesin listrik dan disalurkan lewat keran. Air digunakan untuk menyiram jalanan sekitar pasar yang berdebu saat musim kemarau dan juga berfungsi sebagai hidran pemadam. Di kanan-kiri pintu masuk, pernah terdapat 4 keran air yang dirancang khusus untuk membilas kaki orang yang lewat mengingat saat itu masih sedikit orang yang memakai alas kaki.
Pasar Gede setelah dibumihanguskan oleh TNI pada akhir tahun 1948. Atap joglo di bagian pintu masuk pasar terlalap habis oleh si jago merah sementara bagian lain tinggal menyisakan rangkanya saja (sumber : nationaalarchief.nl).
|
Sebagaimana pasar-pasar besar di Indonesia, pasar inipun tak luput
dari bencana kebakaran. Sudah dua kali pasar itu tak berdaya ketika si jago merah melalap dirinya, menghilangkan sebagian besar konstruksi aslinya. Kali
pertama pasar itu terbakar ialah saat kota Surakarta dibumihanguskan pada
Agresi Militer. Kala itu, kota Surakarta diduduki oleh dua divisi TNI, yakni
Divisi 2 di bawah komando Kolonel Gatot Subroto dan Divisi Siliwangi dibawah
Letkol. Daan Yahya. Sebelum mereka pergi pada akhir tahun 1948, berbagai
bangunan penting di Surakarta mereka bakar Antara lain kediaman Residen
Surakarta, hotel, teater, Stasiun Balapan, Stasiun Jebres dan termasuk di sini
adalah Pasar Gede (M.P. Bruggen, 1998; 83). Kemudian kali kedua Pasar Gede
terbakar yakni pada tahun 2000. Untuk
yang terakhir, sumber api yang menghanguskan pasar itu berasal dari arus pendek
listrik, pemicu kebakaran yang acap terjadi pada pasar di Indonesia.
Kios-kios di luar Pasar Gede. Kios-kios di sini harga jual atau sewanya lebih mahal daripada yang ada di dalam pasar. |
Dari dalam pasar, saya beranjak keluar pasar. Bagian luar pasar terdiri dari dereta kios-kios yang harga sewanya lebih tinggi dibanding los di dalam pasar. Masing-masing kios diberi partisi beton sehingga bila terjadi kebakaran pada salah satu kios maka api tidak merembet ke kios di sebelahnya. Di sekitaran pasar, saya
menjumpai ruko-ruko berlanggam Tionghoa. Di antara ruko-ruko itu, terdapat
sebuah kelenteng tua. Sedikit melangkah mundur ke tahun 1998, walaupun pasar
itu terhindar kebakaran, namun Pasar Gede menjadi saksi bisu kerusuhan massa berbalut SARA yang pernah melanda Surakarta. Puing dan sampah sisa kerusuhan
menumpuk selama beberapa hari di seputaran Pasar Gede.
Pasar Gede bagian barat. |
Profil di bagian pintu masuk.
|
Di seberang barat pasar, ada bangunan lain yang juga masih menjadi bagian dari Pasar Gede. Bentuknya hampir mirip, walau
ukurannya lebih kecil. Bagian depan bangunan ini dulunya dimaksudkan untuk jaringan toko besar dari Surabaya bernama "De Louvre". Toko tersebut memiliki kontrak selama 5 tahun dengan harga sewa perbulannya sebesar 500 gulden. Sesudah kontrak habis, toko ditempati oleh toko
perhiasan milik Be Thian Kiem. Melangkah ke dalam bangunan yang saat ini menjadi tempat
penampungan pedagang buah itu, saya tak menjumpai banyak keramaian di sini. Beberapa kios
tampak tutup, entah hari itu si pedagang tidak berjualan atau belum ada yang
menempati. Sayapun naik ke bagian lantai dua pasar, yang mana terdapat sebuah
ruang luas yang kadang digunakan untuk pentas seni.
Bagian beranda lantai dua. |
Sebelum saya beranjak pulang, saya beringsut ke bagian balkon,
memandang sekali lagi Pasar Gede yang masih terlihat ramai. Ya, Pasar Gede tak
hanya sebuah bangunan kuno berupa pasar saja. Di bawah atapnya, ratusan orang
dari pedagang, kuli, hingga juru parkir menggantungkan hidup di pasar ini
sekaligus menghidup pasar ini. Dari nafasnya, saya dapat merasakan dinamika
Kota Surakarta, mulai dari masa ia dilahirkan oleh Pakubuwono II, masa keemasan
ketika dipimpin oleh Pakubuwono X, hingga gejolak sosial paska kemerdekaan.
Bentuknya yang merupakan hasil perpaduan arsitektur Jawa dengan modern tampak
harmonis dan sekaligus menyiratkan betapa luwesnya kebudayaan Jawa…
Referensi
Karsten, Thomas. 1938. " Iets Over De Centralle Pasar " dalam Locale Techniek edisi 7 no 2 tahun
1938.
Leushuis, Emile. 2014. Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta : Ombak.
Purwadi, dkk, 2009. Sri Susuhunan Pakubuwono X ; Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya Untuk Nusa Bangsa. Jakarta : Bangun Bangsa.
Tim Penyusun. 2014. Yang Tersisa Dari Kolonial. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
van Bruggen, M.P dan Wassing, R.P. 1998. Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden. Asmterdam : Asia Maior.
De Locomotief, 6 Januari 1930.
De Locomotief, 13 Januari 1930.