Suatu hari di
Semarang, saya memandang sebuah bangunan kuno yang begitu cantik dengan atap
kubahnya, bangunan yang sama dengan yang dipandang oleh seorang wartawan dari
warta harian Bataviaasch Nieuwsblad pada
hari bangunan itu diresmikan 100 tahun silam. Keesokan harinya, wartawan tadi
menyanjung bangunan yang kemarin ia pandang sebagai stasiun terelok di
Hindia-Belanda. Ya, bangunan jelita yang saya sedang saya pandang saat ini tidak lain adalah
Stasiun Tawang.
Bangunan Stasiun Semarang milik NISM yang pertama di Desa Kemijen. (Sumber : media-kitlv.nl) |
Stasiun Tawang, nama yang sudah tidak asing di telinga warga
Semarang, terutama untuk mereka yang sering berpergian menggunakan
kereta. Sudah lebih dari seabad Stasiun Tawang senantiasa melayani
penumpang setiap hari sepanjang tahun. Ia hanya libur ketika lantai
stasiunnya tergenang banjir rob, fenomena alam yang menjadi
permasalahan wilayah Semarang bawah. Memandang dari sisi sejarahnya,
Stasiun Tawang dahulunya adalah stasiun kepunyaan Nederlandsch
Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM), maskapai kereta api swasta pada
masa kolonial. Sebelum Stasiun Tawang dibangun, NISM sudah memiliki
stasiun kereta yang dibangun pada tahun 1867 di Desa Kemijen. Tempat
tersebut dipilih sebagai lokasi dari stasiun kereta pertama di
Hindia-Belanda karena dekat dengan pelabuhan sehingga memudahkan
dalam proses kegiatan bongkar muat barang. Hal tersebut dimaklumi
mengingat tujuan awal dari pembangunan kereta api di Hindia-Belanda
adalah melayani angkutan barang. Pada perkembangan berikutnya, kereta
api tidak hanya menjadi moda angkutan barang semata namun juga mulai
digunakan secara luas sebagai angkutan penumpang. Letak Stasiun
Semarang yang ada di Desa Kemijen mulai dirasakan tidak nyaman untuk
keperluan tersebut karena jaraknya terlampau jauh dari permukiman.
Orang yang pergi ke stasiun mesti melewati jalanan panjang yang
berdebu di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan. Tidak jarang
air menggenangi jalan hingga pinggang orang dewasa sehingga membuat
orang kesulitan menuju ke stasiun. Permasalah tersebut menjadi dasar
keputusan NISM untuk membangun sebuah stasiun kereta khusus penumpang
di Semarang (De Locomotef 18 Maret 1909).
Gambar rancangan Stasiun Tawang karya Hildering. |
Berdasarkan pertimbangan bahwa stasiun baru NISM tersebut akan
diutamakan sebagai stasiun penumpang, maka stasiun tersebut akan
diletakkan sedekat mungkin dengan permukiman. NISM kemudian memilih
untuk membangun stasiun di Tawang yang berada di sebelah utara
kawasan Kota Lama Semarang yang menjadi jantung niaga Semarang. Di
tempat tersebut sudah ada beberapa perkampungan orang pribumi yang
berbatasan dengan rawa-rawa. Setelah NISM melakukan pembebasan lahan
di kampung tersebut, tuan Hildring didapuk oleh NISM untuk merancang
bangunan stasiun tersebut. Hildring sebelumnya pernah merancang
bangunan-bangunan penting di Semarang seperti kantin militer Jurnatan
dan Societeit Semarang. Pada proyek pembangunan Stasiun tersebut,
Hildring hanya diizinkan untuk merancang tampilan fisik bangunan.
Direksi NISM memberi pesan kepada Hildring supaya merancang sebuah
bangunan stasiun yang tak perlu terlampau megah ukurannya namun tidak
boleh terlihat hambar. Sementara biro teknis NISM sudah menyusun letak dan pembagian ruangan stasiun yang mengedepankan aspek
kenyamanan penumpang. Untuk pembagian ruangan tersebut, Hildring
tidak diperkenankan untuk mengubahnya (De Locomotef 18 Maret 1909).
Cinderamata untuk undangan upacara peletakan batu pertama Stasiun Tawang (sumber : media-kitlv.nl) |
Stasiun Tawang beberapa bulan setelah diresmikan (sumber : colonialarchitecture.eu). |
Stasiun Tawang berlokasi di tanah rawa yang labil. Para insinyur yang
dilibatkan dalam pembangunan Stasiun Tawang akhirnya mengakali
permasalahan tersebut dengan cara membuat suatu landasan dari beton
dan selama beberapa bulan landasan tersebut diberi beban dua kali
massa bangunan. Setelah landasan pondasi dirasa cukup kuat, barulah
di atasnya didirikan bangunan beton bertulang dengan empat kolom yang
memikul atap kubah. Kendati demikian, agar seluruh bangunan tak turut
ambles ke bawah, maka struktur bangunan sayap stasiun dipisahkan
dari struktur bangunan utama di tengah. Setelah melewati proses pembangunan
yang panjang, bangunan Stasiun Tawang diresmikan dalam suatu perayaan
yang digelar pada malam hari tanggal 30 Mei 1914. Sekitar 150 tamu
diundang untuk menghadiri pesta perayaan tersebut. Tatkala matahari
mulai menapaki langit pada hari pertama bulan Juni 1914, cahaya
paginya menyingkap sebuah bangunan stasiun yang akan memulai kiprah
perdananya pada hari tersebut. Dengan penuh antusias, khalayak
menyambut baik keberadaan stasiun tersebut. Hasil penyelesaian
bangunan sangat memuaskan sampai para wartawan yang hadir menyanjung
keindahan stasiun baru itu dalam surat warta mereka Grootste en moosite, termegah dan terelok (Bataviaasch Nieuwsblad 2 Juni
1914).
Panorama Kota Lama dari udara, tampak bangunan Stasiun Tawang di sebelah utara (sumber : media-kitvlv.nl). |
Sewaktu Stasiun Tawang diresmikan, pemerintah kolonial sedang
mengerahkan segala daya upaya untuk menggelar pameran akbar
Koloniaale Tentoostelling di Semarang dalam rangka menyongsong
seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis; sebuah ironi karena
pameran untuk memperingati kemerdekaan dari penjajah justru digelar
di tanah jajahan. Pameran tersebut ditaksir akan dibanjiri pengunjung
dari berbagai penjuru mengingat pameran itu baru kali pertama digelar
di Hindia-Belanda. Sebab itulah dibukanya Stasiun Tawang disambut
dengan antusias oleh pemerintah kolonial karena hal itu sangat
membantu kelancaran perhelatan penting mereka. Sayangnya, Koloniale
Tentoostelling berakhir dengan
kerugian karena jumlah pengunjung yang datang ternyata tidak memenuhi
harapan karena pada saat yang sama Perang Dunia Pertama mulai
berkecamuk di Eropa. Walau gelaran Koloniaale Tentoostelling telah
usai namun bukan berarti stasiun ini kembali sepi. Sebaliknya Stasiun
Tawang justru lekas menjadi stasiun kereta teramai di Semarang. Hal
ini karena Stasiun Tawang merupakan batu pijakan pertama untuk
memasuki wilayah Vorstenlanden dan pedalaman Jawa Tengah yang
kaya dengan perkebunan dan sarana militer.
Bangunan utama Stasiun Tawang. |
Rangka atap. Bagian ini dahulu diperuntukan sebahai tempat parkir kendaraan. |
Bagi sebagian orang di masa itu, keindahan Stasiun Tawang terlihat
sepadan dengan gedung Lawangsewu, kantor dari perusahaan NISM yang
menjalankan stasiun ini. Boleh dikatakan jika kedua bangunan ini
menjadi simbol kejayaan NISM sebagai sebuah maskapai kereta di
zamannya. Stasiun Tawang dimahkotai oleh sebuah kubah yang bertengger
di puncaknya. Sementara fasad depannya terlihat menawan dengan tiga
kaca jendela besar yang diberi dekorasi yang menampilkan roda kereta
bersayap, simbol perusahaan NISM. Penumpang yang turun atau naik ke
mobil disediakan kanopi lebar di depan stasiun yang akan melindungi
mereka dari terik sinar matahari dan hujan. Halaman depan Stasiun
Tawang yang luas dahulu memiliki jalan selebar 50 meter yang sudah
diaspal sehingga tidak menimbulkan kemacetan di depan stasiun.
Jalanan juga menjadi tidak berdebu atau becek pada musim hujan.
Selanjutnya di samping kanan dan kiri bangunan, terdapat atap
memanjang yang cukup lebar dan masih menyisakan ruang untuk tempat
parkir yang dapat menaungi 38 kendaraan (De Locomotef 18 Maret 1909).
Masuk ke dalam bangunan utama, kumandang lagu Gambang Semarang
mengalir merdu di dalam aula ruang tunggu penumpang itu. Ruang tunggu
setinggi 20 meter ini begitu memikat mata ketika cahaya matahari
menembus kaca cupola yang berada di atas atap. Dengan disokong
oleh empat tiang penopang, bangunan ruang tunggu ini tampak begitu
kokoh. Relief perunggu karya Willem Brouwer turut andil dalam
memperelok interiornya. Relief tersebut menampilkan lokomotif uap
yang sedang menempuh perjalanan. Dahulu tulisan, “NIS” pernah
terpampang pada salah satu relief namun tulisan tersebut kini sudah
terhapus. Awalnya Stasiun Tawang memiliki empat lajur pemberhentian
kereta dan dua atap peron tambahan. Walau sudah terjadi beberapa
perubahan demi mengikuti tuntutan zaman, namun kekunoan Stasiun
Tawang belum hilang. Pada malam hari, Stasiun Tawang awalnya
diterangi dengan lampu gas sebelum diganti menggunakan lampu listrik.
Kenyamanan pengguna jasa kereta menjadi aspek terdepan dalam
perancangan Stasiun Tawang. Memasuki abad ke-20, NISM memang
terbilang loyal dalam memberi pelayanan ekstra bagi pengguna jasa
mereka. Supaya antrian tidak menimbulkan kerumunan besar, maka
Stasiun Tawang menyiapkan enam konter penjualan karcis. Pembagian
ruang tunggu Stasiun Tawang dibuat mengikuti bangunan baru Stasiun
Kedungjati dan Ambarawa. Stasiun Tawang memiliki ruang tunggu khusus
untuk penumpang kelas 1 dan 2 yang ada di sayap kiri. Jika diamati
dari foto lama, bentuk ruang tunggu tersebut mirip dengan bar Eropa.
Sembari menunggu kedatangan kereta, para penumpang kelas 1 dapat
menikmati hidangan yang disajikan oleh restoran kelas satu di
Semarang, Restaurant Smabers. Menariknya Stasiun Tawang menjadi
stasiun pertama Hindia-Belanda yang menyediakan ruang tunggu dan
toilet terpisah yang diperuntukan bagi penumpang wanita. Slogan
“pembeli adalah raja” secara sungguh-sungguh diterapkan oleh NISM
pada Stasiun Tawang. Sementara itu penumpang kelas 3 yang biasanya
adalah orang-orang pribumi haram hukumnya menunggu di ruang tunggu
kelas 1. Mereka disediakan tempat tunggu terbuka yang ada di sayap
kanan. Hal ini menunjukan bahwa pembagian ruang tunggu di Stasiun
NISM masih kuat dengan unsur segregasi ras. Sayangnya bagian ruang
tunggu penumpang kelas 3 tersebut sudah hilang (Het Nieuws van den
dag voor N.I 30 Mei 1914).
Aula Stasiun Tawang pada tahun 1920 (Sumber : collectie.wereldculturen.nl) |
Peron Stasiun Tawang. |
Hari itu, rutinitas Stasiun Tawang berlangsung seperti biasa.
Berbagai kereta dari berbagai arah datang dan pergi, mengisi dan
meninggalkan stasiun. Stasiun ini dapat dikatakan stasiun yang super
sibuk karena hampir semua kereta penumpang yang melintasi jalur utara
singgah di sini. Dalam sehari, stasiun ini bisa disinggahi lebih
dari selusin kereta seperti kereta Majapahit, Kertajaya, Sembrani,
Matarmaja, Argo Bromo Anggrek, Menoreh, Ambarawa Ekspress, Kalijaga,
Kamandaka, dan lain sebagainya. Deru suara mesin lokomotif yang
singgah di antara keenam jalur aktifnya masih setia menggetarkan
dinding stasiun. Bedanya jika dulu kala suara mesin uap yang mengisi
udara stasiun, kini suara itu sudah tergantikan dengan gemetar suara
mesin diesel.
Referensi
Ir M. PH. Broekhuijsen,1947, “De verbindingslijn te Semarang” dalam Spoor- en Tramwegen, Nr 23, 6 November 1947 hlmn 369-373.
Bataviaasch Nieuwsblad 2 Juni 1914
Het Nieuws van den dag voor N.I 30 Mei 1914
De Locomotef 18 Maret 1909
Tidak ada komentar:
Posting Komentar