Pasar,
sebuah tempat dimana para pedagang dan pembeli bertemu, tempat dimana orang
mengais nafkah dan juga mencari kebutuhan hidupnya. Karena pentingnya sebuah
pasar, maka keberadaanya dapat ditemukan baik di perkotaan yang riuh hingga
sebuah desa di kaki bukit. Jejak Kolonial pada kesempatan kali ini akan
mengajak anda untuk beringsut menjauh dari perkotaan, menuju ke suatu desa di Sleman
untuk menoleh jejak perniagaan masyarakat rural di masa kolonial.
Desa
Purwobinangun adalah sebuah desa yang berada di bawah Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Di
sana terdapat sebuah pasar kuno yang masih sedikit dikenal orang. Pasar
Srowolan namanya. Ketika saya sejenak mengunjungi pasar ini, tak terjumpai riuh
ramai pedagang layaknya sebuah pasar. Di bawah atap-atapnya, hanya suasana
senyap yang saya rasakan. Jauh dari kesan hingar bingar sebuah pasar pada
umumnya. Pasar itu rupanya sudah lama mati seperti yang dituturkan salah satu
penduduk sekitar. Pasar itu hanya buka dalam hari pasarannya yang jatuh setiap Wage, itupun tak lebih dari lima pedagang saja yang berjualan.
Selebihnya di hari lain, pasar itu benar-benar mati.
|
Pasar Srowolan yang lengang. |
Dalam
budaya Jawa, sebuah pasar memang hanya dibuka sekali dalam sepekan yang biasanya
ditentukan dalam hari pasaran. Hari pasaran Jawa meliputi Legi, Pahing, Pon,
Wage, dan Kliwon. Ada alasan mengapa setiap pasar memiliki hari pasaran yang
berbeda dengan pasar lain. Alasannya adalah bahwa para pedagang pasar di
desa-desa zaman dahulu bukalah pedagang murni. Sebagian besar di antara mereka
adalah para petani yang menjual sisa panen mereka. Mereka juga tak terlalu
banyak membeli barang kebutuhan mengingat kecilnya pendapatan mereka sehingga
mereka hanya membeli kebutuhan yang bukan hasil panen mereka saja. Dengan daya
beli pengunjung pasar yang kecil, manakala terlalu banyak barang yang dijual di
pasar, maka akan timbul deflasi atau turunnya harga barang. Harga barang yang
terlalu murah tentu saja tidak menguntungkan pedagang. Sebab itulah tidak
setiap hari pasar buka. Guna meratakan perdagangan, maka dalam satu distrik
atau kecamatan akan memiliki lima pasar dengan hari pasaran yang berbeda dan
selalu bukanya selalu bergantian.
|
Tiang-tiang besi penopang atap. |
Sejarah berdirinya Pasar Srowolan masih memiliki sangkut paut dengan pembentukan Kemantren Srowolan pada 1896. Adapun bangunan pasar yang terlihat sekarang merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 1921. Sebagai pasar Kasultanan, pasar ini merupakan satu dari 129 buah pasar yang dikelola oleh Kasultanan Yogyakarta (Dingemans, 16; 1925). Pemugaran pasar dikerjakan oleh N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta dan material bangunannya disediakan oleh N.V. Braat, perusahaan yang didirikan pada 1901 dan memiliki cabang di Surabaya, Yogyakarta, Sukabumi dan Tegal. Bentuk
pasar ini sederhana saja, hanya berupa deretan los-los terbuka dengan atap
pelana. Atap-atap pelana itu disokong oleh batang dan rangka besi yang masing-masing
disambung dengan baut dan mur. Dari inskripsi yang tertera pada salah satu
batang besi, besi-besi penyokong pasar ini dibuat di pabrik peleberuan besi
Guttehofnungshotte yang ada di Jerman. Material besi dipilih untuk menggantikan kayu karena
selain lebih awet dan tidak banyak biaya perawatan, material tersebut juga
lebih mudah untuk diangkut ke pasar-pasar desa yang umumnya tersebar hingga
pelosok dan tinggal dirakir saja (Dingemans, 1926; 104)
|
Pasar Saren, Wedomartani, Ngemplak.
|
Pasar Srowolan sebagaimana pasar
tradisional tempo dulu tidak diberi sekat setiap kiosnya. Sejatinya, bangunan
sejenis Pasar Srowolan bertebaran di pelosok desa di Yogyakarta. Pasar Kenteng
misalnya. Tidak seperti Pasar Srowolan yang kini menjadi pasar mati, pasar yang
terletak di gerbang Menoreh itu masih semarak dengan kegiatan niaga walau hanya
pada hari pasarannya saja. Contoh pasar lain yang masih bergeliat adalah Pasar
Saren di Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Walau demikian, setidaknya nasib Pasar Srowolan sedikit lebih mujur dibanding Pasar Turi yang kini sudah
terbongkar.
|
Pasar Kenteng, Nanggulan, Kulonprogo. |
Bagaimana kehidupan pasar Srowolan ketika masih berjaya ? Dalam tulisan bertajuk Pasar Srowolan di Sleman pada Masa Agresi Militer Belanda Kedua, pasar yang hari pasarannya jatuh pada hari Wage ini cukup ramai dengan kegiatan jual beli. Di bawah atap pasar, para pedagang pribumi menggelar segala dagangan yang akan dijual, dari beras, buah-buahan, makaman tradisional, tanaman palawija, sandang, tembakau, daging sapi, alat dapur, bumbu masakan, alat pertanian dan lainnya. Sebelum masa Agresi Militer Belanda Kedua, terdapat pedagang Tionghoa yang membuka kios-kios di sebelah barat pasar Srowolan. Barang yang ditawarkan mereka antara lain barang kelontong, obat tradisional, kebutuhan pokok, dan daging babi. Di samping itu, mereka juga menjadi rentenir yang memberi pinjaman kepada para pedagang. Para pedagang Tionghoa mulai tak kelihatan batang hidungnya pada masa Agresi Militer Belanda Kedua karena mereka dianggap mata-mata Belanda dan oleh pemerintah RI mereka harus meninggalkan Pasar Srowolan. Selain sebagai pusat kegitan jual beli, pasar ini juga menjadi tempat diberlangsungkannya upacara tradisional yang disebut midhang. Upacara yang dilaksanakan hanya pada hari Jum'at Wage merupakan bentuk ucapan rasa syukur atas terkabulnya permohonan. Midhang dilakukan dengan membawa sapi ke pasar. Leher sapi dikalungi dengan ketupat dan kemudian dibawa ke Pasar Srowolan. Di sana sapi diarak keliling pasar. Pemilik sapi memberi uang dan sesaji kepada mereka yang membutuhkan. Di samping itu, kadangkala kelompok hiburan tradisional seperti jathilan, slawatan, dan rodat diundang oleh mereka yang punya hajat midhang untuk pentas di Pasar Srowolan. Ketika pentas tersebut digelar, kehidupan Pasar Srowolan kian semarak dengan orang-orang yang ingin menonton hiburan gratis itu.
Dibalik kesederhanaan bangunannya,
Pasar Srowolan selain menjadi tempat jual beli juga pernah merangkap sebagai tempat pertukaran informasi antar gerilyawan
di masa kemerdekaan. Dikisahkan, pada saat masa Agresi Militer Belanda Kedua, wilayah
Sleman dikuasai oleh militer Belanda dan akibatnya banyak pasar yang sepi.
Sebaliknya, entah apa sebabnya Pasar Srowolan justru masih ramai. Hal inilah
yang dimanfaatkan oleh para pejuang untuk mengumpulkan logistik. Selain sebagai
tempat mencari persediaan, mereka juga menjadikan pasar ini sebagai tempat
pertukaran informasi.
Pasar
Srowoloan hanyalah salah satu jejak kolonial yang memberikan gambaran pada
generasi kekinian mengenai kegiatan perniagaan masyarakat rural di masa
kolonial. Walau Pasar Srowolan raganya masih awet, namun jiwanya kini telah
pupus. Kegiatan perniagaan sudah tidak sesemarak dulu lagi. Di bawah atap-atap
itu, hanya suasana senyap yang terasa sebelum saya meninggalkan pasar ini.
Referensi
Dingemans, L. F. 1925. Gegevens
over Djokjakarta. Magelang: Firma Maresch.
Dingemans, L. F. 1925. Gegevens over Djokjakarta A. Magelang: Firma Maresch.
Yustina Hastrini Nurwanti. 2000. "Pasar Srowolan di Sleman Pada Masa Agresi Militer II : Suatu Kajian Sejarah Sosial" dalam Patr-Widya. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.