Minggu, 28 Agustus 2016

Serpihan Kejayaan Stasiun Gundih yang Kini Terlewatkan

Mentari baru saja menampakan dirinya di ufuk timur ketika saya menjejakan kaki ke Gundih, ibukota kecamatan Geyer yang terletak 17 kilometer ke selatan dari Purwodadi, Grobogan. Tujuan lawatan saya ke sini tak lain ialah untuk menengok Stasiun Gundih, serpihan pusaka perkeretaapian yang pernah bergairah di masa penjajahan Belanda.
Kendati letak stasiun itu berada sedikit jauh dari jalan raya Surakarta-Purwodadi, namun amatlah mudah untuk menjangkaunya. Stasiun Gundih diapit oleh jalur kereta di kedua sisinya, menjadikan stasiun itu bak sebuah pulau yang tergeletak di tengah-tengah rel baja. Mendekati area stasiun, saya disuguhi dengan keindahan wajah depan stasiun yang menghadap ke utara itu. Pernik berupa papan teritisan bergerigi yang menjadi ciri arsitektur Chalet terlihat serasi di bagian atap pelananya, membuat stasiun tampak jelita. Sungguh harta karun luar biasa untuk ukuran wilayah yang masih sedikit tersentuh oleh kemajuan.
Bagian depan stasiun Gundih beserta dua overkapping atau kanopi stasiun di sisi barat dan timur.
Stasiun itu disusun dengan bahan-bahan bermutu prima sehingga ia masih kokoh berdiri meski usianya sudah memasuki seabad. Misalnya saja tegel kotak-kotak yang masih utuh mengalasi lantai stasiun itu sejak zaman Belanda. Tegel kekuningan itu asalnya dari pabrikan Alfred Ragout yang pabriknya berada di kota Maastricht, Belanda. Tegel bikinan Alfred Ragout memang banyak dipakai pada bangunan stasiun karena sifatnya kedap air, sehingga penumpang tak perlu takut tergelincir ketika berjalan di atasnya.
Lantai stasiun yang masih asli dari tegel lama.
Lengang, itulah kesan pertama saya ketika berjalan di peron stasiun yang dinaungi atap baja itu. Sekalipun masih terlihat pegawai stasiun yang sedari tadi mondar-mandir di peron stasiun, namun tak terlihat satupun penumpang yang menunggu kereta di situ. Saking lengangnya, saya menyaksikan seorang balita berlarian begitu leluasa di atas lantai peron stasiun sembari ibunya mengawasi dari bangku penumpang yang kosong. Suasana ini sungguh berbanding terbalik dengan yang terjadi di masa kolonial, ketika moda transportasi kereta sedang mencapai masa keemasannya.
Stasiun Gundih pada tahun 1900-an awal. Foto ini diambil menghadap ke arah utara. Terlihat kereta api yang sedang bersiap berangkat menuju Surakarta. Rumah-rumah di sisi kiri gambar merupakan rumah dinas untuk pegawai stasiun (sumber : colonialarchitecture.eu).
Peta lokasi Stasiun Gundih pada tahun 1905. Garis hitam-putih merupakan rel lebar 1435 mm dari arah Brumbung. Sementara garis hitam-putih yang lebih kecil merupakan jalur rel lebar 1067 mm dari arah Gambringan. Jalur yang berbelok ke kanan merupakan jalur rel milik S. J. S menuju arah Purwodadi.
Tahun 1870an, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya membangun jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden. Setelah sukses membuat jalur kereta Semarang – Tanggung dan kemudian diteruskan dari Tanggung ke Kedungjati, mereka berancang-ancang untuk meneruskan pembangunan jalur kereta Kedungjati- Vorstenlanden. Salah satu titik yang dilalui oleh rangkaian jalur kereta tersebut adalah Gundih, di mana kala itu Gundih dikenal sebagai penghasil kayu jati. Sebelum ada kereta, satu-satunya akses transportasi ke Gundih ialah dengan jalan yang menghubungkan Surakarta dengan Purwodadi yang tentu saja tidak sebagus sekarang. Jalur kereta tersebut dibangun oleh perusahaan kereta partikelir, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij yang mendapat konsensi membangun jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden.
Harian De Locomotief yang memberitakan semakin banyaknya warga Eropa yang datang ke Gundih.
Sesudah Stasiun Gundih dibangun, kehidupan di Gundih lebih bergeliat daripada sebelumnya. Gundih yang semula hanyalah wilayah anta berantah yang jarang dikenal orang, berkembang menjadi simpul jalur kereta yang ramai. Itu karena Gundih tak hanya menjadi jalur perlintasan Semarang-Vorstenlanden, melainkan juga Semarang-Surabaya yang mulai tersambun pada awal abad ke-20. Sebelum jalur Gambringan-Brumbung purna dibangun pada tahun 1924, penumpang dan barang dari Semarang tujuan Surabaya atau sebaliknya harus berganti kereta di Stasiun Gundih dulu. Dapat dibayangkan betapa sibuknya stasiun kecil ini di masa lampau. Dilansir dari harian De Locomotief tanggal 22 Februari 1899, semenjak Stasiun Gundih dibangun, semakin banyak warga Eropa yang berkunjung ke Gundih. Pemerintah kolonial rupanya memandang Gundih sebagai tempat yang strategis. Selain pembangunan stasiun, di Gundih juga dibangun sekolah yang letaknya masih di sekitar stasiun (BPCB Jateng, 23; 2014). Barulah sesudah jalur kereta Gambringan - Surabaya selesai dibangun pada tahun 1914, penumpang kereta jurusan Semarang - Surabaya tidak perlu berganti kereta lagi di Gundih (Het nieuws van den dag voor Nederlansch-Indie 8 Februari 1922).
Peron barat Stasiun Gundih.
Jam dinding tua buatan dari Strassburg, Perancis.
Di peron itu, saya menjumpai sebuah jam dinding tua yang dibuat di kota Strassburg, Perancis. Sudah ribuan putaran jarum jam itu lalui dan ia senantiasa berputar, memberitahukan waktu pada setiap orang. Ya, dalam setiap perjalanan kereta, waktu adalah suatu hal yang berharga. Tak boleh ada waktu yang disia-siakan karena keterlambatan sedikit saja dapat mengacaukan perjalanan kereta. Menatap jam itu, sayapun teringat dengan lagu Time milik band legendaris Pink Floyd, “ Every year is getting shorter, never seem to find the time. The time is gone, the song is over, thought I’d something more to say…”
Ruang loket.
Stasiun itu mempunyai 7 buah ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada yang dipakai untuk ruang Kepala Stasiun, ruang untuk pengatur perjalanan kereta api, dan ternyata ia memiliki dua buah loket, yakni di pintu masuk utara dan di bagian tengah stasiun, namun sekarang hanya loket bagian tengah saja yang masih dipakai. Stasiun Gundih nampaknya benar-benar merupakan sebuah stasiun yang sibuk di masa lalu sampai –sampai memiliki dua buah loket. Di stasiun itu juga masih bisa dijumpai bekas alat pengatur sinyal yang dioperasikan secara manual.
Alat pengatur sinyal Alkmaar.
Hatta, setelah melihat bangunan utama stasiun, saya berjalan mengelilingi kedua sisi emplasmennya. Seperti yang dijelaskan di awal, model stasiun seperti ini disebut stasiun pulau karena ia diapit oleh jalur kereta karena perannya sebagai jalur percabangan. Dahulu, emplasemen barat digunakan untuk rel 1435 mm jurusan Semarang –Vorstenlanden. Sementara emplasemen timur digunakan untuk rel 1067 mm jurusan Surabaya. Sejatinya, di emplasemen timur stasiun Gundih, terdapat sebuah stasiun kecil milik maskapai kereta Semarang Joana Stoomtram Maatschapij (SJS) jurusan Purwodadi dan Demak, namun kini, stasiun itu sudah tiada lagi termasuk jalur kereta apinya.
Emplasemen selatan Gundih sisi timur.
Menara air atau watertoren.
Sumur sumber air Stasiun Gundih.
Bagian yang diduga bekas pipa corong pengisi air lokomotif.
Depo Stasiun Gundih yang kini sudah tidak digunakan lagi.
Salah satu rumah dinas Stasiun Gundih yang masih asli. Rumah ini berupa rumah kopel dengan atap berbentuk limas.
Gudang Stasiun Gundih.
Di emplasemen itu, saya membayangkan lokomotif-lokomotif uap yang sedang mengisi air lewat corong yang kini telah hilang. Air tersebut berasal dari menara air atau watertoren di sebelah barat stasiun yang airnya dipasok dari sumur yang ada di bawahnya. Air merupakan sumber daya penting yang harus ada di beberapa stasiun karena pada zaman dahulu, mesin lokomotif masih digerakkan dengan tenaga uap yang mana membutuhkan air untuk menghasilkan uap. Sementara itu, terlihat para kuli dengan otot kekarnya sedang sibuk memindahkan muatan gerbong ke gudang yang hingga sekarang masih ada di selatan stasiun. Di ujung utara emplasemen stasiun, sebuah lokomotif terlihat sedang diperbaiki di dalam depo yang sampai sekarang masih berdiri. Semua pemandangan itu disaksikan setiap harinya oleh para keluarga pamong stasiun yang menempati deretan rumah dinas yang berdiri rapi menghadap stasiun. Deru mesin dan peluit lokomotif yang khas tentu mereka dengar tiap harinya. Ah, sungguh menjadi sebuah romansa tersendiri ketika mengingat pemandangan itu.
Rumah tua yang diduga merupakan rumah kepala Stasiun gundih.
Bagian beranda depan rumah, dimana dulu aktivitas Stasiun Gundih dapat terlihat jelas dari sini.
Pintu depan.
Dari Stasiun Gundih, saya menjajal untuk mencari berbagai tinggalan kuno lain di sekitar Stasiun Gundih. Tinggalan yang pertama ialah sebuah rumah kuno kosong yang bentuknya mengingatkan saya pada rumah kuno di dekat Stasiun Kedungjati. Lokasinya lebih tinggi dibandingkan rumah dinas di sebelah barat stasiun tadi. Sebelum banyak permukiman warga yang dibangun di depannya, pemandangan emplasemen stasiun dapat terlihat jelas dari beranda depannya. Sayangnya, keindahan rumah tersebut dirusak dengan graffiti liar di dinding depannya…
Gedung Papak Gundih.
Gedung Papak, itulah julukan masyarakat sekitar pada gedung tua yang saya temukan di sebelah utara rumah tua kosong tadi. Ia dijuluki demikian karena atapnya yang datar atau papak. Tak diketahui apa fungsi bangunan tua ini dulunya, namun kuat dugaan jika ia merupakan bekas tempat tinggal kepala Dienst van het Boswezen cabang Gundih yang mengatur segala eksploitasi kayu di Geyer. Sayang, dibalik kemegahannya, bangunan bertingkat dua itu juga menyimpan kisah kelam. Pada masa pendudukan Jepang, bangunan itu sempat dijadikan tempat penampungan para jugun ianfu, para perempuan yang dipaksa menjadi budak nafsu untuk serdadu Jepang.

Beranjak siang, panasnya udara Gundih segera terasa. Sayapun memutuskan mengakhiri petualangan saya mencari serpihan kejayaan Stasiun Gundih. Sebelum meninggalkan Gundih, sayup-sayup terdengar gemuruh suara kereta yang akan melintas. Namun dari gemuruhnya yang hanya terdengar sekilas saja, kereta itu tampaknya melewatkan stasiun ini. Ya, kejayaan stasiun ini sudah lama lewat, tapi saya percaya, selama Stasiun Gundih masih berdiri, serpihan kejayaannya tak akan terlupakan….

Referensi

Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Senin, 15 Agustus 2016

Gua Jepang Pundong, Artefak Perang Dunia Kedua di Pantai Selatan Yogya

Terbentang di utara pesisir selatan Yogyakarta, gemulai lekuk perbukitan Pundong terlihat jelas tenar itu. Di perbukitan yang gersang itu, gua-gua beton tinggalan Jepang itu terdiam bisu memandang birunya laut selatan. Gua-gua itu hanyalah satu dari sekian banyaknya artifak dari suatu bagian perjanan sejarah umat manusia yang bernama Perang Dunia Kedua. Puluhan tahun silam, gua-gua itu dirancang sebagai pos pertahanan milik Jepang yang sebentar saja menguasai Nusantara pada Perang Dunia Kedua. Kini, saya mencoba meraba sejarah daripada artifak-artifak itu.

Setelah menempuh perjalanan dari kota Yogyakarta ke Parangtritis, sesampainya di Jembatan Kretek yang membentang di atas Sungai Opak, saya berbelok ke kiri menyusuri jalan aspal yang sejajar dengan sungai. Tak lama kemudian, saya melihat plang bertuliskan “Situs Gua Jepang“ yang mengarah ke sebuah tanjakan. Jalan yang saya tempuh memiliki tanjakan yang cukup miring. Untunglah kendaraan saya dalam kondisi prima. Kendaraan saya kemudikan dengan hati-hati karena dalamnya jurang sudah siap menyambut saya jika gegabah. Setelah melalui jalan yang berliku dan menanjak, sampailah saya di situs yang terpampang pada plang tadi.
Panorama pesisir selatan dilihat dari Situs Gua Jepang. Di sinilah Jepang memperkirakan sekutu akan mendarat.
Situs Gua Jepang terletak di perbatasan desa Seloharjo kecamatan Pundong, Bantul dengan kecamatan Panggang, Gunungkidul. Terdapat sekitar 18 gua yang harus saya lihat di situs itu, membuat saya bingung harus memulai dari gua nomor berapa. Saat berdiri di atas gua nomor 10, di hadapan saya sekarang, tersuguh pemandangan laut selatan dengan garis pantai yang tampak begitu lurus nyaris tiada putusnya. Garis pantai selatan ini mengingatkan saya dengan garis pantai Normandia, Perancis, tempat dimana tentara Sekutu melakukan pendaratan akbar untuk menggulingkan kuasa Nazi Jerman di Eropa pada 6 Juni 1944. Ingatan saya akhirnya melayang pada perisitiwa Perang Dunia Kedua, perang paling kelam yang masih tertanam di ingatan umat manusia sampai hari ini.
Peta ekspansi Jepang ke Hindia-Belanda (sumbber : common.wikipedia.org).
Kalender menunjukan tahun 1941, Perang Dunia Kedua mulai berkecamuk di atas gelombang Samudera Pasifik. Jepang sebagai kekuatan baru di Asia mulai menampilkan supremasinya di belahan Asia Timur. Rampung memporak-porandakan Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Jepang menguasai Asia Tenggara dalam waktu yang singkat saja. Asia Tenggara yang kaya SDA menjadi sasaran mereka setelah Amerika mengembargo perdagangan Jepang yang di negerinya sendiri tidak kaya SDA. Hanya berselang tak lebih dari dua bulan, Jepang mendaratkan pasukannya di Hindia-Belanda untuk pertama kalinya di Tarakan pada 11 Januari 1942. Armada gabungan Belanda, Australia, Inggris, dan Amerika dibuat tak berdaya oleh Jepang di Laut Jawa. Pemerintah kolonial Belanda akhirnya bertekuk lutut di hadapan Jepang di sebuah rumah sederhana di Kalijati pada 8 Maret 1942. Belanda yang sudah bercokol di Hindia-Belanda selama lebih dari dua abad, akhirnya harus hengkang dari tanah jajahan mereka. Kuasa Hindia-Belanda pun jatuh ke pangkuan Jepang dalam waktu tak lebih dari setahun (Rottman, 2005: 82).
Letak Gua Jepang Pundong.
Sejak kemenangan militer Jepang atas Rusia pada perang tahun 1905, doktrin militer Jepang lebih condong pada strategi menyerang ketimbang bertahan. Oleh karena itu pendirian sarana pertahanan permanen diabaikan oleh Jepang di masa awal pendudukan karena bagi mereka perang akan berlangsung di wilayah musuh. Alih-alih mendirikan sarana pertahanan, sarana yang mereka buat terlebih dahulu adalah pangkalan udara sebagai basis untuk melancarkan serangan berikutnya. Di masa awal peperangan, serangan ofensif yang dilancarkan Jepang memang selalu berhasil karena armada Kaigun atau Angkatan Laut sebagai mesin ofensif Kekaisaran Jepang masih digdaya di lautan. Namun gerak ofensif Jepang terhenti dalam pertempuran laut yang menentukan di Midway tahun 1942. Keunggulan Jepang atas lautan Pasifik lenyap seketika. Armada sekutu mulai merangsek. Kemudian saat sekutu berhasil melancarkan invasi amfibi pertamanya di Pasifik dalam pertempuran Guadalcanal tahun 1943, barulah milter Jepang menyadari akan pentingnya sarana pertahanan di daratan. Memasuki tahun 1944, pentingnya keberadaan sarana pertahanan untuk Jepang kian menguat setelah Sekutu berhasil melaksanakan invasi amfibi skala besar di pantai Normandia yang menghantam kekuasaan Jerman di Eropa. Setelah kedudukan Jepang kian terdesak, militer Jepang berikhtiar untuk menyusun strategi defensif serupa dengan rekan Poros mereka di Eropa yang sudah membuat sarana pertahanan di sepanjang pesisir Atlantik (Zaloga, 2010: 14).
Peta persebaran gua-gua di situs Gua Jepang.
Militer Jepang membuat zonan pertahanan yang disebut Zona Pertahanan Nasional. Di luar Jepang, beberapa kepulauan kecil di Pasifik Selatan, Filipina, dan Indonesia termasuk yang ada di dalam zona tersebut. Pulau Jawa sebagai pusat administrasi, ekonomi, dan militer memiliki kedudukan strategis bagi Jepang sehingga pulau tersebut juga perlu diperkuat dengan sarana pertahanan. Dalam Kitab Penoentoen Pembelaan Tanah Air untu Oemoem, Boelan 12, tahoen 19 shoowa osamu 1602 Butai, dijelaskan bahwa terdapat tiga jenis pertahanan, salah satunya yakni pertahanan pantai (Kaigan kanshi) (Priadi Anggoro, 2008;30). Masalah mendasarnya adalah panjangnya garis pantai Pulau Jawa rupanya tidak diimbangi dengan ketersediaan pasukan dan material yang menipis menjelang akhir perang. Kendala lainnya adalah jauhnya jalur pasokan antara Jepang dengan Jawa dan belum lagi kekuatan Angkatan Laut Jepang yang sudah melemah sehingga tidak ada lagi jaminan keamanan di sepanjang jalur laut tersebut. Lantaran hal itu, Jepang memusatkan sarana pertahanannya di sepanjang pantai selatan Jawa yang menjadi perhatian karena secara geografis berhadapan dengan Australia, salah satu musuh Jepang. Tempat tersebut oleh Jepang dianggap memiliki potensi sebagai titik pendaratan musuh. Jenis pertahanan yang diikuti oleh militer Jepang adalah pertahanan aktif seperti yang diatur dalam Sakusen Yomurei atau Peraturan Tempur tahun 1938. Pertahanan aktif dilakukan jika pergerakan musuh terdeteksi. Sebelum musuh mendarat di pantai, pihak bertahan harus menahan mereka sejauh mungkin dari garis pantai. Selagi dilakukan penghadangan, markas korps Rikugun atau Angkatan Darat Kekaisaran Jepang terdekat akan dikontak untuk bergegas mengerahkan tentara cadangan ke tempat pendaratan musuh. Bala bantuan inilah yang akan melakukan serangan balik serta memusnahkan kekuatan pasukan pendarat Sekutu. Korps Angkatan Darat yang bertanggung jawab dalam pertahanan di Pulau Jawa adalah korps Angkatan Darat ke-16 (Dai-jyÅ«roku gun). Serangan melalui laut dan udara juga akan dikoordinasikan kepada Kaigun atau Angkatan Laut Jepang. Dengan pertahanan yang sudah dipersiapkan sepanjang pesisir, militer Jepang berharap musuh dapat dihalau sebelum bergerak lebih jauh ke pedalaman (War Departement, 1945; 1). Untuk keperluan ini, maka Jepang mendirikan beberapa pos pengintaian yang dilengkapi dengan sarana perlindungan.

Para komandan secara seksama mempelajari kondisi medan Pulau Jawa untuk menentukan lokasi mana saja yang akan ditempatkan pos pengintaian. Salah satu titik yang dipilih menjadi tempat pengintaian adalah perbukitan di pesisir selatan Yogyakarta yang tandus nan curam berketinggian sekitar 384 mdpl. Tempat tersebut cukup ideal sebagai tempat pengintaian karena selain pergerakan musuh di pesisir mudah diintai dengan jelas dari ketinggian, kedudukan gua yang berada di puncak perbukitan sangat menguntungkan Jepang karena musuh sulit untuk mendekat ketika baku tembak (Rottman, 2003: 15). Pada perbukitan tersebut, pos-pos pengintaian dan sarana pendukungnya ditempatkan dengan cermat sehingga tercipta posisi-posisi pertahanan yang saling mendukung dan melindungi. Beberapa pertimbangan utama dalam menentukan kedudukan kubu antara lain jangkauan tembakan senjata dan arah kedatangan musuh. Sayangnya, perkiraan bahwa Sekutu akan mendarat di pantai selatan rupanya salah.  Perairan Samudera Hindia yang bergelombang tinggi bukanlah tempat yang tepat untuk kapal-kapal besar berlabuh sehingga mustahil mendaratkan pasukan dari sini. Pembuatan rangkaian pertahanan di pesisir selatan Jawa oleh Jepang akhirnya menjadi sia-sia karena Sekutu justru melancarkan serangan dari arah kepulauan Pasifik.




Berbagai jenis pillbox yang ada di situs gua Jepang.Perhatikan bahwa semuanya memiliki sebuah lubang intai/tembak di bagian samping dengan cerobong kecil di bagian atasnya.
Saya memasuki bagian dalam gua No. 10 yang sempit. Sekalipun namanya Gua Jepang, namun di sini tidak ditemukan adanya gua alami yang pernah dipakai Jepang. Gua-gua alami memang dimanfaatkan Jepang untuk ruang penyimpanan amunisi, persediaan logistik, akomodasi tentara, rumah sakit, dan pos komando (Rottman, 2003: 40). Gua Jepang di Pundong kebanyakan adalah gua buatan yang tersebar di beberapa tempat dengan kondisi medan yang beragam. Ada yang berada di puncak bukit, lereng terjal, atau di tanah datar. Butuh fisik prima untuk menjejalahi semua gua satu persatu karena letaknya berjauhan. Beberapa harus dicapai dengan berjalan kaki. Secara garis besar, gua di sini dibagi menjadi dua jenis, yakni pillbox dan shelter yang memiliki fungsi tertentu. Pillbox adalah kubu pertahanan terutup yang memiliki satu pintu masuk dan satu celah untuk pengamatan dan lubang tembak serta ventilasi supaya bagian dalamnya tidak pengap dan sesak oleh asap amunisi. Celah sebuah pilbox memiliki ukuran yang disesuaikan dengan jenis senjata yang dipakai. Melalui lubang itulah tentara yang berada di dalam pillbox membidik dan menembak sasaran. Masing-masing pilbox biasanya diisi oleh dua tentara. Senjata yang dipakai untuk perlindungan biasanya adalah senjata ringan seperti senapan mesin type 92 kaliber 7,7 mm. Senjata itu baru ditembakan jika musuh sudah berada 1.500 meter dari titik tembak. Letak gua-gua pillbox di sini berada di lereng dan puncak bukit. Pada pilbox di puncak bukit seperti gua bernomor 2, 7 dan 11, menyembul semacam kubah yang memiliki empat lubang pengintai di keempat sisi. Menyerang sebuah pillbox bukanlah perkara gampang. Dengan tebalnya tembok beton, setidaknya butuh bantuan senjata berat seperti bom atau senjata khusus seperti penyembur api. Letaknya yang berada di lereng terjal menaikan tingkat kesulitan bagi musuh yang hendak menjangkaunya. Walau sudah dilindungi dengan tembok beton yang kuat, serdadu yang berada di dalam pilbox belum tentu aman dari serangan. Pilbox ini akan menjadi peti mati beton untuk mereka yang di dalam pilbox andai musuh membawa senjata penyembur api. Hampir dipastikan mereka yang berada di dalam tak dapat keluar hidup-hidup jika senjata maut tadi memuntahkan api ke dalam pilbox.


Berbagai gua pengintai yang ada di gua Jepang. Perhatikan kubah segi delapan di bagian atas yang berfungsi sebagai tempat pengintaian.
Kubu-kubu pertahanan tersebut dibangun oleh pasukan Jepang. Tenaga lokal juga dilibatkan namun tugas mereka sekedar memotong kayu dan membawa material saja (Rottman, 2003: 14). Kendati kubu pertahanan sudah dibuatkan pakemnya di atas kertas, namun pekerja di lapangan tidak serta merta mengikuti pekaem yang ada. Hal tersebut disebabkan para pekerja di lapangan berhadapan dengan kondisi medan, iklim, ketersediaan material, dan situasi taktis lapangan yang berbeda sehingga diperlukan suatu improvisasi. Dengan demikian, ukuran, bentuk, dan profil kubu pertahanan akan beragam di lain tempat dan tidak selalu persis dengan petunjuk. Gua-gua Jepang di Pundong dibuat dengan menggali bukit dan sejajar dengan permukaan tanah sehingga dapat tersamar dengan baik. Untuk mencegah dinding runtuh saat terkena artileri, maka dinding bagian dalam gua-gua tersebut dilapisi dengan beton. Semen untuk pembuatan beton dikirim dalam wadah tong seberat 50 kg. Selain semen, batu kapur yang mudah ditemukan di sekitar situs Gua Jepang juga digunakan sebagai material penguat karena Jepang kekurangan material pada masa akhir perang dan banyak kapal-kapal angkut Jepang yang ditenggelamkan Sekutu dalam perjalanan. Untuk mengecoh musuh serta memberi unsur kejutan, maka gua-gua tadi disamarkan dengan cara menimbunnya dengan tanah dan ditutupi dengan dedaunan.




Bunker-bunker yang dibangun untuk keperluan tertentu.
Selanjutnya terdapat gua-gua buatan yang perannya ditekankan pada penyimpanan logisitik, amunisi, ruang medis, pusat komando, ruang komunikasi, dapur umum, dan tempat tinggal serdadu. Letak-letak gua buatan itu sudah diatur untuk memudahkan gerak pasukan. Misalnya gudang penyimpanan logistik berada di dekat dapur umum. Sementara gudang amunisi dan barak serdadu diletakkan di dekat pillbox. Gua buatan tersebut juga diperkuat dengan beton sebagaimana pillbox sehingga dapat menjadi tempat berlindung bagi tentara selama pemboman dari udara. Antar kubu gua dihubungkan dengan jaringan parit kecil yang dapat digunakan sebagai jalur komunikasi dan jalan bagi pasukan agar dapat bergegas mengisi sektor pertahanan yang terancam, membawa amunisi tambahan dan evakuasi korban. Parit-parit ini menurut warga sekitar dulu ditutup dengan ijuk agar sebagai kamuflase.
Bagian dalam Gua 16 yang berfungsi sebagai dapur umum. Perhatikan bahwa terdapat empat tungku masak di dalam sini. Pastinya tidak nyaman memasak di dalam sini karena asap terkadang masih bisa memenuhi ruangan. Bagian luar cerobong dibuat serendah mungkin supaya tidak ketahuan musuh. 
Bagian luar Gua 16 yang berfungsi sebagai dapur umum. Gua ini dibangun di dekat sebuah mata air yang disebut Sumur Nagabumi untuk lebih mudah mendapatkan air.
Jalan parit yang menghubungkan Gua 17 dengan Gua 18. Dahulu setiap gua yang ada di situs Gua Jepang Pundong dihubungkan dengan sebuah parit.
Lingkungan di sekitar gua sangat tandus karena letaknya berada di puncak bukit kapur yang tidak dapat menampung air. Sulit rasanya bagi warga sekitar jika hanya hidup sebagai petani. Sebab itulah mereka mencari rejeki tambahan dengan membuka warung di sekitar gua. Saat ini Situs Gua Jepang sudah dikembangkan sebagai tempat wisata. Suguhan pemandangan menjadi daya tarik tambahan selain gua-gua tadi.

Saat ini, lingkungan sekitar gua sudah menjadi tegalan dengan kondisi tanah tidak subur karena lokasinya berada di atas perbukitan dan sifat tanahnya yang tidak bisa menyimpan air. Situs Gua Jepang Pundong terpelihara cukup baik. Di sini terdapat juru pelihara situs yang diangkat oleh BPCB Yogyakarta. Walau usaha yang mereka lakukan terbilang kecil, namun setidaknya hasil jerih payah mereka bisa mereka rasakan sendiri, ketimbang mengundang investor yang mungkin hasilnya lebih besar namun warga hanya menjadi penonton saja. Gua-gua ini mungkin gagal menjalankan perannya, namun secara tidak langsung mereka berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar…

Referensi
Abrianto, Oktaviadi . 2011. " Perkembangan Teknologi Bangunan Pertahanan Sebelum dan Sesudah Abad ke-20 M di Indonesia " dalam Dinamika Pemukiman Dalam Budaya Indonesia. Sumedang : Penerbit Alqaprint.

Anggoro, Priadi. 2008. " Strategi Pengelolaan Gua Jepang di Seloharjo Pundong,Bantul sebagai Objek Wisata ". Tesis. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitass Gajah Mada.

Rottman, Gordon L. 2003. Japanese Pacific Defenses 1941-1945. Oxford : Osprey Publishing.

Rottman, Gordon L. 2005. Japanese Army in World War II Conquest of the Pacific 1941-42. Oxford : Osprey Publishing.

War Department. 1944. Japanese Defense Against Amphibious Operation.

Zalloga, Steven J. 2003.Defenses of Japan 1945. Oxford : Osprey Publishing.