Kondisi sekitar Benteng Rustenburg pada tahun 1780. (Sumber : nationaalarchief.nl) |
Lingkungan benteng Vredeburg (A) pada tahun 1843 yang direproduksi ulang pada tahun 1890. Perhatikan bahwa kantor Residen atau sekarang menjadi Gedung Agung (B) ada di sebelah barat benteng. Sementara itu di sebelah utara terdapat pasar Beringharjo (H) dan sebuah pemakaman (F). Di sisi timur benteng, terdapat pemukiman Eropa yang disebut Loji Kecil (D). |
Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1760. Pada saat yang bersamaan, Sultan
Hamengku Buwono I rupanya juga sedang mendirikan keraton yang akan menjadi kediaman
dan tempat ia menjalankan roda pemerintahan. Namun pembangunan benteng tersebut
tidak semulus pembangunan keraton. Pembangunan benteng terhambat karena material yang dijanjikan Sultan tidak kunjung siap. “Gubernur Pantai Timur” VOC yang bermarkas
di Semarang, Nicholas Hartingh, mengeluhkan sikap Sultan yang terkesan mengulur pembangunan. Menurut Hartingh, molornya pembangunan benteng tersebut dikarenakan "Sultan gemar mendirikan berbagai bangunan dan jika
dia tidak suka dengan bangunan itu maka bangunan itu dibongkar sehingga membuang waktu, tenaga, dan bahan yang dibutuhkan”. Saat masa jabatan Hartingh berakhir pada 1761,
belum tampak tanda-tanda benteng tersebut akan selesai dibangun. Karena bahan
yang dibutuhkan masih belum tersedia, maka benteng tersebut dibangun dengan bahan
seadanya. Penampakan awal benteng akhirnya tidak menunjukan layaknya sebuah benteng kokoh atau fort, tapi sebuah bangunan kecil atau lodge. Dari situlah masyarakat Jawa menyebut tempat tersebut sebagai loji. Bangunan di dalam benteng terbuat dari batang-batang pohon kelapa dan aren. Sementara dinding pertahanannya terbuat dari gundukan tanah. Barulah pada tahun 1765, benteng rapuh tersebut mulai diperkokoh dengan
batu-bata dan diperkuat dengan empat puluh buah meriam kaliber 3-4 pon yang
didatangkan oleh VOC. Rancangan benteng dibuat oleh insinyur Frans Haak. VOC harus
menunggu selama 26 tahun untuk memiliki benteng permanen di Yogyakarta. Benteng itu baru pungkas dibangun tahun 1781 dan awalnya diberi nama "Fort Rustenburg", Benteng Peristirahatan. (Kuiper, 1934:
134-137).
Benteng Vredeburg pada tahun 1920an dan 1864. Perhatikan jembatan jungkit yang ada di depan gerbang benteng (sumber : colonialarchitecutre.eu). |
Kehadiran
benteng asing di dekat keraton lokal seolah menunjukan bahwa VOC yang notabene
hanyalah sebuah kompeni dagang yang bermarkas nun jauh di seberang negeri,
dapat memiliki kuasa dan mempengaruhi jalannya politik kerajaan-kerajaan lokal. Dimana VOC memantapkan dirinya, maka sebuah
pos dagang akan didirikan yang seringkali dilindungi dengan dinding pertahanan.
Pos dagang tersebut sekaligus menjadi rumah tinggal utusan yang
ditempatkan VOC untuk daerah itu. VOC menempatkan Cornelis Donkel sebagai agen
VOC di Yogyakarta. Ia tiba di Yogyakarta pada tahun 1755 untuk mendampingi
Hartingh yang saat itu datang untuk menemui Sultan. Donkel tinggal di dalam
benteng Vredeburg yang saat itu masih sederhana. Dindingnya masih terbuat dari gundukan tanah
dan tonggak-tonggak batang pohon kelapa yang dipancang. Sementara atap rumah tinggal masih beratap bambu. Donkel tentu tidak tinggal sendiri di sana karena ada komandan,
sekretaris, penerjemah, perwira, beberapa serdadu. Menurut
artikel “De interessante geschiedenis van stad en soos
van Djokja” yang dimuat dalam Soerbaiasch
Handelsblad tanggal 26 April 1937, Donkel boleh dikatakan sebagai
Residen Yogyakarta pertama meskipun secara resmi jabatan residen belum ada saat itu karena
selain sebagai wakil kompeni di keraton, ia juga bertindak sebagai kepala
penduduk Eropa yang tinggal di sana. Dapat disebutkan bila benteng Vredeburg
adalah cikal permukiman Eropa di kota Yogyakarta. (Soerbaiasch Handelsblad, 26 April 1937).
Tampak luar benteng Vredeburg pada tahun 1885. |
Benteng Vredeburg pada tahun 1935. Jembatan ungkit sudah diganti dengan jembatan biasa (sumber : colonialarchitecture.eu). |
Saat Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, Fort Rustenburg diganti namanya menjadi "Fort Vredeburg". Pergantian nama yang berarti 'peristirahatan' menjadi 'kedamaian' dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap pejabat sipil yang tinggal di depan benteng (Tim Historia, 2018: 21). Ketika Jawa
takluk di bawah kaki Inggris, bendera Union Jack milik Inggris berkibar
di benteng itu. Jika saja benteng ini adalah sebuah kamera, barangkali ia akan
merekam usaha Inggris menaklukan Kraton Yogyakarta pada tahun 1812. Kala itu
kondisi benteng Vredeburg “ hanya layak untuk dipergunakan sebagai
gudang tempat menyimpan perbekalan militer “ tulis komandan Inggris, William
Thorn, dalam catatannya bertajuk Conquest of Java. “Jumlah artileri
sedikit dan bubuk mesiunya, yang merupakan buatan lama pabrik Belanda, mutunya
sangat jelek“, sambungnya. Selama berlangsungnya pengepungan Inggris atas keraton Yogyakarta, benteng itu menjadi
markas tentara Inggris. Tembakan artileri dilepaskan dari benteng ini, “yang
mana segera dibalas dari kubu keraton, memperlihatkan tontonan yang unik dari
dua benteng yang saling bersebelahan, diduduki dari dua bangsa berbeda yang
negerinya berjauhan di ujung bumi“. Berikutnya pada
saat Yogyakarta sedang dirundung Perang Jawa (1825-1830), Benteng Vredeburg
menjadi sasaran para pengikut Pangeran Diponegoro. Pada penyerbuan kota
Yogyakarta oleh pengikut Diponegoro pada 7 Agustus 1825, Sultan Hamengkubuwono
IV yang masih muda diamankan Belanda ke dalam benteng untuk melindungi dari
serbuan. Berulangkali benteng ini dikepung namun ia tak kunjung jatuh meski logistik
di dalam benteng sangat sedikit. Setelah bala bantuan dari Jenderal Van Geen
dan De Kock tiba pada 25 September 1826, barulah benteng tersebut dapat
dibebaskan dari bayang-bayang pengepungan. Selama Perang Jawa, benteng tersebut
menjadi markas komado Belanda di Yogyakarta (Van Eck, 1899: 63). Sesudah Perang Jawa berakhir,
Yogyakarta mengalami masa perdamaian yang cukup panjang tanpa gangguan keamanan
yang serius. Hal ini mendorong orang-orang Belanda untuk membuat permukiman di
luar tembok benteng. Permukiman tersebut ada di timur benteng dan dikenal
sebagai Loji Kecil (Kuiper,
1934: 134-137). Saat Yogyakarta diguncang gempa pada tahun 1867, sejumlah bangunan di dalam benteng hancur.
Sketsa yang dibuat oleh salah satu tawanan bernama A.J.L. De Geer Boers yang menggambarkan kehidupan internir di Benteng Vredeburg. |
Memasuki
zaman pendudukan Jepang, tepatnya pada bulan Juni 1942, benteng Vredeburg
dijadikan sebagai tempat tawanan untuk orang-orang Belanda. Setidaknya ada 897
tawanan yang ditahan di sana. Semuanya adalah laki-laki. Sebelum ditawan,
mereka dahulunya adalah pejabat sipil, polisi, bankir, dan pegawai keraton. Gengsi Benteng Vredeburg sebagai lambang keperkasaan Belanda seketika
jatuh ketika benteng itu menjadi tempat orang-orang Belanda ditawan dan hal
tersebut begitu tercela di hati mereka. Sekitar pertengahan Februari 1944, sejumlah
tawanan dipindahkan ke Cimahi (https://www.indischekamparchieven.nl/).
Selepas kemerdekaan, Tentara Keamanan Rakyat menjadikan benteng sebagai asrama
dan markas. Namun benteng itu kembali jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi
Militer Belanda Kedua dan kemudian menjadi markas IVG dinas rahasia tentara
Belanda. Benteng itupun menjadi bulan-bulanan para pejuang pada Serangan Umum
Satu Maret 1949. Setelah difungsikan berpuluh-puluh tahun untuk sarana militer,
pada tanggal 23 November 1992, Benteng Vredeburg akhirnya diresmikan sebagai
museum (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003; 8-10). Benteng Vredeburg
kini bahagia menikmati peran barunya sebagai sebuah museum yang memberikan
manfaat bagi banyak orang, berbanding terbalik dengan saudaranya di Surakarta,
Benteng Vastenburg yang kini merana di tengah kota.
Pada
keempat sudut benteng Vredeburg terdapat kubu pertahanan berbentuk belah
ketupat yang disebut bastion. Bastion adalah jenis kubu pertahanan yang
dikembangkan oleh bangsa Eropa sebagai jawaban atas penggunaan meriam yang
meluas pada abad ke-14. Ketika bastion belum dikenal, menara-menara yang tinggi
menjadi tempat perlindungan pihak pertahanan dan dari sana senjata proyektil
seperti panah dilepaskan ke arah musuh. Semakin tinggi menara, maka akan
semakin sulit diserang dan jangkauan tembakan panah yang dilesatkan semakin
jauh. Sejalan dengan ditemukannya senjata pengepungan terbaru berupa meriam,
maka menara menjadi sasaran yang empuk karena ukurannya yang besar membuatnya mudah
dibidik. Kemajuan teknologi pengepungan itu menuntut para insinyur militer untuk
mengembangkan metode pertahanan baru. Mereka lalu merancang suatu kubu
pertahanan kokoh yang rendah namun tebal dindingnya sehingga sukar dibidik.
Kubu tersebut selain memberikan perlindungan tempur juga menjadi tempat pihak
bertahan melepaskan tembakan meriam. Oleh karena itu sejumlah meriam dipasang di atas bastion yang kedudukannya dihitung secara seksama untuk menciptakan ruang tembak yang optimal. Saat masa damai, meriam-meriam benteng Vredeburg yang tampak seperti pajangan digunakan untuk memberi tembakan kehormatan pada upacara tertentu seperti grebeg atau saat ada raja yang meninggal. Kubu tersebut kemudian dikenal sebagai
‘bastion’ yang bersumber dari kata Perancis ‘bastille’ (Lepage, 2010: 78-80). Teknologi itu
berkembang cepat dan menyebar luas di berbagai tempat. Kolonisasi lalu mempercepat penyebaran teknologi tersebut ke berbagai penjuru termasuk di Nusantara.
Pintu kecil di sisi selatan. |
Gerbang
adalah bagian benteng yang diincar musuh saat terjadi pengepungan. Karena itu jumlah gerbang dibatasi (Killy, 2007:62) Benteng
Vredeburg memiliki dua gerbang di sebelah barat dan timur serta satu pintu
kecil di sisi selatan. Gerbang utama benteng Vredeburg ada di sebelah barat. Porte atau pos jaga kecil ditempatkan di samping gerbang tersebut. Gerbang tersebut dilengkapi dengan hiasan fasad yang dibuat layaknya bagian depan sebuah kuil Yunani dengan kolom, pilaster, dan pediment yang proporsional. Gerbang pada zaman dahulu adalah penanda utama saat seseorang masuk ke dalam sebuah wilayah sehingga bagian gerbang seringkali dipercantik untuk menghasilkan efek kemegahan yang monumental. Gerbang diletakan di tengah supaya kedua sisinya dapat terlindungi. Lebar gerbang hanya cukup dilewati satu gerobak untuk alasan
keamanan. Setiap malamnya, kedua gerbang benteng ditutup.
Tiada orang yang dapat keluar masuk benteng kecuali mereka ada urusan penting
dan mereka hanya diperkenankan lewat pintu kecil di sisi selatan. Sesudah melewati gerbang, di
belakangnya terdapat dua bangunan yang dimaksudkan sebagai rumah jaga. Dahulu tidak
sembarang orang bisa leluasa masuk maupun keluar dari benteng. Mereka biasanya
akan diperiksa terlebih dahulu oleh provoost atau penjaga dan hanya
orang-orang berkepentingan saja yang diizinkan masuk keluar benteng.
Parit benteng Vredeburg sisi timur pada tahun 1930an. Di sebelah kiri tampak bastion sisi tenggara dengan meriam kuno di atasnya. (sumber : Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden halaman 122.) |
Dari pintu masuk utama, saya berbelok ke samping,
menaiki anak tangga yang menjurus ke lantai dua pintu masuk benteng. Bagian ini
dulunya merupakan kantor administrasi. Dari berandanya, pandangan saya arahkan
ke arah Istana Kepresidenan Gedung Agung, yang menempati bekas kediaman residen
Yogyakarta. Dahulu residen Yogyakarta akan mengungsi ke benteng ini jika
keamanan mulai memburuk. Pandangan kemudian saya alihkan ke parit pertahanan
yang membentang di depan benteng. Benteng ini pernah dikelilingi oleh parit
sebagai sarana perlindungan tambahan. Meskipun terlihat kokoh, bukan berarti dinding
benteng ini tiada cela. Ukurannya yang rendah menjadikan musuh lebih mudah
memanjatnya. Sebagai penghalang tambahan maka digalilah parit yang mengitari
benteng. Untuk mencegah tergerus erosi, maka dinding parit dibuat miring dan
dilapisi batu. Ada dua jenis parit, yakni parit basah dan parit kering. Benteng
Vredeburg menggunakan jenis parit basah, yakni parit yang digenangi dengan air
secara permanen. Parit berair tersebut dapat digunakan sebagai kolam ikan
sehingga menambah pasokan pangan bagi garnisun di dalamnya. Di sisi yang lain,
parit tersebut juga dapat mendatangkan penyakit saat serangga nyamuk berkembang
biak di parit itu (Lepage, 2010: 90-92). Karena di depannya ada parit, maka di pintu masuk utamanya
dipasang jembatan jungkit sebagai penghubung. Jembatan tersebut akan ditutup
jika sedang terjadi pengepungan. Sejak tahun 1930an, jembatan tersebut
dihilangkan karena konstruksinya dirasa sudah tua dan tidak mampu menopang
beban kendaraan militer yang kian berat.
Pemandangan dari bastion barat daya. Terlihat gedung kantor pos besar dan Bank Indonesia.
|
Bekas barak sisi utara.
|
Setiap keberadaan sarana
pertahanan permanen seperti benteng Vredeburg biasanya akan diikuti dengan
pendirian sarana akomodasi dan penunjangnya yang dapat digunakan untuk jangka lama. Meskipun serdadu VOC tidak berstatus
sebagai tentara regular, mereka diberi fasilitas sebagaimana tentara regular pada
umumnya. Beberapa bangunan yang terdiri atas
deretan rumah perwira, barak, kantor, dapur umum, istal, penjara,
gudang senjata dan makanan, dan tempat hiburan berdiri di balik tembok benteng.
Dengan lengkapnya berbagai sarana di dalam tembok benteng, maka benteng itupun
laksana seperti sebuah kota kecil yang berdinding atau intramuros. Untuk
menjamin kebutuhan tempat tinggal perwira dan serdadu, di dalam benteng
dibangun barak dan rumah perwira. Konsep barak di dalam benteng merupakan hasil
pengembangan para insinyur militer pada abad ke-18. Sebelumnya para serdadu
tinggal di dalam perkemahan atau jika kurang mencukupi maka akan digunakan
sistem billet yakni warga di tempat serdadu itu ditugaskan akan
menyediakan akomodasi dan makanan yang biayanya akan diganti oleh pemerintah.
Cara ini tidak populer bagi penduduk sipil karena seringkali terjadi
percekcokan antara tuan rumah dengan serdadu yang ditampungnya. Selain itu, akan
sulit mengumpulkan serdadu yang tinggal terpencar satu sama lain dalam waktu bersamaan. Oleh karena itulah insinyur
militer seperti Vauban menganjurkan supaya barak permanen dibangun di dalam
benteng. Adanya barak yang terrkumpul dalam satu tempat juga memudahkan untuk
menghimpun personel di waktu yang diperlukan serta untuk menjamin kedisplinan mereka (Lepage, 2010: 124-127).
Barak-barak di benteng Vredeburg ditempatkan dekat dengan dinding sehingga
pasukan dapat bergegas melindungi benteng dari atas dinding. Di dekat barak,
terdapat dapur umum yang menyediakan makanan untuk prajurit. Selain barak, ada
juga rumah tinggal untuk perwira. Pada awal abad ke-20, para perwira mulai
tinggal di rumah-rumah yang disediakan pemerintah di luar benteng. Sayangnya
rumah-rumah tersebut sekarang sudah digusur. Hiburan di masa lalu amat terbatas sehingga kehidupan di dalam benteng terbilang membosankan bagi para penghuninya.
Seringkali mereka menganggap benteng tempat mereka bertugas tidak ubahnya
dengan penjara. Untuk itu, maka di dalam benteng terdapat kantin militer yang
menjual minuman keras.
Bekas gudang senjata. |
Di bastion
tenggara, terdapat bangunan yang paling vital dari benteng yakni gudang bubuk mesiu.
Gudang tersebut menyimpan bahan berbahaya yang mudah meledak. Terbakar
sedikit saja maka akan timbul petaka berupa ledakan dahsyat yang dapat
mengancurkan seisi benteng seperti yang menimpa Fort Beschmeringh di Cirebon
yang hancur akibat ledakan gudang mesiu. Untuk alasan keamanan, maka letaknya
dibuat agak menjauh dari area tempat tinggal tentara. Sementara untuk alasan taktis, maka letaknya
dibangun berdekatan dengan dinding bastion supaya bubuk mesiu yang diperlukan untuk
senjata api dapat dibagi ke pasukan (Lepage, 2010: 127-128). Jendelanya tampak sedikit dan sempit. Hal
itu bertujuan supaya sirkulasi udara tetap bisa masuk ke dalam namun percikan
api dari luar tidak mudah masuk ke dalam. Bagian dalamnya harus dipastikan
kering supaya mesiu tidak lembab karena mesiu yang lembab tidak dapat dipakai. Sebuah
gardu di depan pintu masuk gudang mesiu seakan memberitahukan kepada saya bahwa
akses ke gudang tersebut dulunya dibatasi secara ketat untuk menghindari resiko
pencurian bubuk mesiu atau sabotase. Adapun gudang senjata dibangun terpisah
dari gudang mesiu namun letaknya masih berdekatan. Keberadaan gudang senjata
selain dimaksudkan sebagai tempat penyimpanan dan perawatan senjata juga untuk
mengontrol penggunaan senjata sehingga senjata hanya betul-betul dipakai di
saat yang diperlukan saja seperti saat latihan dan tugas militer.
Bangunan di dalam
benteng Vredeburg kini dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai ruang diorama. Sebagai
sebuah tempat wisata, apalagi letaknya di tengah kota, Benteng Vredeburg ramai
pengunjung. Mereka tampak begitu asyik berswafoto di setiap sudut benteng. Kehadiran
mereka di sini tampaknya untuk mencari suasana yang berbeda atau untuk menambah
koleksi foto, bukan karena kisah sejarah yang terdapat di dalamnya. Dari masa
kemerdekaan hingga sekarang, tinggalan sejarah berupa benteng masih disikapi
sebagai tinggalan penjajah. Padahal ditinjau dari kajian Post-Kolonial, benteng
merupakan lambang dari eksistensi kekuatan asing, yang mana oleh bangsa
Indonesia dengan kemampuan terbatas mampu menyingkirkan kekuatan asing yang
memiliki sarana pertahanan begitu kuat seperti benteng (Sudamika, 2006; 92).
Suka atau tidak suka, benteng Vredeburg; dan benteng lainnya di Indonesia,
telah menjadi bagian perjalanan sejarah negeri ini.
Referensi
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
2003. Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Yogyakarta.
Killy, Lawrence H. Fontana, Marissa. Quick, Russel. 2007. Baffles and Bastions : The Universal Feature of Fortications dalam Journal of Archaeiogical Research vol. 15, no.1 Maret 2007 (halaman 55-95).
Kuiper, K.G. 1934. ”Het Verleden en Heden van Djokjakarta” dalam Tropische Nederland (hlmn. 99-151).
Lepage, Jeand Dennis. 2020. Vauban and the French military under Louis XIV : an illustrated history of fortifications and strategies. Jefferson : MacFarland & Company, Inc., Publishers.
Lombard, Dennys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya : Batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Magetsari, Noerhadi. 2016. Prespektif Arkeologi Masa Kini dalam Konteks Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Soerbaiasch Handelsblad, 26 April 1937
Sudamika, G.M. "Penelitian Benteng Kolonial di Ternate, Maluku Utara" dalam Berita Penelitian Arkeologi Maluku dan Maluku Utara, vol 2. No. 2 Juli/2008, Balai Arkeologi Maluku.
Thorn, William. 2011. Penaklukan Pulau Jawa- Pula Jawa di abad
Sembilan belas dari Amatan Seorang Serdadu Kerajaan Inggris. Jakarta ; Elex
Media Komputindo.
Tim Historia. 2018. Daendels ; Napoleon Kecil di Tanah Jawa. Jakarta : Penerbit Kompas.
van Eck, R. 1899. "Luctor et Emergo" of De Geschiedenis der Nederlanden in den Oost Indie Archipel. Zwolle : W.E.J. Tjeenk Willink.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar