Bagi pelancong yang pertama kali menjelajah Pecinan
Semarang, mencari dua klenteng ini ibarat menyelam ke bagian terdalam samudera
untuk mendapatkan mutiara. Dua tempat ibadah orang Tionghoa ini letaknya memang
tersembunyi di tengah padatnya Kampung Sebandaran yang berada di bantaran Kali
Semarang,dan jauh dari kata tersohor seperti halnya klenteng Sam Poo Kong. Kendati
demikan, siapapun yang berhasil menemukan klenteng ini akan dibuat terkesima
dengan kekunoan dan keindahannya laksana mutiara. Inilah cerita dari Klenteng Hwie
Wie Kiong dan See Hoo Kiong...
Letak klenteng Hwie Wie Kiong (1) dan See Hoo Kiong (2). |
Klenteng Hwie Wie Kiong. |
Tampak luar dari klenteng Hwie Wie Kiong terlihat lengang Hanya ada dua kendaraan yang terparkir
di halamannya yang tak begitu luas. Karakter Tiongkok selatannya langsung
terlihat dari bentuk bubungan atapnya yang menyerupai jurai ekor walet. Patung shi zi atau singa jantan dan betina sebagai simbol keharmonisan, menyambut setiap pengunjung klenteng.
Dinding depannya dihiasi dengan ukiran detail, menampakan kepiawaian para
pengrajin kayu Tionghoa yang mencurahkan seluruh keahliannya di dindingnya. Dari rangka konstruksi atap terbuka hingga ukiran jendela depan yang
menampilkan ukiran naga yang tampak natural. Ukiran naga tersebut bisa
dikatakan adalah ukiran yang paling menawan dari klenteng ini. Pada dasarnya, hiasan pada klenteng bukan
sekedar pemanis saja. Di dalamnya, terkandung pesan moral dan “doa bisu”.
Semisal
adalah ukiran naga tadi. Dibalik tampangnya yang gahar nan seram, naga dalam
mitologi Tiongkok sesungguhnya adalah makhluk pembawa berkah dan pemberi
perlindungan. Jika diamati seksama, naga ini hanya memiliki empat kuku, jumlah
kuku tertinggi yang diperbolehkan untuk rakyat biasa. Naga berkuku lima
dikhususkan untuk bangunan kekaisaran.
Dinding luar klenteng Hwie Wie Kiong. |
Ukiran naga. |
Secara garis besar, tata ruang klenteng ini dibagi
menjadi tiga, yakni ruang suci utama, balai leluhur, dan ruang paling belakang
yang belum diketahui fengshuinya. Tidak ada bangunan samping seperti lazimnya klenteng-klenteng
besar. Klenteng Hwie Wie Kiong memiliki tiga pintu masuk ke
dalam ruang suci utama, namun pintu masuk yang sering dilalui oleh
pengunjung adalah pintu masuk yang paling kanan. Hal tersebut rupanya juga
ada maknanya. Pintu paling kanan disebut Pintu Naga Hijau (Qinglong)
sementara pintu kiri klenteng disebut Pintu Macan Putih (Baihu). Masuk
melalui pintu kanan merupakan lambang kemakmuran sementara keluar dari mulut macan
merupakan lambang lolos dari bahaya. Sehingga diharapkan setiap orang yang
masuk keluar klenteng diberi kemakmuran dan lolos dari bahaya.
Sementara itu, pintu tengah klenteng senantiasa dibiarkan. Pintu ini biasanya
dibuka pada perayaan Cap Go Meh dan patung dewa utama klenteng akan dibawa
keluar melalui pintu ini. Dua daun pintu
dihiasi lukisan malaikat pintu yang
disebut Qie-Lan Pu-Sa dan Wei-tuo-Pu-Sa. Keduanya adalah Bodhisattva pelindung
agama Buddha dan dilukis di pintu sebagai simbol pelindung klenteng dari roh
jahat. Pada setiap pintu, terdapat ambang balok yang disebut di fu ban yang dapat dilepas.
Bagian dalam klenteng Hwie Wie Kiong. |
Melangkah ke dalam, semerbak asap menyeruak dari batang dupa yang tertancap
di depan altar, dibarengi aroma khasnya yang memenuhi setiap sudut ruang klenteng.
Sebagai sumber pencahayaan alami dan sirkulasi udara, terdapat
tiga ruang terbuka di klenteng ini. Dua
ruang terbuka kembar berada di belakang serambi, dan satu ruang terbuka lainnya
terletak di balai belakang. Keberadaan tiga ruang
terbuka tersebut menghasilkan
iklim sejuk di dalam ruang, tidak sesak oleh asap
dupa karena udara senantiasa bergerak mengalir. Sementara sinar mentari juga bebas masuk
tanpa menimbulkan panas. Orang akan merasa nyaman tatkala berada di dalam. Ketika siang hari, bagian dalam klenteng
menjadi terang benderang.
Ruang terbuka sebagai sumber cahaya dan udara. |
Suasana sepi adalah pemandangan sehari-hari dari klenteng
Hwie Wie Kiong. Wajar karena klenteng ini
bukan termasuk klenteng yang cukup terkenal di Semarang seperti klenteng Sam
Poo Kong. Dinding klenteng dilabur dengan warna hitam,
kuning dan merah yang berpadu
indah, menghamburkan keindahaan arsitektur
Tiongkok yang masih terjaga keasliannya. Atap bangunan dipikul oleh rangka
konstruksi atap terbuka tanpa penutup plafond, sehingga memperlihatkan keseluruhan
rangka yang dihias begitu meriah. Melihat permainya ornamen dan megahnya ukuran klenteng ini seakan
menunjukan kemakmuran Tan Thiang Tjhing,
sang pendiri klenteng indah ini. Membahas
klenteng ini memang
perlu menyinggung tentang
sosok Tan Thiang Tjhing karena klenteng ini adalah bagian dari sejarah kehidupan sang “mayor” pemimpin orang Tionghoa di
Semarang yang pernah hidup di masa kolonial.
Rangka-rangka penopang atap. |
Menukil dari buku “Riwayat Semarang” karya dari Liem
Thian Joe, dijelaskan bahwa Tan Thiang Tjhing adalah putra dari juragan Bing,
pemilik penggilingan gula di Semarang. Tidak diketahui dengan pasti kapan ia lahir, hal yang
diketahui dari masa kecilnya adalah bahwa walau lahir di Semarang, namun masa
kecilnya dihabiskan di negeri Tiongkok. Ketika beranjak dewasa, ayahnya
memanggil Tan Thiang Tjhing untuk
kembali ke Semarang karena
ayahnya dipekerjakan oleh pemerintah kolonial untuk
mengurus pacht kehutanan sehingga dibutuhkan tenaga untuk mengelola penggilingan
gula. Penggilingan
gula tersebut kemudian diwariskan kepadanya sesudah ayahnya meninggal. Tahun
1809, berdasarkan pai yang masih ada hingga hari ini, Tan Thiang Tjhing diangkat
sebagai Letnan oleh pemerintah kolonial. Walau menyandang gelar militer, bukan
berarti Tan Thiang Tjhing memiliki kuasa atas sekelompok serdadu. Gelar tersebut
sesungguhnya diberikan pemerintah kolonial sebagai tanda bahwa Tan Thiang Tjhing
adalah kepala masyarakat sekaligus penyambung lidah penduduk Tionghoa di
Semarang dengan pemerintah kolonial (Liem, 1931 ; 90).
Pai yang menandai pengangkatan Tan Thiang Tjhing sebagai Letnan pada 1809 dan Mayor pada 1829. |
Pada tahun 1814, Tan Thiang Tjhing ingin menunjukan baktinya kepada leluhurnya dengan mendirikan
sebuah klenteng yang juga merangkap sebagai balai
leluhur bagi marganya. Leluhur yang
dimaksud ialah Tan Goan Kong. Siapakah gerangan sosok
Tan Goang Kong ini sehingga sebuah sebuah klenteng dipersembahkan
untuknya oleh salah satu keturunannya ? Alkisah di era Dinasti Tang, ada suatu
tempat di dataran Tiongkok Selatan bernama Tjiang-Tjioe (Zhangzhou). Kala itu,
wilayah tersebut masih belum tersentuh oleh pengaruh pemerintahan kaisar
Tiongkok sehingga hampir segala kejahatan terjadi di situ. Jenderal Tan Goan Kong atau dalam ejaan Pinyin bernama
Chen Yuanguang, diutus oleh Kaisar Tiongkok, Ruizong, untuk mengamankan wilayah tersebut. Setelah keamanan
terjamin, Tan Goan Kong mengubah daerah tersebut dari sarang bandit menjadi
daerah yang makmur. Walau sudah menjadi
wilayah makmur, namun nyatanya masih ada pemberontakan di sekitar Tjiang-Tjioe.
Tan Goan Kong bersama pasukannya berusaha menumpasan pemberontakan tersebut dan
nahasnya, Tan Goan Kong tewas dalam pertempuran itu. Atas jasa-jasanya, kaisar
Xuanzong yang menggantikan kaisar Riuzong, menganugerahkan gelar anumerta
kepadanya dan memberi titah untuk mendirikan kuil penghormatan kepada Tan Goan
Kong. Hari ini, kuil atau klenteng yang dipersembahkan kepada sang jenderal
agung tersebar di berbagai penjuru, termasuk klenteng yang diangun Tan Thiang
Tjhing. Lantaran klenteng ini didirikan oleh salah satu anggota marga Tan, maka
nama klenteng ini dulunya dikenal dengan nama klenteng Tan Seng Ong.
Rumah tinggal mayor Tan di Sebandaran (sumber : colonialarchitecture.eu). |
Balai leluhur marga Tan. |
Beranjak ke belakang, terdapat bangunan yang dikhususkan
sebagai balai leluhur untuk marga Tan. Balai leluhur atau istilah lainnya disebut
sebagai rumah abu, tempat disimpannya papan
arwah atau sin ci. Keberadaan balai
leluhur bertalian erat dengan kepercayaan tradisional Tiongkok, dimana orang
Tionghoa menjunjung rasa hormat yang tinggi kepada orang yang sudah meningal
dunia karena mereka percaya orang yang sudah meninggal masih memiliki kehidupan
yang berkelanjutan dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keberuntungan
untuk mereka yang masih hidup di dunia.
Bagian dalam balai leluhur marga Tan. |
Fitur
utama dari balai leluhur adalah meja altar dan lemari yang berisi sin ci. Selain budaya Tionghoa, sin ci atau papan
arwah jamak dijumpai pada kebudayaan masyarakat Asia Timur lain seperti di
Korea (shinwi) dan Jepang (ihai). Papan ruh tersebut memuat
nama-nama orang-orang yang sudah meninggal. Penyusunan letak papan arwah
biasanya disusun bertingkat sesuai silsilah keluarga dan tingkat yang tertinggi
diperuntukan bagi leluhur paling atas. Di depan lemari, terdapat meja altar dan
deretan kursi. Pada hari-hari khusus, beragam buah-buahan, minuman, dan makanan
akan disajikan di atas meja tersebut sebagai persembahan terhadap arwah
leluhur. Deretan kursi tetap dibiarkan kosong karena dipercayai bahwa arwah
leluhur sedang duduk di kursi-kursi tersebut untuk menikmati persembahan.
Klenteng See Hoo Kiong. |
Beringsut dari klenteng Hwie
Wie Kiong, hanya berjalan beberapa langkah ke barat akan dijumpai bangunan klenteng
lain yang juga tak kalah megahnya dengan klenteng
Hwie Wie Kiong. Klenteng itu adalah klenteng See Hoo
Kiong. Dari luar, klenteng See Hoo Kiong juga sama sepinya. Dari
luar, terlihat hanya ada tiga orang yang sedang duduk-duduk di serambi klenteng,
mencari keteduhan di tengah panasnya udara kota Semarang. Dibanding klenteng
klenteng Hwie
Wie Kiong, pekarangan depan klenteng ini jauh lebih luas. Pekarangan suatu klenteng
umumnya bersifat profan, dimana segala kegiatan masyarakat dilangsungkan di
sini. Oleh karena itu, pekarangan depan klenteng harus bebas dari struktur
permanen seperti pohon dan tiang. Hal lain yang patut diperhatikan dari
klenteng ini adalah jumlah undakannya lebih banyak sehingga klenteng ini tampak
lebih tinggi dibandingkan klenteng klenteng
Hwie Wie Kiong. Hal tersebut menandakan bahwa
klenteng tersebut memiliki status yang lebih tinggi di antara klenteng-klenteng
di Semarang.
Di antara
seluruh klenteng di Pecinan Semarang, klenteng ini adalah yang paling bungsu.
Dibangun tahun 1881, pembangunan klenteng ini diprakarasi oleh Liem Siong Djian
dan Liem Kiem Ling. Seperti tak mau
ketinggalan dengan marga Tan, mereka berdua ingin mendirikan klenteng untuk
marga mereka. Untuk mewujudkan pembangunan klenteng tersebut, anggota marga
Liem mendermakan uangnya. Klenteng marga Liem itupun akhirnya dibangun di lahan
yang masih bersebelahan dengan klenteng milik marga Tan (Liem; 1931; 174). Setelah
klenteng dibangun, tampaknya kemakmuran menyertai kehidupan marga Liem.
Beberapa keturunan mereka sukses menjadi taipan. Di samping klenteng ini, sisa
kejayaan marga Liem yang masih dapat ditemui adalah bangunan villa Puri Gede di
Candibaru, Semarang (kini Rumah Dinas Wakil Gubernur Jateng) dan villa yang
kini menjadi bagian dari Hotel Semesta.
Pai klenteng See Hoo Kiong dengan lukisan mural pada ambang pintu. |
Dilihat tata ruang dan komponen bangunannya, klenteng See Hoo Kiong
bisa dikatakan sebelas-dua belas dengan klenteng
Hwie Wie Kiong. Perbedaan
yang terlihat hanyalah pada
hiasan nan indah yang tergurat pada kayu-kayu serta ukuran bangunannnya saja. Nuansa
Tiongkok masih melekat erat pada pada tampak luar klenteng See Hoo Kiong
seperti halnya klenteng Tan Seng Ong yang bersanding di sebelahnya. Atap
klenteng memiliki bubungan atap
berbentuk seperti jurai ekor walet atai yanwei yang menjadi ciri arsitektur
Minnan. Di pucuk atap ekor waletnya,
bertengger dua pasang naga yang saling berhadapan menghadap sebuah bola api. Pinggiran genting pada titisan serambi diberi penutup tabung
bergelasir yang disebut liuliwa. Genting
semacam ini hanya diperuntukan untuk istana kekaisaran
atau bangunan suci. Salah satu hiasan
pembeda klenteng ini adalah mural pada ambang bagian atas pintu yang
menggambarkan kisah-kisah rakyat Tiongkok yang sarat dengan hikmah dan pesan.
Ruang utama klenteng. Tampak bagian lantai yang masih dilapisi tegel lama. |
Hal
yang membuat bangunan klenteng tampak terlihat seragam adalah karena adanya
semacam kaidah yang harus dipatuhi dalam pembangunan klenteng. Hal tersebut
bertujuan sebagai upaya menyelaraskan diri dengan energi yang terkandung di alam sehingga
kehidupan di dunia berlangsung lancar dan tidak terganggu oleh suatu halangan. Karenanya, dibalik fisik klenteng yang indah, tersimpan makna-makna yang
terkait dengan kosmologi maupun falsafah orang Tionghoa yang mengutamakan
keselarasan dengan alam dan pengaturan kosmologi dalam kepercayaan mereka,
dengan demikian klenteng memiliki dimensi yang tampak dan yang tidak tampak (Cangianto, 2013).
Toapekong Thian Siang Seng Boo. |
Klenteng See Hok
Kiong adalah klenteng yang dipersembahkan kepada dewi lautan, Thian Siang Seng Boo atau
Dewi Laut. Sebutan lainnya lainnya adalah Maktjouw Poo atau Mazu. Perihal
asal-usul Thian Siang Seng Boo
patut juga diceritakan di sini. Syahdan, pada
abad ke-10 di wilayah Hokkian, hiduplah seorang perempuan Liem Bik Nio yang
masih merupakan leluhur marga Liem. Sewaktu bayi, Liem Bik Nio samasekali tidak
pernah menangis seperti bayi pada umumnya. Sesudah usia 8 tahun, Liem Bik Nio
disekolahkan dan ternyata ia termasuk murid yang sangat cerdas. Suatu hari,
ayah Liem Bik Nio didatangi oleh seorang pendeta Tao. Rupanya maksud kedatangan
pendeta Tao itu adalah untuk menyampaikan kepada ayahnya bahwa Liem Bik Nio
menunjukan tanda-tanda seorang calon dewa. Pada saat berusia 16 tahun, Liem Bik
Nio secara tidak sengaja menemukan sebuah kitab yang berisi ajaran kesaktian di
sumur rumahnya. Dengan cepat, Liem Bik Nio menguasai isi ajaran kitab tersebut
dan dari situlah Liem Bik Nio mulai memperlihatkan mukjizatnya. Sepanjang
hidupnya, Liem Bik Nio sering menolong para pelaut yang tertimpa musibah di
tengah ganasnya lautan. Liem Bik Nio akhirnya menjadi bagian dari pantheon
Tiongkok dengan diberi gelar Thian Siang Seng Boo atau Permaisuri Surga.
Pemujaan terhadap Dewa Laut amatlah penting bagi mereka yang berpergian lewat
jalur laut seperti para pedagang dan perantau Tionghoa. Pada masa lalu, para
nelayan akan mendatangi kuil Maktjouw Poo pada saat musim menagkap ikan tiba.
Patung atau gambar dari Maktjouw Poo kemudian dipasang di buritan kapal dengan
harapan agar mereka dilindungi keselamatannya dan diberkahi dengan hasil
tangkapan ikan yang melimpah. Bila ada perjalanan laut yang akan menghabiskan
waktu lebih lama, maka akan diadakan arak-arakan Maktjouw Poo. Pemujaanya
menyebar luas tidak hanya di daratan Tiongkok, namun juga di wilayah perantauan
orang Tionghoa seperti Semarang. Para perantau mendirikan kuil atau klenteng
sebagai rasa syukur kepada Thian Siang Seng Boo atau Maktjouw Poo yang telah
memberi keselamatan perjalanan selama di lautan (Roberts, 2010;104-105).
Balai leluhur marga Liem. |
Seperti halnya
klenteng Tan Seng Ong, klenteng See Hoo Kiong juga merupakan klenteng yang
merangkap fungsi sebagai balai leluhur. Di balai leluhur tersebut, terdapat fitur yang sama
seperti balai leluhur marga Tan seperti lemari tempat menaruh papan sin ci dari marga Liem dan altar
persembahan. Pada dasarnya, balai leluhur merupakan bangunan untuk
peringatan,
penghormatan leluhur serta tempat menyelenggarakan upacara keluarga. Sepanjang
sejarah, balai leluhur dibuat dalam ukuran yang beragam dan pada periode
dinasti Qing, balai leluhur dibuat lebih besar karena sifat balai leluhur tidak
hanya sebagai tempat sembahyang untuk mengenang leluhur semata, namun juga tempat
berkumpulnya sanak saudara semarga. Balai leluhur umunya dibuat mencerminkan
kekayaan dan status sosial dari suatu marga. Oleh karena itu, balai leluhur
biasanya dibangun ketika kemampuan finansial sudah mencukupi (Knapp, 2010;
204-205).
Lemari sin ci klenteng See Hoo Kiong. |
Kumpulan sin ci. |
Klenteng sebagai tempat ibadah sarat dengan nilai agama
mulai dari fungsinya, peletaknya, tata ruang, hingga ragam hias di dalamnya
menyimpan makna yang diyakini oleh orang Tionghoa. Klenteng selain memiliki
fungsi religious, juga melingkupi fungsi sosial dan budaya. Dengan demikian, klenteng adalah inti dari masyarakat Tionghoa baik di perdesaan atau
perkotaan. Ketika banyak orang
Tionghoa yang merantau ke wilayah
luar Tiongkok seperti ke Indonesia, mereka
akan mendirikan klenteng sebagai ungkapan rasa syukur kepada dewa-dewi atas
kemakmuran dan keselamatan yang telah dilimpahkan. Dalam klenteng pula, dapat
diamati suatu kesatuan seni yang tertuang dalam dekorasi yang mengandung simbol pengharapan dan berbagai
kisah-kisah penuh hikmah. Demikian halnya
dengan keberadaan balai leluhur marga yang menyatu dengan klenteng-klenteng
itu. Boleh dikatakan bila balai leluhur yang menyatu pada kedua klenteng
tersebut menunjukan nilai semangat memelihara
tali persaudaraan keluarga.
Di balai leluhur itulah, satu keluarga akan beribadah bersama untuk mengenang
leluhur mereka dan dari sin ci yang tersimpan mereka dapat mengenal silsilah
keluarganya. Sekian tulisan Jejak Kolonial. Layaknya mutiara yang bernilai
tinggi, dua
klenteng ini sudah sepatutnya untuk dijaga kelestariannya.
Referensi
Cangianto, Ardian. 2013. "Menghayati Klenteng
sebagai Ekspresi Masyarakat Tionghoa" dalam web.budaya-tionghoa.net.
Heuken, Adolf. 2003. Klenteng-klenteng
dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Jakarta : Yayasan Cipta
Loka Caraka.
Knap, Ronald G. 2010. Chinese House of Southeast Asia. Tuttle : Singapore.
Liem
Thian Joe. 2004. Riwayat Semarang.
Jakarta; Hasta Wahana.
Liu
Weilin. 2013. Bagian-bagian dari Arsitekur Tionhoa dalam http://web.budaya-tionghoa.net/
Xuan Tong. 2013. " Asal Muasal Klenteng
– Makna, Fungsi, dan Perkembangannya "dalam web.budaya-tionghoa.net.
Qing-hua
Guo. 2002. Visual dictionary of Chinese
Architecture. Image publishing. Mulgrave, Australia.
Roberts, Jeremy. 2010. Chinese Mythology A to Z. New York : Chelsea House.