Apa yang menjadikan kota Purworejo dijuluki sebagai kota pensiun ?
Entahlah. Saya yang lahir dan tumbuh di kota itu sampai sekarang tidak tahu
asal muasal julukan tadi. Namun ketika berjalan mengelilingi kota kecil ini,
julukan kota pensiun ada benarnya juga. Jalanan yang lengang dengan pohon-pohon
asam besar di kanan-kirinya dan segudang bangunan tua peninggalan masa Belanda
yang masih utuh tampaknya menjadi sebuah perpaduan yang bagus untuk para
pensiunan yang ingin menghabiskan masa tuanya. Pada tulisan Jejak Kolonial kali ini, saya akan memandu berkeliling kota Purworejo, menggali sekilas kejayaan masa lampau Purworejo
lewat peninggalan-peninggalan yang bertaburan di berbagai penjuru kota kecil ini. Tulisan saya kali ini
akan saya dedikasikan untuk kota Purworejo tercinta……
|
Persebaran bangunan kolonial yang ada di Purworejo. Keterangan ; A : Alun-alun Purworejo, B : Masjid Agung Purworejo, C : Pendapa Kabupaten Purworejo, D : GPIB Purworejo, E : Eks rumah Residen Bagelen, F : Kompleks militer, G : Eks kompleks HKS Purworejo, H : Kerkhof Purworejo, I : Gereja Santa Perawan Maria, J : Stasiun Purworejo, K : Pecinan Purworejo, L : Kampung Afrikan
|
Saya kini berdiri di
tengah alun-alun Purworejo, sebuah ruang terbuka yang terletak di tengah kota Purworejo. Alun-alun itu dikepung
dengan bangunan-bangunan penting seperti kediaman bupati dan residen, masjid,
gereja, kantor pos, kantor pengadilan, dan penjara. Dengan ukuran sebesar 250 m
x 250 m, ia menjadi alun-alun kota tradisional terluas di Jawa yang pernah
dibangun. Dalam konsep tatanan kota tradisional Jawa, alun-alun menjadi komponen utama sebuah kota. Di sinilah berbagai upacara penting dihelat, rakyat berkumpul dalam sukacita perayaan dan juga sebagai tempat beranjangsana. Sepasang pohon beringin ditanam di tengah alun-alun sebagai bentuk legitimasi bahwa seorang bupati tak hanya sebagai seorang penguasa wilayah saja, namun juga merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Dalam sejarahnya, alun-alun tersebut menjadi tempat rapat umum yang dihadiri oleh Bung Tomo pada 24 Mei 1948. Di sisi utara alun-alun, dapat dijumpai dua buah paseban, tempat para tamu
bupati dulu singgah sebelum diperkenankan menghadap ke bupati. Di kejauhan,
saya dapat melihat sedikit puncak perbukitan Menoreh, dimana lembah-lembahnya
dulu menjadi palagan utama Perang Jawa yang dahsyat. Kota Purworejo modern
yang dikenal saat ini, sesungguhnya bercikal di atas abu perang itu.
|
Suasana alun-alun Purworejo tempo dulu. Di kejauhan tampak rumah Residen yang kini menjadi kantor bupati Purworejo. |
Waktu sejenak mundur
kembali ke belakang, yakni saat Perang Jawa yang berkecamuk dari tahun
1825 hingga 1830. Perang yang banyak menelan biaya itu merupakan titik puncak
kekecewaan Pangeran Diponegoro terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda
yang kian hari semakin mencampuri urusan dalam Kraton Yogyakarta. Perang sengit yang mempertemukan Pangeran Diponegoro dan pemerintah kolonial Belanda itu berlarut cukup lama karena Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjalankan perang gerilya yang berhasil membuat militer Belanda kelimpungan. Menghadapi gaya perlawanan seperti itu, Jenderal Frans David Cochius menerapkan siasat benteng stelsel, dimana militer Belanda mendirikan beberapa benteng dan markas semi permanen pada lokasi yang dianggap dapat mempersempit ruang gerak pengikut Pangeran Diponegoro. Benteng tersebut tak hanya berfungsi sebagai tempat perlindungan belaka, namun juga sebagai pangkalan militer, tempat serangan disusun. Salah satu lokasi yang dipilih adalah Kedungkebo yang berada di pinggiran sisi barat Sungai Bogowonto. Lokasi tersebut dipilih karena berhadapan dengan palagan pertempuran
Pangeran Diponegoro dengan Belanda yang terbentang dari Sungai Progo di timur hingga Sungai
Bogowonto di barat. Pada tahun 1828, militer Belanda menempatkan kolonel Jan Baptiste Cleerens di Kedungkebo sebagai komandan area Bagelen timur.
|
Peta kota Purworejo pada tahun 1875 (sumber : media-kitlv.nl) |
|
Peta kota Purworejo pada tahun 1905 (sumber : maps.library.leiden.edu).
|
Tertangkapnya Pangeran Diponegoro di Magelang pada tahun 1830
menjadi tanda berakhirnya Perang Jawa. Sesudah perang, Kasunanan Surakarta menyerahkan wilayah Madiun, Kediri, Banyumas, dan Bagelen kepada Belanda sebagai pampasan perang. Gubernur Jenderal Van den Bosch, melalui besluit
tanggal 18 Desember 1830 mengumumkan Bagelen dijadikan sebagai karesidenan yang
mencakup wilayah seperti Tanggung (Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Remo
Jatinegara (Karanganyar), Kutowinangun (Kebumen), Ledok (Wonosobo), dan Ambal
dengan. Setelah Karesidenan Bagelen diresmikan, pemerintah kolonial mengutus
Pieter Herbert Baron van Lawick van Pabst ke Brengkelan untuk membentuk
pemerintahan kolonial di sana. Nama Brengkelan yang dirasa kurang patut untuk
sebuah hoofdplaats atau pusat
pemerintahan akhirnya diganti dengan nama Purworejo yang berarti “Awal dari
Kemakmuran” (Carey, 2017; 199-200).
|
Paseban tempat para tamu bupati menunggu sebelum diizinkan untuk bertemu. |
Bangkitnya Purworejo paska Perang Jawa tidak bisa dilepaskan dari
jasa bupati perdana Purworejo, Cokrojoyo atau Cokronegoro I, mantan abdi dalem
Kasunanan Surakarta yang di masa muda pernah satu seperguruan dengan Pangeran
Diponegoro. Karena dia merupakan abdi Kasunanan Surakarta yang dimana pada
waktu itu terikat perjanjian dengan Belanda, maka dengan berat hati dia
bergabung dengan pihak kolonial melawan Diponegoro sebagai bentuk baktinya
kepada Kasunanan Surakarta. Meskipun dia berada di pihak kolonial, beliau tidak
pernah berhadapan secara langsung dengan Pangeran Diponegoro dan lebih memilih
untuk menghindar karena dia merasa masih satu saudara seperguruan dengan
Pangeran Diponegoro. Setelah perang usai, pemerintah kolonial mengangkat
Cokronegoro I yang saat itu menjabat Bupati Brengkelan, sebagai bupati pertama
Purworejo pada tanggal 9 Juni 1830 dengan diberi gelar Cokronegoro I. Menariknya,
berbeda dari kebanyakan bupati saat itu yang memiliki darah biru, Cokronegoro
berasal dari keluarga priyayi desa. Karena latar belakangnya itulah kecakapan ia dalam memimpin sempat diragukan Gubernur Jenderal. Namun akhirnya Cokronegoro I
berhasil membuktikan bahwa ia adalah administrator yang cakap. Jauh lebih cakap dari pejabat kolonial sendiri lantaran ia sendiri pernah memiliki pengalaman
sebagai abdi dalem di Kasunanan. Dalam mengatur pemerintahan ia tak sendiri
karena ia dibantu pula oleh administrator Jawa kawakan dari Blora, Tumenggung
Ario Suronegoro (Carey. 2017; 204-206).
|
Masjid Agung Purworejo sekarang dan dulu. |
Berbagai bangunan
peninggalan Bupati Cokronegoro I dapat ditemukan di sekitar alun-alun. Berada di sebelah barat alun-alun ialah Masjid Agung Purworejo. Berdasarkan
prasasti yang terpampang di atas pintu masuk ruang shalat utama, masjid ini didirikan
tahun 1834. Layaknya masjid-masjid tua di Jawa, masjid itu memilliki atap tajug
tumpang tiga dengan hiasan mustaka yang bertengger di puncak. Konstruksi masjid
ditopang oleh empat tiang sokoguru atau tiang utama dengan umpak yang diambil
dari bekas Yoni peninggalan masa klasik. 12 tiang soko rowo membantu konstruksi
di dalamnya. Arsitektur masjid tradisional seperti masjid ini sudah semakin
jarang ditemukan pada alun-alun di Jawa. Rata-rata bangunan masjid lain sudah
dirombak menjadi modern dengan atap berbentuk kubah ala Timur Tengah. Sementara
itu, di bagian serambi depan terdapat sebuah bedhug berukuran raksaksa yang
dikenal sebagai Bedug Agung Pendhowo. Pembuatan bedhug ini bersamaan dengan
pembangunan masjid ini. Menariknya, bedhug ini dibuat dengan kayu jati utuh
tanpa sambungan.
|
Saluran air Kedung Putri. |
|
Pintu air saluran Kedungputri di Trirejo. |
Di belakang masjid itu, mengalir sebuah saluran air Kedung Putri
yang membelah kota Purworejo. Kehebatan Cokronegoro dan trahnya tak hanya di
bidang administrasi saja. Namun juga di bidang infrastruktur. Infrasturktur
saat itu menjadi bidang yang sangat
diutamakan oleh Cokronegoro karena saat itu wilayah Purworejo adalah wilayah
terpencil yang saking terpencilnya oleh Kolonel Cleerens disebut ‘buiten het wereld’, di luar dunia.
Ditambah pertanian di Bagelen saat itu sempat terpuruk akibat perang. Maka pada
1832, Cokronegoro menggagas pembangunan saluran air yang airnya diambil dari
sungai Penungkulan. Proyek raksaksa itu dikerjakan
selama satu setengah tahun dengan tenaga
sebanyak 5.000 orang. Pembangunan saluran air itu kemudian dilanjutkan oleh
para penerus Cokronegoro I. Mereka sadar jika kekuatan ekonomi utama Purworejo adalah pertanian. Dampak pembangunan saluran air itu sangat dirasakan
oleh para petani Purworejo sampai hari ini. Sejarawan Robert van Niel menyebut
jumlah lahan yang dibuka di Karesidenan Bagelen meningkat 220 persen, jauh
lebih unggul dibandingkan Karesidenan Cirebon, Surabaya, atau Tegal (Carey,
2017; 209-214). Pada tahun 1871, debit air saluran air Kedungputri ditingkatkan dengan menambahkan pintu air baru rancangan Insinyur Pet yang airnya disadap dari sungai Bogowonto. Pada saat yang bersamaan, saluran air Kedungputri diperlebar dan ditambahkan bendung pelimpah. Kemudian jembatan yang ada di kota juga ikut diperbesar. Pada tahun 1896, jaringan irigasi Kedungputri diperluas dengan biaya 39.309 gulden. Selama perluasan, pekerja sering menemukan batu-batu cadas besar yang hanya bisa disingkirkan dengan alat peledak sehingga pengeluaran proyek bertambah sebesar 16.664 gulden. Seluruh proses perluasan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1904 (Verslag B.O.W 1907).
|
Pendopo Kabupaten Purworejo dulu (1930an) dan kini (2016). Tidak ada yang berubah selain bendera yang berkibar di depan pendhopo. Jika dulu bendera triwarna Belanda, kini bendera Merah Putih yang berkibar di depan pendhopo. |
Di sebelah utara alun-alun, berdiri kediaman resmi dari bupati Purworejo. Setelah diangkat menjadi bupati,
tindakan pertama yang Cokronegoro lakukan adalah menggabungkan dua kota kuno,
yakni Brengkelan dan Kedungkebo (Oteng Suherman, 2013; 38-39). Kediamannya yang
semula berada di Brengkelan (kini jadi Hotel Suronegaran), dipindah ke utara
alun-alun. Gedung kediamannya purna dibangun tahun 1833 dan seterusnya dihuni
oleh para bupati Purworejo. Gedung sengaja dibangun menghadap ke arah selatan karena dalam
konsep kosmologi Jawa, di selatan terdapat samudera Hindia yang dipercaya
menjadi kediaman Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan. Hal tersebut juga
dimaksudkan untuk tidak membelakangi Keraton Surakarta yang dihormati oleh Cokronegoro. Bangunan pendapa merupakan bentuk arsitektur khas Jawa yang dasarnya berupa konstruksi atap yang ditopang oleh kolom-kolom dengan tata letak berbentuk persegi atau persegi panjang. Keempat sisi pendapa terbuka, tidak memiliki dinding. Sebagai simbol aristokrat Jawa, langit-langit dan kolom pendapa diberi hiasan. Dalam arsitektur tradisional Jawa, pendopo adalah bagian rumah yang bersifat publik untuk menerima tamu, penyelenggaraan
upacara penting, dan pagelaran pertunjukan seni. Menurut buku harian Cokronegoro I yang dihibahkan pada Bernhard von Sachsen Weimar, bupati sering mengadakan perjamuan dengan hidangan daging banteng, rusa, babi hutan, ayam hutan, dan merak yang diburu penduduk sekitar untuk santapan tamu bupati (Carey, 2017;158). Sementara kediaman bupati yang bersifat privat berada di belakang pendopo dan dirancang dalam arsitektur Indis. Bangunan rumah bupati Purworejo sempat mengalami kerusakan pada tahun 1878 dan baru dipugar pada 1892 dengan bantuan dari Burgerlijke Openbare Werken. Pemugaran tersebut menghabiskan biaya sebanyak 80.740 gulden.
|
Kediaman Residen yang kini beralih menjadi kantor bupati. Masih tetap menjadi pusat kuasa pemerintahan Purworejo. |
Sebagai upaya pemerintah
kolonial untuk menundukkan kuasa pemerintah pribumi, di sekitar alun-alun
terdapat bangunan-bangunan penting milik pemerintah kolonial. Yang terpenting
tentu saja kediaman sang residen Bagelen, pusat kuasa pemerintah kolonial di Bagelen. Bangunan berlanggam Indisch Empire
Style ini memiliki kolom-kolom besar di beranda depannya yang dimaksudkan
sebagai bentuk kekuasaan mereka dihadapan orang-orang pribumi. Bangunan yang didirikan sekitar pertengahan
abad ke 19 ini dibuat menghadap ke arah utara, tempat tinggal bupati, sebagai
perlambang adanya pengawasan dari pemerintah kolonial terhadap segala aktivitas di kediaman
bupati, sehingga dapat dikatakan ada nuansa politis pada pemilihan lokasi
kediaman residen. Dengan sedikit perubahan pada bagian wajah, bangunan itu masih menjadi pusat kekuasaan di Purworejo, kali ini sebagai kantor bupati Purworejo. Entah bagaimana perasaan residen seandainya ia hidup kembali dan melihat bendera Merah Putih berkibar di depan kediamannya. Pada tahun 1901, setelah kota Purworejo kehilangan statusnya
sebagai ibukota akibat Karesidenan Bagelen dilebur dengan Karesidenan Kedu, maka bangunan
tadi turun statusnya menjadi kediaman asisten residen. Walaupun Purworejo tak
lagi menjadi kota penting namun pembangunan berbagai fasilitas masih terus
dilanjutkan oleh pemerintah kolonial…
|
GPIB Purworejo. |
|
Bagian dalam GPIB Purworejo. |
Terletak di sebelah timur alun-alun, GPIB Purworejo adalah gereja
yang masih mempertahankan bentuk lamanya. Sentuhan langgam neo-gotik begitu
kentara dengan jendela-jendela kaca berbentuk jarum. Itulah Indische
Kerk, tempat ibadah yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Ambon penganut Kristen Protestan. Gereja yang diresmikan pada pertengahan abad ke-19 itu aslinya memiliki menara lonceng beratap tajug, lalu atap
menara itu diubah menjadi kubah. Gereja tersebut merupakan bagian dari Indische Kerk, gereja yang berada di bawah kendali pemerintah kolonial. Saat itu, gereja tersebut adalah satu-satunya gereja di Karesidenan Bagelen. Tugas utama pendeta Indische Kerk adalah pemberian layanan rohani untuk sejumlah kecil penduduk Eropa atau orang Ambon di Purworejo yang didatangkan sebagai pasukan KNIL. Ini menjadi penjelasan mengapa ukuran bangunan gereja relatif kecil. Saat jumlah orang Jawa yang masuk agama Kristen semakin banyak berkat peran Kyai Sadrach, maka timbulah ketegangan karena daya tampung gereja yang kecil tidak bisa menerima jemaat dan di saat yang sama orang-orang Belanda kurang senang dengan membanjirnya kaum pribumi di gereja mereka (Guilot, 2020: 159).
|
Foto udara garnisun Kedungkebo pada tahun 1920an (sumber ; media-kitlv.nl) |
|
Pintu masuk garnisun Kedungkebo. |
Dari alun-alun, saya
kemudian berjalan menyusuri jalan Urip Sumoharjo. Nama jalan itu diambil dari
nama jenderal pendiri BKR, organisasi cikal bakal TNI, yang lahir di kota ini.
Kota ini memang banyak melahirkan para petinggi di jajaran militer, mulai dari
Jend. Urip Sumoharjo, Ahmad Yani, hingga Sarwo Eddhie Wibowo. Banyaknya orang
Purworejo yang terjun ke kancah militer barangkali dilatari oleh peran kota ini sebagai kota
garnisun di masa lampau. Sesudah Perang Jawa berakhir, markas militer Belanda di Kedungkebo tetap dipertahankan sebagai upaya pasifikasi wilayah Bagelen mengingat masih ada sisa-sisa pengikut Pangeran Diponegoro yang dapat mengganggu kedudukan Belanda sewaktu-waktu. Garnisun atau tangsi Kedungkebo kemudian menjadi markas 3 kompi dari Batalyon ke-8 KNIL. Semasa pendudukan Jepang, Jepang memakai tangsi-tangsi itu untuk menampung tawanan Eropa. Sejak tahun 1949, tangsi-tangsi tinggalan Belanda diserahkan kepada TNI dan kini ditempati oleh Batalyon Kostrad 412. Kehidupan militer cukup merasuk ke dalam sendi kebudayaan Purworejo. Misalnya adalah kesenian tari Dolalak yang busananya ada kemiripan dengan seragam tentara Belanda pada abad ke-19.
|
Rumah-rumah tua di sepanjang jalan Urip Sumoharjo, Purworejo (depan gedung DPRD) yang dahulunya ditempati oleh para opsir militer berpangkat kapten.
| Salah satu rumah tua di jalan Sapta Marga yang dahulu digunakan untuk bintara. |
| Foto rumah perwira militer di Purworejo pada tahun 1923. Sumber : Indie |
|
Kesejahteraan perwira di negeri jajahan diperhatikan begitu baik oleh pemerintah. Salah satu upayanya adalah dengan menyediakan hunian untuk para perwira militer beserta keluarganya sehingga mereka tidak
perlu kesulitan saat mencari tempat tinggal yang layak. Pada tahun 1914, militer Belanda menambahkan beberapa sarana militer baru di Purworejo seperti barak baru untuk 3 kompi tambahan, rumah dinas perwira dan bintara, serta rumah sakit militer. Rangkaian pembangunan tersebut selesai pada tahun 1917 (Bataviasch Nieuwsblad, 8 April 1916). Rumah-rumah perwira
tersebut dibangun mengikuti ukuran dan tata letak yang sudah ditetapkan
persyaratannya. Maka dari itu seringkali akan dijumpai bentuk rumah-rumah
perwira yang serupa di tempat yang berbeda. Rumah-rumah perwira terbagi dalam beberapa tingkatan sesuai kepangkatan militer. Penataan rumahnya mengikuti dengan rumah di Hindia Belanda yang
umum saat itu, yakni membagi rumah menjadi dua bangunan, yakni bangunan induk dan
bangunan penyerta. Bangunan induk berisi kamar untuk tempat tinggal dan ruang
keluarga. Sementara bangunan penyerta dibangun terpisah dari bangunan induk dan
terdiri dari gudang, ruang cuci, dapur, kamar mandi, kamar privat (toilet),
kamar pembantu, kandang kuda, dan garasi kereta kuda. Terkadang untuk yang
tingkatnya lebih tinggi disertai dengan paviliun tamu di bagian depan. Guna penghematan, rumah tinggal letnan dan kapten kadang dibuat dalam
bentuk kopel, yakni satu bangunan terdiri dari dua rumah (Roijen, 1903: 129-130).
|
Rumah sakit DKT Purworejo. |
Saya berbelok ke Jalan
Panca Marga. Di seberang deretan bangunan kopel tua, terdapat sebuah rumah sakit
militer yang kini menjadi RS DKT. Sebagaimana kota garnisun, di kota Purworejo
dapat ditemukan rumah sakit yang sejatinya dikhususkan untuk kepentingan militer.
Kendati ia diperuntukan untuk kalangan militer, namun di masa kolonial, rumah
sakit menjadi jujugan orang Eropa dan pribumi
papan atas karena pelayanannya dianggap memuaskan. Oleh karena itulah rumah sakit ini pada tahun 1919 tidak diperkenankan menerima pasien dari luar kalangan
militer kecuali rumah sakit zending sudah
penuh. Beberapa saat sesudah kemerdekaan, rumah sakit ini sempat menjadi kamp
internir untuk orang-orang Eropa.
|
Tangsi Kedungkebo pada tahun 1870an (sumber ; media-kitlv.nl) |
|
Sisa blokchuis. |
Di belakang rumah sakit tersebut, terdapat bekas sarana pertahanan yang dikenal sebagai blockhuis atau rumah kubu yang sekarang ditempati oleh Detasemen Perbekalan. Pada bagian atas pintu masuk, tertera angka tahun 1833 yang merujuk pada tahun selesainya bangunan itu dibuat. Keberadaan blockhuis tersebut berkaitan dengan strategi pertahanan pulau Jawa yang dibuat oleh Komisaris Jenderal J. van den Bosch dan kepala divisi zeni militer, Kolonel C. van Der Wicjk, untuk melindungi pulau Jawa dari serangan luar. Strategi tersebut dibuat karena situasi dalam negeri Belanda sedang kacau akibat Revolusi Belgia tahun 1830. Belanda khawatir bila kekacauan tersebut dimanfaatkan oleh bangsa Eropa lain untuk mencaplok tanah jajahannya. Belajar dari kegagalan Belanda dalam membendung serangan Inggris di Jawa pada 1811, selain mendirikan pertahanan di pesisir utara, mereka juga mendirikan pertahanan di pedalaman. Dengan jaringan sarana
pertahanan tersebut, maka pasukan dapat ditarik ke benteng yang ada pedalaman seandainya wilayah pesisir utara jatuh ke tangan musuh dan dari benteng
tersebut Belanda dapat melancarkan serangan balik terhadap musuh (Van Brakell, 1863; 294). Pada tahun 1844, militer Belanda secara
rahasia mengutus Mayor Jenderal Friedrich Balduin Von Gagern untuk meninjau
pertahanan yang dibuat oleh Van den Bosch dan C. Van der Wijck. Dari hasil
peninjauannya, Von Gagern memberi usulan bahwa seandainya musuh
mengancam Batavia, maka pemerintah kolonial hendaknya memindahkan pemerintahannya di Purworejo untuk sementara waktu (Kielstra, 1879; 32). Usulan Von Gagern ini didasarkan dengan berbagai pertimbangan, antara lain iklimnya yang cukup sehat, terdapat blockhuis dan garnisun militer yang dapat dikembangkan sebagai sarana pertahanan, lokasinya yang strategis serta posisinya yang berada jauh di pesisir selatan sehingga kecil kemungkinan musuh menjangkau sampai sini. Purworejo juga lumayan dekat dengan Cilacap yang rencananya akan digunakan sebagai titik evakuasi jika Purworejo sudah terancam (Gill. R. Ronald, 1990; 151). Dengan demikian, maka Purworejo akan menjadi national redoubt atau ibukota darurat pemerintah Hindia-Belanda. Jika kedudukan pemerintah kolonial sudah terdesak, maka Purworejo akan menjadi titik pertahanan terakhir di Jawa. Dari kota kecil inilah roda pemerintahan kolonial Hindia-Belanda akan dijalankan sampai keadaan mereda. Sebagai persiapan, maka dibangun sebuah
gedung yang nantinya dipakai sebagai kantor pemerintahan jika seandainya
pemerintahan Hindia-Belanda betul-betul jadi dievakuasi ke Kedung Kebo. Selama masa damai,
gedung tersebut dijadikan sebagai pupillenschool,
yakni sekolah untuk anak-anak serdadu Belanda. Sepanjang abad ke-19,
wilayah Pulau Jawa ternyata relatif damai, tidak ada pemberontakan besar dari
dalam pulau maupun serangan bangsa asing lain dari luar. Maka dari itu, untuk
menghemat biaya pemeliharaan yang besar, maka beberapa sarana benteng diratakan atau dialihfungsikan untuk keperluan lain seperti blockhuis Kedungkebo yang dialihfungsikan sebagai rumah sakit militer. Sementara itu,
rencana Purworejo untuk menjadi ibukota darurat akhirnya dibatalkan dengan
keputusan pemerintah tahun 1873.
|
Bekas kantin militer yang kondisinya rusak parah. |
Dari Jalan Panca Marga,
saya menyeberang ke Jalan Ksatrian. Jalan ini merupakan akses utama ke kompleks
Yonif 412, sebuah kompleks militer yang menempati bekas tangsi militer Belanda.
Di depan kompleks itu, terdapat sebuah gerbang besar dengan sengkalan 1918 yang
terpampang di atas pintu masuk. Tentara dengan seragam hijau loreng berjaga di
depan pintu masuk, tanda bahwa kompleks itu tidak dapat sembarangan dimasuki orang.
Di ujung Jalan Ksatrian, terdapat sebuah bangunan tua dengan kondisi yang
memprihatinkan. Itulah bekas kantin militer. Di tengah kehidupan tangsi yang monoton dan suntuk, kantin militer serasa menjadi surga tersendiri. Di tempat itulah, para serdadu Belanda mencari kesenangan sesudah latihan atau bertugas. Di sana, mereka dapat menonton
pertunjukan sandiwara, film, atau memesan minuman keras yang telah diatur porsinya. Di sini masih bisa ditemukan
bekas sebuah ruang proyektor, lalu ruang penonton dengan lantai berundak agar
penonton di belakang tidak terhalang oleh penonton di depannya, dan panggung
untuk memutar film atau untuk menampilkan pertunjukan sandiwara. Sebelum
rusak, bangunan ini digunakan sebagai Balai Prajurit dan warga sekitar sering
menggunakan bangunan ini untuk kegiatan masyarakat.
|
SMA N 7 Purworejo,dulu Hoogere Kweekschool Poerworedjo. |
Berikutnya, saya kembali ke Jalan Urip Sumoharjo. Persis di
seberang barat kompleks militer, terdapat sebuah kompleks sekolah peninggalan
Belanda yang kini ditempati SMA N 7 Purworejo. Sekolah yang dulu bernama Hoogere
Kweekschool Poerworedjo itu hanya satu dari sekian sekolah yang dibuka
oleh Belanda di beberapa sudut kota Purworejo ( ulasan lebih lengkap tentang
HKS Purworejo dapat dibaca di "
HKS Purworejo, Tetenger Pendidikan Guru di Indonesia " ). Hoogere Kweekschool
Purworejo adalah sekolah yang sangat kondang di masanya. Ia bisa
disejajarkan dengan Tehnicshe Hoogeschool
(kini ITB) di Bandung. Bedanya Hoogere
Kweekschool Purworejo melahirkan para guru-guru yang berjasa di dunia
pendidikan. Tak mengherankan jika Purworejo disebut sebagai kota pusat
pendidikan. Keberadaan institusi pendidikan di Purworejo sejatinya sudah hadir
bahkan sejak kota itu dibangun. Kala itu, sebuah sekolah dibuka di kompleks
tangsi Kedungkebo untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dari keluarga
serdadu Belanda yang masih aktif atau yang sudah pensiun. Perkembangan
pendidikan di Purworejo kian pesat setelah politik etis diterapkan di
Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, ditandai dengan semakin banyak sekolah
yang dibuka di Purworejo, baik yang dibuka oleh pemerintah maupun dari
lembaga zending Kristen dan misi Katolik. Sekolah-sekolah itu antara
lain Inlandsche School (SD N 1 Purworejo), Chr.
Hollandsch. Javaansche School (SMP N 4 Purworejo), Hollandsch
Inlandsche School (SMP N 1 Purworejo), Hollandsch Chineese
School (SMP Widhodo), dan Lageree Europesche School (SMP
N 2 Purworejo). Di sekolah-sekolah itulah orang Belanda atau pribumi yang mampu
menyekolahkan putra-putri mereka.
|
SMP N 2 Purworejo, dulu Lageree Europesche School. |
|
SMP N 1 Purworejo, dulu Hollandsch Inlandschool. |
|
SMP N 4 Purworejo, dulu Chr. Hollandsch Javaansche School. |
|
SD N 1 Purworejo, dulu Inlandsche School. Di dalam SD ini terdapat sebuah ruang kelas yang bangku-bangkunya masih asli dari zaman dahulu. |
Dari kompleks SMA N 7
Purworejo, saya menyusuri Jalan Mayjend. Sutoyo yang dinaungi oleh rindangnya pohon-pohon
asam tua yang sudah menjulang sedari zaman Belanda, menjadikan jalanan kota
Purworejo terasa sejuk dan teduh di mata orang Eropa. Seorang pengelana Eropa bernama Becking dalam tulisan berjudul Eene Beschrijving van Poerworedjo en Omstreken yang diterbitkan dalam majalah Indie menyebutkan bahwa Purworejo "memiliki jalan jalan yang lebar, dipayungi oleh pohon asam dan kenari yang tua". Tidak heran jika mereka menyanjung Purworejo sebagai tempat terbersih dan terindah di selatan pulau Jawa. Salah satu dari mereka, Van Gelder, yang pernah mengunjungi Purworejo di tahun 1893, menulis :
“ Tempat yang memiliki jumlah penduduk sekitar 12.000 jiwa ini merupakan
salah satu tempat terbersih di Jawa. Sisi kanan dan kiri jalan ditanam dengan
pohon asam. Rumah bupati dan residen merupakan sebuah bangunan yang indah ”
(Gill. G. Ronald, 1990; 216).
|
Pohon asam tua yang masih berdiri tegak di tengah kota Purworejo. Pohon-pohon inilah yang membuat para pengelana Eropa terpikat dan memuji Purworejo sebagai tempat terbersih di Jawa. |
Di sepanjang jalan itu, berdiri beberapa bangunan bergaya kolonial yang dahulu digunakan sebagai kantor-kantor ambtenar atau pamong pemerintah kolonial seperti Waterstaat Kantoor (Kantor BKSDA), Irrigatie Kantor (Dinas Pengairan), Landraadgebouw (Museum Tosan Aji) dan Djaksaakantoor (Satlantas Purworejo,eks Polres Purworejo). Beruntung, beberapa bangunan ini wujud aslinya masih terlihat sampai sekarang. Apabila berbelok ke Jalan Makam Kerkhof, di ujung jalan itu terdapat permakaman yang menjadi tempat peristirahatan terakhir orang-orang Belanda. Di permakaman itu masih dapat dilihat makam-makam Belanda yang sayangnya banyak yang kondisinya rusak ( ulasan lebih lengkap tentang kerkhof Purworejo dapat dibaca di " Pusara Tua nan Renta di Kerkhof Purworejo " ).
|
Kantor Pos Purworejo. |
|
Kantor BKSDA, dahulu adalah kantor Waterstaat. |
|
Rumah dinas controleur Purworejo. |
|
Rumah yang cukup besar di jalan Mayjen. Sutoyo yang kini menjadi kantor Badan Kepegawaian Daerah. Rumah ini dahulu dihuni oleh insinyur pengairan Belanda. |
|
Kantor Inspektorat, dulunya adalah kantor Irragatie-Dienst. |
|
Satlantas Purworejo, dulu Djaksakantoor atau kantor jaksa. |
|
EKs Museum Tosan Aji, dulu Landraadgebouw atau pengadilan. Di sinilah dahulu pelaku kejahatan disidang dan dijatuhi hukuman untuk selanjutnya dimasukan ke penjara yang berada di depan gedung ini. |
|
Gapura Kerkhof Purworejo. |
Di tengah kota Purworejo,
tengara bangunan kolonial lain berupa stasiun masih ada meski sekarang tidak
dipakai lagi. (ulasan lebih lengkap mengenai stasiun ini dapat dibaca pada Membongkar Ingatan di Stasiun Purworejo )
|
Stasiun Purworejo. |
Selain rumah sakit milik
militer, di Purworejo masih ada satu rumah sakit lagi yang dirintis oleh seorang zending bernama Dr. J. C. Flach. Tanggal 15 Februari 1918, rumah sakit zending resmi dibuka untuk pasien dari masyarakat umum. Untuk menunjang pelayanannya, rumah sakit zending dilengkapi mobil ambulan yang membantu sekali saat Purworejo dilanda epidemi kolera pada bulan Juni 1918 (Pol, 1992;264) Rumah sakit ini memiliki beberapa poliklinik pembantu di Bener, Loano, Kaliboto, Cangkrep, Krendetan, dan Kemanukan. Pendanaan rumah sakit zending selain disokong oleh lembaga zending juga dibantu oleh PG Jenar. Hari ini, rumah sakit zending itu dikelola oleh pemerintah daerah dan berubah nama menjadi RSU Dr. Tjitrowardojo. Bagian depan rumah sakit ini
memang sudah banyak yang berubah, namun beberapa bangsal masih menggunakan
bangunan lama. Di samping rumah sakit ini juga terdapat sebuah rumah tua yang
dahulu menjadi rumah dinas untuk dokter.
|
Pasar Baledono tempo doeloe.
|
Jantung perekenomian
Purworejo di masa lalu hingga sekarang terletak di pasar Baledono. Di pasar itulah, masyarakat Purworejo dari berbagai penjuru berkumpul untuk mengais rezeki agar dapur di rumah bisa mengepul. Beraneka barang didagangkan di pasar itu. Di pertengahan
tahun 2013, si jago merah melalap habis pasar itu. Tahun ini (2017) bangunan
pasar akan dibangun kembali dengan ukuran yang lebih besar dari sebelumnya. Di
sekitar pasar, dapat dijumpai deretan bangunan ruko bergaya Tionghoa (ulasan
lebih lengkap mengenai Pecinan Purworejo dapat dibaca di sini " Menyusuri Warisan Budaya Tionghoa di
Purworejo"
|
Pejagalan hewan yang terletak di ujung jalan Jagalan, Baledono, Purworejo. Sampai sekarang masih difungsikan sebagai rumah potong hewan. |
|
Pabrik Es Purworejo yang sudah berdiri sejak tahun 1886. |
Guna memenuhi permintaan
daging masyarakat Purworejo di zaman dahulu, sebuah abbatoir atau
pejagalan hewan resmi milik pemerintah kolonial dibangun di daerah Jagalan,
Baledono. Lokasi pejagalan dibangun di dekat kali Kedungputri untuk memudahkan pembuangan
bagian hewan yang tidak dikonsumsi seperti darah.
|
Gedung bioskop pada tahun 1930an. Bioskop ini sekarang menjadi Gedung Kesenian Sarwo Edhie Wibowo, di perempatan jalan Pemuda dan Jalan Urip Sumaharjo. Meski bioskop ini sudah beralih rupa, namun pohon di depan bioskop masih ada hingga sekarang.
|
Sarana hiburan di Puworejo pada masa kolonial terbilang cukup untuk sebuah kota yang lewat jam 6 malam sudah sepi. Becking menyebutkan ada sebuah soceiteit, tempat orang-orang Eropa menghabiskan waktu senggangnya dengan bermain bilyar, kartu, minum-minum, berdansa, berkumpul dengan orang Eropa lain atau mendengarkan musik tonil. Soceitet tersebut mulai berdiri sejak tahun 1878. Societeit yang kini sudah hilang dan menjadi gedung DPRD Purworejo itu juga mengelola gelanggang permainan bowling dan lapangan tenis. Tenis merupakan jenis olahraga yang digemari oleh kalangan elit
Belanda. Selain tenis, para ambtenaar atau pegawai kolonial dapat mengikuti klub sepakbola, klub membaca, klub renan, dan klub berburu. Di Purworejo dulu juga pernah ada tiga buah bioskop yang dahulu oleh
seorang Tionghoa. Salah satu bioskop di kemudian hari bioskop itu menjadi bioskop Bagelen sebelum
akhirnya dibongkar menjadi Gedung Kesenian Sarwo Edhi Wibowo. Selain bioskop
tadi, masih ada bioskop lain di kota ini, yakni bioskop Pusaka yang kini
menjadi pasar swalayan Jodo dan bioskop di Jalan Buntu.
|
Berbagai gardu listrik yang tersebar di beberapa penjuru. Gardu listrik ini berfungsi sebagai transformator penurun tegangan listrik dari tingkat tinggi ke tingkat yang aman bagi keperluan rumah tangga.
|
|
Bekas pembangkit listrik di daerah Baledono Selis. |
Masuknya jaringan listrik di Purworejo pada awal tahun 1926 menjadi penanda kota Purworejo memasuki peradaban dunia modern. Sebelum adanya jaringan listrik, para pengusaha atau tamu di Purworejo mengeluhkan betapa gelapnya kota itu, dimana satu-satunya penerangan umum berasal dari lampu gas yang ada di persimpangan jalan, kelip lampu minyak atau bahkan dari cahaya rembulan. Listrik sejatinya sudah masuk pada tahun 1916 namun saat itu hanya diperuntukan bagi kompleks HKS Purworejo. Pemasangan jaringan listrik untuk umum di Purworejo dimulai dengan pembangunan PLTA di Baledono oleh perusahaan swasta N.V. Poerworedjo Electreitbedrijf. Namun perusahaan tersebut dinilai tidak memenuhi kelayakan teknis sehingga pembangunan PLTA dilalihkan kepada Algemeene Netherlandsch Indische Electreit Mij. (ANIEM). Akhirnya pada 9 Januari 1926, pembangkit listrik di
Purworejo yang ditunggu oleh banyak resmi beroperasi. Pejabat sipil dan militer di Purworejo
hadir di stasiun pembangkit listrik yang ada di Baledono Selis seperti Residen
Kedu Van der Jagt, asisten residen Purworejo Putman Cramer, dan kepala ANIEM Yogyakarta Keuzekamp. Setelah sambutan, dilakuan pemutaran engkol mesin turbin oleh istri bupati Kutoarjo. Untuk pertama kalinya, Purworejo diterangi dengan nyala lampu listrik. Bangunan pembangkit dirancang oleh biro bangunan Sitsen en Louzada. Air untuk PLTA disadap dari saluran Kedungputri yang berikutnya dialirkan melalui pipa-pipa besi besar buatan pabrik kosntruksi Bakker dari Surabaya. Aliran air akan menggerakan mesin turbin bikinan pabrik Escher Wyss dari Swiss. Sementara dinamo serta perangkat lainnya dibuat oleh Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft dari Berlin. Saat debit air menyusut selama musim kemarau, listrik dihasilkan dari mesin diesel. Listrik dari pembangkit lalu dialirkan ke rumah-rumah orang Belanda setelah dikurangi tegangannya oleh gardu-gardu yang tersebar di dekat kantong permukiman orang Belanda. Selain untuk keperluan rumah tangga, listrik tersebut juga menyalakan lampu-lampu di sepanjang jalan Purworejo-Kutoarjo. Dengan jaringan listrik itu, maka orang-orang Belanda di Purworejo dapat menikmati terangnya cahaya lampu listrik di malam hari. Sangat disayangkan bahwa pencahayaan lampu hanya dapat menerangi sepanjang jalan raya utama, dengan kata lain beberapa ruas jalan masih gelap gulita dan orang pribumi yang tinggal di kampung harus berpuas dengan kelap temaram lampu minyak (De Locomotief, 11 Januari 1926). PLTA di Baledono tersebut akhirnya dihancurkan pada zaman Jepang dan hanya tinggal pondasi saja.
|
Sumber mata air Kalinongko. |
|
Kamar mesin pompa air di Mranti. Di bagian atas pintu masuk terdapat inskripsi "1925" yang menunjukan tahun pembangunan bangunan tersebut. |
Untuk mencukupi kebutuhan air bersih sehari-hari, jaringan air keran diperkenalkan di Purworejo pada tahun 1920an. Air memang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia, namun tidak semua air layak untuk diminum. Sebelum jaringan air keran masuk, masyarakat pada zaman dahulu masih mengandalkan sumur terbuka sebagai sumber air. Seringkali air dari sumber-sumber tersebut didapati dalam keadaan keruh dan bau. Belum lagi dengan kandungan zat kimia dan bakteri berbahaya yang mencemari air. Pada zaman dahulu, penyakit-penyakit yang berakhir menjadi wabah seringkali ditimbulkan dari konsumsi air tercemar mulai dari disentri, tifus, hingga kolera. Oleh karena itu, pemerintah kolonial
menugaskan pengawas Westhoeve, insinyur Adriaanse, dan juru gambar Raden Seboel
untuk merancang jaringan air keran yang diharapkan mampu menyediakan kebutuhan
air bersih di Purworejo. Proyek tersebut menelan biaya sebesar 390.000 gulden
dan sebagian biayanya diperoleh melalui pinjaman dari "Het
Pensionfonds" dan "Netherlandsch Indische Lijfrente
Maatschappij". Proses pembangunan dimulai sejak bulan September 1925, namun
perencanaanya sudah dilakukan jauh hari sebelumnya, yakni sejak awal tahun
1920. Sumber air baku untuk jaringan air keran tersebut disadap dari mata
air di desa Kalinongko. Proses pembangunan dimulai dari pembangunan pipa
saluran induk, stasiun mesin pompa, dan reservoir. Sekitar bulan Februari 1926, sudah ada 400 rumah tangga di Purworejo yang telah berlangganan air keran. Setelah semua pembangunan diselesaikan, maka diadakan upacara peresmian di halaman depan stasiun mesin pompa di
Mranti pada 3 Juli 1926. Dalam kesempatan tersebut, pejabat-pejabat kolonial dari
berbagai tingkat diundang seperti residen Kedu, Mr. Van der Jagt, kontrolir Purworejo
Mr. Bitter yang mewakili asisten residen, kepala PG Jenar, Mr. Bosch, dan
komandan militer Purworejo, Mayor Lucardie. Tidak ketinggalan pula Mr.
Westhoeve, Ir, Adriaanse, dan Raden Seboel yang menjadi tokoh penting dalam
pembuatan jaringan air keran di Purworejo. Pembukaan keran pancuran air di halaman depan stasiun mesin pompa oleh Mr. Van der Jagt menjadi tanda
dibukanya jaringan air keran di Purworejo. Para tamu undangan lalu diajak untuk
menengok ke dalam stasiun mesin pompa. Di dalam stasiun mesin pompa tersebut,
terdapat dua mesin pompa yang dipasok oleh Lindeteves-Stokvis. Satu mesin
sebagai mesin pompa utama dan satu mesin pompa lainnya sebagai mesin cadangan
bila mesin utama mengalami gangguan. Mesin tersebut digerakan oleh mesin
listrik bertenaga 45 tenaga kuda. Upacara tersebut dilanjutkan dengan slametan
yang diikuti oleh masyarakat Jawa dan Tionghoa. Sementara orang-orang
Eropa menggelar pesta kecil di Sosieteit (De Locomotief, 5 Juli 1926). Sayangnya penyediaan sarana air minum di masa itu belum merata karena baru memenuhi
kebutuhan lapisan masyarakat yang mampu membayar biaya
langganan. Sementara masyarakat lainnya masih menggunakan air sumur
dangkal, air sungai dan sejenisnya yang tentu saja tidak terjamin
kebersihannya.
|
Sebuah rumah lama di jalan Jenderal Sudriman, dekat perempatan Koplak. Rumah bergaya Indis ini dahulu dihuni oleh Van Frassen, seorang direktur perkebunan. Tidak ada perubahan sama sekali pada bangunan ini selain teras depan yang ditutup untuk menambah ruangan. Bangunan ini sekarang menjadi kantor GKJ klasis Purworejo. Sebelumnya rumah in menjadi SMK Widhodo. |
|
Rumah-rumah kuno di Purworejo. |
Tersebar di setiap sudut
kota, dapat ditemukan berbagai rumah-rumah tua dengan bentuk yang beragam.
Nasibnya juga beragam. Ada yang masih terawat baik dan ada juga yang nyaris
rubuh ditelan usia.
Dari begitu banyaknya peninggalan masa kolonial di kota Purworejo, dapat
disimpulkan bahwa ternyata kota Purworejo di masa lalu termasuk sebuah kota
yang luar biasa penting, yakni sebagai pusat pemerintahan, pusat penyebaran
agama, dan pusat pendidikan. Maka wajarlah jika pemerintah kolonial nyaris
menjadikan Purworejo sebagai ibukota darurat Hindia-Belanda. Daya tarik kota ini juga
mendapat pujian oleh para pengelana Eropa yang pernah singgah di sini. Sayang
kegemilangan Purworejo sebagai salah satu kota terbersih dan teratur di Jawa
harus pensiun ketika memasuki masa modern, saat dimana secara licik pemerintah
kolonial menggulingkan bupati Cokronegoro IV yang berjasa bagi rakyat Purworejo
karena ia terlalu dekat dengan pergerakan nasional. Kebesaran kota Purworejo di
masa lampau akhirnya telah selesai, maka wajarlah jika kota ini menyandang
sebagai kota pensiun. Selama bertahun-tahun, Purworejo hanyalah terpinggirkan
dalam sejarah nasional dan semakin menyedihkan jika mengetahui kalau kota ini
adalah salah satu kota paling miskin di Jawa. Namun apakah pensiun berarti harus berhenti berkarya ? Epilog Profesor Peter Carey dalam bukunya Sisi Lain Diponegoro, Historiografi Perang
Jawa sekiranya bisa menjadi renungan. Menurutnya, dengan keistimewaan Purworejo di masa
lampau, akankah keistimewaan itu akan dibiarkan saja sehingga Purworejo menjadi kota
yang datar-datar saja atau dikembangkan sebagai sebuah destinasi sejarah yang
luar biasa ? Semua tergantung dari kebijakan pemerintah dan dukungan masyarkat…
Referensi
Carey, Peter. 2017. Sisi Lain Diponegoro ; Babad Kedungkebo da Historiografi Perang Jawa. Jakarta; Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Gill,
Ronal. G. 1990. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft : TU Delft.
Guilot, C. 2020. Kiai Sadrach : Riwayat Kristenisasi di Jawa. Mata Bangsa.