Mentari baru saja menampakan dirinya di ufuk timur ketika saya
menjejakan kaki ke Gundih, ibukota kecamatan Geyer yang terletak 17 kilometer ke
selatan dari Purwodadi, Grobogan. Tujuan lawatan saya ke sini tak lain ialah
untuk menengok Stasiun Gundih, serpihan pusaka perkeretaapian yang pernah
bergairah di masa penjajahan Belanda.
Kendati letak stasiun itu berada sedikit jauh dari jalan raya
Surakarta-Purwodadi, namun amatlah mudah untuk menjangkaunya. Stasiun Gundih diapit
oleh jalur kereta di kedua sisinya, menjadikan stasiun itu bak sebuah pulau
yang tergeletak di tengah-tengah rel baja. Mendekati area stasiun, saya
disuguhi dengan keindahan wajah depan stasiun yang menghadap ke utara itu. Pernik berupa papan teritisan bergerigi yang menjadi ciri arsitektur Chalet terlihat serasi
di bagian atap pelananya, membuat stasiun tampak jelita. Sungguh harta karun luar biasa untuk ukuran wilayah yang masih sedikit tersentuh oleh kemajuan.
Bagian depan stasiun Gundih beserta dua overkapping atau kanopi stasiun di sisi barat dan timur.
|
Stasiun itu disusun dengan bahan-bahan bermutu prima sehingga ia
masih kokoh berdiri meski usianya sudah memasuki seabad. Misalnya saja tegel kotak-kotak
yang masih utuh mengalasi lantai stasiun itu sejak zaman Belanda. Tegel kekuningan
itu asalnya dari pabrikan Alfred Ragout yang pabriknya berada di kota
Maastricht, Belanda. Tegel bikinan Alfred Ragout memang banyak dipakai pada
bangunan stasiun karena sifatnya kedap air, sehingga penumpang tak perlu takut
tergelincir ketika berjalan di atasnya.
Lantai stasiun yang masih asli dari tegel lama. |
Lengang, itulah kesan pertama saya ketika berjalan di peron stasiun
yang dinaungi atap baja itu. Sekalipun masih terlihat pegawai
stasiun yang sedari tadi mondar-mandir di peron stasiun, namun tak terlihat satupun
penumpang yang menunggu kereta di situ. Saking lengangnya, saya menyaksikan seorang
balita berlarian begitu leluasa di atas lantai peron stasiun sembari ibunya mengawasi dari bangku penumpang yang kosong. Suasana ini sungguh berbanding terbalik dengan yang
terjadi di masa kolonial, ketika moda transportasi kereta sedang mencapai masa
keemasannya.
Stasiun Gundih pada tahun 1900-an awal. Foto ini diambil menghadap ke arah utara. Terlihat kereta api yang sedang bersiap berangkat menuju Surakarta. Rumah-rumah di sisi kiri gambar merupakan rumah dinas untuk pegawai stasiun (sumber : colonialarchitecture.eu).
|
Peta lokasi Stasiun Gundih pada tahun 1905. Garis hitam-putih merupakan rel lebar 1435 mm dari arah Brumbung. Sementara garis hitam-putih yang lebih kecil merupakan jalur rel lebar 1067 mm dari arah Gambringan. Jalur yang berbelok ke kanan merupakan jalur rel milik S. J. S menuju arah Purwodadi.
|
Tahun 1870an, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya membangun
jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden. Setelah sukses membuat jalur
kereta Semarang – Tanggung dan kemudian diteruskan dari Tanggung ke Kedungjati,
mereka berancang-ancang untuk meneruskan pembangunan jalur kereta Kedungjati-
Vorstenlanden. Salah satu titik yang dilalui oleh rangkaian jalur kereta
tersebut adalah Gundih, di mana kala itu Gundih dikenal sebagai penghasil kayu
jati. Sebelum ada kereta, satu-satunya akses transportasi ke Gundih ialah
dengan jalan yang menghubungkan Surakarta dengan Purwodadi yang tentu saja
tidak sebagus sekarang. Jalur kereta tersebut dibangun oleh perusahaan kereta partikelir, Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappij yang
mendapat konsensi membangun jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden.
Harian De Locomotief yang memberitakan semakin banyaknya warga Eropa yang datang ke Gundih.
|
Sesudah Stasiun Gundih dibangun, kehidupan di Gundih lebih
bergeliat daripada sebelumnya. Gundih yang semula hanyalah wilayah anta
berantah yang jarang dikenal orang, berkembang menjadi simpul jalur kereta yang
ramai. Itu karena Gundih tak hanya menjadi jalur perlintasan
Semarang-Vorstenlanden, melainkan juga Semarang-Surabaya yang mulai tersambun
pada awal abad ke-20. Sebelum jalur Gambringan-Brumbung purna dibangun pada
tahun 1924, penumpang dan barang dari Semarang tujuan Surabaya atau sebaliknya
harus berganti kereta di Stasiun Gundih dulu. Dapat dibayangkan betapa sibuknya
stasiun kecil ini di masa lampau. Dilansir dari harian De
Locomotief tanggal 22 Februari 1899, semenjak Stasiun Gundih dibangun,
semakin banyak warga Eropa yang berkunjung ke Gundih. Pemerintah kolonial
rupanya memandang Gundih sebagai tempat yang strategis. Selain pembangunan
stasiun, di Gundih juga dibangun sekolah yang letaknya masih di sekitar stasiun
(BPCB Jateng, 23; 2014). Barulah sesudah jalur kereta Gambringan - Surabaya
selesai dibangun pada tahun 1914, penumpang kereta jurusan Semarang - Surabaya
tidak perlu berganti kereta lagi di Gundih (Het nieuws van den dag voor
Nederlansch-Indie 8 Februari 1922).
Peron barat Stasiun Gundih.
|
Jam dinding tua buatan dari Strassburg, Perancis. |
Di peron itu, saya menjumpai sebuah jam dinding tua yang dibuat di
kota Strassburg, Perancis. Sudah ribuan putaran jarum jam itu lalui dan ia
senantiasa berputar, memberitahukan waktu pada setiap orang. Ya, dalam setiap
perjalanan kereta, waktu adalah suatu hal yang berharga. Tak boleh ada waktu
yang disia-siakan karena keterlambatan sedikit saja dapat mengacaukan
perjalanan kereta. Menatap jam itu, sayapun teringat dengan lagu Time milik band legendaris Pink Floyd, “
Every year is getting shorter, never seem
to find the time. The time is gone, the song is over, thought I’d something
more to say…”
Ruang loket. |
Stasiun itu mempunyai 7 buah ruangan dengan fungsi yang
berbeda-beda. Ada yang dipakai untuk ruang Kepala Stasiun, ruang untuk pengatur
perjalanan kereta api, dan ternyata ia memiliki dua buah loket, yakni di pintu
masuk utara dan di bagian tengah stasiun, namun sekarang hanya loket bagian
tengah saja yang masih dipakai. Stasiun Gundih nampaknya benar-benar merupakan
sebuah stasiun yang sibuk di masa lalu sampai –sampai memiliki dua buah loket.
Di stasiun itu juga masih bisa dijumpai bekas alat pengatur sinyal yang dioperasikan
secara manual.
Alat pengatur sinyal Alkmaar. |
Hatta, setelah melihat bangunan utama stasiun, saya berjalan mengelilingi kedua sisi emplasmennya.
Seperti yang dijelaskan di awal, model stasiun seperti ini disebut stasiun
pulau karena ia diapit oleh jalur kereta karena perannya sebagai jalur
percabangan. Dahulu, emplasemen barat digunakan untuk rel 1435 mm jurusan
Semarang –Vorstenlanden. Sementara emplasemen timur digunakan untuk rel 1067 mm
jurusan Surabaya. Sejatinya, di emplasemen timur stasiun Gundih, terdapat sebuah
stasiun kecil milik maskapai kereta Semarang Joana Stoomtram Maatschapij (SJS) jurusan Purwodadi dan
Demak, namun kini, stasiun itu sudah tiada lagi termasuk jalur kereta
apinya.
Emplasemen selatan Gundih sisi timur.
|
Menara air atau watertoren. |
Sumur sumber air Stasiun Gundih. |
Bagian yang diduga bekas pipa corong pengisi air lokomotif. |
Depo Stasiun Gundih yang kini sudah tidak digunakan lagi.
|
Salah satu rumah dinas Stasiun Gundih yang masih asli. Rumah ini berupa rumah kopel dengan atap berbentuk limas.
|
Gudang Stasiun Gundih. |
Rumah tua yang diduga merupakan rumah kepala Stasiun gundih. |
Dari Stasiun Gundih, saya menjajal untuk mencari berbagai
tinggalan kuno lain di sekitar Stasiun Gundih. Tinggalan yang pertama ialah
sebuah rumah kuno kosong yang bentuknya mengingatkan saya pada rumah kuno di
dekat Stasiun Kedungjati. Lokasinya lebih tinggi dibandingkan rumah dinas di
sebelah barat stasiun tadi. Sebelum banyak permukiman warga yang dibangun di
depannya, pemandangan emplasemen stasiun dapat terlihat jelas dari beranda
depannya. Sayangnya, keindahan rumah tersebut dirusak dengan graffiti liar di
dinding depannya…
Gedung Papak Gundih. |
Gedung Papak, itulah julukan masyarakat sekitar pada gedung tua
yang saya temukan di sebelah utara rumah tua kosong tadi. Ia dijuluki demikian
karena atapnya yang datar atau papak. Tak diketahui apa fungsi bangunan tua ini
dulunya, namun kuat dugaan jika ia merupakan bekas tempat tinggal kepala Dienst van het Boswezen cabang Gundih
yang mengatur segala eksploitasi kayu di Geyer. Sayang, dibalik kemegahannya,
bangunan bertingkat dua itu juga menyimpan kisah kelam. Pada masa pendudukan
Jepang, bangunan itu sempat dijadikan tempat penampungan para jugun ianfu, para perempuan yang dipaksa menjadi budak nafsu untuk serdadu Jepang.
Beranjak siang, panasnya udara Gundih segera terasa. Sayapun
memutuskan mengakhiri petualangan saya mencari serpihan kejayaan Stasiun
Gundih. Sebelum meninggalkan Gundih, sayup-sayup terdengar gemuruh suara kereta
yang akan melintas. Namun dari gemuruhnya yang hanya terdengar sekilas saja,
kereta itu tampaknya melewatkan stasiun ini. Ya, kejayaan stasiun ini sudah
lama lewat, tapi saya percaya, selama Stasiun Gundih masih berdiri, serpihan kejayaannya
tak akan terlupakan….
Referensi
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.